"Silau, Mah," jawab Aldi menahan ibunya. Tangan Nyonya Marta yang tadi sudah memegang gorden, kini dia lepaskan. Dan tentu saja itu membuatku lega dan kembali bernapas normal. Aku pun kembali mengintip aktivitas mereka di sana. Bibirku tersenyum saat tidak aku lihat lagi dalamanku di kaki Aldi. Mungkin dia sudah menyadari keberadaan barang itu dan menyimpannya. "Mama tumben sekali datang ke sini. Ada apa?" tanya suamiku kemudian. "Mama kebetulan habis dari pabrik Papa, kebetulan lewat sini, ya mampir saja. Oh, iya, bukannya tadi kamu ke pengadilan? Bagaimana dengan mediasinya?"Kulihat Aldi mengembuskan napas kasar. Dia melirikku sekilas, lalu kembali fokus ke depan, enggan menatap ibunya yang bertanya. "Begitulah, Mah.""Begitu gimana? Si Aruna tidak datang, 'kan?"Aku tersenyum kecil mendengar namaku disebut dengan nada yang tidak suka. Aku menyadari memang bukanlah siapa-siapa bagi Nyonya Marta. Aku hanya orang lain yang kebetulan jadi istri putranya, juga ibu dari cucu dia yan
"Ternyata mataku tidak salah. Rupanya memang kamu wanita yang tadi aku lihat berjalan dengan putraku!"Aku meneguk ludah dengan kasar seraya menatap Nyonya Marta yang berucap penuh penekanan.Dia tidak datang sendiri. Melainkan berdua bersama Alina yang juga terlihat kaget saat tahu aku ada di sini bersama kakaknya. Sorot mata Nyonya Marta membuatku memundurkan tubuh mencari keamanan dari Aldi. Untungnya suamiku paham akan kondisi. Suara gelas yang disimpan di atas meja kaca terdengar olehku, kemudian tangan kekar suamiku menarik pelan lengan ini untuk semakin dekat dengan dirinya. "Mah, aku bisa jelasin tentang ini.""Apa yang mau kamu jelaskan? Tentang wanita itu yang ada di sini, atau tentang kamu yang termakan rayuan dia?" ucap Nyonya Marta menunjuk wajah ini. "Jangan katakan kalau kamu mengurungkan niat menceraikan wanita pendusta itu, Aldi!" Masih dengan suara yang meninggi, Nyonya Marta berucap lantang membuat diriku semakin merasa tidak tenang. Akankah Aldi membelaku? "Ma
"Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan apa yang mereka katakan," ujar Aldi seraya mengusap kepalaku. Aku mengembuskan napas kasar dengan pandangan lurus ke depan. Aktivitas orang di bawah sana menjadi pemandanganku saat ini. Namun, nyatanya tidak sama sekali mengobati hatiku yang dibuat berdenyut nyeri oleh kata-kata adik dan ibu dari suamiku. "Bagaimana aku tidak memikirkannya Bang, jika yang bicara itu keluargamu. Alina dan Mama tidak percaya dengan kehamilan ini. Apalagi Mama, dia menilaiku sangat buruk." Aldi yang tadi berada di belakangku, kini melingkarkan kedua tangannya di perut yang masih rata ini. Dagunya bertumpu pada pundakku sehingga napasnya terasa hangat menerpa sebagian wajah ini. "Yang penting, aku percaya sama kamu. Aku yakin, jika anak yang ada di dalam kandunganmu memanglah anakku. Untuk perkataan Mama dan Alina, jangan kamu ambil hati. Mereka bersikap dan bicara seperti itu karena rasa kecewanya padaku.""Aku takut, Bang," kataku seraya mengusap tangan Aldi yang
"Yah ... gak diangkat." Aku menyimpan ponsel di samping tubuhku yang tengah merasakan sakit di area perut bagian bawah. Aku kecewa karena Aldi tidak menjawab panggilanku.Entah dia sedang ada pertemuan dengan rekan bisnisnya, atau bisa juga sedang diperjalanan pulang. Tanganku mengusap-usap perut hingga rasa sakit yang melanda mulai mereda. Lama kelamaan mataku terasa berat hingga akhirnya rasa sakit di perut sudah tidak terasa lagi. Getaran dengan diiringi dering ponsel membuatku kembali membuka mata. Dari arah depan, aku pun mendengar pintu yang diketuk berulang kali dengan suara Aldi yang memanggil. "Bang Aldi sudah pulang?" ucapku seraya bangun dan turun dari ranjang. Entah berapa lama aku tidur, tetapi sepertinya matahari sudah bersembunyi. Tanganku sibuk menggeser selot agar pintu bisa dibuka. "Abang," kataku saat wajah suamiku menyembul dari balik pintu. "Kamu baik-baik saja, kan? Apa ada yang gawat dengan kandunganmu? Aku khawatir sekali saat dari tadi kamu tidak mengang
"Iya, Pak. Istri Bapak tidak hamil, mungkin kalian keliru. Apa sebelumnya sudah diperiksa dokter lain?" "Tentu saja sudah, Dokter." Aku menjawab pertanyaan wanita berwajah cantik itu. "Kemarin saya memeriksakannya ke bidan terdekat, dan testpack yang saya pakai pun, menunjukkan garis dua. Itu tandanya saya hamil. Masa tiba-tiba janin saja hilang begitu saja?" Dokter itu tersenyum ramah. Dia menyudahi bermain-main dengan alat USG, lalu menyuruhku untuk duduk. Aku pun turun dari ranjang pemeriksaan, kemudian menghampiri Aldi yang sudah terlebih dahulu duduk di kursi seraya berhadapan dengan Dokter Kandungan tersebut. Sekilas kulirik wajah suamiku yang terlihat kecewa. Aku jadi merasa tidak enak, takut dia berpikir jika aku membohonginya. "Dokter, kenapa dalam USG saya tidak hamil, sedangkan saat melakukan tes menggunakan testpack, hasilnya positif?" Aku kembali bertanya untuk mendapatkan jawaban. "Ibu, menggunakan testpack yang gimana?" Bukannya menjawab pertanyaanku, dokter itu ma
"Aruna tunggu!" Aldi langsung mencekal lenganku hingga kaki ini berhenti melangkah. "Apa lagi, Bang? Ingin memperjelas ucapanmu yang menyalahkan aku? Atau ingin menalak aku sekarang juga?" "Aruna, aku tidak akan melakukan itu!""Ini bukan inginku, Bang. Aku tidak merencanakan kebohongan demi membuatmu bertahan. Aku pun tidak tahu, aku sungguh tidak tahu."Lelah dan lemah. Aku berjongkok di depan Aldi seraya menjambak rambut dengan asal. Air mata sudah menganak sungai memperjelas rasa sedih dan kecewa pada diriku sendiri. Aku bodoh. Aku tidak teliti hingga menimbulkan prasangka buruk dari Aldi padaku. "Bangun, Aruna. Ayo, bangun. Aku tidak akan mengakhiri pernikahan kita. Aku pun sadar, jika bukan karena berita hamil itu aku mempertahankan kamu, tapi karena rasa cintaku," tutur Aldi seraya menarik kedua pundakku agar berdiri. Kemudian dia langsung memelukku saat kaki ini kembali menopang tubuh yang terasa lemas. "Maafkan aku, harusnya tadi tidak bicara yang menyakitimu. Aku pun ti
"Hari ini pulang sore, gak, Bang?" tanyaku seraya mencuci piring di wastafel. "Aku usahain enggak, Run. Kenapa memangnya? Kamu mau kita pergi?"Aku membalikkan badan menatap dia dengan senyuman. Aldi pun sama. Sendok dia simpan, lalu melipat kedua tangan di atas meja. "Aku ... ingin ke pemakaman, Bang.""Jiarah ke makam adikmu? Oke, nanti kita akan ke sana. Kebetulan, aku juga belum pernah ke sana. Maaf, ya waktu itu aku tidak menemani kamu karena ....""Aku paham, Bang. Abang kaget saat tahu siapa aku dan motif mendekatimu. Iya, 'kan?"Aldi mengangguk. Aku meninggalkan wastafel yang sudah tidak ada lagi cucian di sana. Kemudian menghampiri suamiku dan duduk di kursi yang ada di sampingnya. Pria yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya kembali menikmati sarapan yang aku suguhkan. Tidak mewah, hanya nasi goreng beserta beberapa lauk pelengkap lainnya. "Bang, apa sebaiknya kita menemui Mama dan Papa untuk menjelaskan tentang kehamilan yang tidak ada ini?" ujarku memberikan masukkan.
"Aku akan berusaha," jawab Aldi. "Bukankah tugas seorang suami itu mendidik istrinya agar menjadi lebih baik? Dan aku akan melakukannya sekarang. Aku tidak ingin mengulang kesalahan di masa lalu, di mana Rindu tidak bisa menjadi menantu yang baik, karena kelalaianku."Mataku memanas, kemudian satu tetes bulir bening jatuh melintasi pipi. Segera aku menghapusnya sebelum Aldi menyadari jika aku menangis mendengar kata-katanya barusan. Ini bukan air mata kesedihan, tapi kebahagiaan. Aldi begitu kekeh mempertahankan aku, bahkan ingin menjadikan istrinya ini wanita salihah yang bukan hanya dicintainya, tapi juga orang-orang di sekitarnya. Dinata Wiratmadja dan Nyonya Marta tidak berkomentar. Suasana pun menjadi hening karena tidak ada yang membalas ucapan suamiku. Nyonya Marta yang kemarin-kemarin terlihat selalu emosi, kini lebih santai dan tidak terlalu berapi-api. Tidak ada kata kasar, juga perintah untuk putranya menceraikanku seperti pertemuan sebelumnya. "Sebenarnya, tadi malam Pa