“Aku pasti sudah gila. Kenapa aku malah memancing kemarahan Beruang Gila itu?” sesal Amber sambil berusaha mengatur napas. Dengan kepala tertunduk, ia mencoba menata ulang pikiran.
“Apakah benar laki-laki itu tidak meniduriku?” tanyanya lirih.
Sembari mengerutkan alis, Amber menggerak-gerakkan kaki, memeriksa apakah ada yang aneh pada bagian bawah tubuhnya. Setelah memiringkan kepala, wanita itu mulai mengangguk samar.
“Dia pasti impoten. Kalau tidak, kenapa dia semarah itu?” gerutu Amber sebelum terdiam sesaat. “Tapi, apa maksudnya dengan memakanku bulat-bulat? Apakah dia benar-benar psikopat?”
Sembari merenung, tatapan Amber mulai menjelajahi dapur. Tanpa sadar, tangannya bergerak sendiri mengelus perut. “Aku butuh makanan.”
Masih dengan selimut membungkus tubuh, wanita itu bergerak memeriksa apa yang ada di atas meja. Begitu menemukan tumpukan Cinnamon Roll di atas piring, mata Amber sontak membulat.
“Ini pasti enak,” ujarnya bahagia. Tanpa berpikir panjang, ia mulai melahap kue berbentuk gulungan itu.
Setelah menghabiskan satu potong, Amber kembali memeriksa ruangan. “Akan sempurna jika ada susu hangat,” gumamnya sebelum membuka sebuah lemari.
Sedetik kemudian, mata wanita itu membulat. Puluhan botol berisi cairan merah berbaris di hadapannya.
“Apakah ini wine? Kenapa warnanya kental sekali?”
Setelah berkedip-kedip sesaat, ia menutup lemari dan beralih ke kulkas. Di sanalah ia menemukan apa yang dicari.
“Ah, ini dia!”
Dengan sebelah tangan, Amber mengeluarkan sebotol susu dan langsung mengenggaknya. Walau tidak hangat, ia tetap gembira.
“Kenapa rasanya enak sekali? Apakah karena aku kelaparan?” gumam wanita itu sebelum mengembalikan botol ke dalam kulkas.
Menit berikutnya, Amber mulai sibuk mencari di mana mantelnya berada. Malangnya, semua pintu yang ingin ia periksa terkunci rapat. Alhasil, wanita itu malah membongkar laci-laci, menyelidiki identitas si pemilik pondok.
“Siapa sesungguhnya orang ini? Kenapa dia begitu kasar dan dingin?” gerutu Amber sambil terus menggeledah. Sayangnya, tidak ada informasi yang bisa didapat. Sebagian laci tidak berisi dan sebagian lagi memuat barang-barang tak penting.
“Dan kenapa tidak ada foto sama sekali di rumah ini? Apakah Tuan Dingin benar-benar seorang psikopat?” celetuk Amber seraya membuka lemari di dekat sofa.
Sedetik kemudian, alis wanita itu melengkung maksimal. Aneka bentuk tulang terpajang rapi di hadapannya. “A-apa ini?”
Dengan tatapan ngeri, Amber meneliti setiap bagian lemari. Hanya tingkat teratas yang tidak diisi dengan tulang. Gumpalan kertas memenuhi ruangnya. Penasaran, ia pun meraih satu. Sambil menjepit selimut agar tidak melorot, wanita itu meluruskannya.
“ENYAHLAH KANIBAL JAHAT!”
Membaca pesan singkat itu, Amber pun mengerutkan alis. “Kanibal?”
Tanpa mengubah ekspresi, ia mengambil gumpalan kertas lain.
“KANIBAL SEPERTIMU TIDAK LAYAK HIDUP!”
Dalam sekejap, mulut sang wanita ternganga lebar. Sebuah ide baru saja melintas dalam benaknya. Dengan bola mata yang bergetar, ia menyusun bukti-bukti yang telah ditemukan—papan peringatan yang tidak manusiawi, omongan Tuan Dingin tentang memakannya bulat-bulat, puluhan botol berisi cairan semerah darah, dan kumpulan tulang yang dipajang. Ketika mendapat kesimpulan, wajahnya langsung memucat.
“Laki-laki itu kanibal?” desah Amber dengan mata bulat. Seketika, keringat dingin mulai membanjiri tengkuknya.
Tiba-tiba, seseorang membuka pintu dengan kasar. Sedetik kemudian, Tuan Dingin masuk dengan sebuah sekop di tangannya.
“Apa yang kau lakukan?” tanya pria itu dengan nada tak senang. Bola matanya bergerak-gerak mengamati Amber yang terbelalak, lemari yang terbuka lebar, serta dua lembar kertas yang tergeletak di lantai.
Merasa terancam, sang wanita spontan melangkah mundur. Kurang berhati-hati, ia pun membentur lemari. Beberapa tulang berjatuhan di dekat kakinya. Menyaksikan kecerobohan itu, alis Tuan Dingin otomatis melengkung tinggi.
“Tulang-tulangku!” seru pria itu sambil bergegas menghampiri.
Berpikir “sang Kanibal” akan membunuhnya, nyali Amber mendadak lenyap. Wanita itu sadar bahwa dirinya tidak akan bisa lolos dari terkaman sang pria kekar. Sambil merapatkan mata, ia pun menjatuhkan lutut dan bersimpuh.
“Tolong jangan makan aku! Tubuhku terlalu kurus untukmu. Kau tidak akan merasa kenyang,” ucapnya dengan suara bergetar.
Mendengar nada ketakutan itu, Tuan Dingin sontak menghentikan langkah. Dengan raut heran, ia memperhatikan wanita yang menghindari tatapan matanya. “Kau berpikir aku akan memakanmu?” desah pria itu penuh tanya.
“Kumohon maafkan aku!” seru Amber sambil mencengkeram selimut lebih erat. “Aku tidak bermaksud mengganggumu. Kedatanganku ke sini hanyalah sebuah kebetulan, dan aku menyesal telah memarahimu. Aku seharusnya berterima kasih karena kau sudah berbaik hati membiarkanku hidup.”
Sambil berkedip-kedip, Tuan Dingin mencerna situasi. Setelah melihat tulang-tulang dalam lemari dan tulisan “kanibal” di sisi Amber, barulah ia tersenyum miring.
“Dasar perempuan bodoh,” umpatnya dalam hati. Sedetik kemudian, pria itu mendatarkan ekspresi.
“Kau pikir, permohonan maaf saja cukup untuk menyelamatkanmu?” tanya Tuan Dingin dengan nada garang.
Amber sontak kebingungan. Selang perenungan singkat, ia akhirnya mengintip lewat sudut atas matanya. “Apa yang harus kulakukan agar kau mau membebaskanku?” tanya wanita itu takut-takut.
“Entahlah. Aku sudah lama tidak memakan daging manusia.”
Jawaban ringan itu sontak membuat napas Amber tertahan. Kengerian wanita itu kini tumbuh berlipat ganda. “T-tapi, kau punya roti di dapur. Itu jauh lebih enak daripada ... aku.”
Sekali lagi, alis sang pria terangkat maksimal. “Kau mencuri makananku?”
Secepat kilat, Amber menggeleng. “Tidak. Aku tidak mencurinya,” jawabnya dengan suara tertekan.
“Kau mengambil makananku lalu memohon agar aku tidak memakanmu. Apakah itu adil?”
Merasa terdesak, Amber pun menegakkan kepala. “Sungguh. Aku tidak mencuri makananmu,” tegasnya senatural mungkin.
Setelah menyandarkan sekop ke dinding, Tuan Dingin mendekatkan hidungnya ke wajah Amber. Selagi perempuan yang masih berlutut itu menahan napas, ia mulai mengendus-endus.
“Kau memakan Cinnamon Roll-ku,” ujar pria itu sebelum memicingkan mata. “Sekarang, haruskah aku memakanmu?”
Sekujur tubuh Amber mendadak kaku. Ketakutan yang amat besar telah melumpuhkan saraf-sarafnya. Bahkan, untuk berpikir saja, wanita itu sudah tidak sanggup. Ia hanya bisa membayangkan bagaimana Tuan Dingin mencabik-cabik kulit yang selama ini dirawat dengan segenap jiwa.
“T-tolong ... jangan makan aku,” bisiknya hampir tak terdengar. “Aku masih ingin hidup.”
Sembari tersenyum sinis, sang pria menggeleng. “Aku tidak peduli.”
Sedetik kemudian, Tuan Dingin menarik tangan kiri Amber. Mengetahui “si Kanibal” hendak menggigit, sang wanita pun memberikan perlawanan. Dengan sekuat tenaga, ia menarik tangannya.
“Jangan makan aku! Aku terlalu kurus untukmu!” pekik Amber sambil meronta-ronta.
Malangnya, wanita itu kalah tenaga. Tangannya terus mendekat ke arah mulut sang pria.
“Lepaskan! Lepaskan aku!”
Dengan tangannya yang bebas, Amber mendorong wajah Tuan Dingin agar menjauh. Ia tidak peduli jika selimut tak lagi membungkusnya. Wanita itu belum siap kehilangan nyawa.
Tak menduga gerakan itu, sang pria spontan menyerang lebih agresif. Selang beberapa detik, ia telah berhasil menjepit Amber di antara tubuhnya dan lantai kayu beralaskan karpet.
“Tidakkah kau lihat? Tanganku ini hanya tulang berbalut kulit! Gigimu bisa rontok jika memakannya!” seru wanita yang tidak bisa lagi berpikir normal. Apa pun yang terlintas dalam pikiran meluncur begitu saja dari mulutnya. Ia benar-benar putus asa.
“Justru itulah bagian favoritku. Tulang manusia,” ujar Tuan Dingin sambil menahan tawa. Ia gembira melihat si perempuan bodoh menderita. “Sekarang, ucapkan selamat tinggal pada dunia. Kau akan segera menjadi santapan lezat.”
“Tidak,” desah Amber seraya melirik ke arah tangannya yang semakin dekat dengan mulut sang pria. Begitu Tuan Dingin menganga lebar, ia pun memekik di puncak suara. “Tidak ...!”
Tanpa terduga, sang pria berhenti mendekatkan tangan Amber ke mulutnya. Bekas luka pudar yang melintang di pergelangan sang wanita telah mencuri perhatian. Mengapa ia tidak melihatnya semalam?
“Bukankah tadi kau bilang masih ingin hidup?” gumam Tuan Dingin seraya mengelus pergelangan tangan Amber dengan ibu jari. Kini ia yakin bahwa garis cokelat di sana benar-benar nyata. Mendapat pertanyaan semacam itu, sang wanita pun bergeming. Dengan alis berkerut, ia mengamati situasi. “Aku memang masih ingin hidup,” ucapnya di sela gemuruh napas. “Lalu, kenapa kau punya bekas luka seperti ini?” tanya Tuan Dingin seraya memutar pergelangan tangan sang wanita. Sebelah alisnya terangkat sedikit lebih tinggi. Melihat jejak torehan pisau di kulitnya, Amber pun terkesiap. Ia tidak menduga bahwa orang pertama yang berhasil menemukan rahasianya adalah laki-laki dingin yang sama sekali tidak dikenal. “Itu bukan urusanmu,” jawabnya sambil menyentak tangan. Alih-alih melepaskan, Tuan Dingin malah mencengkeram lebih erat. “Daripada kau mati sia-sia, bukankah akan lebih baik jika kau menyerahkan diri kepadaku?” Sambil menggertakkan geraham, Amber mulai mempertajam tatapan. “Aku belum mau ma
“Baiklah! Aku minta maaf. Aku percaya kalau kau tidak impoten. Kau tidak perlu membuktikannya,” ujar Amber sambil memaksakan otak untuk menemukan solusi. “Kalau begitu, bagaimana kalau aku memberimu semangatku?” “Semangat?” tanya Tuan Dingin seraya menyipitkan mata. Tanpa berpikir ulang, sang wanita mengangguk tegas. “Ya. Jika sudah bertekad, aku bisa melakukan apa saja, seperti mengurus rumahmu. Apakah kau tidak lelah mengurus pondok ini seorang diri?” “Jadi maksudmu, kau mau menjadi pelayan di rumah ini?” selidik sang pria, meragukan. Meski sempat ragu, Amber akhirnya melebarkan senyuman. “Ya, tentu saja. Aku bisa menyingkirkan semua debu dari perabotan, mencuci piring-piring kotor, dan ...” wanita itu berkedip-kedip mencari ide, “memasak makanan.” “Kau bisa memasak?” “Ya! Tentu saja. Aku tahu banyak resep makanan enak,” angguk Amber, berharap kebohongannya tidak terdeteksi. Selang perenungan sesaat, Tuan Dingin beranjak dari sang wanita. “Kalau begitu, buatkan aku makan sian
Sambil mengelus perut, Amber menyandarkan diri di sofa. Wajah pucatnya tidak lagi bersemangat, sementara matanya yang redup tampak begitu putus asa. “Ini sudah lewat beberapa jam, tapi kenapa efeknya belum hilang juga?” gerutu wanita itu sebelum terpejam menahan mual. Malangnya, bayangan sup gagal tadi siang malah terlintas semakin jelas. “Ck, membuatku semakin pusing saja,” lanjutnya seraya memijat pelipis. “Kenapa kau pusing? Apakah karena sup lumpurmu itu?” Mendengar suara Tuan Dingin, Amber sontak menegakkan badan dan membuka mata. Dengan tampang datar, ia menjawab, “Ya, tapi bukan karena rasanya. Sup tomat kentang tadi sangat enak. Hanya saja, aku tidak bisa makan terlalu banyak.” Sambil menaikkan alis, pria yang muncul dari dapur itu mengangguk-angguk. “Kalau begitu, cepat lakukan tugas selanjutnya!” “Tugas apa lagi? Aku sudah merapikan dapurmu dan lemari tulang itu. Aku juga sudah menyingkirkan semua debu dari ruang ini. Tidak bisakah kau memberikan aku waktu istirahat?” p
Dengan sekuat tenaga, Amber melempar sweater ke arah Tuan Dingin. “Ini ... kukembalikan milikmu. Maaf kalau aku sudah merusak satu hari dalam hidupmu. Kau tidak perlu memikirkan kerugian yang kutimbulkan. Aku pasti akan membayarnya nanti,” ujar wanita itu dengan nada tegas walau pita suaranya masih dililit kekesalan. “Mulai sekarang, aku tidak akan mengusik ketenanganmu lagi. Berbahagialah dengan kesendirianmu dalam pondok ini.” Sedetik kemudian, Amber keluar dan menutup pintu. Tidak ada lagi suara yang terdengar setelah kepergiannya. Tuan Dingin pun ikut menjaga hening. Pisau di tangannya tidak lagi bergerak memotong daun pinus. Selang satu helaan napas berat, barulah ia menoleh ke arah sweater yang tersangkut di pundaknya. “Jadi, dia memutuskan pergi?” batin laki-laki itu sambil berkedip lambat. “Baguslah. Dengan begitu, aku tidak perlu memikirkan cara untuk membuatnya sengsara lagi.” Dengan ekspresi datar, Tuan Dingin melangkah menuju kamar. Setibanya di sana, ia membuka kotak
Begitu terbangun, Tuan Dingin langsung tersentak. Secepat kilat, laki-laki itu melihat ke arah pemanas. Ketika menemukan Amber masih berbaring di lantai, barulah ia dapat bernapas lega. “Syukurlah,” gumamnya tanpa sadar. Dengan tenang, Tuan Dingin menghampiri dan memeriksa. Namun, ketika mendapati wajah yang memerah, matanya kembali terbelalak. “Nona?” panggilnya sambil menarik pundak sang wanita. Tanpa terduga, punggung Amber langsung rebah. Kepalanya pun terkulai tak berdaya. Bibir wanita itu pucat, sementara keringat membanjiri keningnya. Menyaksikan hal itu, sang pria otomatis menyentuh pipi Amber. “Astaga! Kenapa badanmu panas sekali?” Setelah menggetarkan bola mata sejenak, Tuan Dingin bergegas masuk ke kamar tidur. Dengan alis berkerut, ia mencari pakaian terlayak di antara tumpukan baju. Namun, selang beberapa detik, belum ada satu pun yang dipilih. Tak ingin membuang waktu, pria itu akhirnya membuka lemari dan mengambil sweater putih dari kotak merah. Selesai memakaika
Ketika mobil berhenti, Amber langsung memajukan kepala dan celingak-celinguk memeriksa sekelilingnya. Namun, dari ujung ke ujung, tidak ada satu pun bangunan yang tertangkap oleh matanya. Yang ada hanyalah bayangan pepohonan di bawah langit biru gelap. “Apakah kita sudah sampai? Mana toko grosir yang kau tuju?” Setelah menarik rem tangan, Adam menoleh ke kanan. Ekspresinya datar. Mustahil bagi sang wanita untuk mengetahui isi hatinya. “Masih beberapa puluh meter di depan. Tapi aku tidak mau ada orang yang melihatmu turun dari mobilku.” “Baiklah, itu berarti kita berpisah sekarang,” gumam Amber seraya mengangguk-angguk. Sedetik kemudian, wanita itu memasang senyum kecil yang sulit diartikan. “Terima kasih, Tuan Dingin. Terima kasih karena telah menyelamatkanku dan bersabar menghadapiku.” Tak tahu harus menjawab apa, Adam mengangkat bahu sekilas. Tatapannya kemudian beralih ke kaca depan. Sementara itu, Amber mulai melepas anting-anting di telinganya. “Seperti yang sudah kubilang,
“Kau berbelanja sebanyak ini? Apakah kau kedatangan tamu?” gumam wanita di balik meja kasir saat Adam meletakkan keranjang. Mendengar celetukan si rambut putih, alis sang pria sontak melengkung naik. Setelah hening sejenak, barulah ia menggeleng. “Aku hanya ingin makan lebih banyak.” “Ya, ya. Kanibal sepertimu mana mungkin punya teman,” gerutu si pemilik toko sebelum mulai menghitung harga. Selagi menunggu, Adam kembali menoleh ke arah pintu kaca. Amber ternyata sedang sibuk menulis di sebuah buku. “Apa yang akan terjadi kalau perempuan itu tahu yang sebenarnya? Akankah dia bertekuk lutut padaku? Haruskah aku mengaku?” pikir pria yang ketagihan mempermainkan Amber. “Jika dia kembali ke pondok, dia bisa menjadi hiburan yang menyenangkan.” Tiba-tiba, dua gadis remaja mendorong pintu. Setelah masuk, salah satunya berbisik, “Ella, bukankah perempuan tadi Amber Lim?” Dalam sekejap, Adam melirik dan mempertajam pendengaran. “Amber Lim? Siapa itu?” “Apa kau lupa? Perempuan yang berusa
Dengan raut datar, Adam mengamati barang-barang yang tergeletak di lantai. Sebotol susu yang masih berada dalam kantong belanjaan, roti yang tersisa setengah, dan sebuah buku yang terjungkal. Tak satu pun dari mereka bersih dari noda merah. Setelah termenung sejenak, sang pria menekuk lutut. Sambil berkedip lambat, ia memeriksa apa yang tertulis pada halaman pertama buku itu. “Kepada siapa pun yang menemukan buku ini, tolong kirimkan ke alamat berikut.” Membaca dua potong kalimat itu, Adam tertegun. “Apakah dia menuliskan pesan wasiat?” Seraya mengerutkan alis, ia memeriksa halaman selanjutnya. “Kepada Mia, Julian, Gaby, dan Max. Sesuatu yang buruk sedang menimpaku. Sepertinya, ini karma buruk yang harus kuterima akibat kejahatanku dulu. Tapi kalian jangan khawatir. Amber Lim tidak pernah menyerah. Aku pasti berusaha untuk menepati janjiku kepada kalian.” Setelah menyimak paragraf pertama, Adam mengerutkan alis. Sembari menggeleng samar, ia melirik ke arah yang ditempuh sang wan
Amber diam-diam membuka pintu ruang kerja. Melihat suaminya sedang melamun, ia pun menarik sebelah sudut bibir. "Apa yang sedang kau lakukan, Jewel?" Adam spontan menoleh ke arah datangnya suara. Melihat kehadiran sang istri, senyumnya pun mengembang. "Hei .... Apakah Ashley sudah tidur?" "Sudah dari tadi," sahut Amber seraya menghampiri. Kemudian, dengan santai, ia duduk di pangkuan sang suami. "Kenapa kau masih di sini? Apakah pekerjaanmu belum selesai?" Selagi sang suami menggosok tengkuk, ia mulai menyoroti meja. Ternyata, komputer sudah dimatikan. Berkas-berkas pun sudah tertata rapi dalam map. Yang tersisa di sana hanyalah ponsel yang memajang sebuah gambar. "Kau sangat menyukai foto itu, hmm?" simpul Amber seraya melirik dengan tatapan manis. Disoroti oleh mata sehangat itu, Adam pun mendesahkan senyum. Setelah mengecup pundak sang istri, ia mengangguk. "Terima kasih, Precious. Semua ini berkat dirimu. Aku tidak mungkin bisa memperbaiki hubunganku dengan Ibu kalau kau ti
"Aku tahu, kau pasti meragukan ucapanku," ringis Nyonya Smith memecah keheningan. "Apa ada sesuatu yang harus kulakukan untuk membuktikan ucapanku? Ibumu ini sungguh-sungguh ingin berubah, Adam." Masih dengan alis berkerut, sang pria mendengus. "Kenapa baru sekarang? Apakah karena Ed menelantarkan Ibu?" Nyonya Smith menggeleng sigap. "Tidak, kau jangan salah paham. Ketegangan di antara kita tidak ada sangkut pautnya dengan Ed. Akulah yang terlalu bodoh memanfaatkannya untuk merebut semua milikmu." "Omong kosong ...." "Apa kau tahu kalau Ed memarahiku? Dia sudah jenuh terseret oleh keegoisanku. Kakakmu itu bilang kalau dia tidak mau membantuku untuk menindasmu lagi." Sebelum Adam sempat membantah, Nyonya Smith lanjut bicara. "Sejak itu, aku mulai sadar. Tapi, aku masih meyakinkan diri kalau kau tidak layak bahagia. Ibumu ini sangat bodoh, hmm?" Adam mendadak bungkam. Dari bawah kernyit dahinya, ia menatap sang ibu dengan saksama. "Karena itu juga, aku belum menggunakan sepeser
Usai sang ibu membanting pintu, Adam mengusap-usap lengan Amber. Sambil memperhatikan wajah kusut istrinya itu, ia berbisik, "Kau baik-baik saja?" Sang wanita mengangguk. "Kau?" Adam menarik napas panjang. Setelah menaikkan alis, ia melengkungkan bibir. "Ya. Aku lega tidak terjadi apa-apa. Aku sempat takut kalau ibuku melakukan sesuatu yang nekat. Maaf telah membiarkannya menggendong Ashley." "Tidak apa-apa, Jewel. Kurasa, Ashley justru senang telah bertemu dengan neneknya," tutur Amber seraya mengeus kepala sang putri. Bayi mungil itu sudah kembali merapatkan mata. "Lihatlah, dia tersenyum lagi." "Dia pasti ingin menghiburmu," bisik Adam sebelum mendaratkan kecupan lembut di kening Ashley. "Bukan hanya aku, tapi kau juga. Kita beruntung dikaruniai anak yang berbakti. Ini pasti karma baikmu. Kau tetap sabar menghadapi ibumu, meskipun sudah berkali-kali disakiti." Adam spontan menggeleng. "Karma baikmu juga, Precious. Kau jauh lebih ber
Beberapa detik berlalu, orang-orang masih bertukar pandang. Tidak ada yang berani bicara sampai Ruby memecah keheningan. "Apakah aku boleh menggendongnya?" "Tentu saja," sahut Amber seraya menepuk-nepuk lengan Adam. Memahami kode yang diberikan, Adam pun mengeluarkan Ashley dari tempat tidur mungilnya. Begitu bayi itu tiba dalam dekapan Ruby, semua mata mulai berkaca-kaca. "Astaga .... Dia menggemaskan sekali," bisik Ruby dengan suara bergetar. Keharuan nyaris mendesak air mata keluar dari batasnya. "Lihatlah hidung mungil ini ... sangat mirip dengan milik Amber, sedangkan bibir tipis ini ... seratus persen salinan ayahnya." "Apakah kau mau berfoto dengan Ashley?" tanya Amber ringan. Dalam sekejap, mata sendu Ruby diwarnai keterkejutan. "Apakah boleh? Bukankah kalian sepakat untuk tidak mempublikasikan wajah putri kalian?" "Berfotolah untuk kenang-kenangan. Kau bisa mencetak lalu menyimpannya dalam dompet atau buku harian," ujar Amber sembari melirik ke arah Nick. Menyad
“Cepatlah! Aku sudah tidak tahan!” pekik Amber seraya meremas baju suaminya. Adam pun berputar-putar memeriksa pekarangan. Barangkali, ia menjatuhkan kuncinya di sekitar sana. Sementara itu, Nick malah sibuk meraba tubuhnya sendiri. Ketika tangannya menekan saku celana, matanya membulat sempurna. "Bagaimana kalau kita naik mobilku saja?" usul pria berbadan gempal itu seraya memperlihatkan kunci mobilnya. Masih dengan napas tersengal-sengal, Amber menoleh ke arah kendaraan yang terparkir di samping mobil Adam. "Kalian kira beratku mencapai satu ton? Orang-orang pasti tertawa melihat kalian membawaku dengan truk itu!" omelnya dengan suara melengking. Nick spontan meringis mendengarnya. "Maaf, Nyonya. Itu bukan truk, tapi mini box van untuk kargo kering. Aku biasa menggunakannya untuk mengantar perhiasan." "Kau tidak perlu malu, Precious," sambung Adam ditemani anggukan meyakinkan. "Mobil itu terbiasa membawa baran
"Halo, Nyonya Smith. Bagaimana kondisimu dan si Kecil?" sapa Nick ketika menyambut kedatangan Amber dan Adam. Diam-diam, ia merasa bangga melihat peluitnya tergantung di leher sang wanita. "Sangat baik. Maaf kalau harus merepotkan dirimu. Sebetulnya, ini satu minggu lebih awal dari prediksi dokter. Tapi, Adam terus mendesak agar kami menginap di rumahmu." Melihat raut bersalah Amber, Nick pun terkekeh. "Sama sekali bukan masalah, Nyonya. Apa yang dipikirkan oleh Bos memang benar. Ada baiknya jika kita berjaga-jaga. Rumah sakit terlalu jauh dari pondok kalian." "Kau memang bijak, Nick," ujar Adam seraya menenteng tiga tas besar yang diambilnya dari bagasi. "Tidak salah jika aku menaruh kepercayaan padamu." Sekali lagi, pria bertubuh gempal itu terkekeh. Setelah mengambil salah satu tas dari tangan Adam, ia melambai. "Ayo kutunjukkan kamar kalian! Aku sudah meminta Tina untuk membersihkannya tadi pagi." Selagi Nick memimpin jalan, Amber mencondo
"Ikhlas," angguk Amber sigap. "Hanya saja, aku menyayangkan sikap mereka yang tidak pernah berubah. Entah sampai kapan mereka betah membuatmu menderita." Sembari tersenyum kecil, Adam mengelus pipi istrinya. "Tenang saja! Setelah ini, aku yakin mereka tidak akan meminta yang macam-macam lagi. Aku sudah tidak punya apa-apa untuk mereka rebut." "Bagaimana dengan rumah kita? Haruskah kita mengajukan pengalihan aset? Kurasa akan lebih aman kalau sertifikatnya tercatat atas namaku." Sembari menahan tawa, Adam mengangguk. Ia tahu, sebagian hati Amber sesungguhnya tidak rela melihatnya berkorban sedemikian besar. "Karena itulah, aku bersikeras untuk menyerahkan perusahaan kepadamu. Tapi kau menolak terus." "Aku tidak mau orang-orang menganggapmu budak cintaku, Jewel. Laki-laki mana yang menyerahkan seluruh hartanya kepada sang istri? Hanya laki-laki bodoh. Aku tidak mau kau dicap seperti itu." Gemas dengan sang istri, Adam pun mengecup
"Sekarang giliran aku yang memberikan hadiah," tutur Ruby canggung. "Hadiah? Kapan kau menyiapkannya?" tanya Amber terbelalak. "Belanja online bukanlah sesuatu yang sulit," tutur Ruby sebelum tersenyum simpul. Tanpa basa-basi lagi, ia menyodorkan kotak. "Bukalah! Anggap ini sebagai permintaan maaf sekaligus terima kasihku." Setelah menyerahkan peluitnya kepada Adam, si wanita hamil mengangkat penutup kotak. Begitu menemukan kain rajut merah yang terlipat rapi, ia mendesah samar. "Apakah ini bentuk protes karena kami membuang sweater putih pemberianmu dulu?" "Justru aku ingin mengubur kenangan buruk tentang itu. Kuharap, ini bisa membantu kalian mengingat Ruby yang baru." "Kalau begitu, mulai detik ini, aku dan Adam akan membuat banyak kenangan manis bersama sweater ini," tutur Amber seraya mengeluarkan hadiah dari dalam kotak. Namun, sedetik kemudian, lengkung bibirnya membeku. Ternyata, masih ada sweater lain di dalam kotak. "Kau memberi kami sweater pasangan?" desahnya tak pe
"Maaf," ucap Amber, enggan menyebut nama kakak iparnya, "Ruby ingin bicara denganmu." Dalam sekejap, mata Ed melebar. Tanpa basa-basi, ia masuk melalui celah antara pintu dan Amber. "Apakah Ruby berubah pikiran?" selidik Adam seraya bangkit dari kursi. Setelah menutup pintu, ia memandu sang istri untuk duduk dengan hati-hati. "Tidak." Alis sang pria pun melengkung sempurna. "Lalu?" "Ruby ingin mengakhiri hubungan mereka secepatnya. Dengan begitu, dia bisa tinggal di kediaman Tuan Berg tanpa kekhawatiran," terang Amber sebelum menyentak alis. "Lalu, bagaimana denganmu? Apakah terjadi sesuatu selama aku masih di dalam?" Sambil meninggikan sudut bibir, Adam mengecup tangan sang istri. "Percaya atau tidak, aku merasa biasa-biasa saja. Ya, aku kesal melihat wajah Ed. Tapi, mengetahui dia sudah mendapat balasan yang setimpal, aku tidak juga merasa lega. Hanya ... biasa-biasa saja, seperti tidak ada yang berubah."