Beranda / Romansa / Membalas Kesombongan Mantan / Bab 282 membalaskan kematian

Share

Bab 282 membalaskan kematian

Penulis: Pena_yuni
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56
Aku menoleh pada dia yang memanggil. Wajahnya melongok dari dalam mobil yang ia kendarai.

Damar.

Seketika amarahku kembali memuncak. Keinginan untuk mengakhiri hidup lenyap, berganti dengan keinginan untuk menghajar bahkan membunuh pria yang sudah menghancurkan hidup adikku.

Aku loncat dari pembatas jalan, kemudian langsung masuk ke mobil Damar yang berada tepat di pinggir jalan.

"Brengsek! Dasar bajingan! Kau telah membunuh adikku!"

Aku meracau seraya terus memukul Damar dengan membabi buta. Tidak ada perlawanan dari laki-laki itu. Damar terlihat santai dengan kembali melajukan mobilnya yang beberapa saat tadi menghalangi jalan orang lain.

"Kau harus mati seperti Luna yang telah pergi!" teriakku lagi seraya menarik-narik kerah baju Damar.

"Sini, kau, Bajingan! Akan aku habisi dirimu sekarang juga!"

"Diam!!" Damar berteriak seraya mengerem mobilnya secara mendadak.

Aku melepaskan tanganku darinya dengan mata masih menatapnya penuh kebencian. Dadaku naik turun setelah emosi meng
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Giat Gbs
smp kpn crita ini berakir
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 283 ternyata masih hidup

    Mata ini rasanya berat untuk dibuka. Namun, kupaksa agar tahu di mana aku saat ini. Masih di dunia, ataukah sudah di alam baka? Mataku menyipit menahan silau cahaya dari atas sana. Semakin lama penglihatan aku tajamkan hingga kini benar-benar tahu cahaya apa yang menyilaukan penglihatanku. "Lampu?" kataku pelan. "Aku di mana?" Aku memindai ke sekeliling. Melihat sekitar tempatku berada sekarang. "Oh, apakah aku di rumah sakit? Aku masih hidup?" kataku lagi sadar akan tempat ini. Aku mencoba bangun, tapi sulit. Rasanya tubuhku sakit hingga tidak dapat bangun dan duduk. Sial. Damar benar-benar sudah membuatku tidak berdaya. Dia berhasil mencelakaiku, tapi gagal membunuhku. "Oh, ya ampun, Bu Aruna sudah bangun?" Seorang wanita terlihat begitu antusias melihatku yang membuka mata. Dia yang baru saja masuk, kemudian keluar dari kamar dan entah ke mana. Mungkin dia akan memberitahukan dokter kalau aku telah siuman. Atau ... polisi? Apakah aku akan dipenjara karena dilaporkan Dinata

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 284 ingin memperbaiki diri

    "Mbak." Lidahku berucap kelu. Aku teramat kaget saat tahu siapa yang masuk ke kamarku. Alina. Dia datang tidak sendirian. Suaminya turut ikut dan kini mereka berdua benar-benar sudah berada di dekatku. Mata ini tak mampu mengalihkan pandangan ke lain arah. Rasa tidak percaya dan kaget luar biasa membuatku terus menatap mereka bergantian. Jangan-jangan ... Alina datang untuk balas dendam? Aku meneguk ludah dengan diiringi rasa takut juga khawatir. Namun, aku mencoba tenang meski dada ini berdebar. "Akhirnya kamu bangun juga setelah beberapa hari tidur, Aruna.""Hah?" Aku menyipitkan mata merasa heran dengan ucapan Alina. Beberapa hari dia bilang? Bukannya aku di sini baru satu malam?"Gimana keadaan kamu sekarang?" Kini Adikara yang bertanya. Namun, aku tidak menjawabnya. Aku malah bengong mencerna kata-kata Alina yang membuatku bingung luar biasa. "Ma–maksud Mbak Alina apa, ya? Beberapa hari? Bukannya aku di sini sejak malam tadi?" Akhirnya aku berucap setelah beberapa saat d

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 285 pulang dari rumah sakit

    "Bukan. Bang Aldi masih ingin sendiri, dia tidak mau ditemui siapa pun."Rasa bahagia yang tadi hadir, kini sirna kembali. Ternyata bukan suamiku yang akan aku temui setelah sembuh nanti. Lalu siapa? Mertuaku? Ah, aku malu sekali jika berhadapan dengan mereka. Keberanianku hilang sebelum berjumpa. "Kamu tahu, Aruna. Kenyataan tentang dirimu menghancurkan perasaan abangku. Seperti lima tahu yang lalu, sekarang dia pun mengurung diri. Tidak ingin bertemu dengan orang, meskipun kami keluarganya sendiri," tutur Alina lagi. Aku tertegun melihat wajah Alina yang berubah jadi sendu. Rasa bersalah pada suamiku semakin membuat diri ini ingin segera sembuh dan bertemu dengan dia. Haruskah aku mencari Bang Aldi sampai ketemu, dan menembus kesalahanku padanya?Sanggupkah aku menerima kenyataan jika nanti Bang Aldi menginginkan perpisahan? Atau mungkin, dia akan mengirimku ke tempat yang aku takutkan? Penjara. Daripada masuk bui, aku lebih baik mati."Di mana Bang Aldi, Mbak?" Lagi, aku memp

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 286 menemui Naima

    "Naima ...." Aku menyebut satu nama saat kendaraan yang aku tumpangi berhenti di depan rumah seseorang. Aku tahu rumah ini. Aku pernah datang ke sini beberapa kali bersama Aldi. Jadi, Alina membawaku ke rumah sepupunya? Beberapa kali aku menarik napas panjang untuk menetralkan perasaan gugup dan takut. Bertemu dengan orang yang pernah aku sakiti, membuat diri ini tidak percaya diri. Takut, jika nanti di sana Naima akan melakukan kekerasan padaku. Namun, untuk menghindar pun aku tidak bisa. Tekad untuk memperbaiki diri lebih kuat, hingga aku harus bisa menerima apa pun yang akan terjadi di dalam nanti. Aku harus berani mengakui kesalahan dan minta maaf pada Naima. "Ayo, turun." Alina membukakan pintu mobil menyuruhku keluar. Aku mengangguk. Dengan hati yang gelisah, aku berjalan di belakang Alina dan Adikara yang sudah lebih dulu masuk ke rumah yang pintunya tidak tertutup. Pelan tapi pasti, aku melangkahkan kaki dan berhenti di belakang Alina yang juga menghentikan kakinya. "

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 287 manusia berhati malaikat

    "Ya Allah, Mama!" "Tante Ratna," ucapku dan Alina bersamaan. Kepala mendongak melihat wajah wanita yang matanya melotot ke arahku. Kukira Naima yang menarik rambutku, tapi ternyata ibunya. Tante Ratna tidak melepaskan tangannya dari kepalaku meskipun aku meringis dan mengaduh kesakitan. Dia malah semakin mengeratkan cengkeramannya hingga rasa perih mulai terasa di kulit-kulit kepala. "Tante, sakit." Aku kembali berucap. "Sakit katamu? Ini belum ada apa-apanya dibandingkan rasa sakitnya hati putriku karena ulahmu!" Aku meringis seraya memegang tangan Tante Ratna yang tidak mau melepaskan genggamannya dari rambut-rambutku. Naima tidak tinggal diam. Melihatku kesakitan, dia mencoba membujuk ibunya untuk menyudahi kemarahannya. Namun, gagal. Bukannya melepaskan, tapi Tante Ratna malah semakin brutal. Dia menarik rambutku hingga tubuh ini mengikuti ke mana arah dia berjalan. "Tante, ampun, Tante. Sakit!" kataku memohon. "Mah, sudah hentikan, kasihan Aruna. Dia baru saja sembuh, Ma

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 288 mencari Aldi

    "Eh eh, dia sadar."Aku membuka mata perlahan seraya memegang kepala yang masih berdenyut. Bau kayu putih menyeruak terasa menyengat. "Kamu gak apa-apa?" tanya seorang wanita kepadaku. Aku menggeleng lemah. "Kamu dari mana saja? Kita semua mengira kamu pindah kontrakan. Eh, tau-tau pulang dalam keadaan pingsan."Aku tidak menjawab pertanyaan wanita yang tak lain adalah tetangga di sini. Aku hanya mengangguk lemah dengan memindai wajah-wajah mereka. Entahlah apa yang ada dalam pikiran mereka tentang aku, tapi sedikit pun tidak ada keinginan untuk menjelaskan. Aku lelah, ragaku rapuh dan terluka, hingga tidak memiliki tenaga untuk bicara banyak. "Terima kasih, ya, sudah membantu saya. Saya memang sedang sakit," kataku akhirnya. "Sama-sama. Yasudah, lebih baik kamu istirahat, dan jika butuh apa-apa, kamu bisa datang ke kontrakanku."Kembali aku mengangguk pada wanita itu. Orang-orang mulai pergi meninggalkan aku seorang diri di kamar kontrakan ini. Aku beringsut bangun, menyandarka

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 289 mengikuti Aldi

    Jika saja diriku punya keberanian, ingin rasanya berteriak memanggil dia. Atau, haruskah aku lari menghampirinya? Ah, tidak. Dia akan malu didatangi olehku di tempat usahanya. Dia juga akan jadi tontonan banyak orang, dan tentunya justru bisa merusak nama baiknya jika ada pertengkaran antara kami di sini. Aku tersenyum di balik masker ketika melihat Aldi mengacungkan ibu jari tangannya pada satpam yang telah membukakan gerbang. Meskipun hanya itu bagian tubuhnya yang aku lihat, aku sudah merasa senang. Itu artinya, dia baik-baik saja. Tidak mengurung diri lagi seperti yang pernah dikatakan Alina. "Tuh, itu mobil pemilik pabrik ini, Mbak. Ini yang pertama kalinya dia datang setelah isu perceraiannya tersebar."Aku menoleh sebentar pada wanita yang juga memperhatikan suamiku. Lalu pandangan kembali mengarah pada mobil Aldi yang sudah hilang tertutup gerbang yang kembali rapat. Keinginan untuk menghampiri suamiku semakin mendorong diri ini. Namun, lagi-lagi aku berpikir ulang untuk

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 290 permintaan Aldi

    Bang Aldi ....Nama itu kusebut dalam hati. Tak mampu aku berucap saat melihat wajah yang sangat aku rindukan berada di depan mata. Dadaku berdetak kencang, jantungku mengalunkan kidung rindu yang tak mampu terucap lewat kata. Seperti patung, aku hanya diam saja seraya menatap kedua mata indah yang terus menyorotiku bingung. Hingga akhirnya, Aldi melambaikan tangan di depan wajah, membuatku mengerjap beberapa kali. "Mbak salah kamar, ya?" tanya Aldi seraya celingukan melihat ke kanan dan kiri.Itu aku jadikan kesempatan untuk bisa masuk ke apartemen Aldi, tanpa harus izin padanya. Dengan sekuat tenaga aku menarik tangan Aldi agar keluar dari kamarnya, lalu aku masuk dengan cepat. "Hey, apa-apaan kamu main masuk saja? Kamu maling, ya?" ujar Aldi menyusulku. Aku bergeming dengan membelakanginya. Aku bingung, lidahku tidak mampu menjawab pertanyaannya. Ingin kuhentikan waktu di sini saja. Di mana aku tengah berada bersamanya dalam satu tempat. Masa bodoh dengan dia yang tidak mengen

Bab terbaru

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 408 Ending season 2

    "Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 407

    Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 406

    Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 405

    Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb

  • Membalas Kesombongan Mantan   404

    Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 403 tidak marah lagi

    "Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 402 gara-gara membahas anak

    Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 401 maaf dan permintaan laki-laki di balik jeruji besi

    "Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 400 menggoda Syafiq

    "Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan

DMCA.com Protection Status