“Baiklah! Aku minta maaf. Aku percaya kalau kau tidak impoten. Kau tidak perlu membuktikannya,” ujar Amber sambil memaksakan otak untuk menemukan solusi. “Kalau begitu, bagaimana kalau aku memberimu semangatku?”
“Semangat?” tanya Tuan Dingin seraya menyipitkan mata.
Tanpa berpikir ulang, sang wanita mengangguk tegas. “Ya. Jika sudah bertekad, aku bisa melakukan apa saja, seperti mengurus rumahmu. Apakah kau tidak lelah mengurus pondok ini seorang diri?”
“Jadi maksudmu, kau mau menjadi pelayan di rumah ini?” selidik sang pria, meragukan.
Meski sempat ragu, Amber akhirnya melebarkan senyuman. “Ya, tentu saja. Aku bisa menyingkirkan semua debu dari perabotan, mencuci piring-piring kotor, dan ...” wanita itu berkedip-kedip mencari ide, “memasak makanan.”
“Kau bisa memasak?”
“Ya! Tentu saja. Aku tahu banyak resep makanan enak,” angguk Amber, berharap kebohongannya tidak terdeteksi.
Selang perenungan sesaat, Tuan Dingin beranjak dari sang wanita. “Kalau begitu, buatkan aku makan siang. Jika masakanmu enak, kau bisa menjadi pelayan di sini. Tapi, kalau tidak, aku sungguh akan memakanmu bulat-bulat.”
Sambil memaksakan senyum, Amber menarik napas panjang. “B-baiklah! Akan kubuktikan kalau aku koki yang hebat. Kau tidak akan menyesal telah membebaskanku. Sekarang, izinkan aku bekerja di dapurmu. Aku harus melihat bahan-bahan.”
Dengan ekspresi datar, Tuan Dingin mengibas-ngibaskan tangan. “Waktumu tiga jam.”
“Lebih dari cukup,” desah Amber sebelum menghilang dari hadapan sang pria. Ia tidak boleh menyia-nyiakan satu detik pun untuk eksperimen pertamanya.
Dalam keheningan, alis si pemilik pondok mulai berkerut dalam. Sambil melihat ke arah dapur, ia bergumam. “Kenapa perempuan bodoh sepertimu bisa memiliki bekas luka semacam itu?”
Selang perenungan sesaat, Tuan Dingin menarik lengan baju hingga pergelangan tangannya terlihat. Sembari menghela napas berat, ia mengusap bekas luka yang melintang di sana.
“Tapi itu tidak akan mengubah apa pun. Perempuan bodoh itu tetap harus menyesal karena telah masuk ke pondokku.”
***
“Oh, tidak! Kenapa jadi begini? Apakah aku memasukkan terlalu banyak tomat?” desah Amber ketika melihat ke dalam panci. Sup yang dimasaknya telah berubah warna menjadi cokelat keruh.
“Apakah ini layak dimakan?” gumamnya sambil meringis jijik.
Ketika diaduk, potongan kentang yang timbul terlihat sangat tidak cantik. Menyadari kegagalannya, Amber sontak menggigit bibir.
“Aku bisa dimasak hidup-hidup kalau Beruang Gila itu melihat ini,” pikirnya sebelum mendesah cemas. “Haruskah aku kabur saja? Atau, perlukah aku menusuknya dengan pisau ini?”
Selagi berpikir, mata Amber tertuju pada potongan tomat yang tidak jadi ia gunakan. Tak jauh di sampingnya, roti gandum masih terbungkus utuh. Setelah berkedip-kedip sejenak, wanita itu mulai mengangguk-angguk.
“Kenapa tidak sejak awal saja aku menyiapkan roti lapis? Aku mahir melakukannya, bahkan dengan mata terpejam.” Setelah menjentikkan jari, Amber kembali bergerak cepat. Waktu yang tersisa tidak banyak.
Benar saja. Tepat ketika ia selesai menaruh lapisan atas pada roti ketiga, suara langkah kaki yang berat terdengar mendekat.
“Mana makan siangku? Aku sudah lapar.”
Ingat bahwa sup gagalnya belum disingkirkan, Amber sontak terbelalak. Tanpa berpikir panjang, wanita berpakaian selimut yang diikat-ikat itu bergegas menghalangi pintu dapur.
“Tunggu dulu! Aku belum selesai plating,” serunya dengan tangan terentang lebar.
“Kau berada di dapur selama tiga jam dan masih belum selesai? Memangnya, apa yang kau masak? Daging manusia?” tanya Tuan Dingin seraya menaikkan sebelah alis.
Dengan mata bulat seperti boneka, Amber berkata, “Aku terlalu lama berpikir tadi. Sekarang, tunggulah lima menit. Tidak, dua menit.”
Lewat matanya yang menyipit, sang pria mengamati ekspresi aneh Amber. Setelah memiringkan kepala, ia menerobos masuk. Sang wanita pun terkesiap dan langsung panik. Dengan sekuat tenaga, ia mendorong pundak Tuan Dingin agar berhenti bergerak maju.
“Tunggu sebentar. Astaga! Kenapa kau tidak sabar sekali? Aku hanya butuh dua menit,” desak Amber yang malah bergerak mundur.
Percuma wanita itu mengerahkan tenaga. Hanya dalam sekejap, Tuan Dingin sudah tiba di sisi meja.
“Kau membutuhkan tiga jam untuk membuat tiga potong roti lapis?” desahnya tak percaya.
“Sudah kubilang, aku terlalu lama berpikir,” sahut Amber dengan nada tinggi dan raut kaku. Tampak jelas bahwa ia sedang menutupi sesuatu. Menyadari hal itu, sang pria mulai memeriksa sekeliling.
“Apa itu?” tanya Tuan Dingin saat melihat panci yang masih beruap di atas kompor.
Jantung Amber otomatis melompat. Dengan mata yang tidak bisa dikecilkan, ia terbata-bata. “Itu ... s-sup tomat kentang.” Sang wanita sadar bahwa ia lebih baik berkata jujur.
“Sup macam itu? Aku tidak pernah mendengarnya,” gumam sang pria sebelum melangkah maju.
Khawatir si Kanibal melihat isi panci, Amber lagi-lagi merentangkan tangan. “Tunggu dulu! Biarkan aku menyiapkannya di mangkuk!”
Malangnya, wanita itu tetap terdorong oleh sang pria. Selang beberapa detik, punggungnya telah tiba di hadapan kompor, sementara laki-laki yang tak sengaja dipeluknya itu telah melongok ke dalam panci.
“Apa ini?” tanya Tuan Dingin terheran-heran. “Kau menyiapkan racun untukku?”
“Bukan racun. Ini sup tomat kentang. Manusia gua sepertimu pasti tidak tahu,” sanggah Amber sambil mendongak menatap sang pria. Ia sudah siap melarikan diri kalau keganasan Beruang Gila itu muncul di permukaan.
“Mana ada sup dengan kentang yang tidak dikupas? Kau kira aku suka rasa tanah?”
Sambil berkedip-kedip, Amber membatin, “Oh, ternyata itu penyebab kuahnya terlihat sangat cokelat.”
Sedetik kemudian, wanita itu kembali memasang tampang sombong. “Berani-beraninya kau meremehkan masakanku! Apa kau tidak tahu berapa banyak orang yang berharap aku menjadi koki mereka? Itu karena aku sangat pandai memasak. Semua makanan yang kubuat sudah pasti enak.”
“Termasuk sup lumpur ini?” sela Tuan Dingin seraya melirik ke potongan kentang yang mengambang.
Meski sempat ragu, Amber tetap mendongakkan dagu. “Ya, ini enak. Kalau tidak percaya, coba saja.”
Sambil mengerutkan alis, sang pria menyingkirkan sang koki dari hadapannya. Sedetik kemudian, ia mulai mengaduk-aduk sup dan mengambil sedikit. Namun, bukannya mencicipi, Tuan Dingin malah mengendus-endus.
“Kau yakin ini makanan?” tanya pria itu sembari melirik curiga.
“Yakin,” jawab Amber tegas meski sadar bahwa kebohongannya terlalu besar.
“Kalau begitu, kau saja yang makan sup ini. Jika kau berhasil menghabiskannya, baru aku percaya kalau kau bisa memasak.”
Mendengar respon yang tak terduga, sang koki sontak mematung. Selang satu kedipan kaku, ia menunjuk isi panci yang mengkhawatirkan itu. “Kau ingin aku menghabiskannya seorang diri? Apakah kau sengaja membuatku gendut agar kau bisa puas memakanku nanti?”
“Tidak,” sahut Tuan Dingin sembari berbalik dan duduk di meja makan. “Aku lebih memilih roti lapis ini dibandingkan sup lumpur itu.” Sedetik kemudian, ia menunjuk kursi seberang. “Bawa makananmu dan duduklah di situ.”
Amber tidak berani melawan. Setelah menelan ludah, ia menuangkan sup ke dalam mangkuk. Dalam hati, wanita itu sangat ingin menangis. “Bagaimana mungkin aku bisa menghabiskan sup mematikan ini?” batinnya seraya menggigit bibir.
***
“Aku sudah selesai makan, tapi kau belum. Apakah sup lumpur itu tidak enak?” selidik Tuan Dingin sembari melipat tangan di atas meja dan mencondongkan badan ke depan.
Dengan potongan kentang yang memenuhi mulut, Amber hanya bisa mengibas-ngibaskan tangan di depan wajahnya yang pucat.
“Kau tidak bisa memasak, rupanya. Apakah itu berarti, sekarang aku boleh melahapmu?”
Mendapat gertakan semacam itu, sang wanita spontan memaksakan kerongkongan untuk menelan. “Tidak. Ini sangat enak. Saking enaknya, aku ingin menikmatinya lama-lama.”
Tanpa terduga, Tuan Dingin menggeser kursi ke samping Amber. “Kalau begitu, kau bisa menjadi pelayan di rumah ini. Sekarang cepat habiskan makananmu. Tugas lain menanti,” ujar pria itu sambil mendekatkan mangkuk kepada sang wanita.
“Kau tidak jadi memakanku?” tanya Amber seolah tak percaya.
“Sesuai kesepakatan. Kau menjadi pelayan karena masakanmu enak,” terang Tuan Dingin dengan tampang datar.
Merasa lega, senyum Amber seketika mengembang. “Apa tugas selanjutnya? Aku sudah siap.”
Sebelum perempuan itu bangkit berdiri, sang pria menariknya kembali ke kursi. “Habiskan dulu sup ini. Kau akan membutuhkan banyak tenaga.”
Mengetahui niat terselubungnya gagal, tatapan Amber sontak berubah sinis. Ia benar-benar tidak suka rasa tanah dari sup lumpur itu. “Kau tahu? Aku ini sangat menjaga penampilan. Aku tidak pernah makan terlalu banyak.”
“Habiskan atau kesepakatan batal.” Dengan santai, Tuan Dingin menyodorkan sepotong kentang ke mulut Amber.
Jika bukan karena takut, sang wanita pasti sudah menepis sendok di depannya. Malangnya, ia tidak punya pilihan lain selain membuka mulut dan melahap kentang dengan mata terpejam.
Menyaksikan kebodohan Amber, Tuan Dingin diam-diam tersenyum miring. Sudah lama hatinya tidak merasa sepuas itu. “Tunggu saja, Nona Lim. Aku akan membuatmu jauh lebih menderita. Ini baru permulaan. Pelakor sepertimu tidak layak bahagia,” batinnya sebelum mengisi sorot mata dengan kebencian.
Sambil mengelus perut, Amber menyandarkan diri di sofa. Wajah pucatnya tidak lagi bersemangat, sementara matanya yang redup tampak begitu putus asa. “Ini sudah lewat beberapa jam, tapi kenapa efeknya belum hilang juga?” gerutu wanita itu sebelum terpejam menahan mual. Malangnya, bayangan sup gagal tadi siang malah terlintas semakin jelas. “Ck, membuatku semakin pusing saja,” lanjutnya seraya memijat pelipis. “Kenapa kau pusing? Apakah karena sup lumpurmu itu?” Mendengar suara Tuan Dingin, Amber sontak menegakkan badan dan membuka mata. Dengan tampang datar, ia menjawab, “Ya, tapi bukan karena rasanya. Sup tomat kentang tadi sangat enak. Hanya saja, aku tidak bisa makan terlalu banyak.” Sambil menaikkan alis, pria yang muncul dari dapur itu mengangguk-angguk. “Kalau begitu, cepat lakukan tugas selanjutnya!” “Tugas apa lagi? Aku sudah merapikan dapurmu dan lemari tulang itu. Aku juga sudah menyingkirkan semua debu dari ruang ini. Tidak bisakah kau memberikan aku waktu istirahat?” p
Dengan sekuat tenaga, Amber melempar sweater ke arah Tuan Dingin. “Ini ... kukembalikan milikmu. Maaf kalau aku sudah merusak satu hari dalam hidupmu. Kau tidak perlu memikirkan kerugian yang kutimbulkan. Aku pasti akan membayarnya nanti,” ujar wanita itu dengan nada tegas walau pita suaranya masih dililit kekesalan. “Mulai sekarang, aku tidak akan mengusik ketenanganmu lagi. Berbahagialah dengan kesendirianmu dalam pondok ini.” Sedetik kemudian, Amber keluar dan menutup pintu. Tidak ada lagi suara yang terdengar setelah kepergiannya. Tuan Dingin pun ikut menjaga hening. Pisau di tangannya tidak lagi bergerak memotong daun pinus. Selang satu helaan napas berat, barulah ia menoleh ke arah sweater yang tersangkut di pundaknya. “Jadi, dia memutuskan pergi?” batin laki-laki itu sambil berkedip lambat. “Baguslah. Dengan begitu, aku tidak perlu memikirkan cara untuk membuatnya sengsara lagi.” Dengan ekspresi datar, Tuan Dingin melangkah menuju kamar. Setibanya di sana, ia membuka kotak
Begitu terbangun, Tuan Dingin langsung tersentak. Secepat kilat, laki-laki itu melihat ke arah pemanas. Ketika menemukan Amber masih berbaring di lantai, barulah ia dapat bernapas lega. “Syukurlah,” gumamnya tanpa sadar. Dengan tenang, Tuan Dingin menghampiri dan memeriksa. Namun, ketika mendapati wajah yang memerah, matanya kembali terbelalak. “Nona?” panggilnya sambil menarik pundak sang wanita. Tanpa terduga, punggung Amber langsung rebah. Kepalanya pun terkulai tak berdaya. Bibir wanita itu pucat, sementara keringat membanjiri keningnya. Menyaksikan hal itu, sang pria otomatis menyentuh pipi Amber. “Astaga! Kenapa badanmu panas sekali?” Setelah menggetarkan bola mata sejenak, Tuan Dingin bergegas masuk ke kamar tidur. Dengan alis berkerut, ia mencari pakaian terlayak di antara tumpukan baju. Namun, selang beberapa detik, belum ada satu pun yang dipilih. Tak ingin membuang waktu, pria itu akhirnya membuka lemari dan mengambil sweater putih dari kotak merah. Selesai memakaika
Ketika mobil berhenti, Amber langsung memajukan kepala dan celingak-celinguk memeriksa sekelilingnya. Namun, dari ujung ke ujung, tidak ada satu pun bangunan yang tertangkap oleh matanya. Yang ada hanyalah bayangan pepohonan di bawah langit biru gelap. “Apakah kita sudah sampai? Mana toko grosir yang kau tuju?” Setelah menarik rem tangan, Adam menoleh ke kanan. Ekspresinya datar. Mustahil bagi sang wanita untuk mengetahui isi hatinya. “Masih beberapa puluh meter di depan. Tapi aku tidak mau ada orang yang melihatmu turun dari mobilku.” “Baiklah, itu berarti kita berpisah sekarang,” gumam Amber seraya mengangguk-angguk. Sedetik kemudian, wanita itu memasang senyum kecil yang sulit diartikan. “Terima kasih, Tuan Dingin. Terima kasih karena telah menyelamatkanku dan bersabar menghadapiku.” Tak tahu harus menjawab apa, Adam mengangkat bahu sekilas. Tatapannya kemudian beralih ke kaca depan. Sementara itu, Amber mulai melepas anting-anting di telinganya. “Seperti yang sudah kubilang,
“Kau berbelanja sebanyak ini? Apakah kau kedatangan tamu?” gumam wanita di balik meja kasir saat Adam meletakkan keranjang. Mendengar celetukan si rambut putih, alis sang pria sontak melengkung naik. Setelah hening sejenak, barulah ia menggeleng. “Aku hanya ingin makan lebih banyak.” “Ya, ya. Kanibal sepertimu mana mungkin punya teman,” gerutu si pemilik toko sebelum mulai menghitung harga. Selagi menunggu, Adam kembali menoleh ke arah pintu kaca. Amber ternyata sedang sibuk menulis di sebuah buku. “Apa yang akan terjadi kalau perempuan itu tahu yang sebenarnya? Akankah dia bertekuk lutut padaku? Haruskah aku mengaku?” pikir pria yang ketagihan mempermainkan Amber. “Jika dia kembali ke pondok, dia bisa menjadi hiburan yang menyenangkan.” Tiba-tiba, dua gadis remaja mendorong pintu. Setelah masuk, salah satunya berbisik, “Ella, bukankah perempuan tadi Amber Lim?” Dalam sekejap, Adam melirik dan mempertajam pendengaran. “Amber Lim? Siapa itu?” “Apa kau lupa? Perempuan yang berusa
Dengan raut datar, Adam mengamati barang-barang yang tergeletak di lantai. Sebotol susu yang masih berada dalam kantong belanjaan, roti yang tersisa setengah, dan sebuah buku yang terjungkal. Tak satu pun dari mereka bersih dari noda merah. Setelah termenung sejenak, sang pria menekuk lutut. Sambil berkedip lambat, ia memeriksa apa yang tertulis pada halaman pertama buku itu. “Kepada siapa pun yang menemukan buku ini, tolong kirimkan ke alamat berikut.” Membaca dua potong kalimat itu, Adam tertegun. “Apakah dia menuliskan pesan wasiat?” Seraya mengerutkan alis, ia memeriksa halaman selanjutnya. “Kepada Mia, Julian, Gaby, dan Max. Sesuatu yang buruk sedang menimpaku. Sepertinya, ini karma buruk yang harus kuterima akibat kejahatanku dulu. Tapi kalian jangan khawatir. Amber Lim tidak pernah menyerah. Aku pasti berusaha untuk menepati janjiku kepada kalian.” Setelah menyimak paragraf pertama, Adam mengerutkan alis. Sembari menggeleng samar, ia melirik ke arah yang ditempuh sang wan
Tanpa sadar, Amber menelan ludah. Setelah menarik napas berat, ia berkata dengan suara dalam. “Sudah kubilang, aku bukan perempuan seperti itu.” “Begitukah?” gumam Adam sambil menyipitkan mata. Sedetik kemudian, ibu jarinya bergerak pelan mengelus bibir sang wanita. “Bukankah kau sudah terbiasa menawarkan tubuhmu kepada laki-laki yang ingin kau rebut? Gadis-gadis tadi bahkan menyebutmu pelakor internasional.” Setelah menepis tangan sang pria dari wajahnya, Amber meruncingkan tatapan. “Tutup mulutmu. Kau tidak mengerti dengan apa yang kau sebut.” “Bagian mana yang tidak kumengerti?” selidik Tuan Dingin seraya memiringkan kepala. “Cara kau menawarkan tubuhmu? Atau bagaimana asal mula kau mendapat julukan itu?” “Aku bukan perebut suami orang,” tegas Amber dengan mata yang telah kembali berkaca-kaca. “Kau tidak berhak mencapku dengan sebutan itu.” Selang keheningan sesaat, Adam mulai mengangguk-angguk. “Baiklah. Aku tidak peduli dengan latar belakangmu. Sekarang, yang harus kita pik
Dengan mata terbelalak, Amber memutar-mutar keran. Sesekali, ia mendongak. Namun malang, tidak setetes air pun turun dari kepala shower. “Ada apa ini? Kenapa kerannya tidak mau menyala?” gumam wanita itu, khawatir. Selang beberapa saat, ia mengenakan pakaian lagi dan keluar dari kamar mandi. “Apakah kau mempermainkanku lagi? Airnya tidak jalan,” gerutu Amber kepada si pemilik pondok. Dengan santainya, Adam membalas, “Apakah kau memutar keran ke arah yang benar?” Dalam sekejap, kerut alis sang wanita berubah menjadi lengkung tinggi. “Kau kira aku sebodoh itu?” Setelah mendengus kesal, sang pria pun masuk ke kamar mandi. Tanpa basa-basi, ia memutar keran. “Lihatlah! Tidak ada air yang meluncur. Kau menipuku,” ujar Amber sambil berkacak pinggang dan mendongakkan dagu. “Ini bukan salahku. Sepertinya, pemanas pipa rusak lagi,” timpal Tuan Dingin, sama sekali tanpa beban. “Lalu, bagaimana caranya aku mandi? Aku tidak mau terus-menerus menghirup bau tomat ini.” Tiba-tiba, Adam menyu
Amber diam-diam membuka pintu ruang kerja. Melihat suaminya sedang melamun, ia pun menarik sebelah sudut bibir. "Apa yang sedang kau lakukan, Jewel?" Adam spontan menoleh ke arah datangnya suara. Melihat kehadiran sang istri, senyumnya pun mengembang. "Hei .... Apakah Ashley sudah tidur?" "Sudah dari tadi," sahut Amber seraya menghampiri. Kemudian, dengan santai, ia duduk di pangkuan sang suami. "Kenapa kau masih di sini? Apakah pekerjaanmu belum selesai?" Selagi sang suami menggosok tengkuk, ia mulai menyoroti meja. Ternyata, komputer sudah dimatikan. Berkas-berkas pun sudah tertata rapi dalam map. Yang tersisa di sana hanyalah ponsel yang memajang sebuah gambar. "Kau sangat menyukai foto itu, hmm?" simpul Amber seraya melirik dengan tatapan manis. Disoroti oleh mata sehangat itu, Adam pun mendesahkan senyum. Setelah mengecup pundak sang istri, ia mengangguk. "Terima kasih, Precious. Semua ini berkat dirimu. Aku tidak mungkin bisa memperbaiki hubunganku dengan Ibu kalau kau ti
"Aku tahu, kau pasti meragukan ucapanku," ringis Nyonya Smith memecah keheningan. "Apa ada sesuatu yang harus kulakukan untuk membuktikan ucapanku? Ibumu ini sungguh-sungguh ingin berubah, Adam." Masih dengan alis berkerut, sang pria mendengus. "Kenapa baru sekarang? Apakah karena Ed menelantarkan Ibu?" Nyonya Smith menggeleng sigap. "Tidak, kau jangan salah paham. Ketegangan di antara kita tidak ada sangkut pautnya dengan Ed. Akulah yang terlalu bodoh memanfaatkannya untuk merebut semua milikmu." "Omong kosong ...." "Apa kau tahu kalau Ed memarahiku? Dia sudah jenuh terseret oleh keegoisanku. Kakakmu itu bilang kalau dia tidak mau membantuku untuk menindasmu lagi." Sebelum Adam sempat membantah, Nyonya Smith lanjut bicara. "Sejak itu, aku mulai sadar. Tapi, aku masih meyakinkan diri kalau kau tidak layak bahagia. Ibumu ini sangat bodoh, hmm?" Adam mendadak bungkam. Dari bawah kernyit dahinya, ia menatap sang ibu dengan saksama. "Karena itu juga, aku belum menggunakan sepeser
Usai sang ibu membanting pintu, Adam mengusap-usap lengan Amber. Sambil memperhatikan wajah kusut istrinya itu, ia berbisik, "Kau baik-baik saja?" Sang wanita mengangguk. "Kau?" Adam menarik napas panjang. Setelah menaikkan alis, ia melengkungkan bibir. "Ya. Aku lega tidak terjadi apa-apa. Aku sempat takut kalau ibuku melakukan sesuatu yang nekat. Maaf telah membiarkannya menggendong Ashley." "Tidak apa-apa, Jewel. Kurasa, Ashley justru senang telah bertemu dengan neneknya," tutur Amber seraya mengeus kepala sang putri. Bayi mungil itu sudah kembali merapatkan mata. "Lihatlah, dia tersenyum lagi." "Dia pasti ingin menghiburmu," bisik Adam sebelum mendaratkan kecupan lembut di kening Ashley. "Bukan hanya aku, tapi kau juga. Kita beruntung dikaruniai anak yang berbakti. Ini pasti karma baikmu. Kau tetap sabar menghadapi ibumu, meskipun sudah berkali-kali disakiti." Adam spontan menggeleng. "Karma baikmu juga, Precious. Kau jauh lebih ber
Beberapa detik berlalu, orang-orang masih bertukar pandang. Tidak ada yang berani bicara sampai Ruby memecah keheningan. "Apakah aku boleh menggendongnya?" "Tentu saja," sahut Amber seraya menepuk-nepuk lengan Adam. Memahami kode yang diberikan, Adam pun mengeluarkan Ashley dari tempat tidur mungilnya. Begitu bayi itu tiba dalam dekapan Ruby, semua mata mulai berkaca-kaca. "Astaga .... Dia menggemaskan sekali," bisik Ruby dengan suara bergetar. Keharuan nyaris mendesak air mata keluar dari batasnya. "Lihatlah hidung mungil ini ... sangat mirip dengan milik Amber, sedangkan bibir tipis ini ... seratus persen salinan ayahnya." "Apakah kau mau berfoto dengan Ashley?" tanya Amber ringan. Dalam sekejap, mata sendu Ruby diwarnai keterkejutan. "Apakah boleh? Bukankah kalian sepakat untuk tidak mempublikasikan wajah putri kalian?" "Berfotolah untuk kenang-kenangan. Kau bisa mencetak lalu menyimpannya dalam dompet atau buku harian," ujar Amber sembari melirik ke arah Nick. Menyad
“Cepatlah! Aku sudah tidak tahan!” pekik Amber seraya meremas baju suaminya. Adam pun berputar-putar memeriksa pekarangan. Barangkali, ia menjatuhkan kuncinya di sekitar sana. Sementara itu, Nick malah sibuk meraba tubuhnya sendiri. Ketika tangannya menekan saku celana, matanya membulat sempurna. "Bagaimana kalau kita naik mobilku saja?" usul pria berbadan gempal itu seraya memperlihatkan kunci mobilnya. Masih dengan napas tersengal-sengal, Amber menoleh ke arah kendaraan yang terparkir di samping mobil Adam. "Kalian kira beratku mencapai satu ton? Orang-orang pasti tertawa melihat kalian membawaku dengan truk itu!" omelnya dengan suara melengking. Nick spontan meringis mendengarnya. "Maaf, Nyonya. Itu bukan truk, tapi mini box van untuk kargo kering. Aku biasa menggunakannya untuk mengantar perhiasan." "Kau tidak perlu malu, Precious," sambung Adam ditemani anggukan meyakinkan. "Mobil itu terbiasa membawa baran
"Halo, Nyonya Smith. Bagaimana kondisimu dan si Kecil?" sapa Nick ketika menyambut kedatangan Amber dan Adam. Diam-diam, ia merasa bangga melihat peluitnya tergantung di leher sang wanita. "Sangat baik. Maaf kalau harus merepotkan dirimu. Sebetulnya, ini satu minggu lebih awal dari prediksi dokter. Tapi, Adam terus mendesak agar kami menginap di rumahmu." Melihat raut bersalah Amber, Nick pun terkekeh. "Sama sekali bukan masalah, Nyonya. Apa yang dipikirkan oleh Bos memang benar. Ada baiknya jika kita berjaga-jaga. Rumah sakit terlalu jauh dari pondok kalian." "Kau memang bijak, Nick," ujar Adam seraya menenteng tiga tas besar yang diambilnya dari bagasi. "Tidak salah jika aku menaruh kepercayaan padamu." Sekali lagi, pria bertubuh gempal itu terkekeh. Setelah mengambil salah satu tas dari tangan Adam, ia melambai. "Ayo kutunjukkan kamar kalian! Aku sudah meminta Tina untuk membersihkannya tadi pagi." Selagi Nick memimpin jalan, Amber mencondo
"Ikhlas," angguk Amber sigap. "Hanya saja, aku menyayangkan sikap mereka yang tidak pernah berubah. Entah sampai kapan mereka betah membuatmu menderita." Sembari tersenyum kecil, Adam mengelus pipi istrinya. "Tenang saja! Setelah ini, aku yakin mereka tidak akan meminta yang macam-macam lagi. Aku sudah tidak punya apa-apa untuk mereka rebut." "Bagaimana dengan rumah kita? Haruskah kita mengajukan pengalihan aset? Kurasa akan lebih aman kalau sertifikatnya tercatat atas namaku." Sembari menahan tawa, Adam mengangguk. Ia tahu, sebagian hati Amber sesungguhnya tidak rela melihatnya berkorban sedemikian besar. "Karena itulah, aku bersikeras untuk menyerahkan perusahaan kepadamu. Tapi kau menolak terus." "Aku tidak mau orang-orang menganggapmu budak cintaku, Jewel. Laki-laki mana yang menyerahkan seluruh hartanya kepada sang istri? Hanya laki-laki bodoh. Aku tidak mau kau dicap seperti itu." Gemas dengan sang istri, Adam pun mengecup
"Sekarang giliran aku yang memberikan hadiah," tutur Ruby canggung. "Hadiah? Kapan kau menyiapkannya?" tanya Amber terbelalak. "Belanja online bukanlah sesuatu yang sulit," tutur Ruby sebelum tersenyum simpul. Tanpa basa-basi lagi, ia menyodorkan kotak. "Bukalah! Anggap ini sebagai permintaan maaf sekaligus terima kasihku." Setelah menyerahkan peluitnya kepada Adam, si wanita hamil mengangkat penutup kotak. Begitu menemukan kain rajut merah yang terlipat rapi, ia mendesah samar. "Apakah ini bentuk protes karena kami membuang sweater putih pemberianmu dulu?" "Justru aku ingin mengubur kenangan buruk tentang itu. Kuharap, ini bisa membantu kalian mengingat Ruby yang baru." "Kalau begitu, mulai detik ini, aku dan Adam akan membuat banyak kenangan manis bersama sweater ini," tutur Amber seraya mengeluarkan hadiah dari dalam kotak. Namun, sedetik kemudian, lengkung bibirnya membeku. Ternyata, masih ada sweater lain di dalam kotak. "Kau memberi kami sweater pasangan?" desahnya tak pe
"Maaf," ucap Amber, enggan menyebut nama kakak iparnya, "Ruby ingin bicara denganmu." Dalam sekejap, mata Ed melebar. Tanpa basa-basi, ia masuk melalui celah antara pintu dan Amber. "Apakah Ruby berubah pikiran?" selidik Adam seraya bangkit dari kursi. Setelah menutup pintu, ia memandu sang istri untuk duduk dengan hati-hati. "Tidak." Alis sang pria pun melengkung sempurna. "Lalu?" "Ruby ingin mengakhiri hubungan mereka secepatnya. Dengan begitu, dia bisa tinggal di kediaman Tuan Berg tanpa kekhawatiran," terang Amber sebelum menyentak alis. "Lalu, bagaimana denganmu? Apakah terjadi sesuatu selama aku masih di dalam?" Sambil meninggikan sudut bibir, Adam mengecup tangan sang istri. "Percaya atau tidak, aku merasa biasa-biasa saja. Ya, aku kesal melihat wajah Ed. Tapi, mengetahui dia sudah mendapat balasan yang setimpal, aku tidak juga merasa lega. Hanya ... biasa-biasa saja, seperti tidak ada yang berubah."