"Mbak." Lidahku berucap kelu. Aku teramat kaget saat tahu siapa yang masuk ke kamarku. Alina. Dia datang tidak sendirian. Suaminya turut ikut dan kini mereka berdua benar-benar sudah berada di dekatku. Mata ini tak mampu mengalihkan pandangan ke lain arah. Rasa tidak percaya dan kaget luar biasa membuatku terus menatap mereka bergantian. Jangan-jangan ... Alina datang untuk balas dendam? Aku meneguk ludah dengan diiringi rasa takut juga khawatir. Namun, aku mencoba tenang meski dada ini berdebar. "Akhirnya kamu bangun juga setelah beberapa hari tidur, Aruna.""Hah?" Aku menyipitkan mata merasa heran dengan ucapan Alina. Beberapa hari dia bilang? Bukannya aku di sini baru satu malam?"Gimana keadaan kamu sekarang?" Kini Adikara yang bertanya. Namun, aku tidak menjawabnya. Aku malah bengong mencerna kata-kata Alina yang membuatku bingung luar biasa. "Ma–maksud Mbak Alina apa, ya? Beberapa hari? Bukannya aku di sini sejak malam tadi?" Akhirnya aku berucap setelah beberapa saat d
"Bukan. Bang Aldi masih ingin sendiri, dia tidak mau ditemui siapa pun."Rasa bahagia yang tadi hadir, kini sirna kembali. Ternyata bukan suamiku yang akan aku temui setelah sembuh nanti. Lalu siapa? Mertuaku? Ah, aku malu sekali jika berhadapan dengan mereka. Keberanianku hilang sebelum berjumpa. "Kamu tahu, Aruna. Kenyataan tentang dirimu menghancurkan perasaan abangku. Seperti lima tahu yang lalu, sekarang dia pun mengurung diri. Tidak ingin bertemu dengan orang, meskipun kami keluarganya sendiri," tutur Alina lagi. Aku tertegun melihat wajah Alina yang berubah jadi sendu. Rasa bersalah pada suamiku semakin membuat diri ini ingin segera sembuh dan bertemu dengan dia. Haruskah aku mencari Bang Aldi sampai ketemu, dan menembus kesalahanku padanya?Sanggupkah aku menerima kenyataan jika nanti Bang Aldi menginginkan perpisahan? Atau mungkin, dia akan mengirimku ke tempat yang aku takutkan? Penjara. Daripada masuk bui, aku lebih baik mati."Di mana Bang Aldi, Mbak?" Lagi, aku memp
"Naima ...." Aku menyebut satu nama saat kendaraan yang aku tumpangi berhenti di depan rumah seseorang. Aku tahu rumah ini. Aku pernah datang ke sini beberapa kali bersama Aldi. Jadi, Alina membawaku ke rumah sepupunya? Beberapa kali aku menarik napas panjang untuk menetralkan perasaan gugup dan takut. Bertemu dengan orang yang pernah aku sakiti, membuat diri ini tidak percaya diri. Takut, jika nanti di sana Naima akan melakukan kekerasan padaku. Namun, untuk menghindar pun aku tidak bisa. Tekad untuk memperbaiki diri lebih kuat, hingga aku harus bisa menerima apa pun yang akan terjadi di dalam nanti. Aku harus berani mengakui kesalahan dan minta maaf pada Naima. "Ayo, turun." Alina membukakan pintu mobil menyuruhku keluar. Aku mengangguk. Dengan hati yang gelisah, aku berjalan di belakang Alina dan Adikara yang sudah lebih dulu masuk ke rumah yang pintunya tidak tertutup. Pelan tapi pasti, aku melangkahkan kaki dan berhenti di belakang Alina yang juga menghentikan kakinya. "
"Ya Allah, Mama!" "Tante Ratna," ucapku dan Alina bersamaan. Kepala mendongak melihat wajah wanita yang matanya melotot ke arahku. Kukira Naima yang menarik rambutku, tapi ternyata ibunya. Tante Ratna tidak melepaskan tangannya dari kepalaku meskipun aku meringis dan mengaduh kesakitan. Dia malah semakin mengeratkan cengkeramannya hingga rasa perih mulai terasa di kulit-kulit kepala. "Tante, sakit." Aku kembali berucap. "Sakit katamu? Ini belum ada apa-apanya dibandingkan rasa sakitnya hati putriku karena ulahmu!" Aku meringis seraya memegang tangan Tante Ratna yang tidak mau melepaskan genggamannya dari rambut-rambutku. Naima tidak tinggal diam. Melihatku kesakitan, dia mencoba membujuk ibunya untuk menyudahi kemarahannya. Namun, gagal. Bukannya melepaskan, tapi Tante Ratna malah semakin brutal. Dia menarik rambutku hingga tubuh ini mengikuti ke mana arah dia berjalan. "Tante, ampun, Tante. Sakit!" kataku memohon. "Mah, sudah hentikan, kasihan Aruna. Dia baru saja sembuh, Ma
"Eh eh, dia sadar."Aku membuka mata perlahan seraya memegang kepala yang masih berdenyut. Bau kayu putih menyeruak terasa menyengat. "Kamu gak apa-apa?" tanya seorang wanita kepadaku. Aku menggeleng lemah. "Kamu dari mana saja? Kita semua mengira kamu pindah kontrakan. Eh, tau-tau pulang dalam keadaan pingsan."Aku tidak menjawab pertanyaan wanita yang tak lain adalah tetangga di sini. Aku hanya mengangguk lemah dengan memindai wajah-wajah mereka. Entahlah apa yang ada dalam pikiran mereka tentang aku, tapi sedikit pun tidak ada keinginan untuk menjelaskan. Aku lelah, ragaku rapuh dan terluka, hingga tidak memiliki tenaga untuk bicara banyak. "Terima kasih, ya, sudah membantu saya. Saya memang sedang sakit," kataku akhirnya. "Sama-sama. Yasudah, lebih baik kamu istirahat, dan jika butuh apa-apa, kamu bisa datang ke kontrakanku."Kembali aku mengangguk pada wanita itu. Orang-orang mulai pergi meninggalkan aku seorang diri di kamar kontrakan ini. Aku beringsut bangun, menyandarka
Jika saja diriku punya keberanian, ingin rasanya berteriak memanggil dia. Atau, haruskah aku lari menghampirinya? Ah, tidak. Dia akan malu didatangi olehku di tempat usahanya. Dia juga akan jadi tontonan banyak orang, dan tentunya justru bisa merusak nama baiknya jika ada pertengkaran antara kami di sini. Aku tersenyum di balik masker ketika melihat Aldi mengacungkan ibu jari tangannya pada satpam yang telah membukakan gerbang. Meskipun hanya itu bagian tubuhnya yang aku lihat, aku sudah merasa senang. Itu artinya, dia baik-baik saja. Tidak mengurung diri lagi seperti yang pernah dikatakan Alina. "Tuh, itu mobil pemilik pabrik ini, Mbak. Ini yang pertama kalinya dia datang setelah isu perceraiannya tersebar."Aku menoleh sebentar pada wanita yang juga memperhatikan suamiku. Lalu pandangan kembali mengarah pada mobil Aldi yang sudah hilang tertutup gerbang yang kembali rapat. Keinginan untuk menghampiri suamiku semakin mendorong diri ini. Namun, lagi-lagi aku berpikir ulang untuk
Bang Aldi ....Nama itu kusebut dalam hati. Tak mampu aku berucap saat melihat wajah yang sangat aku rindukan berada di depan mata. Dadaku berdetak kencang, jantungku mengalunkan kidung rindu yang tak mampu terucap lewat kata. Seperti patung, aku hanya diam saja seraya menatap kedua mata indah yang terus menyorotiku bingung. Hingga akhirnya, Aldi melambaikan tangan di depan wajah, membuatku mengerjap beberapa kali. "Mbak salah kamar, ya?" tanya Aldi seraya celingukan melihat ke kanan dan kiri.Itu aku jadikan kesempatan untuk bisa masuk ke apartemen Aldi, tanpa harus izin padanya. Dengan sekuat tenaga aku menarik tangan Aldi agar keluar dari kamarnya, lalu aku masuk dengan cepat. "Hey, apa-apaan kamu main masuk saja? Kamu maling, ya?" ujar Aldi menyusulku. Aku bergeming dengan membelakanginya. Aku bingung, lidahku tidak mampu menjawab pertanyaannya. Ingin kuhentikan waktu di sini saja. Di mana aku tengah berada bersamanya dalam satu tempat. Masa bodoh dengan dia yang tidak mengen
Kupejamkan mata menikmati momen yang mungkin tidak akan terulang lagi. Kepala kusandarkan pada punggung suamiku yang bidang. Nyaman, hingga membuatku enggan beranjak meninggalkan dia pemilik hati ini. "Sudah cukup, Aruna." Aldi melepaskan kedua tangan yang melingkar di pinggangnya. Terpaksa aku harus membuka mata menatap nanar punggung kokoh Aldi. Dia masih enggan membalikkan badan melihatku. Meskipun begitu, penolakan kembali dia berikan saat kedua tanganku kembali menyusup ingin mengulangi momen tadi. "Pergi," ucap Aldi datar. "Bang.""Pergi dari sini, Aruna." "Apakah Abang tidak ingin memberikan kesempatan kedua untukku?" Aku berucap penuh harap. Akan sangat bahagia jika Aldi membalikkan badan seraya mengabulkan keinginanku. Namun, sepertinya itu hanya mimpi saja. Nyatanya, Aldi menggelengkan kepala tanda tidak ingin memberikan kesempatan. "Baiklah, jika Abang tetap dengan keputusan Abang untuk berpisah dariku. Tapi, dengarkan ungkapan perasaanku untuk Abang. Dan kali ini a