Sambil mengelus perut, Amber menyandarkan diri di sofa. Wajah pucatnya tidak lagi bersemangat, sementara matanya yang redup tampak begitu putus asa.
“Ini sudah lewat beberapa jam, tapi kenapa efeknya belum hilang juga?” gerutu wanita itu sebelum terpejam menahan mual. Malangnya, bayangan sup gagal tadi siang malah terlintas semakin jelas.
“Ck, membuatku semakin pusing saja,” lanjutnya seraya memijat pelipis.
“Kenapa kau pusing? Apakah karena sup lumpurmu itu?”
Mendengar suara Tuan Dingin, Amber sontak menegakkan badan dan membuka mata. Dengan tampang datar, ia menjawab, “Ya, tapi bukan karena rasanya. Sup tomat kentang tadi sangat enak. Hanya saja, aku tidak bisa makan terlalu banyak.”
Sambil menaikkan alis, pria yang muncul dari dapur itu mengangguk-angguk. “Kalau begitu, cepat lakukan tugas selanjutnya!”
“Tugas apa lagi? Aku sudah merapikan dapurmu dan lemari tulang itu. Aku juga sudah menyingkirkan semua debu dari ruang ini. Tidak bisakah kau memberikan aku waktu istirahat?” protes wanita yang tidak bisa lagi bersabar. Permintaan si pemilik pondok terlalu banyak baginya.
“Kau sudah sepakat untuk menjadi pelayan di rumahku. Itu berarti, kau harus menuruti semua perintahku. Sekarang,” Tuan Dingin memutar kunci dan mendorong salah satu pintu, “bersihkan kamar tidur ini.”
Setelah memutar bola mata, Amber memaksakan diri untuk beranjak dari sofa. “Kanibal sepertimu punya kamar tidur? Apakah ada spring bed empuk di dalam?” tanyanya setengah mengejek.
Begitu melihat isi ruangan, mulut sang wanita terbuka lebar. Memang ada sebuah kasur di sana. Namun, hamparan pakaian beraneka aroma membuatnya tidak layak ditempati. Belum lagi debu yang menggunung dan sarang laba-laba yang bergumpal di setiap sudut langit-langit. Baru memperhatikannya saja, Amber sudah mulai bersin-bersin.
“Kau yakin ini kamar tidur? Bahkan kandang kuda jauh lebih bersih dari ruangan ini,” seru wanita itu sambil menutupi hidung dengan lengan.
“Tugasmu adalah membersihkan, bukan memberi komentar. Sekarang, mulailah bergerak. Aku akan kembali dalam beberapa jam.”
Tanpa sedikit pun iba, Tuan Dingin pergi dari sana. Ia sama sekali tidak peduli dengan raut jijik di wajah Amber. Laki-laki itu justru senang jika berhasil membuat sang wanita sengsara.
“Kenapa bisa ada manusia semacam itu di muka bumi ini?” gerutu Amber seraya mengibas-ngibas debu yang menghalangi pandangannya. “Dingin, kasar, tidak berperasaan, dan sekarang ... sangat-sangat jorok. Ugh!”
Sedetik kemudian, wanita itu mulai mengamati struktur kamar. Selain kasur, ada sebuah lemari, meja, dan kursi di dalamnya. Semua perabotan itu tertutupi debu dan pakaian yang entah sudah berapa lama tidak dicuci.
“Apakah Beruang Gila itu langsung membuang semua baju yang dia pakai? Kenapa banyak sekali? Lalu untuk apa dia punya lemari?” gerutu Amber sambil berjalan menuju perabotan yang paling bersih di antara yang lain.
Begitu menarik pintu, alis sang wanita langsung melengkung maksimal. Di luar dugaan, pakaian di dalam sana malah tertata rapi dan wangi.
“Ada apa dengan laki-laki itu? Apakah dia punya masalah mental? Kenapa hanya baju-baju ini yang dia jaga dengan baik?” gumam Amber sembari berkedip-kedip mengamati.
Sesaat kemudian, tatapan wanita itu tertuju pada kotak merah di dasar lemari. Penasaran, ia pun membukanya. Ketika menemukan sweater rajut putih, Amber langsung tercengang.
“Wah, cantik sekali,” desah wanita itu dengan mata berbinar-binar. Rasa pusing dan mual yang sempat meradang seketika lenyap tergantikan kekaguman. Dengan hati-hati, ia membentang pakaian itu di depan tubuhnya.
“Ini pasti milik Beruang Gila itu,” simpul Amber saat melihat ujung sweater yang hampir mengenai lututnya. “Kenapa pakaian sebagus ini malah disimpan dalam kotak?”
Setelah berpikir sejenak, wanita itu mulai melepas ikatan selimut di tubuhnya. “Dia pasti tidak keberatan kalau aku meminjam.” Tanpa sedikit pun keraguan, Amber mengenakan sweater putih yang ia temukan.
***
“Waktumu sudah habis. Keluarlah!”
Mendengar suara tegas itu, Amber sontak menoleh ke arah pintu. Sambil mengelap hidung dengan punggung tangan, ia meninggalkan tumpukan baju yang disusun di atas kasur.
“Tapi aku belum selesai. Masih ada meja dan kursi yang belum kubereskan,” terang sang wanita seraya melangkah keluar.
Melihat apa yang dikenakan oleh Amber, Tuan Dingin pun terbelalak. Sambil menggertakkan geraham, ia mencengkeram lengan sang wanita.
“Kenapa kau memakai sweater ini?” hardiknya sambil memberikan guncangan.
Mendapat perlakuan sekasar itu, alis Amber sontak berkerut tak senang. “Aku menemukannya di lemari. Daripada disimpan dalam kotak, bukankah lebih baik kugunakan?”
“Berani-beraninya kau membongkar barang-barang pribadiku! Sekarang juga, cepat buka!”
Mendapat teguran sekencang itu, Amber langsung mengernyit. Sembari menyingkirkan tangan sang pria dari lengannya, ia berkata, “Baiklah. Tidak perlu berteriak seperti itu.”
“Cepat buka!”
Belum sempat sang wanita kembali masuk ke kamar, Tuan Dingin sudah lebih dulu menarik sweaternya ke atas. Tak ingin tubuhnya terlihat, Amber sontak melawan. “Tunggu dulu! Aku bisa melakukannya sendiri!”
“Singkirkan pakaian ini dari tubuh kotormu!”
“Tunggu dulu!”
Sekuat tenaga, Amber mempertahankan baju rajut itu tetap melekat di tubuhnya. Akan tetapi, Tuan Dingin tidak kenal iba. Ia terus menyentak-nyentak sehingga sang wanita kesulitan.
“Biarkan aku membukanya di kamar!” pekik Amber di sela napas yang menderu.
Alih-alih berhenti, sang pria malah membabi buta. Tak sanggup lagi bersabar, Amber akhirnya melayangkan tamparan keras. Dalam sekejap, Tuan Dingin mematung dengan mata merah membara.
“Aku tahu kalau sejak awal kau tidak suka padaku. Tapi, tidak bisakah kau bersikap sedikit lebih sopan? Bagaimanapun, aku ini seorang wanita. Kau tidak boleh menarik-narik bajuku seperti tadi!” teriak Amber dengan suara serak. Kerongkongannya telah tersumbat oleh kekesalan yang membatu.
“Kaulah yang tidak sopan! Kau bilang ini bajumu? Jelas-jelas sweater putih ini milikku. Rumah yang kau injak ini juga milikku. Kau seharusnya tahu diri dan berterima kasih kepadaku, bukan malah mengobrak-abrik pondok ini.”
Seketika, air mata menetes di pipi sang wanita. Kejengkelan dalam hatinya sudah tidak teredam. “Koreksilah omonganmu itu! Aku bukan mengobrak-abrik, tapi bersih-bersih. Apakah kau lupa, kaulah yang menyuruhku melakukannya?”
“Tapi aku tidak menyuruhmu membongkar lemari, apalagi sampai mengenakan pakaianku! Kau tahu? Aku sangat menyesal telah membiarkanmu masuk. Seharusnya, kau membeku saja di luar sana.”
Sambil mengepalkan tangan, Amber membalas tatapan dingin sang pria. “Kau pikir aku suka berada di sini? Aku terpaksa. Hanya pondok kumuh ini harapanku untuk bertahan hidup. Dan kalau kau tidak suka dengan kehadiranku, kenapa kau tidak biarkan aku pergi tadi pagi?”
“Apakah otakmu bermasalah? Aku tidak pernah mengunci pintu. Kau bisa keluar kapan saja, dan aku tidak akan melarang,” geleng Tuan Dingin dengan sorot mata yang tak kalah tajam.
“Kau ingin aku keluar dengan sehelai selimut? Kau kira aku orang gila?” Ditemani napas yang bergemuruh, Amber menusuk-nusuk pundak sang pria dengan telunjuk runcingnya. “Kalau kau berharap aku keluar, kau seharusnya tidak menyembunyikan pakaianku.”
Sudut bibir Tuan Dingin spontan berkedut. “Kau bukan seorang ratu, Nona. Aku sudah berbaik hati menjemur mantelmu di luar. Apakah kau mengharapkan aku juga yang mengangkat dan memakaikannya untukmu? Bukankah kau bisa melakukannya sendiri?”
Selang satu dengus kesal, Amber berjalan menuju jendela di dekat sofa. Setelah menyingkap tirai, ia pun menemukan mantelnya tergantung di tali.
“Ck, kenapa aku tidak mencarinya di luar tadi pagi?” sesal wanita itu sebelum berbalik dan pergi mengambil jemuran.
Walaupun tidak ada angin, dinginnya malam tetap menembus tulang. Dengan hanya terbungkus sweater, tidak butuh waktu lama untuk Amber mulai menggigil. Kemarahan yang mendidihkan darah ternyata tidak cukup untuk menghangatkan tubuh.
“Apakah sekarang Tuhan sedang menghukumku? Karena itukah Dia mengirimku kemari? Untuk bertemu orang yang jauh lebih kejam dariku?”
Sambil terus menggerutu, wanita itu mengumpulkan pakaiannya. “Lihat saja! Aku tidak akan menyerah. Malam ini juga, aku akan keluar dari pondok terkutuk itu. Pasti ada orang lain yang bisa membantuku di sekitar sini.”
Hai, Wise Reader! Selamat datang di cerita terbaru Pixie! Jangan lupa follow IG pixielifeagency yaa .... Sehat dan bahagia selalu, Readers!
Dengan sekuat tenaga, Amber melempar sweater ke arah Tuan Dingin. “Ini ... kukembalikan milikmu. Maaf kalau aku sudah merusak satu hari dalam hidupmu. Kau tidak perlu memikirkan kerugian yang kutimbulkan. Aku pasti akan membayarnya nanti,” ujar wanita itu dengan nada tegas walau pita suaranya masih dililit kekesalan. “Mulai sekarang, aku tidak akan mengusik ketenanganmu lagi. Berbahagialah dengan kesendirianmu dalam pondok ini.” Sedetik kemudian, Amber keluar dan menutup pintu. Tidak ada lagi suara yang terdengar setelah kepergiannya. Tuan Dingin pun ikut menjaga hening. Pisau di tangannya tidak lagi bergerak memotong daun pinus. Selang satu helaan napas berat, barulah ia menoleh ke arah sweater yang tersangkut di pundaknya. “Jadi, dia memutuskan pergi?” batin laki-laki itu sambil berkedip lambat. “Baguslah. Dengan begitu, aku tidak perlu memikirkan cara untuk membuatnya sengsara lagi.” Dengan ekspresi datar, Tuan Dingin melangkah menuju kamar. Setibanya di sana, ia membuka kotak
Begitu terbangun, Tuan Dingin langsung tersentak. Secepat kilat, laki-laki itu melihat ke arah pemanas. Ketika menemukan Amber masih berbaring di lantai, barulah ia dapat bernapas lega. “Syukurlah,” gumamnya tanpa sadar. Dengan tenang, Tuan Dingin menghampiri dan memeriksa. Namun, ketika mendapati wajah yang memerah, matanya kembali terbelalak. “Nona?” panggilnya sambil menarik pundak sang wanita. Tanpa terduga, punggung Amber langsung rebah. Kepalanya pun terkulai tak berdaya. Bibir wanita itu pucat, sementara keringat membanjiri keningnya. Menyaksikan hal itu, sang pria otomatis menyentuh pipi Amber. “Astaga! Kenapa badanmu panas sekali?” Setelah menggetarkan bola mata sejenak, Tuan Dingin bergegas masuk ke kamar tidur. Dengan alis berkerut, ia mencari pakaian terlayak di antara tumpukan baju. Namun, selang beberapa detik, belum ada satu pun yang dipilih. Tak ingin membuang waktu, pria itu akhirnya membuka lemari dan mengambil sweater putih dari kotak merah. Selesai memakaika
Ketika mobil berhenti, Amber langsung memajukan kepala dan celingak-celinguk memeriksa sekelilingnya. Namun, dari ujung ke ujung, tidak ada satu pun bangunan yang tertangkap oleh matanya. Yang ada hanyalah bayangan pepohonan di bawah langit biru gelap. “Apakah kita sudah sampai? Mana toko grosir yang kau tuju?” Setelah menarik rem tangan, Adam menoleh ke kanan. Ekspresinya datar. Mustahil bagi sang wanita untuk mengetahui isi hatinya. “Masih beberapa puluh meter di depan. Tapi aku tidak mau ada orang yang melihatmu turun dari mobilku.” “Baiklah, itu berarti kita berpisah sekarang,” gumam Amber seraya mengangguk-angguk. Sedetik kemudian, wanita itu memasang senyum kecil yang sulit diartikan. “Terima kasih, Tuan Dingin. Terima kasih karena telah menyelamatkanku dan bersabar menghadapiku.” Tak tahu harus menjawab apa, Adam mengangkat bahu sekilas. Tatapannya kemudian beralih ke kaca depan. Sementara itu, Amber mulai melepas anting-anting di telinganya. “Seperti yang sudah kubilang,
“Kau berbelanja sebanyak ini? Apakah kau kedatangan tamu?” gumam wanita di balik meja kasir saat Adam meletakkan keranjang. Mendengar celetukan si rambut putih, alis sang pria sontak melengkung naik. Setelah hening sejenak, barulah ia menggeleng. “Aku hanya ingin makan lebih banyak.” “Ya, ya. Kanibal sepertimu mana mungkin punya teman,” gerutu si pemilik toko sebelum mulai menghitung harga. Selagi menunggu, Adam kembali menoleh ke arah pintu kaca. Amber ternyata sedang sibuk menulis di sebuah buku. “Apa yang akan terjadi kalau perempuan itu tahu yang sebenarnya? Akankah dia bertekuk lutut padaku? Haruskah aku mengaku?” pikir pria yang ketagihan mempermainkan Amber. “Jika dia kembali ke pondok, dia bisa menjadi hiburan yang menyenangkan.” Tiba-tiba, dua gadis remaja mendorong pintu. Setelah masuk, salah satunya berbisik, “Ella, bukankah perempuan tadi Amber Lim?” Dalam sekejap, Adam melirik dan mempertajam pendengaran. “Amber Lim? Siapa itu?” “Apa kau lupa? Perempuan yang berusa
Dengan raut datar, Adam mengamati barang-barang yang tergeletak di lantai. Sebotol susu yang masih berada dalam kantong belanjaan, roti yang tersisa setengah, dan sebuah buku yang terjungkal. Tak satu pun dari mereka bersih dari noda merah. Setelah termenung sejenak, sang pria menekuk lutut. Sambil berkedip lambat, ia memeriksa apa yang tertulis pada halaman pertama buku itu. “Kepada siapa pun yang menemukan buku ini, tolong kirimkan ke alamat berikut.” Membaca dua potong kalimat itu, Adam tertegun. “Apakah dia menuliskan pesan wasiat?” Seraya mengerutkan alis, ia memeriksa halaman selanjutnya. “Kepada Mia, Julian, Gaby, dan Max. Sesuatu yang buruk sedang menimpaku. Sepertinya, ini karma buruk yang harus kuterima akibat kejahatanku dulu. Tapi kalian jangan khawatir. Amber Lim tidak pernah menyerah. Aku pasti berusaha untuk menepati janjiku kepada kalian.” Setelah menyimak paragraf pertama, Adam mengerutkan alis. Sembari menggeleng samar, ia melirik ke arah yang ditempuh sang wan
Tanpa sadar, Amber menelan ludah. Setelah menarik napas berat, ia berkata dengan suara dalam. “Sudah kubilang, aku bukan perempuan seperti itu.” “Begitukah?” gumam Adam sambil menyipitkan mata. Sedetik kemudian, ibu jarinya bergerak pelan mengelus bibir sang wanita. “Bukankah kau sudah terbiasa menawarkan tubuhmu kepada laki-laki yang ingin kau rebut? Gadis-gadis tadi bahkan menyebutmu pelakor internasional.” Setelah menepis tangan sang pria dari wajahnya, Amber meruncingkan tatapan. “Tutup mulutmu. Kau tidak mengerti dengan apa yang kau sebut.” “Bagian mana yang tidak kumengerti?” selidik Tuan Dingin seraya memiringkan kepala. “Cara kau menawarkan tubuhmu? Atau bagaimana asal mula kau mendapat julukan itu?” “Aku bukan perebut suami orang,” tegas Amber dengan mata yang telah kembali berkaca-kaca. “Kau tidak berhak mencapku dengan sebutan itu.” Selang keheningan sesaat, Adam mulai mengangguk-angguk. “Baiklah. Aku tidak peduli dengan latar belakangmu. Sekarang, yang harus kita pik
Dengan mata terbelalak, Amber memutar-mutar keran. Sesekali, ia mendongak. Namun malang, tidak setetes air pun turun dari kepala shower. “Ada apa ini? Kenapa kerannya tidak mau menyala?” gumam wanita itu, khawatir. Selang beberapa saat, ia mengenakan pakaian lagi dan keluar dari kamar mandi. “Apakah kau mempermainkanku lagi? Airnya tidak jalan,” gerutu Amber kepada si pemilik pondok. Dengan santainya, Adam membalas, “Apakah kau memutar keran ke arah yang benar?” Dalam sekejap, kerut alis sang wanita berubah menjadi lengkung tinggi. “Kau kira aku sebodoh itu?” Setelah mendengus kesal, sang pria pun masuk ke kamar mandi. Tanpa basa-basi, ia memutar keran. “Lihatlah! Tidak ada air yang meluncur. Kau menipuku,” ujar Amber sambil berkacak pinggang dan mendongakkan dagu. “Ini bukan salahku. Sepertinya, pemanas pipa rusak lagi,” timpal Tuan Dingin, sama sekali tanpa beban. “Lalu, bagaimana caranya aku mandi? Aku tidak mau terus-menerus menghirup bau tomat ini.” Tiba-tiba, Adam menyu
Ketika membuka kotak obat, Amber tertegun. Foto seorang wanita berambut merah dengan gaun putih telah menyita perhatiannya. “Hm? Foto siapa ini?” Dengan mata bulat, Amber memeriksa bagian belakang kertas foto. Sayangnya, tidak ada tulisan di sana. “Kenapa Beruang Gila itu menyimpannya di kotak obat? Apakah sakitnya bisa hilang hanya dengan melihat foto ini?” Setelah mengamati beberapa saat, Amber mulai mengangguk-angguk. “Ini pasti perempuan yang dia cintai. Pantas saja Beruang Gila itu membenciku. Aku sangat bertolak belakang dengan perempuan lemah lembut yang anggun ini.” Ketika hendak mengembalikan foto itu, sang wanita terkesiap. Dengan mata yang bergetar hebat, ia mengamati potret laki-laki yang menggendong seorang bayi. “B-bukankah ... ini Adam Smith?” Dengan tangan yang terluka, Amber mendekatkan foto itu ke matanya. Namun, belum sempat ia berkedip, Tuan Dingin tiba-tiba mencengkeram lengannya. “Berani-beraninya kau membongkar barang pribadiku?” hardik pria dengan napas
Amber diam-diam membuka pintu ruang kerja. Melihat suaminya sedang melamun, ia pun menarik sebelah sudut bibir. "Apa yang sedang kau lakukan, Jewel?" Adam spontan menoleh ke arah datangnya suara. Melihat kehadiran sang istri, senyumnya pun mengembang. "Hei .... Apakah Ashley sudah tidur?" "Sudah dari tadi," sahut Amber seraya menghampiri. Kemudian, dengan santai, ia duduk di pangkuan sang suami. "Kenapa kau masih di sini? Apakah pekerjaanmu belum selesai?" Selagi sang suami menggosok tengkuk, ia mulai menyoroti meja. Ternyata, komputer sudah dimatikan. Berkas-berkas pun sudah tertata rapi dalam map. Yang tersisa di sana hanyalah ponsel yang memajang sebuah gambar. "Kau sangat menyukai foto itu, hmm?" simpul Amber seraya melirik dengan tatapan manis. Disoroti oleh mata sehangat itu, Adam pun mendesahkan senyum. Setelah mengecup pundak sang istri, ia mengangguk. "Terima kasih, Precious. Semua ini berkat dirimu. Aku tidak mungkin bisa memperbaiki hubunganku dengan Ibu kalau kau ti
"Aku tahu, kau pasti meragukan ucapanku," ringis Nyonya Smith memecah keheningan. "Apa ada sesuatu yang harus kulakukan untuk membuktikan ucapanku? Ibumu ini sungguh-sungguh ingin berubah, Adam." Masih dengan alis berkerut, sang pria mendengus. "Kenapa baru sekarang? Apakah karena Ed menelantarkan Ibu?" Nyonya Smith menggeleng sigap. "Tidak, kau jangan salah paham. Ketegangan di antara kita tidak ada sangkut pautnya dengan Ed. Akulah yang terlalu bodoh memanfaatkannya untuk merebut semua milikmu." "Omong kosong ...." "Apa kau tahu kalau Ed memarahiku? Dia sudah jenuh terseret oleh keegoisanku. Kakakmu itu bilang kalau dia tidak mau membantuku untuk menindasmu lagi." Sebelum Adam sempat membantah, Nyonya Smith lanjut bicara. "Sejak itu, aku mulai sadar. Tapi, aku masih meyakinkan diri kalau kau tidak layak bahagia. Ibumu ini sangat bodoh, hmm?" Adam mendadak bungkam. Dari bawah kernyit dahinya, ia menatap sang ibu dengan saksama. "Karena itu juga, aku belum menggunakan sepeser
Usai sang ibu membanting pintu, Adam mengusap-usap lengan Amber. Sambil memperhatikan wajah kusut istrinya itu, ia berbisik, "Kau baik-baik saja?" Sang wanita mengangguk. "Kau?" Adam menarik napas panjang. Setelah menaikkan alis, ia melengkungkan bibir. "Ya. Aku lega tidak terjadi apa-apa. Aku sempat takut kalau ibuku melakukan sesuatu yang nekat. Maaf telah membiarkannya menggendong Ashley." "Tidak apa-apa, Jewel. Kurasa, Ashley justru senang telah bertemu dengan neneknya," tutur Amber seraya mengeus kepala sang putri. Bayi mungil itu sudah kembali merapatkan mata. "Lihatlah, dia tersenyum lagi." "Dia pasti ingin menghiburmu," bisik Adam sebelum mendaratkan kecupan lembut di kening Ashley. "Bukan hanya aku, tapi kau juga. Kita beruntung dikaruniai anak yang berbakti. Ini pasti karma baikmu. Kau tetap sabar menghadapi ibumu, meskipun sudah berkali-kali disakiti." Adam spontan menggeleng. "Karma baikmu juga, Precious. Kau jauh lebih ber
Beberapa detik berlalu, orang-orang masih bertukar pandang. Tidak ada yang berani bicara sampai Ruby memecah keheningan. "Apakah aku boleh menggendongnya?" "Tentu saja," sahut Amber seraya menepuk-nepuk lengan Adam. Memahami kode yang diberikan, Adam pun mengeluarkan Ashley dari tempat tidur mungilnya. Begitu bayi itu tiba dalam dekapan Ruby, semua mata mulai berkaca-kaca. "Astaga .... Dia menggemaskan sekali," bisik Ruby dengan suara bergetar. Keharuan nyaris mendesak air mata keluar dari batasnya. "Lihatlah hidung mungil ini ... sangat mirip dengan milik Amber, sedangkan bibir tipis ini ... seratus persen salinan ayahnya." "Apakah kau mau berfoto dengan Ashley?" tanya Amber ringan. Dalam sekejap, mata sendu Ruby diwarnai keterkejutan. "Apakah boleh? Bukankah kalian sepakat untuk tidak mempublikasikan wajah putri kalian?" "Berfotolah untuk kenang-kenangan. Kau bisa mencetak lalu menyimpannya dalam dompet atau buku harian," ujar Amber sembari melirik ke arah Nick. Menyad
“Cepatlah! Aku sudah tidak tahan!” pekik Amber seraya meremas baju suaminya. Adam pun berputar-putar memeriksa pekarangan. Barangkali, ia menjatuhkan kuncinya di sekitar sana. Sementara itu, Nick malah sibuk meraba tubuhnya sendiri. Ketika tangannya menekan saku celana, matanya membulat sempurna. "Bagaimana kalau kita naik mobilku saja?" usul pria berbadan gempal itu seraya memperlihatkan kunci mobilnya. Masih dengan napas tersengal-sengal, Amber menoleh ke arah kendaraan yang terparkir di samping mobil Adam. "Kalian kira beratku mencapai satu ton? Orang-orang pasti tertawa melihat kalian membawaku dengan truk itu!" omelnya dengan suara melengking. Nick spontan meringis mendengarnya. "Maaf, Nyonya. Itu bukan truk, tapi mini box van untuk kargo kering. Aku biasa menggunakannya untuk mengantar perhiasan." "Kau tidak perlu malu, Precious," sambung Adam ditemani anggukan meyakinkan. "Mobil itu terbiasa membawa baran
"Halo, Nyonya Smith. Bagaimana kondisimu dan si Kecil?" sapa Nick ketika menyambut kedatangan Amber dan Adam. Diam-diam, ia merasa bangga melihat peluitnya tergantung di leher sang wanita. "Sangat baik. Maaf kalau harus merepotkan dirimu. Sebetulnya, ini satu minggu lebih awal dari prediksi dokter. Tapi, Adam terus mendesak agar kami menginap di rumahmu." Melihat raut bersalah Amber, Nick pun terkekeh. "Sama sekali bukan masalah, Nyonya. Apa yang dipikirkan oleh Bos memang benar. Ada baiknya jika kita berjaga-jaga. Rumah sakit terlalu jauh dari pondok kalian." "Kau memang bijak, Nick," ujar Adam seraya menenteng tiga tas besar yang diambilnya dari bagasi. "Tidak salah jika aku menaruh kepercayaan padamu." Sekali lagi, pria bertubuh gempal itu terkekeh. Setelah mengambil salah satu tas dari tangan Adam, ia melambai. "Ayo kutunjukkan kamar kalian! Aku sudah meminta Tina untuk membersihkannya tadi pagi." Selagi Nick memimpin jalan, Amber mencondo
"Ikhlas," angguk Amber sigap. "Hanya saja, aku menyayangkan sikap mereka yang tidak pernah berubah. Entah sampai kapan mereka betah membuatmu menderita." Sembari tersenyum kecil, Adam mengelus pipi istrinya. "Tenang saja! Setelah ini, aku yakin mereka tidak akan meminta yang macam-macam lagi. Aku sudah tidak punya apa-apa untuk mereka rebut." "Bagaimana dengan rumah kita? Haruskah kita mengajukan pengalihan aset? Kurasa akan lebih aman kalau sertifikatnya tercatat atas namaku." Sembari menahan tawa, Adam mengangguk. Ia tahu, sebagian hati Amber sesungguhnya tidak rela melihatnya berkorban sedemikian besar. "Karena itulah, aku bersikeras untuk menyerahkan perusahaan kepadamu. Tapi kau menolak terus." "Aku tidak mau orang-orang menganggapmu budak cintaku, Jewel. Laki-laki mana yang menyerahkan seluruh hartanya kepada sang istri? Hanya laki-laki bodoh. Aku tidak mau kau dicap seperti itu." Gemas dengan sang istri, Adam pun mengecup
"Sekarang giliran aku yang memberikan hadiah," tutur Ruby canggung. "Hadiah? Kapan kau menyiapkannya?" tanya Amber terbelalak. "Belanja online bukanlah sesuatu yang sulit," tutur Ruby sebelum tersenyum simpul. Tanpa basa-basi lagi, ia menyodorkan kotak. "Bukalah! Anggap ini sebagai permintaan maaf sekaligus terima kasihku." Setelah menyerahkan peluitnya kepada Adam, si wanita hamil mengangkat penutup kotak. Begitu menemukan kain rajut merah yang terlipat rapi, ia mendesah samar. "Apakah ini bentuk protes karena kami membuang sweater putih pemberianmu dulu?" "Justru aku ingin mengubur kenangan buruk tentang itu. Kuharap, ini bisa membantu kalian mengingat Ruby yang baru." "Kalau begitu, mulai detik ini, aku dan Adam akan membuat banyak kenangan manis bersama sweater ini," tutur Amber seraya mengeluarkan hadiah dari dalam kotak. Namun, sedetik kemudian, lengkung bibirnya membeku. Ternyata, masih ada sweater lain di dalam kotak. "Kau memberi kami sweater pasangan?" desahnya tak pe
"Maaf," ucap Amber, enggan menyebut nama kakak iparnya, "Ruby ingin bicara denganmu." Dalam sekejap, mata Ed melebar. Tanpa basa-basi, ia masuk melalui celah antara pintu dan Amber. "Apakah Ruby berubah pikiran?" selidik Adam seraya bangkit dari kursi. Setelah menutup pintu, ia memandu sang istri untuk duduk dengan hati-hati. "Tidak." Alis sang pria pun melengkung sempurna. "Lalu?" "Ruby ingin mengakhiri hubungan mereka secepatnya. Dengan begitu, dia bisa tinggal di kediaman Tuan Berg tanpa kekhawatiran," terang Amber sebelum menyentak alis. "Lalu, bagaimana denganmu? Apakah terjadi sesuatu selama aku masih di dalam?" Sambil meninggikan sudut bibir, Adam mengecup tangan sang istri. "Percaya atau tidak, aku merasa biasa-biasa saja. Ya, aku kesal melihat wajah Ed. Tapi, mengetahui dia sudah mendapat balasan yang setimpal, aku tidak juga merasa lega. Hanya ... biasa-biasa saja, seperti tidak ada yang berubah."