"Masih punya muka kamu menampakkan diri di hadapan kami?" Getar tubuh selaras dengan detak jantung yang kian bergemuruh. Apalagi, sekarang aku jadi perhatian semua mata yang ada di sini. Setelah kehadiranku dipergoki Adikara, di sinilah sekarang aku berada. Di tengah-tengah keluarga Dinata Wiratmadja dengan kepala yang menunduk dalam. Tidak ada keberanian untukku mengangkat kepala, apalagi menatap wajah-wajah mereka yang aku sakiti. Pertanyaan Nyonya Marta pun hanya aku jawab dengan gelengan saja. Lidah ini terasa kaku dan sulit untuk berucap. "Kenapa diam? Apa maksud kedatanganmu ke sini untuk meminta harta gono-gini dari Aldi?" tanya Nyonya Marta lagi. "Jangan harap!" "Mama ...." Alina mulai bersuara menahan ibunya untuk tidak berucap yang menyakiti hatiku. "Bukan, Mah. Kedatanganku ke sini, bukan untuk minta harta atau uang. Tapi ... aku mau minta maaf pada kalian semua. Maafkan perbuatanku, maafkan kesalahanku, dan mohon dilapangkan hati untuk tidak membenciku," ujarku akhir
"Bu Nai?" Wanita yang namanya kusebut itu tersenyum manis. Aku berdiri, mengusap kedua mata yang basah, lalu menatap dia yang juga melihatku dengan iba. "Sini," ucapnya seraya membuka tangan memintaku masuk ke dalam pelukannya. Aku tidak menolak. Tangisku kembali pecah dalam pelukan Naima dengan lembut mengusap punggung serta rambutku. "Aku tahu perasaanmu, Run. Berpisah dengan orang yang kita cintai, memanglah menyakitkan. Menangislah, Aruna. Keluarkan sesak yang menghimpit dadamu," ujar Naima membuat tangisku semakin tergugu. Dia tidak lagi bicara, tangannya terus membelai rambutku merangkulku yang tengah dalam kepiluan. Lama aku menangis di dalam pelukan Naima. Hingga dada yang tadi terasa sesak sedikit lega dan bisa bernapas dengan teratur. Aku mengurai pelukan, mengusap kedua mata yang basah. "Sudah tenang?" tanya wanita bermata teduh itu. "Sedikit," kataku, "terima kasih sudah mau menampung rasa sedih saya, Bu. Entah terbuat dari apa hati Bu Nai hingga masih mau memperlak
"Aruna ...?" Aku mengangkat kepala melihat dia yang datang diapit dua pria berseragam cokelat. Senyum sinis kuberikan hingga membuat laki-laki yang memakai baju tahanan itu memalingkan muka. "Waktu kunjungan hanya tiga puluh menit."Aku mengangguk dengan senyum ramah pada pria yang baru saja mengantarkan Damar untuk duduk di depanku. Beberapa saat duduk berdua, kami masih saling diam dengan pemikiran masing-masing. Entah malu atau merasa bersalah, Damar tidak sama sekali sudi melihat wajahku. "Gimana rasanya jeruji besi?" tanyaku akhirnya. "Lebih baik. Mungkin di sini jauh lebih baik daripada di luaran sana."Aku tersenyum kecut. Raut wajah Damar tidak setenang ucapannya. Matanya sendu, berembun, dan sangat lesu. "Tempat ini memang lebih cocok untukmu daripada di luaran sana. Di sini, kamu bisa belajar bagaimana menghargai orang lain. Berterima kasih itu tidak harus dengan uang, tapi juga perbuatan. Kamu menuntutku berterima kasih atas apa yang pernah kamu berikan pada Ibu, tap
Cuaca hari ini sangat mendukung aktivitasku. Tidak ada hujan, awan pun terlihat indah di atas sana. Seperti niat di awal, sekarang aku akan pergi ke Kafe Asmara untuk bertemu dengan pria bernama Ammar. Ada hal yang ingin aku tanyakan pada dia tentang Naima. Beberapa saat perjalanan, kini aku sudah sampai di tempat tujuan. Seperti biasa, tempat tongkrongan anak-anak muda ini terlihat sepi di siang hari. Hanya ada beberapa pengunjung yang duduk menikmati minuman serta makanan ringan di sini. "Mau pesen apa, Kak?" tanya pelayanan kafe saat aku baru saja duduk. Aku mengembuskan napas kasar, lalu tersenyum manis pada wanita di depanku itu. "Jus jeruk saja," kataku merasa ingin menikmati minuman segar. "Oke, Kak. Ditunggu, ya?""Eh, Mbak sebentar!" Aku mencegah pelayan tadi yang hendak beranjak pergi. "Kenapa, Kak?" tanyanya kemudian. "Emh ... apa di sini ada pelayan yang bernama Ammar?" Wanita itu tidak langsung menjawab. Dia terlihat berpikir sebentar, lalu matanya melihat ke sana
Kepalaku masih diliputi banyak tanya mengenai Ammar yang langsung pergi setelah mendapatkan alamat rumah Naima. Dia bilang akan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Apa dia akan meminta maaf seperti yang aku lakukan? Iya, mungkin saja. Setelah jus jeruk pesananku habis, aku pun pergi dari Kafe Asmara. Tugas hari ini selesai, dan waktunya aku pulang ke kontrakan. Hari ini cukup melelahkan, tapi juga melegakan. Setidaknya, aku sudah melakukan satu kebaikan sebagai awal perubahan. Meminta maaf, mengakui kesalahan adalah salah satu perbuatan yang baik. Terlebih mereka akan memaafkan atau tidak, yang penting niatku untuk berubah menjadi orang baik, sudah dimulai. "Sudah pulang, Run?" tanya Santika ketika tangan ini sibuk membuka kunci pintu. "Iya, San. Capek juga, ya jadi orang baik," jawabku yang langsung disambut kekehan oleh wanita itu. "Gak usah ngeluh, bukannya niat lu sudah bulat?" "Iya, sangat bulat!" Aku mengepalkan tangan dengan seulas senyum manis pada tetangga itu. Tida
"Kenapa kamu datang? Kenapa kamu ke sini?" kata Aldi dengan suara yang gemetar. "Aku rindu kamu, Bang. Aku ingin kita tetap bersama. Aku mencintaimu ....""Apa yang harus aku lakukan, Aruna? Aku tidak bisa membohongi perasaanku, tapi juga tidak mampu menolak keinginan orang tuaku."Aku tersenyum meskipun air mata menganak sungai. Kata-kata Aldi dapat kumengerti tentang apa yang ada dalam hatinya saat ini. Aku mengurai pelukan, menatap wajah yang kini terlihat sendu dengan mata yang mengembun. Kuusap kedua pipi suamiku seraya tersenyum penuh kehangatan. "Lihat aku, Bang," kataku mengarahkan mata itu untuk menatapku. "Bagaimana perasaan Abang, terhadapku? Benar, Abang mau kita berpisah?" Aldi bergeming. Namun, tatapan matanya yang sendu membuatku tahu. Jika dari dalam lubuk hatinya, dia pun berat menyudahi kisah singkat yang kami jalani. "Abang, katakan tentang perasaanmu, Bang. Katakan dengan jujur. Iya, Abang tidak mencintaiku?" tanyaku lagi mendesaknya. Bukannya menjawab pertany
"Tidak apa-apa, ya, kita tinggal di sini terlebih dahulu?" ujar Aldi seraya merapikan anak rambut yang menutupi sebagian wajah. "Tak apa, Bang. Di manapun aku tinggal, bagaimanapun keadaan tempat tinggal kita, aku tidak akan keberatan. Asal ... aku tinggalnya sama Abang," jawabku genit. Tangan ini menyusuri wajah tampan yang selama ini aku rindukan. Matanya, hidungnya, dan bibir serta rahang tegas ini sudah menjadi candu untukku. Jari-jariku terus menyusuri setiap inci wajah Aldi hingga membuatnya memejamkan mata menikmati sentuhanku. "Hentikan, Aruna," ucap Aldi membuka mata menatapku lembut. Aku menggelengkan kepala. Bukannya berhenti, aku malah semakin menjadi. Kini tanganku mengusap dada yang tidak tertutup apa pun."Kamu sungguh nakal, Aruna. Apa yang tadi belum memuaskanmu? Kau ingin aku mengulanginya lagi, hah?" ujar Aldi memegang tanganku yang tadi menyusuri tubuhnya. Aku menggelengkan kepala seraya tertawa geli karena pria itu menggelitik leherku dengan bulu-bulu halus ya
"Silau, Mah," jawab Aldi menahan ibunya. Tangan Nyonya Marta yang tadi sudah memegang gorden, kini dia lepaskan. Dan tentu saja itu membuatku lega dan kembali bernapas normal. Aku pun kembali mengintip aktivitas mereka di sana. Bibirku tersenyum saat tidak aku lihat lagi dalamanku di kaki Aldi. Mungkin dia sudah menyadari keberadaan barang itu dan menyimpannya. "Mama tumben sekali datang ke sini. Ada apa?" tanya suamiku kemudian. "Mama kebetulan habis dari pabrik Papa, kebetulan lewat sini, ya mampir saja. Oh, iya, bukannya tadi kamu ke pengadilan? Bagaimana dengan mediasinya?"Kulihat Aldi mengembuskan napas kasar. Dia melirikku sekilas, lalu kembali fokus ke depan, enggan menatap ibunya yang bertanya. "Begitulah, Mah.""Begitu gimana? Si Aruna tidak datang, 'kan?"Aku tersenyum kecil mendengar namaku disebut dengan nada yang tidak suka. Aku menyadari memang bukanlah siapa-siapa bagi Nyonya Marta. Aku hanya orang lain yang kebetulan jadi istri putranya, juga ibu dari cucu dia yan