Penyesalan itu selalu datang belakangan. Memberikan kesan mendalam di setiap perjalanan. Apalagi, perjalanan hidup yang aku jalani cukup pelik dan rumit. Maka rasa sesalnya pun tidak sedikit. Sangat dalam dan berbekas. Aku tidak akan pernah melupakan tentang hari ini dan sejuta kejutan yang kudapat. Termasuk ditinggalkan Luna dan ...."Bang Aldi ...." Aku mengucapkan satu nama yang sedang aku cari keberadaannya. Malam penuh drama di rumah Nyonya Marta telah berlalu. Sekarang, di sinilah aku berada. Di kontrakan sederhana yang jauh dari kata mewah. Duduk seorang diri seraya meratapi takdir hidup yang begitu menyedihkan. Aku kehilangan segalanya. Kebahagian, cinta, dan saudara. Kini aku benar-benar sebatang kara. Hidup seorang diri tanpa teman dan keluarga. "Ya Tuhan ... aku melupakan sesuatu," ujarku menyadari ada yang salah. Luna baru saja meninggal, tapi aku tidak sama sekali mengadakan pengajian. Astaga! Kakak macam apa aku ini? Sudahlah tidak becus menjaga dia, dan setelah dia
"Kakak tidak bisa baca doa, Dek. Kakak cuma bisa baca alfatihah untukmu," ujarku seraya menatap nanar pintu kamar yang terbuka. Tidak ada siapa pun yang datang. Jangankan manusia, lalat pun tidak sudi menghampiriku yang menyediakan ini. Semua makanan yang kubuat, aku masukan ke dalam kantong plastik besar. Kemudian aku menutup pintu dan berganti pakaian. Gamis yang tadi melekat di tubuh kutanggalkan, lalu menggantinya dengan celana jeans dan kaus longgar bertangan pendek. Rencananya, malam ini aku akan keluar untuk membagikan makanan ke anak-anak yang biasanya nongkrong di pinggir jalan sambil bernyanyi membahagiakan dirinya sendiri. "Pengajiannya udah selesai, Mbak?" tanya seorang wanita saat aku keluar dari kontrakan. Dia bersama temannya tersenyum saling melirik membuatku muak. Mereka seperti mengejekku. "Sudah, baru saja selesai," jawabku kemudian. "Ih, ketus banget. Biasa aja, kali."Aku yang baru saja turun dari teras kamar kontrakan, langsung membalikkan badan menatap w
Aku menoleh pada dia yang memanggil. Wajahnya melongok dari dalam mobil yang ia kendarai. Damar. Seketika amarahku kembali memuncak. Keinginan untuk mengakhiri hidup lenyap, berganti dengan keinginan untuk menghajar bahkan membunuh pria yang sudah menghancurkan hidup adikku. Aku loncat dari pembatas jalan, kemudian langsung masuk ke mobil Damar yang berada tepat di pinggir jalan. "Brengsek! Dasar bajingan! Kau telah membunuh adikku!" Aku meracau seraya terus memukul Damar dengan membabi buta. Tidak ada perlawanan dari laki-laki itu. Damar terlihat santai dengan kembali melajukan mobilnya yang beberapa saat tadi menghalangi jalan orang lain. "Kau harus mati seperti Luna yang telah pergi!" teriakku lagi seraya menarik-narik kerah baju Damar. "Sini, kau, Bajingan! Akan aku habisi dirimu sekarang juga!""Diam!!" Damar berteriak seraya mengerem mobilnya secara mendadak. Aku melepaskan tanganku darinya dengan mata masih menatapnya penuh kebencian. Dadaku naik turun setelah emosi meng
Mata ini rasanya berat untuk dibuka. Namun, kupaksa agar tahu di mana aku saat ini. Masih di dunia, ataukah sudah di alam baka? Mataku menyipit menahan silau cahaya dari atas sana. Semakin lama penglihatan aku tajamkan hingga kini benar-benar tahu cahaya apa yang menyilaukan penglihatanku. "Lampu?" kataku pelan. "Aku di mana?" Aku memindai ke sekeliling. Melihat sekitar tempatku berada sekarang. "Oh, apakah aku di rumah sakit? Aku masih hidup?" kataku lagi sadar akan tempat ini. Aku mencoba bangun, tapi sulit. Rasanya tubuhku sakit hingga tidak dapat bangun dan duduk. Sial. Damar benar-benar sudah membuatku tidak berdaya. Dia berhasil mencelakaiku, tapi gagal membunuhku. "Oh, ya ampun, Bu Aruna sudah bangun?" Seorang wanita terlihat begitu antusias melihatku yang membuka mata. Dia yang baru saja masuk, kemudian keluar dari kamar dan entah ke mana. Mungkin dia akan memberitahukan dokter kalau aku telah siuman. Atau ... polisi? Apakah aku akan dipenjara karena dilaporkan Dinata
"Mbak." Lidahku berucap kelu. Aku teramat kaget saat tahu siapa yang masuk ke kamarku. Alina. Dia datang tidak sendirian. Suaminya turut ikut dan kini mereka berdua benar-benar sudah berada di dekatku. Mata ini tak mampu mengalihkan pandangan ke lain arah. Rasa tidak percaya dan kaget luar biasa membuatku terus menatap mereka bergantian. Jangan-jangan ... Alina datang untuk balas dendam? Aku meneguk ludah dengan diiringi rasa takut juga khawatir. Namun, aku mencoba tenang meski dada ini berdebar. "Akhirnya kamu bangun juga setelah beberapa hari tidur, Aruna.""Hah?" Aku menyipitkan mata merasa heran dengan ucapan Alina. Beberapa hari dia bilang? Bukannya aku di sini baru satu malam?"Gimana keadaan kamu sekarang?" Kini Adikara yang bertanya. Namun, aku tidak menjawabnya. Aku malah bengong mencerna kata-kata Alina yang membuatku bingung luar biasa. "Ma–maksud Mbak Alina apa, ya? Beberapa hari? Bukannya aku di sini sejak malam tadi?" Akhirnya aku berucap setelah beberapa saat d
"Bukan. Bang Aldi masih ingin sendiri, dia tidak mau ditemui siapa pun."Rasa bahagia yang tadi hadir, kini sirna kembali. Ternyata bukan suamiku yang akan aku temui setelah sembuh nanti. Lalu siapa? Mertuaku? Ah, aku malu sekali jika berhadapan dengan mereka. Keberanianku hilang sebelum berjumpa. "Kamu tahu, Aruna. Kenyataan tentang dirimu menghancurkan perasaan abangku. Seperti lima tahu yang lalu, sekarang dia pun mengurung diri. Tidak ingin bertemu dengan orang, meskipun kami keluarganya sendiri," tutur Alina lagi. Aku tertegun melihat wajah Alina yang berubah jadi sendu. Rasa bersalah pada suamiku semakin membuat diri ini ingin segera sembuh dan bertemu dengan dia. Haruskah aku mencari Bang Aldi sampai ketemu, dan menembus kesalahanku padanya?Sanggupkah aku menerima kenyataan jika nanti Bang Aldi menginginkan perpisahan? Atau mungkin, dia akan mengirimku ke tempat yang aku takutkan? Penjara. Daripada masuk bui, aku lebih baik mati."Di mana Bang Aldi, Mbak?" Lagi, aku memp
"Naima ...." Aku menyebut satu nama saat kendaraan yang aku tumpangi berhenti di depan rumah seseorang. Aku tahu rumah ini. Aku pernah datang ke sini beberapa kali bersama Aldi. Jadi, Alina membawaku ke rumah sepupunya? Beberapa kali aku menarik napas panjang untuk menetralkan perasaan gugup dan takut. Bertemu dengan orang yang pernah aku sakiti, membuat diri ini tidak percaya diri. Takut, jika nanti di sana Naima akan melakukan kekerasan padaku. Namun, untuk menghindar pun aku tidak bisa. Tekad untuk memperbaiki diri lebih kuat, hingga aku harus bisa menerima apa pun yang akan terjadi di dalam nanti. Aku harus berani mengakui kesalahan dan minta maaf pada Naima. "Ayo, turun." Alina membukakan pintu mobil menyuruhku keluar. Aku mengangguk. Dengan hati yang gelisah, aku berjalan di belakang Alina dan Adikara yang sudah lebih dulu masuk ke rumah yang pintunya tidak tertutup. Pelan tapi pasti, aku melangkahkan kaki dan berhenti di belakang Alina yang juga menghentikan kakinya. "
"Ya Allah, Mama!" "Tante Ratna," ucapku dan Alina bersamaan. Kepala mendongak melihat wajah wanita yang matanya melotot ke arahku. Kukira Naima yang menarik rambutku, tapi ternyata ibunya. Tante Ratna tidak melepaskan tangannya dari kepalaku meskipun aku meringis dan mengaduh kesakitan. Dia malah semakin mengeratkan cengkeramannya hingga rasa perih mulai terasa di kulit-kulit kepala. "Tante, sakit." Aku kembali berucap. "Sakit katamu? Ini belum ada apa-apanya dibandingkan rasa sakitnya hati putriku karena ulahmu!" Aku meringis seraya memegang tangan Tante Ratna yang tidak mau melepaskan genggamannya dari rambut-rambutku. Naima tidak tinggal diam. Melihatku kesakitan, dia mencoba membujuk ibunya untuk menyudahi kemarahannya. Namun, gagal. Bukannya melepaskan, tapi Tante Ratna malah semakin brutal. Dia menarik rambutku hingga tubuh ini mengikuti ke mana arah dia berjalan. "Tante, ampun, Tante. Sakit!" kataku memohon. "Mah, sudah hentikan, kasihan Aruna. Dia baru saja sembuh, Ma