"Hey, Runa. Apa kabar? Kamu tinggal di sini sekarang? Emh ... sepertinya tidak mungkin. Apa ... habis melayani pria hidung belang?"Tangan kukepalkan kuat dengan mata menyoroti pria menyebalkan itu sangat tajam. Yoga. Pria masa lalu datang secara tiba-tiba dengan banyak pertanyaan yang membuatku naik darah. Apa tadi dia bilang? Melayani pria hidung belang? Sialan! Dia selalu merendahkanku. "Tidak, aku ...."Haruskah aku mengatakan memang tinggal di sini bersama suamiku? Ah, tidak. Akan sangat memalukan jika nanti kami bertemu lagi dengan keadaan aku yang sudah menjanda karena diceraikan Aldi Wiratmadja. "Aku baru saja bertemu temanku di sini," ucapku kemudian. "Teman yang mana? Emangnya kamu punya teman orang kaya? Oh ... aku tahu sekarang. Jangan-jangan, kamu habis ngebabu di sini. Iya, 'kan?" ujar Yoga lagi dengan nada mengejekku. Dia terkekeh seraya memindai penampilanku dari atas hingga bawah. Dan itu membuatku muak. "Terserahlah kamu mau menilaiku seperti apa dan bagaimana
"Abang menjemputku?" ujarku seraya mengedipkan mata yang basah oleh air mata, juga air hujan. "Tidak, hanya kebetulan lewat saja. Cepat bangun," ucapnya dingin. Dengan tidak mengalihkan pandangan dari Aldi, aku mengangkat tubuh ini mengikuti pintanya. Kami berjalan beriringan dengan dia yang melindungi kepalaku menggunakan jas kerjanya. Ini adalah kesempatan yang langka, dan mungkin tidak akan datang untuk kedua kalinya. Maka dari itu, aku memanfaatkan keadaan ini untuk kembali menikmati hangatnya tubuh suamiku. Dengan sadar, aku melingkarkan kedua tangan di pinggang Aldi hingga membuat suamiku itu berhenti berjalan. Aku pura-pura tidak melihat ekspresi dia dengan terus menunduk, menempelkan kepala di dada bagian kirinya. Aldi kembali melangkah, membuatku mengikuti ke mana arah kakinya pergi. Aku mengira Aldi akan membawaku berteduh di kafe yang ada di sebrang jalan danau. Namun, rupanya dia lebih memilih menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari area ini. "Masuk," pintanya ma
Kedua telapak tangan sibuk mengusap mata yang terus mengeluarkan air tanpa henti. Aldi sudah pergi sejak tadi, tapi sakitnya akan sikap dia masih terasa menyiksa. Baju yang tadi dia berikan, aku lempar ke sembarang arah karena kesal dan marah. Aku kesal pada diriku sendiri yang tidak sekuat dulu. Aku marah, aku benci pada hati ini yang terlalu rapuh. "Aaaaahhh ...!" Aku berteriak untuk melepaskan sesak yang semakin terasa nyata. Pintu kamar kembali diketuk, tapi bukan Aldi. Suara perempuan yang terdengar menanyakan keadaanku di dalam sini. Mungkin tetangga kamar sebelah. "Aruna, kamu baik-baik saja, kan? Ada apa?" tanyanya lagi masih berada di tempat. Aku menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. "A–aku baik-baik saja. Tadi, kepeleset," jawabku dengan tergagap. "Oh, yasudah kalau baik-baik saja. Kirain ada apaan?" Hening kembali. Orang tadi sudah pergi dan aku kembali menangis merutuki nasib diri yang penuh dengan kemalangan. Aku ditinggal pergi adikku. Aku akan dic
"Masih punya muka kamu menampakkan diri di hadapan kami?" Getar tubuh selaras dengan detak jantung yang kian bergemuruh. Apalagi, sekarang aku jadi perhatian semua mata yang ada di sini. Setelah kehadiranku dipergoki Adikara, di sinilah sekarang aku berada. Di tengah-tengah keluarga Dinata Wiratmadja dengan kepala yang menunduk dalam. Tidak ada keberanian untukku mengangkat kepala, apalagi menatap wajah-wajah mereka yang aku sakiti. Pertanyaan Nyonya Marta pun hanya aku jawab dengan gelengan saja. Lidah ini terasa kaku dan sulit untuk berucap. "Kenapa diam? Apa maksud kedatanganmu ke sini untuk meminta harta gono-gini dari Aldi?" tanya Nyonya Marta lagi. "Jangan harap!" "Mama ...." Alina mulai bersuara menahan ibunya untuk tidak berucap yang menyakiti hatiku. "Bukan, Mah. Kedatanganku ke sini, bukan untuk minta harta atau uang. Tapi ... aku mau minta maaf pada kalian semua. Maafkan perbuatanku, maafkan kesalahanku, dan mohon dilapangkan hati untuk tidak membenciku," ujarku akhir
"Bu Nai?" Wanita yang namanya kusebut itu tersenyum manis. Aku berdiri, mengusap kedua mata yang basah, lalu menatap dia yang juga melihatku dengan iba. "Sini," ucapnya seraya membuka tangan memintaku masuk ke dalam pelukannya. Aku tidak menolak. Tangisku kembali pecah dalam pelukan Naima dengan lembut mengusap punggung serta rambutku. "Aku tahu perasaanmu, Run. Berpisah dengan orang yang kita cintai, memanglah menyakitkan. Menangislah, Aruna. Keluarkan sesak yang menghimpit dadamu," ujar Naima membuat tangisku semakin tergugu. Dia tidak lagi bicara, tangannya terus membelai rambutku merangkulku yang tengah dalam kepiluan. Lama aku menangis di dalam pelukan Naima. Hingga dada yang tadi terasa sesak sedikit lega dan bisa bernapas dengan teratur. Aku mengurai pelukan, mengusap kedua mata yang basah. "Sudah tenang?" tanya wanita bermata teduh itu. "Sedikit," kataku, "terima kasih sudah mau menampung rasa sedih saya, Bu. Entah terbuat dari apa hati Bu Nai hingga masih mau memperlak
"Aruna ...?" Aku mengangkat kepala melihat dia yang datang diapit dua pria berseragam cokelat. Senyum sinis kuberikan hingga membuat laki-laki yang memakai baju tahanan itu memalingkan muka. "Waktu kunjungan hanya tiga puluh menit."Aku mengangguk dengan senyum ramah pada pria yang baru saja mengantarkan Damar untuk duduk di depanku. Beberapa saat duduk berdua, kami masih saling diam dengan pemikiran masing-masing. Entah malu atau merasa bersalah, Damar tidak sama sekali sudi melihat wajahku. "Gimana rasanya jeruji besi?" tanyaku akhirnya. "Lebih baik. Mungkin di sini jauh lebih baik daripada di luaran sana."Aku tersenyum kecut. Raut wajah Damar tidak setenang ucapannya. Matanya sendu, berembun, dan sangat lesu. "Tempat ini memang lebih cocok untukmu daripada di luaran sana. Di sini, kamu bisa belajar bagaimana menghargai orang lain. Berterima kasih itu tidak harus dengan uang, tapi juga perbuatan. Kamu menuntutku berterima kasih atas apa yang pernah kamu berikan pada Ibu, tap
Cuaca hari ini sangat mendukung aktivitasku. Tidak ada hujan, awan pun terlihat indah di atas sana. Seperti niat di awal, sekarang aku akan pergi ke Kafe Asmara untuk bertemu dengan pria bernama Ammar. Ada hal yang ingin aku tanyakan pada dia tentang Naima. Beberapa saat perjalanan, kini aku sudah sampai di tempat tujuan. Seperti biasa, tempat tongkrongan anak-anak muda ini terlihat sepi di siang hari. Hanya ada beberapa pengunjung yang duduk menikmati minuman serta makanan ringan di sini. "Mau pesen apa, Kak?" tanya pelayanan kafe saat aku baru saja duduk. Aku mengembuskan napas kasar, lalu tersenyum manis pada wanita di depanku itu. "Jus jeruk saja," kataku merasa ingin menikmati minuman segar. "Oke, Kak. Ditunggu, ya?""Eh, Mbak sebentar!" Aku mencegah pelayan tadi yang hendak beranjak pergi. "Kenapa, Kak?" tanyanya kemudian. "Emh ... apa di sini ada pelayan yang bernama Ammar?" Wanita itu tidak langsung menjawab. Dia terlihat berpikir sebentar, lalu matanya melihat ke sana
Kepalaku masih diliputi banyak tanya mengenai Ammar yang langsung pergi setelah mendapatkan alamat rumah Naima. Dia bilang akan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Apa dia akan meminta maaf seperti yang aku lakukan? Iya, mungkin saja. Setelah jus jeruk pesananku habis, aku pun pergi dari Kafe Asmara. Tugas hari ini selesai, dan waktunya aku pulang ke kontrakan. Hari ini cukup melelahkan, tapi juga melegakan. Setidaknya, aku sudah melakukan satu kebaikan sebagai awal perubahan. Meminta maaf, mengakui kesalahan adalah salah satu perbuatan yang baik. Terlebih mereka akan memaafkan atau tidak, yang penting niatku untuk berubah menjadi orang baik, sudah dimulai. "Sudah pulang, Run?" tanya Santika ketika tangan ini sibuk membuka kunci pintu. "Iya, San. Capek juga, ya jadi orang baik," jawabku yang langsung disambut kekehan oleh wanita itu. "Gak usah ngeluh, bukannya niat lu sudah bulat?" "Iya, sangat bulat!" Aku mengepalkan tangan dengan seulas senyum manis pada tetangga itu. Tida
"Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan
Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"
Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli
Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb
Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel
"Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda
Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka
"Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika
"Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan