Menaklukkan Duda Dingin

Menaklukkan Duda Dingin

last updateLast Updated : 2022-10-02
By:  PixieCompleted
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
7 ratings. 7 reviews
128Chapters
51.3Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Synopsis

Amber Lim terkenal akan gaya hidup yang mewah dan kecantikan yang memukau. Namun sayang, perempuan itu juga dikenal sebagai perusak hubungan orang alias pelakor internasional. Menyesali sikap buruknya, ia pun bertekad untuk memulai hidup baru. Tanpa memedulikan musim dingin ekstrem yang sedang berlangsung, Amber pergi ke utara untuk berguru dengan Adam Smith, desainer perhiasan terbaik dunia yang misterius. Malangnya, di tengah perjalanan, Amber dirampok dan ditinggalkan di sebuah hutan. Hanya ada sebuah pondok kecil yang dapat menyelamatkannya dari beku, dan hanya ada satu orang yang dapat membantunya bertahan hidup—Tuan Dingin. Tidak ada yang tahu nama asli Tuan Dingin. Ia sengaja hidup menyendiri dan sangat tidak suka diganggu. Penduduk desa terdekat bahkan memanggilnya kanibal karena minimnya rasa kemanusiaan dalam diri pria itu. Padahal sesungguhnya, Tuan Dingin hanyalah seorang duda yang sangat membenci wanita, apalagi pelakor. Lantas, apa yang akan terjadi selanjutnya? Mampukah Amber menaklukkan Tuan Dingin dan pulang dengan selamat? Atau justru ... berakhir menjadi santapan lezat sang duda?

View More

Chapter 1

1. Bertemu Tuan Dingin

“Hei, kembalikan barang-barangku!” pekik Amber sambil berusaha bangkit dari timbunan salju. Hidungnya yang berair kini memerah karena marah.

“Hei!” seru wanita dengan mantel putih berbulu itu lagi. Dengan susah payah, ia melangkah menuju aspal. “Berhenti kalian! Jangan membuatku marah! Kalian akan menyesal jika aku berhasil menangkap kalian!”

Malangnya, ketika Amber hampir tiba di bahu jalan, mobil yang dikejarnya sudah berputar arah. Dua pria yang tadi melemparnya pun tertawa puas sembari melambaikan tangan dari jendela.

“Adjö!”

Tanpa memedulikan apa yang disebut oleh si orang asing, Amber berteriak sekencang-kencangnya. “Dasar penipu! Aku membayar mahal untuk diantar menemui Adam Smith, bukan ditelantarkan di tengah hutan seperti ini!”

Dengan mata berkaca-kaca, Amber melihat mobil perampok itu menghilang di kejauhan. Ia sadar, tidak ada gunanya memekik ataupun mengejar. Si orang asing tidak akan kembali menjemputnya.

“Aku tidak seharusnya percaya pada mereka,” sesal wanita itu geram.

Sambil mengatur napas, Amber mulai mengamati keadaan. Tidak ada seorang pun di sekitarnya. Yang ada hanyalah bayangan pohon pinus, tebaran salju, dan taburan bintang-bintang di langit gelap.

“Gawat,” desah sang wanita seraya mendekap diri lebih erat. Angin yang berembus telah menghantarkan dingin hingga ke tulang. “Apa yang harus kulakukan? Aku tidak boleh mati sekarang.”

Sembari mengelap hidung dengan sarung tangan, Amber berputar menghadap titik pendaratannya tadi. Dua detik kemudian, wanita itu tiba-tiba menghela napas tak percaya. Samar-samar, ia dapat melihat sebuah cerobong sedang mengepulkan asap tak jauh dari sana.

“Apakah itu rumah penduduk?” desah Amber sembari melebarkan mata. Ia berpikir telah menemukan secercah harapan. Namun, selang satu kedipan, alisnya kembali berkerut.

“Tapi, sepanjang jalan tadi, aku tidak melihat satu pun rumah warga. Apa mungkin ... ada orang yang hidup di tempat seperti ini?” gumam wanita itu ragu.  

Sekali lagi, Amber mengamati pemandangan sekitar. Yakin bahwa tidak ada bangunan lain, ia pun mendesah panjang.

“Hanya ini satu-satunya jalan,” gumamnya sebelum meniup sarung tangan agar hangat. “Orang di rumah itu pasti mau membantuku.” Dengan penuh percaya diri, sang wanita mengerahkan tenaga untuk menembus salju setinggi lutut.

Setibanya di depan pintu, Amber akhirnya bisa bernapas lega. Sambil terus menggosok tangan, ia memperhatikan cahaya kuning yang terpancar dari balik kaca jendela.

“Syukurlah, ternyata pondok ini memang rumah penduduk.” Setelah mengembuskan napas cepat, Amber mengetuk pintu. “Permisi. Apakah ada orang di dalam?”

Tak kunjung mendapat jawaban, wanita itu kembali mengetuk. “Permisi!” teriaknya lebih kencang.

Beberapa detik kemudian, tetap tidak ada suara yang terdengar. Keheningan itu membuat kekesalan Amber bangkit. Ia sudah terlalu lama terpapar udara musim dingin.

“Ke mana perginya penghuni pondok ini? Apakah dia tidak mendengar panggilanku? Ck, aku bisa membeku kalau terus menunggu di luar sini,” gerutu wanita yang mulai menggigil itu sebelum menggedor pintu lebih kuat.

“Permisi! Apakah ada orang? Aku sangat membutuhkan bantuan!” pekik Amber, setengah panik. Tangannya yang terasa kaku tak henti-henti membentur papan tebal itu. “Tolonglah! Aku bisa mati kedinginan kalau kau tidak menolongku.”

Selang beberapa saat, pintu akhirnya terbuka. Mendapati celah untuk masuk, senyum Amber pun melebar. “Terima kasih!”

Namun, tepat ketika ia hendak melangkah, seorang pria berbadan tegap menghalangi jalan. Sambil menghunuskan tatapan dingin, orang asing itu bertanya, “Apakah kau tidak bisa membaca?”

Mendapat sambutan tak terduga, Amber sontak terdiam. Lewat mata bulatnya, ia mengamati wajah laki-laki brewok dengan rambut cokelat tak terurus itu. Tidak ada ekspresi ramah di sana. Tampak jelas bahwa si penghuni pondok tak menyukai kehadirannya.

“S-selamat malam, Tuan. Maaf mengganggu Anda,” ujar sang wanita, mendadak sopan. Dengan susah payah, ia berusaha meredam gemuruh napasnya. “Nama saya Amber dan saya bukan orang jahat. Saya datang ke negara ini untuk bertemu dengan Adam Smith. Tapi ternyata, saya malah ditipu. Barang-barang saya diambil dan saya ditinggalkan begitu saja di hutan beku ini.”

Sambil mengeraskan rahang, sang pria mendekatkan kepalanya kepada Amber. “Kutanya sekali lagi. Apakah kau tidak bisa membaca?”

Mendengar nada rendah yang penuh penekanan itu, sang wanita sontak bergidik ngeri. Sambil mendekap diri lebih erat, ia berbisik, “Membaca?”

Setelah mendengus kecil, si pemilik pondok melirik ke arah papan yang terpasang di samping pintu. Setengah tulisannya tertutupi salju. “Baca itu dan pergilah dari sini!” Sedetik kemudian, Amber tersentak karena sang pria membanting pintu.

“Astaga! Kenapa dia dingin sekali?” gerutu wanita itu tak percaya. “Aku hanya ingin meminta bantuan. Kenapa dia malah mengusirku? Memangnya, apa yang tertulis di sini?”

Sambil mengerutkan alis, Amber menyibak lapisan salju yang menghalangi tulisan. “Menjauhlah jika tidak ingin terbakar di musim panas atau membeku di musim dingin.”

Usai membaca papan peringatan itu, sang wanita tertawa datar. “Yang benar saja? Aku justru bisa membeku kalau menjauh dari pondok ini,” gumam Amber seraya kembali ke depan pintu. Tanpa berpikir panjang, ia mulai menggedor lagi.

“Permisi, Tuan Dingin. Aku benar-benar butuh bantuan. Berapa pun biayanya, pasti akan kubayar. Sekarang, tolonglah aku agar tidak mati kedinginan di sini,” seru Amber, mengabaikan kesopanan. Sel-sel dalam tubuhnya telah mendesak untuk segera dihangatkan. “Tuan Dingin?”

Sekali lagi, pintu terbuka. Mengira bahwa sang pria berubah pikiran, Amber pun melangkah masuk. Namun, sebelum ia melewati ambang pintu, seember air tiba-tiba menampar wajahnya. Dalam sekejap, wanita itu memekik. Sambil mendengus kesal, ia menyeka mata dengan sarung tangan dan lengan mantel putihnya yang basah.

“Apa-apaan ini? Kenapa kau menyiramku?” teriaknya tak terima.

Alih-alih menjawab, sang pria malah menyunggingkan senyum miring. Sedetik kemudian, ia menutup pintu rapat-rapat. Pemilik pondok itu sama sekali tidak peduli jika tubuh Amber bergetar semakin hebat akibat marah dan kedinginan.

“Dasar psikopat!” gerutu wanita itu geram. Sambil menggertakkan geraham, ia mulai memukul dan menendang pintu. “Kalau kau ingin membunuhku, kenapa kau tidak menggunakan pisau atau peluru? Kenapa malah menyiksaku seperti ini?”

Semakin cepat jantungnya berdetak, semakin cepat pula hati Amber memanas. “Lihat saja nanti! Kau akan menyesal kalau sampai aku mati di sini. Orang tuaku tidak akan tinggal diam. Teman-temanku juga. Mereka tidak akan membuat hidupmu tenang.”

Tiba-tiba, pintu kembali terbuka. Si “Tuan Dingin” pun muncul dengan ember yang terisi penuh. Tak ingin mendapat guyuran kedua, Amber bergegas melangkah mundur. Saking tergesa-gesanya, ia sampai jatuh terduduk.

“Akh!”

Meski demikian, sang pria tetap menuangkan air di atas kepalanya. “Pergilah atau kau sungguh kubekukan menjadi es!”

“Tapi aku tidak punya tempat lain!” teriak Amber sambil menyingkirkan butiran air yang belum terserap oleh mantel putihnya.

“Itu bukan urusanku!” Tanpa iba, si pemilik pondok melangkah masuk dan menutup pintu. Menyaksikan sikap dingin pria itu, napas Amber semakin memendek. Kemarahan telah meledak-ledak dalam dadanya.

“Aaargh!” erang wanita itu kesal. Dengan tubuh bergetar hebat, ia bangkit berdiri. “Kenapa harus psikopat itu yang tinggal di sini? Kenapa bukan orang baik yang bersedia menolong? Sekarang aku harus ke mana?”

Setelah mengamati kegelapan malam, Amber akhirnya menelusuri jejaknya tadi. “Aku tidak boleh putus asa. Pasti ada orang lain yang hidup di hutan ini. Aku harus segera menemukan rumahnya.”

Dengan sekuat tenaga, wanita itu memaksakan lututnya yang gemetar untuk bergerak. Meski napasnya terasa semakin berat, ia terus berjalan dan berjalan, tanpa mengetahui bahwa badai akan segera tiba.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

default avatar
Turina
Cerita bagus ...
2023-03-08 01:54:22
2
user avatar
Kim Grace
thor lanjut tetap semnagat
2022-11-27 00:32:19
2
user avatar
Kim Grace
bagus,baru awal..,dr kalimat,penyusunan kata2 enak di baca.,yach ok lah.,semoga happy end aja
2022-11-27 00:31:20
2
default avatar
Monika Anastasia Khim
Hey thor...ceritanya bagus bgt...sampe2 ga bisa sabar buat baca crta lanjutannya...bikin penasaran terusss Semangat thor ya
2022-10-08 05:55:22
2
user avatar
Mili nasyila Mili nasyila
ceritanya bagus
2022-09-18 21:03:03
3
user avatar
Mega Laurensia
Okeee .... Ini cerita fix bagus banget! Gak sabar pengen tau endinnya
2022-08-19 11:23:47
4
user avatar
Mega Laurensia
Seruuu.... Update lagi thor Tegang lucu seneng sedih jadi satu di sini
2022-08-08 12:53:02
4
128 Chapters
1. Bertemu Tuan Dingin
“Hei, kembalikan barang-barangku!” pekik Amber sambil berusaha bangkit dari timbunan salju. Hidungnya yang berair kini memerah karena marah.“Hei!” seru wanita dengan mantel putih berbulu itu lagi. Dengan susah payah, ia melangkah menuju aspal. “Berhenti kalian! Jangan membuatku marah! Kalian akan menyesal jika aku berhasil menangkap kalian!”Malangnya, ketika Amber hampir tiba di bahu jalan, mobil yang dikejarnya sudah berputar arah. Dua pria yang tadi melemparnya pun tertawa puas sembari melambaikan tangan dari jendela.“Adjö!”Tanpa memedulikan apa yang disebut oleh si orang asing, Amber berteriak sekencang-kencangnya. “Dasar penipu! Aku membayar mahal untuk diantar menemui Adam Smith, bukan ditelantarkan di tengah hutan seperti ini!”Dengan mata berkaca-kaca, Amber melihat mobil perampok itu menghilang di kejauhan. Ia sadar, tidak ada gunanya memekik ataupun mengejar. Si orang asing tidak akan kembali menjemputnya.“Aku tidak seharusnya percaya pada mereka,” sesal wanita itu geram
last updateLast Updated : 2022-06-23
Read more
2. Jangan Menguji Kesabaranku
Sambil tersenyum miring, Tuan Dingin menuangkan teh dari panci ke dalam cangkir. Sama sekali tidak ada penyesalan pada raut wajahnya. Sorot mata pria itu malah tampak puas. “Dasar perempuan bodoh,” gumamnya samar. “Tidak ada satu orang pun yang bisa mengusik ketenanganku. Kau harus tahu itu.” Setelah menyeruput sedikit, Tuan Dingin membawa cangkirnya menuju sebuah kursi di dekat jendela. Dari situ, ia dapat melihat salju turun dari langit dan angin kencang mulai menggerakkan puncak pinus. “Hm? Apakah malam ini akan ada badai lagi?” Seraya mengangkat alis, pria itu menikmati tehnya. Ia senang telah berhasil mengembalikan kedamaian. Namun, semakin banyak salju yang turun, semakin jauh tatapannya menerawang. Hingga pada satu titik, desah cemas berembus dari mulutnya. “Perempuan itu ... mampukah dia bertahan?” Selang perenungan singkat, Tuan Dingin menggeleng cepat. Tidak seharusnya bayangan Amber menetap lama dalam benaknya. “Kenapa aku memikirkan perempuan itu? Dia bukan siapa-si
last updateLast Updated : 2022-06-27
Read more
3. Bagian Favoritku
“Aku pasti sudah gila. Kenapa aku malah memancing kemarahan Beruang Gila itu?” sesal Amber sambil berusaha mengatur napas. Dengan kepala tertunduk, ia mencoba menata ulang pikiran. “Apakah benar laki-laki itu tidak meniduriku?” tanyanya lirih. Sembari mengerutkan alis, Amber menggerak-gerakkan kaki, memeriksa apakah ada yang aneh pada bagian bawah tubuhnya. Setelah memiringkan kepala, wanita itu mulai mengangguk samar. “Dia pasti impoten. Kalau tidak, kenapa dia semarah itu?” gerutu Amber sebelum terdiam sesaat. “Tapi, apa maksudnya dengan memakanku bulat-bulat? Apakah dia benar-benar psikopat?” Sembari merenung, tatapan Amber mulai menjelajahi dapur. Tanpa sadar, tangannya bergerak sendiri mengelus perut. “Aku butuh makanan.” Masih dengan selimut membungkus tubuh, wanita itu bergerak memeriksa apa yang ada di atas meja. Begitu menemukan tumpukan Cinnamon Roll di atas piring, mata Amber sontak membulat. “Ini pasti enak,” ujarnya bahagia. Tanpa berpikir panjang, ia mulai melahap
last updateLast Updated : 2022-06-27
Read more
4. Kau Adalah Makananku
“Bukankah tadi kau bilang masih ingin hidup?” gumam Tuan Dingin seraya mengelus pergelangan tangan Amber dengan ibu jari. Kini ia yakin bahwa garis cokelat di sana benar-benar nyata. Mendapat pertanyaan semacam itu, sang wanita pun bergeming. Dengan alis berkerut, ia mengamati situasi. “Aku memang masih ingin hidup,” ucapnya di sela gemuruh napas. “Lalu, kenapa kau punya bekas luka seperti ini?” tanya Tuan Dingin seraya memutar pergelangan tangan sang wanita. Sebelah alisnya terangkat sedikit lebih tinggi. Melihat jejak torehan pisau di kulitnya, Amber pun terkesiap. Ia tidak menduga bahwa orang pertama yang berhasil menemukan rahasianya adalah laki-laki dingin yang sama sekali tidak dikenal. “Itu bukan urusanmu,” jawabnya sambil menyentak tangan. Alih-alih melepaskan, Tuan Dingin malah mencengkeram lebih erat. “Daripada kau mati sia-sia, bukankah akan lebih baik jika kau menyerahkan diri kepadaku?” Sambil menggertakkan geraham, Amber mulai mempertajam tatapan. “Aku belum mau ma
last updateLast Updated : 2022-06-27
Read more
5. Puas
“Baiklah! Aku minta maaf. Aku percaya kalau kau tidak impoten. Kau tidak perlu membuktikannya,” ujar Amber sambil memaksakan otak untuk menemukan solusi. “Kalau begitu, bagaimana kalau aku memberimu semangatku?” “Semangat?” tanya Tuan Dingin seraya menyipitkan mata. Tanpa berpikir ulang, sang wanita mengangguk tegas. “Ya. Jika sudah bertekad, aku bisa melakukan apa saja, seperti mengurus rumahmu. Apakah kau tidak lelah mengurus pondok ini seorang diri?” “Jadi maksudmu, kau mau menjadi pelayan di rumah ini?” selidik sang pria, meragukan. Meski sempat ragu, Amber akhirnya melebarkan senyuman. “Ya, tentu saja. Aku bisa menyingkirkan semua debu dari perabotan, mencuci piring-piring kotor, dan ...” wanita itu berkedip-kedip mencari ide, “memasak makanan.” “Kau bisa memasak?” “Ya! Tentu saja. Aku tahu banyak resep makanan enak,” angguk Amber, berharap kebohongannya tidak terdeteksi. Selang perenungan sesaat, Tuan Dingin beranjak dari sang wanita. “Kalau begitu, buatkan aku makan sian
last updateLast Updated : 2022-06-27
Read more
6. Tamparan Keras
Sambil mengelus perut, Amber menyandarkan diri di sofa. Wajah pucatnya tidak lagi bersemangat, sementara matanya yang redup tampak begitu putus asa. “Ini sudah lewat beberapa jam, tapi kenapa efeknya belum hilang juga?” gerutu wanita itu sebelum terpejam menahan mual. Malangnya, bayangan sup gagal tadi siang malah terlintas semakin jelas. “Ck, membuatku semakin pusing saja,” lanjutnya seraya memijat pelipis. “Kenapa kau pusing? Apakah karena sup lumpurmu itu?” Mendengar suara Tuan Dingin, Amber sontak menegakkan badan dan membuka mata. Dengan tampang datar, ia menjawab, “Ya, tapi bukan karena rasanya. Sup tomat kentang tadi sangat enak. Hanya saja, aku tidak bisa makan terlalu banyak.” Sambil menaikkan alis, pria yang muncul dari dapur itu mengangguk-angguk. “Kalau begitu, cepat lakukan tugas selanjutnya!” “Tugas apa lagi? Aku sudah merapikan dapurmu dan lemari tulang itu. Aku juga sudah menyingkirkan semua debu dari ruang ini. Tidak bisakah kau memberikan aku waktu istirahat?” p
last updateLast Updated : 2022-08-02
Read more
7. Memutuskan Pergi
Dengan sekuat tenaga, Amber melempar sweater ke arah Tuan Dingin. “Ini ... kukembalikan milikmu. Maaf kalau aku sudah merusak satu hari dalam hidupmu. Kau tidak perlu memikirkan kerugian yang kutimbulkan. Aku pasti akan membayarnya nanti,” ujar wanita itu dengan nada tegas walau pita suaranya masih dililit kekesalan. “Mulai sekarang, aku tidak akan mengusik ketenanganmu lagi. Berbahagialah dengan kesendirianmu dalam pondok ini.” Sedetik kemudian, Amber keluar dan menutup pintu. Tidak ada lagi suara yang terdengar setelah kepergiannya. Tuan Dingin pun ikut menjaga hening. Pisau di tangannya tidak lagi bergerak memotong daun pinus. Selang satu helaan napas berat, barulah ia menoleh ke arah sweater yang tersangkut di pundaknya. “Jadi, dia memutuskan pergi?” batin laki-laki itu sambil berkedip lambat. “Baguslah. Dengan begitu, aku tidak perlu memikirkan cara untuk membuatnya sengsara lagi.” Dengan ekspresi datar, Tuan Dingin melangkah menuju kamar. Setibanya di sana, ia membuka kotak
last updateLast Updated : 2022-08-03
Read more
8. Lepaskan Aku
Begitu terbangun, Tuan Dingin langsung tersentak. Secepat kilat, laki-laki itu melihat ke arah pemanas. Ketika menemukan Amber masih berbaring di lantai, barulah ia dapat bernapas lega. “Syukurlah,” gumamnya tanpa sadar. Dengan tenang, Tuan Dingin menghampiri dan memeriksa. Namun, ketika mendapati wajah yang memerah, matanya kembali terbelalak. “Nona?” panggilnya sambil menarik pundak sang wanita. Tanpa terduga, punggung Amber langsung rebah. Kepalanya pun terkulai tak berdaya. Bibir wanita itu pucat, sementara keringat membanjiri keningnya. Menyaksikan hal itu, sang pria otomatis menyentuh pipi Amber. “Astaga! Kenapa badanmu panas sekali?” Setelah menggetarkan bola mata sejenak, Tuan Dingin bergegas masuk ke kamar tidur. Dengan alis berkerut, ia mencari pakaian terlayak di antara tumpukan baju. Namun, selang beberapa detik, belum ada satu pun yang dipilih. Tak ingin membuang waktu, pria itu akhirnya membuka lemari dan mengambil sweater putih dari kotak merah. Selesai memakaika
last updateLast Updated : 2022-08-03
Read more
9. Satu-satunya Harapan
Ketika mobil berhenti, Amber langsung memajukan kepala dan celingak-celinguk memeriksa sekelilingnya. Namun, dari ujung ke ujung, tidak ada satu pun bangunan yang tertangkap oleh matanya. Yang ada hanyalah bayangan pepohonan di bawah langit biru gelap. “Apakah kita sudah sampai? Mana toko grosir yang kau tuju?” Setelah menarik rem tangan, Adam menoleh ke kanan. Ekspresinya datar. Mustahil bagi sang wanita untuk mengetahui isi hatinya. “Masih beberapa puluh meter di depan. Tapi aku tidak mau ada orang yang melihatmu turun dari mobilku.” “Baiklah, itu berarti kita berpisah sekarang,” gumam Amber seraya mengangguk-angguk. Sedetik kemudian, wanita itu memasang senyum kecil yang sulit diartikan. “Terima kasih, Tuan Dingin. Terima kasih karena telah menyelamatkanku dan bersabar menghadapiku.” Tak tahu harus menjawab apa, Adam mengangkat bahu sekilas. Tatapannya kemudian beralih ke kaca depan. Sementara itu, Amber mulai melepas anting-anting di telinganya. “Seperti yang sudah kubilang,
last updateLast Updated : 2022-08-04
Read more
10. Penderitaan Amber
“Kau berbelanja sebanyak ini? Apakah kau kedatangan tamu?” gumam wanita di balik meja kasir saat Adam meletakkan keranjang. Mendengar celetukan si rambut putih, alis sang pria sontak melengkung naik. Setelah hening sejenak, barulah ia menggeleng. “Aku hanya ingin makan lebih banyak.” “Ya, ya. Kanibal sepertimu mana mungkin punya teman,” gerutu si pemilik toko sebelum mulai menghitung harga. Selagi menunggu, Adam kembali menoleh ke arah pintu kaca. Amber ternyata sedang sibuk menulis di sebuah buku. “Apa yang akan terjadi kalau perempuan itu tahu yang sebenarnya? Akankah dia bertekuk lutut padaku? Haruskah aku mengaku?” pikir pria yang ketagihan mempermainkan Amber. “Jika dia kembali ke pondok, dia bisa menjadi hiburan yang menyenangkan.” Tiba-tiba, dua gadis remaja mendorong pintu. Setelah masuk, salah satunya berbisik, “Ella, bukankah perempuan tadi Amber Lim?” Dalam sekejap, Adam melirik dan mempertajam pendengaran. “Amber Lim? Siapa itu?” “Apa kau lupa? Perempuan yang berusa
last updateLast Updated : 2022-08-04
Read more
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status