Beranda / Romansa / Menaklukkan Duda Dingin / 2. Jangan Menguji Kesabaranku

Share

2. Jangan Menguji Kesabaranku

Penulis: Pixie
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-27 10:57:16

Sambil tersenyum miring, Tuan Dingin menuangkan teh dari panci ke dalam cangkir. Sama sekali tidak ada penyesalan pada raut wajahnya. Sorot mata pria itu malah tampak puas.

“Dasar perempuan bodoh,” gumamnya samar. “Tidak ada satu orang pun yang bisa mengusik ketenanganku. Kau harus tahu itu.”

Setelah menyeruput sedikit, Tuan Dingin membawa cangkirnya menuju sebuah kursi di dekat jendela. Dari situ, ia dapat melihat salju turun dari langit dan angin kencang mulai menggerakkan puncak pinus.

“Hm? Apakah malam ini akan ada badai lagi?”

Seraya mengangkat alis, pria itu menikmati tehnya. Ia senang telah berhasil mengembalikan kedamaian. Namun, semakin banyak salju yang turun, semakin jauh tatapannya menerawang. Hingga pada satu titik, desah cemas berembus dari mulutnya.

“Perempuan itu ... mampukah dia bertahan?”

Selang perenungan singkat, Tuan Dingin menggeleng cepat. Tidak seharusnya bayangan Amber menetap lama dalam benaknya.

“Kenapa aku memikirkan perempuan itu? Dia bukan siapa-siapa.”

Sambil mengangguk-angguk, pria itu kembali mengangkat cangkir. Namun, belum sempat teh mengenai bibirnya, ia bergeming.

“Tapi, kalau perempuan itu mati, aku juga yang akan repot,” pikirnya sebelum meletakkan cangkir di pinggir jendela. Setelah mengetuk-ngetukkan jari, Tuan Dingin akhirnya beranjak mengambil mantel dan senter.

“Ck, kenapa perempuan selalu menyusahkan?” gerutunya sambil membuka pintu. Tanpa berpikir panjang, ia berjalan menelusuri jejak Amber.

“Hm? Ke mana perginya perempuan itu?” batin Tuan Dingin saat melihat tidak ada yang berdiri di pinggir jalan. Sambil mengerutkan alis, ia mempercepat lajunya.

Lima meter dari bahu jalan, langkah pria itu mendadak terhenti. Selang satu kedipan tegas, ia menoleh ke kanan. Sedetik kemudian, ekspresi datarnya berubah tegang. Seseorang bermantel putih telah terbaring dikelilingi timbunan salju.

“Gawat!” desah Tuan Dingin sambil memasukkan senter ke dalam saku. Secepat kilat, ia memeriksa keadaan sang wanita. “Nona? Nona!”

Meskipun pipinya ditepuk beberapa kali, Amber tidak menjawab. Sekujur badannya yang dingin pun diam. Tak ingin dituduh sebagai pembunuh, sang pria bergegas mengangkat wanita itu. Dengan susah payah, ia membawanya berjalan menembus salju.

Setibanya di pondok, Tuan Dingin langsung membaringkan Amber di dekat pemanas. Kini ia dapat melihat betapa birunya bibir wanita itu. Sekali lagi, sang pria mencoba untuk membangunkan Amber.

“Nona? Nona!”

Sayangnya, guncangan yang ia berikan tidak cukup untuk mendatangkan kesadaran. Merasa putus asa, Tuan Dingin pun berdecak kesal. “Tidak seharusnya aku melewati batas. Lihatlah akibatnya! Dia hipotermia.”

Setelah mengomeli diri sendiri, sang pria menarik sarung tangan Amber. Sambil meremas jemari pucat yang sedingin es itu, ia mengharapkan perubahan.

“Ayo, Nona ... bangunlah! Jangan membuatku dicap sebagai pembunuh! Salahmu sendiri telah menggangguku di malam musim dingin.”

Detik demi detik berlalu, Amber tidak juga bergerak. Napasnya bahkan hampir tidak terdeteksi. Tak ingin terlambat, Tuan Dingin bergegas melucuti pakaiannya.

“Tidak ada cara lain. Aku terpaksa melakukannya. Jangan menyalahkanku, Nona. Ini demi keselamatanmu.”

Selang beberapa saat, kedua orang itu tidak lagi mengenakan busana. Tanpa ragu, Tuan Dingin menarik selimut dari sofa. Sembari membentang kain tebal itu, ia menangkup punggung Amber dengan tubuhnya. Sedetik kemudian, pria itu mulai mendekap erat sang wanita dan menjalarkan tangan menebar kehangatan.

***

Begitu membuka mata, Amber langsung disambut oleh percikan api di balik kaca pemanas. Mendapati pemandangan yang tidak biasa itu, ia pun tersentak. Sambil terbelalak, wanita itu mengingat-ingat kejadian semalam.

“Aku masih hidup?” simpulnya setengah percaya. Setelah berkedip-kedip cepat, barulah ia mendesah lega. “Syukurlah .... Siapa yang menyelamatkanku?”

Sambil menahan rasa berat dalam kepala, Amber menegakkan badan. Tepat pada saat itu pula, kain yang menutupi tubuhnya tersingkap. Dalam sekejap, keceriaan di wajahnya memudar. Secepat kilat, wanita itu kembali membungkus diri dengan selimut.

“Di mana pakaianku?” desahnya seraya celingak-celinguk. Tak mendapati apa yang ia cari, Amber spontan meringis. “Astaga. Apa yang telah terjadi padaku?”

Selagi wanita itu kebingungan, seseorang meletakkan piring ke dalam wastafel. Suara dentingnya terdengar hingga ke ruang depan. Mengetahui keberadaan “sang pelaku”, Amber pun bangkit. Sambil menyeret selimut yang melilit di tubuhnya, ia berjalan menuju dapur.

Begitu melihat si Tuan Dingin, Amber spontan ternganga lebar. Rasa syukur yang sempat tumbuh mendadak lenyap. Yang tersisa hanyalah kejengkelan dan kemarahan yang teramat besar.

“Kau ...!” serunya seraya meruncingkan telunjuk. Mata wanita itu telah memerah dan berair. “Aku mengerti sekarang. Pantas saja kau membiarkanku kedinginan di luar sana. Kau pasti berharap aku pingsan, sehingga kau bisa melakukan apa saja terhadapku!”

Mendengar suara Amber yang begitu kencang, sang pria sontak mengernyit. “Kau tidak tahu terima kasih, rupanya. Aku sudah menyelamatkanmu, tapi kau malah meneriakiku?”

Dengan sebelah tangan dan napas menderu, Amber mencengkeram baju laki-laki yang jauh lebih tinggi darinya itu. “Kau kira aku tidak tahu? Kau sudah meniduriku!”

Bukannya takut, Tuan Dingin malah meninggikan dagu. “Berhentilah mengada-ada,” ucapnya dengan nada rendah dan datar.

“Mengada-ada?” tanya Amber dengan suara bergetar. “Bukankah buktinya sudah jelas? Aku terbangun tanpa sehelai benang!”

Tiba-tiba, sang pria mendengus sinis. “Memangnya kenapa kalau aku menyingkirkan pakaianmu? Bukankah kau ingin selamat? Kau tidak akan mampu bertahan dengan mantel basah itu.”

Setelah mendekatkan kepalanya dengan sang wanita, Tuan Dingin memperdalam suara. “Kau mengalami hipotermia semalam. Satu-satunya cara untuk menyelamatkanmu adalah dengan berbagi kehangatan ... dari kulit ke kulit. Karena itulah, aku melepas pakaianmu,” terangnya dengan ekspresi dingin.

“Lalu, kau menjadikan itu alasan untuk meniduriku? Begitu?” sela Amber sambil mendongakkan wajah. Tangannya yang mencengkeram baju sang pria kini bertambah erat.

Tanpa terduga, sebelah sudut bibir Tuan Dingin terangkat lebih tinggi. “Kau kira aku tertarik padamu?” Sembari menggeleng, pria itu menyipitkan mata. “Sama sekali tidak, Nona. Aku justru terpaksa menyentuh tubuhmu yang kotor itu.”

Helaan napas sontak lolos dari mulut Amber. “Kotor? Kau menyebutku kotor?”

“Tolong jangan bersikap seperti gadis yang masih suci. Aku tahu, perempuan sepertimu pasti sudah tidur dengan banyak laki-laki.”

Sebuah tamparan pun mendarat di pipi Tuan Dingin. Dengan mata yang membara, Amber kembali meruncingkan telunjuk. “Jaga mulutmu! Aku bukan perempuan semacam itu. Kau tidak boleh seenaknya menyentuhku, apalagi meniduriku!”

Sambil menekan bagian dalam pipi dengan lidah, Tuan Dingin membalas tatapan Amber dingin. “Sudah kubilang, aku tidak menidurimu.”

“Kau kira aku percaya? Mana ada laki-laki normal yang tidak melakukan itu ketika bersama perempuan tanpa busana? Memangnya kau impoten, hah?”

Dalam sekejap, mata sang pria terisi oleh kebencian. Sambil menggertakkan geraham, ia mendorong pundak Amber hingga tersudut di salah satu dinding. Tanpa sedikit pun iba, Tuan Dingin mencengkeram dagu sang wanita.

“Mulutmulah yang seharusnya dijaga! Kalau saja aku tahu kau seberisik ini, aku pasti sudah membiarkanmu mati di luar sana.”

Meski takut, Amber tetap mempertahankan ekspresi kesalnya. Dengan agak tertunduk, ia menatap Tuan Dingin tajam.

“Ternyata benar. Kau impoten,” gumam wanita itu tanpa berpikir panjang.

Sedetik kemudian, sebuah tinju mendarat di dinding, tepat di samping kepala Amber. Menyaksikan tindakan spontan itu, sang wanita spontan memekik. Sambil memejamkan mata rapat-rapat, ia menggenggam selimut dengan erat.

“Jangan menguji kesabaranku,” tegas Tuan Dingin dengan suara rendah yang membuat Amber bergidik ngeri. “Kau seharusnya bersyukur aku tidak memakanmu bulat-bulat.”

Usai memberi peringatan, pria itu pergi dari hadapan Amber. Sesaat kemudian, terdengar suara pintu dibanting dari arah depan. Mengetahui Tuan Dingin tidak lagi bersamanya, sang wanita langsung menjatuhkan diri di atas lantai. Sudah sejak tadi ia menahan gemetar di kedua lututnya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
mayang wijaya
Mantap kk ceritanyaa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Menaklukkan Duda Dingin   3. Bagian Favoritku

    “Aku pasti sudah gila. Kenapa aku malah memancing kemarahan Beruang Gila itu?” sesal Amber sambil berusaha mengatur napas. Dengan kepala tertunduk, ia mencoba menata ulang pikiran. “Apakah benar laki-laki itu tidak meniduriku?” tanyanya lirih. Sembari mengerutkan alis, Amber menggerak-gerakkan kaki, memeriksa apakah ada yang aneh pada bagian bawah tubuhnya. Setelah memiringkan kepala, wanita itu mulai mengangguk samar. “Dia pasti impoten. Kalau tidak, kenapa dia semarah itu?” gerutu Amber sebelum terdiam sesaat. “Tapi, apa maksudnya dengan memakanku bulat-bulat? Apakah dia benar-benar psikopat?” Sembari merenung, tatapan Amber mulai menjelajahi dapur. Tanpa sadar, tangannya bergerak sendiri mengelus perut. “Aku butuh makanan.” Masih dengan selimut membungkus tubuh, wanita itu bergerak memeriksa apa yang ada di atas meja. Begitu menemukan tumpukan Cinnamon Roll di atas piring, mata Amber sontak membulat. “Ini pasti enak,” ujarnya bahagia. Tanpa berpikir panjang, ia mulai melahap

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-27
  • Menaklukkan Duda Dingin   4. Kau Adalah Makananku

    “Bukankah tadi kau bilang masih ingin hidup?” gumam Tuan Dingin seraya mengelus pergelangan tangan Amber dengan ibu jari. Kini ia yakin bahwa garis cokelat di sana benar-benar nyata. Mendapat pertanyaan semacam itu, sang wanita pun bergeming. Dengan alis berkerut, ia mengamati situasi. “Aku memang masih ingin hidup,” ucapnya di sela gemuruh napas. “Lalu, kenapa kau punya bekas luka seperti ini?” tanya Tuan Dingin seraya memutar pergelangan tangan sang wanita. Sebelah alisnya terangkat sedikit lebih tinggi. Melihat jejak torehan pisau di kulitnya, Amber pun terkesiap. Ia tidak menduga bahwa orang pertama yang berhasil menemukan rahasianya adalah laki-laki dingin yang sama sekali tidak dikenal. “Itu bukan urusanmu,” jawabnya sambil menyentak tangan. Alih-alih melepaskan, Tuan Dingin malah mencengkeram lebih erat. “Daripada kau mati sia-sia, bukankah akan lebih baik jika kau menyerahkan diri kepadaku?” Sambil menggertakkan geraham, Amber mulai mempertajam tatapan. “Aku belum mau ma

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-27
  • Menaklukkan Duda Dingin   5. Puas

    “Baiklah! Aku minta maaf. Aku percaya kalau kau tidak impoten. Kau tidak perlu membuktikannya,” ujar Amber sambil memaksakan otak untuk menemukan solusi. “Kalau begitu, bagaimana kalau aku memberimu semangatku?” “Semangat?” tanya Tuan Dingin seraya menyipitkan mata. Tanpa berpikir ulang, sang wanita mengangguk tegas. “Ya. Jika sudah bertekad, aku bisa melakukan apa saja, seperti mengurus rumahmu. Apakah kau tidak lelah mengurus pondok ini seorang diri?” “Jadi maksudmu, kau mau menjadi pelayan di rumah ini?” selidik sang pria, meragukan. Meski sempat ragu, Amber akhirnya melebarkan senyuman. “Ya, tentu saja. Aku bisa menyingkirkan semua debu dari perabotan, mencuci piring-piring kotor, dan ...” wanita itu berkedip-kedip mencari ide, “memasak makanan.” “Kau bisa memasak?” “Ya! Tentu saja. Aku tahu banyak resep makanan enak,” angguk Amber, berharap kebohongannya tidak terdeteksi. Selang perenungan sesaat, Tuan Dingin beranjak dari sang wanita. “Kalau begitu, buatkan aku makan sian

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-27
  • Menaklukkan Duda Dingin   6. Tamparan Keras

    Sambil mengelus perut, Amber menyandarkan diri di sofa. Wajah pucatnya tidak lagi bersemangat, sementara matanya yang redup tampak begitu putus asa. “Ini sudah lewat beberapa jam, tapi kenapa efeknya belum hilang juga?” gerutu wanita itu sebelum terpejam menahan mual. Malangnya, bayangan sup gagal tadi siang malah terlintas semakin jelas. “Ck, membuatku semakin pusing saja,” lanjutnya seraya memijat pelipis. “Kenapa kau pusing? Apakah karena sup lumpurmu itu?” Mendengar suara Tuan Dingin, Amber sontak menegakkan badan dan membuka mata. Dengan tampang datar, ia menjawab, “Ya, tapi bukan karena rasanya. Sup tomat kentang tadi sangat enak. Hanya saja, aku tidak bisa makan terlalu banyak.” Sambil menaikkan alis, pria yang muncul dari dapur itu mengangguk-angguk. “Kalau begitu, cepat lakukan tugas selanjutnya!” “Tugas apa lagi? Aku sudah merapikan dapurmu dan lemari tulang itu. Aku juga sudah menyingkirkan semua debu dari ruang ini. Tidak bisakah kau memberikan aku waktu istirahat?” p

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-02
  • Menaklukkan Duda Dingin   7. Memutuskan Pergi

    Dengan sekuat tenaga, Amber melempar sweater ke arah Tuan Dingin. “Ini ... kukembalikan milikmu. Maaf kalau aku sudah merusak satu hari dalam hidupmu. Kau tidak perlu memikirkan kerugian yang kutimbulkan. Aku pasti akan membayarnya nanti,” ujar wanita itu dengan nada tegas walau pita suaranya masih dililit kekesalan. “Mulai sekarang, aku tidak akan mengusik ketenanganmu lagi. Berbahagialah dengan kesendirianmu dalam pondok ini.” Sedetik kemudian, Amber keluar dan menutup pintu. Tidak ada lagi suara yang terdengar setelah kepergiannya. Tuan Dingin pun ikut menjaga hening. Pisau di tangannya tidak lagi bergerak memotong daun pinus. Selang satu helaan napas berat, barulah ia menoleh ke arah sweater yang tersangkut di pundaknya. “Jadi, dia memutuskan pergi?” batin laki-laki itu sambil berkedip lambat. “Baguslah. Dengan begitu, aku tidak perlu memikirkan cara untuk membuatnya sengsara lagi.” Dengan ekspresi datar, Tuan Dingin melangkah menuju kamar. Setibanya di sana, ia membuka kotak

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-03
  • Menaklukkan Duda Dingin   8. Lepaskan Aku

    Begitu terbangun, Tuan Dingin langsung tersentak. Secepat kilat, laki-laki itu melihat ke arah pemanas. Ketika menemukan Amber masih berbaring di lantai, barulah ia dapat bernapas lega. “Syukurlah,” gumamnya tanpa sadar. Dengan tenang, Tuan Dingin menghampiri dan memeriksa. Namun, ketika mendapati wajah yang memerah, matanya kembali terbelalak. “Nona?” panggilnya sambil menarik pundak sang wanita. Tanpa terduga, punggung Amber langsung rebah. Kepalanya pun terkulai tak berdaya. Bibir wanita itu pucat, sementara keringat membanjiri keningnya. Menyaksikan hal itu, sang pria otomatis menyentuh pipi Amber. “Astaga! Kenapa badanmu panas sekali?” Setelah menggetarkan bola mata sejenak, Tuan Dingin bergegas masuk ke kamar tidur. Dengan alis berkerut, ia mencari pakaian terlayak di antara tumpukan baju. Namun, selang beberapa detik, belum ada satu pun yang dipilih. Tak ingin membuang waktu, pria itu akhirnya membuka lemari dan mengambil sweater putih dari kotak merah. Selesai memakaika

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-03
  • Menaklukkan Duda Dingin   9. Satu-satunya Harapan

    Ketika mobil berhenti, Amber langsung memajukan kepala dan celingak-celinguk memeriksa sekelilingnya. Namun, dari ujung ke ujung, tidak ada satu pun bangunan yang tertangkap oleh matanya. Yang ada hanyalah bayangan pepohonan di bawah langit biru gelap. “Apakah kita sudah sampai? Mana toko grosir yang kau tuju?” Setelah menarik rem tangan, Adam menoleh ke kanan. Ekspresinya datar. Mustahil bagi sang wanita untuk mengetahui isi hatinya. “Masih beberapa puluh meter di depan. Tapi aku tidak mau ada orang yang melihatmu turun dari mobilku.” “Baiklah, itu berarti kita berpisah sekarang,” gumam Amber seraya mengangguk-angguk. Sedetik kemudian, wanita itu memasang senyum kecil yang sulit diartikan. “Terima kasih, Tuan Dingin. Terima kasih karena telah menyelamatkanku dan bersabar menghadapiku.” Tak tahu harus menjawab apa, Adam mengangkat bahu sekilas. Tatapannya kemudian beralih ke kaca depan. Sementara itu, Amber mulai melepas anting-anting di telinganya. “Seperti yang sudah kubilang,

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-04
  • Menaklukkan Duda Dingin   10. Penderitaan Amber

    “Kau berbelanja sebanyak ini? Apakah kau kedatangan tamu?” gumam wanita di balik meja kasir saat Adam meletakkan keranjang. Mendengar celetukan si rambut putih, alis sang pria sontak melengkung naik. Setelah hening sejenak, barulah ia menggeleng. “Aku hanya ingin makan lebih banyak.” “Ya, ya. Kanibal sepertimu mana mungkin punya teman,” gerutu si pemilik toko sebelum mulai menghitung harga. Selagi menunggu, Adam kembali menoleh ke arah pintu kaca. Amber ternyata sedang sibuk menulis di sebuah buku. “Apa yang akan terjadi kalau perempuan itu tahu yang sebenarnya? Akankah dia bertekuk lutut padaku? Haruskah aku mengaku?” pikir pria yang ketagihan mempermainkan Amber. “Jika dia kembali ke pondok, dia bisa menjadi hiburan yang menyenangkan.” Tiba-tiba, dua gadis remaja mendorong pintu. Setelah masuk, salah satunya berbisik, “Ella, bukankah perempuan tadi Amber Lim?” Dalam sekejap, Adam melirik dan mempertajam pendengaran. “Amber Lim? Siapa itu?” “Apa kau lupa? Perempuan yang berusa

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-04

Bab terbaru

  • Menaklukkan Duda Dingin   S2| 52. Jangan Makan Aku, Tuan Smith (TAMAT)

    Amber diam-diam membuka pintu ruang kerja. Melihat suaminya sedang melamun, ia pun menarik sebelah sudut bibir. "Apa yang sedang kau lakukan, Jewel?" Adam spontan menoleh ke arah datangnya suara. Melihat kehadiran sang istri, senyumnya pun mengembang. "Hei .... Apakah Ashley sudah tidur?" "Sudah dari tadi," sahut Amber seraya menghampiri. Kemudian, dengan santai, ia duduk di pangkuan sang suami. "Kenapa kau masih di sini? Apakah pekerjaanmu belum selesai?" Selagi sang suami menggosok tengkuk, ia mulai menyoroti meja. Ternyata, komputer sudah dimatikan. Berkas-berkas pun sudah tertata rapi dalam map. Yang tersisa di sana hanyalah ponsel yang memajang sebuah gambar. "Kau sangat menyukai foto itu, hmm?" simpul Amber seraya melirik dengan tatapan manis. Disoroti oleh mata sehangat itu, Adam pun mendesahkan senyum. Setelah mengecup pundak sang istri, ia mengangguk. "Terima kasih, Precious. Semua ini berkat dirimu. Aku tidak mungkin bisa memperbaiki hubunganku dengan Ibu kalau kau ti

  • Menaklukkan Duda Dingin   S2| 51. Bagian dari Sejarah

    "Aku tahu, kau pasti meragukan ucapanku," ringis Nyonya Smith memecah keheningan. "Apa ada sesuatu yang harus kulakukan untuk membuktikan ucapanku? Ibumu ini sungguh-sungguh ingin berubah, Adam." Masih dengan alis berkerut, sang pria mendengus. "Kenapa baru sekarang? Apakah karena Ed menelantarkan Ibu?" Nyonya Smith menggeleng sigap. "Tidak, kau jangan salah paham. Ketegangan di antara kita tidak ada sangkut pautnya dengan Ed. Akulah yang terlalu bodoh memanfaatkannya untuk merebut semua milikmu." "Omong kosong ...." "Apa kau tahu kalau Ed memarahiku? Dia sudah jenuh terseret oleh keegoisanku. Kakakmu itu bilang kalau dia tidak mau membantuku untuk menindasmu lagi." Sebelum Adam sempat membantah, Nyonya Smith lanjut bicara. "Sejak itu, aku mulai sadar. Tapi, aku masih meyakinkan diri kalau kau tidak layak bahagia. Ibumu ini sangat bodoh, hmm?" Adam mendadak bungkam. Dari bawah kernyit dahinya, ia menatap sang ibu dengan saksama. "Karena itu juga, aku belum menggunakan sepeser

  • Menaklukkan Duda Dingin   S2| 50. Ketulusan

    Usai sang ibu membanting pintu, Adam mengusap-usap lengan Amber. Sambil memperhatikan wajah kusut istrinya itu, ia berbisik, "Kau baik-baik saja?" Sang wanita mengangguk. "Kau?" Adam menarik napas panjang. Setelah menaikkan alis, ia melengkungkan bibir. "Ya. Aku lega tidak terjadi apa-apa. Aku sempat takut kalau ibuku melakukan sesuatu yang nekat. Maaf telah membiarkannya menggendong Ashley." "Tidak apa-apa, Jewel. Kurasa, Ashley justru senang telah bertemu dengan neneknya," tutur Amber seraya mengeus kepala sang putri. Bayi mungil itu sudah kembali merapatkan mata. "Lihatlah, dia tersenyum lagi." "Dia pasti ingin menghiburmu," bisik Adam sebelum mendaratkan kecupan lembut di kening Ashley. "Bukan hanya aku, tapi kau juga. Kita beruntung dikaruniai anak yang berbakti. Ini pasti karma baikmu. Kau tetap sabar menghadapi ibumu, meskipun sudah berkali-kali disakiti." Adam spontan menggeleng. "Karma baikmu juga, Precious. Kau jauh lebih ber

  • Menaklukkan Duda Dingin   S2| 49. Bayi Mungil

    Beberapa detik berlalu, orang-orang masih bertukar pandang. Tidak ada yang berani bicara sampai Ruby memecah keheningan. "Apakah aku boleh menggendongnya?" "Tentu saja," sahut Amber seraya menepuk-nepuk lengan Adam. Memahami kode yang diberikan, Adam pun mengeluarkan Ashley dari tempat tidur mungilnya. Begitu bayi itu tiba dalam dekapan Ruby, semua mata mulai berkaca-kaca. "Astaga .... Dia menggemaskan sekali," bisik Ruby dengan suara bergetar. Keharuan nyaris mendesak air mata keluar dari batasnya. "Lihatlah hidung mungil ini ... sangat mirip dengan milik Amber, sedangkan bibir tipis ini ... seratus persen salinan ayahnya." "Apakah kau mau berfoto dengan Ashley?" tanya Amber ringan. Dalam sekejap, mata sendu Ruby diwarnai keterkejutan. "Apakah boleh? Bukankah kalian sepakat untuk tidak mempublikasikan wajah putri kalian?" "Berfotolah untuk kenang-kenangan. Kau bisa mencetak lalu menyimpannya dalam dompet atau buku harian," ujar Amber sembari melirik ke arah Nick. Menyad

  • Menaklukkan Duda Dingin   S2| 48. Tak Tahan Lagi

    “Cepatlah! Aku sudah tidak tahan!” pekik Amber seraya meremas baju suaminya. Adam pun berputar-putar memeriksa pekarangan. Barangkali, ia menjatuhkan kuncinya di sekitar sana. Sementara itu, Nick malah sibuk meraba tubuhnya sendiri. Ketika tangannya menekan saku celana, matanya membulat sempurna. "Bagaimana kalau kita naik mobilku saja?" usul pria berbadan gempal itu seraya memperlihatkan kunci mobilnya. Masih dengan napas tersengal-sengal, Amber menoleh ke arah kendaraan yang terparkir di samping mobil Adam. "Kalian kira beratku mencapai satu ton? Orang-orang pasti tertawa melihat kalian membawaku dengan truk itu!" omelnya dengan suara melengking. Nick spontan meringis mendengarnya. "Maaf, Nyonya. Itu bukan truk, tapi mini box van untuk kargo kering. Aku biasa menggunakannya untuk mengantar perhiasan." "Kau tidak perlu malu, Precious," sambung Adam ditemani anggukan meyakinkan. "Mobil itu terbiasa membawa baran

  • Menaklukkan Duda Dingin   S2| 47. Waktunya Sudah Dekat

    "Halo, Nyonya Smith. Bagaimana kondisimu dan si Kecil?" sapa Nick ketika menyambut kedatangan Amber dan Adam. Diam-diam, ia merasa bangga melihat peluitnya tergantung di leher sang wanita. "Sangat baik. Maaf kalau harus merepotkan dirimu. Sebetulnya, ini satu minggu lebih awal dari prediksi dokter. Tapi, Adam terus mendesak agar kami menginap di rumahmu." Melihat raut bersalah Amber, Nick pun terkekeh. "Sama sekali bukan masalah, Nyonya. Apa yang dipikirkan oleh Bos memang benar. Ada baiknya jika kita berjaga-jaga. Rumah sakit terlalu jauh dari pondok kalian." "Kau memang bijak, Nick," ujar Adam seraya menenteng tiga tas besar yang diambilnya dari bagasi. "Tidak salah jika aku menaruh kepercayaan padamu." Sekali lagi, pria bertubuh gempal itu terkekeh. Setelah mengambil salah satu tas dari tangan Adam, ia melambai. "Ayo kutunjukkan kamar kalian! Aku sudah meminta Tina untuk membersihkannya tadi pagi." Selagi Nick memimpin jalan, Amber mencondo

  • Menaklukkan Duda Dingin   S2| 46. Tak Sesuai Harapan

    "Ikhlas," angguk Amber sigap. "Hanya saja, aku menyayangkan sikap mereka yang tidak pernah berubah. Entah sampai kapan mereka betah membuatmu menderita." Sembari tersenyum kecil, Adam mengelus pipi istrinya. "Tenang saja! Setelah ini, aku yakin mereka tidak akan meminta yang macam-macam lagi. Aku sudah tidak punya apa-apa untuk mereka rebut." "Bagaimana dengan rumah kita? Haruskah kita mengajukan pengalihan aset? Kurasa akan lebih aman kalau sertifikatnya tercatat atas namaku." Sembari menahan tawa, Adam mengangguk. Ia tahu, sebagian hati Amber sesungguhnya tidak rela melihatnya berkorban sedemikian besar. "Karena itulah, aku bersikeras untuk menyerahkan perusahaan kepadamu. Tapi kau menolak terus." "Aku tidak mau orang-orang menganggapmu budak cintaku, Jewel. Laki-laki mana yang menyerahkan seluruh hartanya kepada sang istri? Hanya laki-laki bodoh. Aku tidak mau kau dicap seperti itu." Gemas dengan sang istri, Adam pun mengecup

  • Menaklukkan Duda Dingin   S2| 45. Ikhlas

    "Sekarang giliran aku yang memberikan hadiah," tutur Ruby canggung. "Hadiah? Kapan kau menyiapkannya?" tanya Amber terbelalak. "Belanja online bukanlah sesuatu yang sulit," tutur Ruby sebelum tersenyum simpul. Tanpa basa-basi lagi, ia menyodorkan kotak. "Bukalah! Anggap ini sebagai permintaan maaf sekaligus terima kasihku." Setelah menyerahkan peluitnya kepada Adam, si wanita hamil mengangkat penutup kotak. Begitu menemukan kain rajut merah yang terlipat rapi, ia mendesah samar. "Apakah ini bentuk protes karena kami membuang sweater putih pemberianmu dulu?" "Justru aku ingin mengubur kenangan buruk tentang itu. Kuharap, ini bisa membantu kalian mengingat Ruby yang baru." "Kalau begitu, mulai detik ini, aku dan Adam akan membuat banyak kenangan manis bersama sweater ini," tutur Amber seraya mengeluarkan hadiah dari dalam kotak. Namun, sedetik kemudian, lengkung bibirnya membeku. Ternyata, masih ada sweater lain di dalam kotak. "Kau memberi kami sweater pasangan?" desahnya tak pe

  • Menaklukkan Duda Dingin   S2| 44. Babak Baru

    "Maaf," ucap Amber, enggan menyebut nama kakak iparnya, "Ruby ingin bicara denganmu." Dalam sekejap, mata Ed melebar. Tanpa basa-basi, ia masuk melalui celah antara pintu dan Amber. "Apakah Ruby berubah pikiran?" selidik Adam seraya bangkit dari kursi. Setelah menutup pintu, ia memandu sang istri untuk duduk dengan hati-hati. "Tidak." Alis sang pria pun melengkung sempurna. "Lalu?" "Ruby ingin mengakhiri hubungan mereka secepatnya. Dengan begitu, dia bisa tinggal di kediaman Tuan Berg tanpa kekhawatiran," terang Amber sebelum menyentak alis. "Lalu, bagaimana denganmu? Apakah terjadi sesuatu selama aku masih di dalam?" Sambil meninggikan sudut bibir, Adam mengecup tangan sang istri. "Percaya atau tidak, aku merasa biasa-biasa saja. Ya, aku kesal melihat wajah Ed. Tapi, mengetahui dia sudah mendapat balasan yang setimpal, aku tidak juga merasa lega. Hanya ... biasa-biasa saja, seperti tidak ada yang berubah."

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status