Amber terbangun ketika seseorang menendang kakinya. Sambil mengerang, ia meregangkan otot-ototnya yang pegal. Namun, begitu melihat Tuan Dingin berdiri dengan sekop di tangan, wanita itu spontan beranjak. Dengan mata bulat, ia bertanya, “Kenapa kau membawa alat itu?” “Ini bukan waktunya bersantai. Sekarang juga, bersihkan tumpukan salju yang menghalangi jalan,” tutur Adam sambil menjatuhkan sekop. Dengan sigap, sang wanita menangkapnya. “Jalan mana?” “Semua jalan di sekitar rumahku, termasuk jalur untuk mobil dan jalan menuju kolam. Aku mau berjalan tanpa halangan,” sahut sang pria, lantang. Alis sang wanita sontak berkerut. “Baiklah, tidak perlu berteriak sekencang itu. Akan kulakukan setelah sarapan.” “Siapa bilang kau boleh sarapan? Kau tidak akan mendapat makanan sebelum selesai bekerja. Hanya air minum yang boleh kau masukkan ke mulutmu.” Sembari menggertakkan geraham, Amber mempertajam tatapan. “Aku ini pelayan di rumah ini, bukan budak. Kenapa kau melarangku makan?” “Tida
“Orang-orang berkata kalau aku telah merebut Max dari Gaby. Padahal, kenyataannya tidak seperti itu,” tutur Amber sebelum mendesah samar. “Aku yang lebih dulu mengenal Max, aku yang lebih dulu menyukainya, dan aku juga yang lebih dulu dekat dengannya.” “Apakah kalian dulu berpacaran?” tanya Adam, terdengar penuh simpati. Sambil tersenyum miris, sang wanita menggeleng. “Tidak. Karena itulah, aku sangat marah ketika Gaby datang. Bagaimana mungkin dia bisa langsung mendapatkan Max, sedangkan aku yang sudah bertahun-tahun mengejarnya tidak pernah diberi kesempatan?” “Kau berpikir kalau Gaby telah merebut Max darimu?” simpul Adam seraya melirik. Sekali lagi, Amber menggeleng. “Entahlah. Max tidak pernah menjadi milikku. Aku tidak bisa mengklaim kalau Gaby sudah merebutnya. Hanya saja, aku tidak terima kalau kesempatanku lenyap. Waktu itu, aku menolak percaya kalau mereka sudah menikah.” “Lalu kau berusaha merebut laki-laki itu dari istrinya?” Nada bicara Adam kembali terdengar mengha
“Lepaskan!” pekik Amber saat mendapat kesempatan bernapas. Namun, sedetik kemudian, mulutnya kembali dibungkam. Wajahnya sampai memerah karena gelagapan. Sadar bahwa Amber belum sempat mengumpulkan oksigen, Adam pun turun ke leher sang wanita. “Berhentilah!” teriak Amber di sela desah napas. “Ini pelecehan! Aku akan menuntutmu kalau kau—” Lagi-lagi, sang pria menargetkan bibirnya. Dengan sisa tenaga yang tak seberapa, Amber tak mampu melawan. Sekuat apa pun ia mendorong, pundak di atasnya tidak juga menjauh. Adam terus mengambil kenikmatan dari bibirnya. Kelelahan, sang wanita akhirnya berhenti meronta. Sambil mengerutkan alis, ia memejamkan mata rapat-rapat. Hatinya panas terbakar kecewa dan marah. “Kenapa Beruang Gila ini selalu menyiksaku? Tidak bisakah dia memperlakukanku dengan layak?” batin Amber sembari menelan kepedihan. Menyadari kepasrahan sang wanita, Adam pun menghentikan aksinya. Seraya mengatur napas, ia memperhatikan air mata yang membasahi pelipis Amber. “Ck, aku
“Aku berdebar karena sentuhannya?” batin Adam sambil berkedip tegas. Pria itu sama sekali tidak bergerak. Ia terlalu sibuk memikirkan keajaiban yang terjadi pada dirinya. Melihat keanehan Tuan Dingin, Amber bertambah bingung. Sembari mengabaikan perasaan ngeri, ia bertanya, “Apa kau baik-baik saja?” Tiba-tiba, Adam menarik sebelah tangan Amber untuk diletakkan di pipinya. Menyaksikan kelakuan pria itu, sang wanita semakin terbelalak. “Apa yang kau lakukan?” Tanpa memberikan jawaban, si Beruang Gila memindahkan tangan Amber ke atas kepala, pundak, lalu kembali ke dada. Setiap kali sang wanita menyentuhnya, hatinya tergelitik. “Ada apa dengan tangan ini?” “Ada apa dengan tanganku?” balas Amber seraya melihat ke arah yang sama—telapaknya. Tiba-tiba, Adam mendorong sang wanita sehingga mereka kembali rata dengan sofa. Sambil menunggu debar dalam dada, pria itu memiringkan kepala. “Kenapa sekarang malah hilang?” desahnya sebelum berpikir lebih keras. Risih dengan kedekatan mereka, A
“Mana Beruang Gila itu?” gumam Amber saat mendapati Tuan Dingin tidak lagi berada di balik punggungnya. Sambil mengernyitkan wajah, ia beranjak duduk. “Astaga! Ini sudah pukul 11? Aku tidur lebih dari 12 jam?” desah perempuan itu saat melihat penunjuk waktu di dinding. Seraya berkedip-kedip tak percaya, ia bergegas melipat selimut. “Ini gawat! Beruang Gila itu pasti akan memarahiku.” Secepat kilat, Amber bangkit dari sofa. Tepat pada saat itulah, matanya tertuju pada secarik kertas lusuh di atas meja. “Apa ini?” Dengan alis terangkat tinggi, wanita itu membaca pesan yang tertulis. “Aku sudah menunggumu sejak pagi, tapi kau tidak bangun-bangun. Jadi, aku terpaksa berangkat sendiri ke kota besar.” “Dia pergi menemui Adam Smith tanpa mengajakku?” seru Amber dengan mata lebar. “Ah, aku seharusnya bangun lebih awal.” Sembari meringis, ia meneruskan bacaan. “Tapi kau tidak perlu cemas. Aku akan membawakan idolamu itu ke hadapanmu. Jadi bersiaplah! Pakaianmu ada di atas tempat tidur,
"Sekarang, apakah kau puas? Kau sudah melihat betapa menderitanya perempuan yang kau benci ini. Sudah cukupkah hukuman yang kuterima?" Amber mengepalkan tangan, berusaha menghentikan tangis. Akan tetapi, air matanya terus mendesak keluar. Mendengar suara lirih wanita itu, dada Adam bertambah sesak. Setelah menarik napas berat, ia akhirnya memecah hening. "Di sini dingin. Sebaiknya kita bicara baik-baik di dalam." "Kau kira aku sudi menginjak rumahmu lagi?" Sang wanita tertawa datar sejenak. "Jangan bodoh, Tuan Smith. Pondokmu adalah tempat terburuk di muka bumi. Aku sangat menyesal pernah tinggal di sini." Tanpa basa-basi, Amber berjalan melewati pundak sang pria. Spontan saja, Adam menahan lengannya. "Kau tidak perlu pergi. Aku sudah bertekad untuk tidak bersikap kasar lagi." Sorot mata Amber otomatis menajam, sementara sudut bibirnya berkedut jijik. "Simpan omong kosong itu untuk dirimu sendiri! Kau membuatku semakin muak!" Sebelum wanita itu menepis tangannya, Adam memajukan k
"Tidak!" Amber menghindar dari mulut botol. "Jangan meracuniku!" "Tenang, Nona. Ini tidak akan mengantarmu ke neraka. Kau malah akan merasakan surga dunia," bisik sang pria sebelum mencengkeram dagu korbannya lebih kuat. Ketika air berhasil masuk ke mulut, Amber dengan sigap menyemburnya. Melihat perempuan itu masih sanggup melawan, sang pria mulai menggeram. "Minum!" Namun, setiap kali ia mengangkat dasar botol, Amber selalu berhasil menumpahkan air yang dituang. Merasa kesal, laki-laki itu akhirnya melayangkan tamparan keras. Seketika, sang wanita tertunduk dengan alis berkerut dan mata terpejam. Rasa pusing yang hebat telah mengguncang kepalanya. "Seharusnya kau menurut sejak tadi! Minum!" Dalam kondisi setengah sadar, Amber menuruti paksaan. Meski sempat terbatuk-batuk, ia terus dicekoki hingga tidak ada air yang tersisa. Para penjamah semakin bersemangat melihatnya. Mereka tertawa puas selagi membayangkan malam yang membara. "Bagus, Nona," ujar si pemimpin gerombolan sebe
“Aku saja yang ke dapur. Kau beristirahatlah di sini,” ujar Adam sembari mengangguk tulus. Namun, bukannya beranjak, sang wanita malah bergeming. Ia telah terhipnotis oleh mata hijau yang hanya berjarak beberapa inci dari hidungnya. “Amber?” panggil pria yang kebingungan menyaksikan diamnya sang wanita. Tanpa terduga, Amber menangkup pipi Adam dengan kedua tangan. Sembari menutup mata, ia pun merapatkan jarak di antara bibir mereka. Tubuh sang pria seketika menegang. Alisnya terangkat maksimal dan kedipannya tertahan. Selama beberapa saat, ia tidak berani bergerak. Hati dan logikanya sedang bertempur hebat. "Haruskah aku menyambut kecupan? Sudah dua tahun aku lebih tidak merasakan kenikmatan ini. Tapi aku bukan laki-laki berengsek yang memanfaatkan keadaan." Ketika Amber memberi jeda untuk mengambil napas, Adam cepat-cepat memisahkan pundak mereka. Dengan tampang datar, ia mencoba untuk membangkitkan akal sehat sang wanita. "Berhentilah! Bukankah kau tidak mau melakukannya d
Amber diam-diam membuka pintu ruang kerja. Melihat suaminya sedang melamun, ia pun menarik sebelah sudut bibir. "Apa yang sedang kau lakukan, Jewel?" Adam spontan menoleh ke arah datangnya suara. Melihat kehadiran sang istri, senyumnya pun mengembang. "Hei .... Apakah Ashley sudah tidur?" "Sudah dari tadi," sahut Amber seraya menghampiri. Kemudian, dengan santai, ia duduk di pangkuan sang suami. "Kenapa kau masih di sini? Apakah pekerjaanmu belum selesai?" Selagi sang suami menggosok tengkuk, ia mulai menyoroti meja. Ternyata, komputer sudah dimatikan. Berkas-berkas pun sudah tertata rapi dalam map. Yang tersisa di sana hanyalah ponsel yang memajang sebuah gambar. "Kau sangat menyukai foto itu, hmm?" simpul Amber seraya melirik dengan tatapan manis. Disoroti oleh mata sehangat itu, Adam pun mendesahkan senyum. Setelah mengecup pundak sang istri, ia mengangguk. "Terima kasih, Precious. Semua ini berkat dirimu. Aku tidak mungkin bisa memperbaiki hubunganku dengan Ibu kalau kau ti
"Aku tahu, kau pasti meragukan ucapanku," ringis Nyonya Smith memecah keheningan. "Apa ada sesuatu yang harus kulakukan untuk membuktikan ucapanku? Ibumu ini sungguh-sungguh ingin berubah, Adam." Masih dengan alis berkerut, sang pria mendengus. "Kenapa baru sekarang? Apakah karena Ed menelantarkan Ibu?" Nyonya Smith menggeleng sigap. "Tidak, kau jangan salah paham. Ketegangan di antara kita tidak ada sangkut pautnya dengan Ed. Akulah yang terlalu bodoh memanfaatkannya untuk merebut semua milikmu." "Omong kosong ...." "Apa kau tahu kalau Ed memarahiku? Dia sudah jenuh terseret oleh keegoisanku. Kakakmu itu bilang kalau dia tidak mau membantuku untuk menindasmu lagi." Sebelum Adam sempat membantah, Nyonya Smith lanjut bicara. "Sejak itu, aku mulai sadar. Tapi, aku masih meyakinkan diri kalau kau tidak layak bahagia. Ibumu ini sangat bodoh, hmm?" Adam mendadak bungkam. Dari bawah kernyit dahinya, ia menatap sang ibu dengan saksama. "Karena itu juga, aku belum menggunakan sepeser
Usai sang ibu membanting pintu, Adam mengusap-usap lengan Amber. Sambil memperhatikan wajah kusut istrinya itu, ia berbisik, "Kau baik-baik saja?" Sang wanita mengangguk. "Kau?" Adam menarik napas panjang. Setelah menaikkan alis, ia melengkungkan bibir. "Ya. Aku lega tidak terjadi apa-apa. Aku sempat takut kalau ibuku melakukan sesuatu yang nekat. Maaf telah membiarkannya menggendong Ashley." "Tidak apa-apa, Jewel. Kurasa, Ashley justru senang telah bertemu dengan neneknya," tutur Amber seraya mengeus kepala sang putri. Bayi mungil itu sudah kembali merapatkan mata. "Lihatlah, dia tersenyum lagi." "Dia pasti ingin menghiburmu," bisik Adam sebelum mendaratkan kecupan lembut di kening Ashley. "Bukan hanya aku, tapi kau juga. Kita beruntung dikaruniai anak yang berbakti. Ini pasti karma baikmu. Kau tetap sabar menghadapi ibumu, meskipun sudah berkali-kali disakiti." Adam spontan menggeleng. "Karma baikmu juga, Precious. Kau jauh lebih ber
Beberapa detik berlalu, orang-orang masih bertukar pandang. Tidak ada yang berani bicara sampai Ruby memecah keheningan. "Apakah aku boleh menggendongnya?" "Tentu saja," sahut Amber seraya menepuk-nepuk lengan Adam. Memahami kode yang diberikan, Adam pun mengeluarkan Ashley dari tempat tidur mungilnya. Begitu bayi itu tiba dalam dekapan Ruby, semua mata mulai berkaca-kaca. "Astaga .... Dia menggemaskan sekali," bisik Ruby dengan suara bergetar. Keharuan nyaris mendesak air mata keluar dari batasnya. "Lihatlah hidung mungil ini ... sangat mirip dengan milik Amber, sedangkan bibir tipis ini ... seratus persen salinan ayahnya." "Apakah kau mau berfoto dengan Ashley?" tanya Amber ringan. Dalam sekejap, mata sendu Ruby diwarnai keterkejutan. "Apakah boleh? Bukankah kalian sepakat untuk tidak mempublikasikan wajah putri kalian?" "Berfotolah untuk kenang-kenangan. Kau bisa mencetak lalu menyimpannya dalam dompet atau buku harian," ujar Amber sembari melirik ke arah Nick. Menyad
“Cepatlah! Aku sudah tidak tahan!” pekik Amber seraya meremas baju suaminya. Adam pun berputar-putar memeriksa pekarangan. Barangkali, ia menjatuhkan kuncinya di sekitar sana. Sementara itu, Nick malah sibuk meraba tubuhnya sendiri. Ketika tangannya menekan saku celana, matanya membulat sempurna. "Bagaimana kalau kita naik mobilku saja?" usul pria berbadan gempal itu seraya memperlihatkan kunci mobilnya. Masih dengan napas tersengal-sengal, Amber menoleh ke arah kendaraan yang terparkir di samping mobil Adam. "Kalian kira beratku mencapai satu ton? Orang-orang pasti tertawa melihat kalian membawaku dengan truk itu!" omelnya dengan suara melengking. Nick spontan meringis mendengarnya. "Maaf, Nyonya. Itu bukan truk, tapi mini box van untuk kargo kering. Aku biasa menggunakannya untuk mengantar perhiasan." "Kau tidak perlu malu, Precious," sambung Adam ditemani anggukan meyakinkan. "Mobil itu terbiasa membawa baran
"Halo, Nyonya Smith. Bagaimana kondisimu dan si Kecil?" sapa Nick ketika menyambut kedatangan Amber dan Adam. Diam-diam, ia merasa bangga melihat peluitnya tergantung di leher sang wanita. "Sangat baik. Maaf kalau harus merepotkan dirimu. Sebetulnya, ini satu minggu lebih awal dari prediksi dokter. Tapi, Adam terus mendesak agar kami menginap di rumahmu." Melihat raut bersalah Amber, Nick pun terkekeh. "Sama sekali bukan masalah, Nyonya. Apa yang dipikirkan oleh Bos memang benar. Ada baiknya jika kita berjaga-jaga. Rumah sakit terlalu jauh dari pondok kalian." "Kau memang bijak, Nick," ujar Adam seraya menenteng tiga tas besar yang diambilnya dari bagasi. "Tidak salah jika aku menaruh kepercayaan padamu." Sekali lagi, pria bertubuh gempal itu terkekeh. Setelah mengambil salah satu tas dari tangan Adam, ia melambai. "Ayo kutunjukkan kamar kalian! Aku sudah meminta Tina untuk membersihkannya tadi pagi." Selagi Nick memimpin jalan, Amber mencondo
"Ikhlas," angguk Amber sigap. "Hanya saja, aku menyayangkan sikap mereka yang tidak pernah berubah. Entah sampai kapan mereka betah membuatmu menderita." Sembari tersenyum kecil, Adam mengelus pipi istrinya. "Tenang saja! Setelah ini, aku yakin mereka tidak akan meminta yang macam-macam lagi. Aku sudah tidak punya apa-apa untuk mereka rebut." "Bagaimana dengan rumah kita? Haruskah kita mengajukan pengalihan aset? Kurasa akan lebih aman kalau sertifikatnya tercatat atas namaku." Sembari menahan tawa, Adam mengangguk. Ia tahu, sebagian hati Amber sesungguhnya tidak rela melihatnya berkorban sedemikian besar. "Karena itulah, aku bersikeras untuk menyerahkan perusahaan kepadamu. Tapi kau menolak terus." "Aku tidak mau orang-orang menganggapmu budak cintaku, Jewel. Laki-laki mana yang menyerahkan seluruh hartanya kepada sang istri? Hanya laki-laki bodoh. Aku tidak mau kau dicap seperti itu." Gemas dengan sang istri, Adam pun mengecup
"Sekarang giliran aku yang memberikan hadiah," tutur Ruby canggung. "Hadiah? Kapan kau menyiapkannya?" tanya Amber terbelalak. "Belanja online bukanlah sesuatu yang sulit," tutur Ruby sebelum tersenyum simpul. Tanpa basa-basi lagi, ia menyodorkan kotak. "Bukalah! Anggap ini sebagai permintaan maaf sekaligus terima kasihku." Setelah menyerahkan peluitnya kepada Adam, si wanita hamil mengangkat penutup kotak. Begitu menemukan kain rajut merah yang terlipat rapi, ia mendesah samar. "Apakah ini bentuk protes karena kami membuang sweater putih pemberianmu dulu?" "Justru aku ingin mengubur kenangan buruk tentang itu. Kuharap, ini bisa membantu kalian mengingat Ruby yang baru." "Kalau begitu, mulai detik ini, aku dan Adam akan membuat banyak kenangan manis bersama sweater ini," tutur Amber seraya mengeluarkan hadiah dari dalam kotak. Namun, sedetik kemudian, lengkung bibirnya membeku. Ternyata, masih ada sweater lain di dalam kotak. "Kau memberi kami sweater pasangan?" desahnya tak pe
"Maaf," ucap Amber, enggan menyebut nama kakak iparnya, "Ruby ingin bicara denganmu." Dalam sekejap, mata Ed melebar. Tanpa basa-basi, ia masuk melalui celah antara pintu dan Amber. "Apakah Ruby berubah pikiran?" selidik Adam seraya bangkit dari kursi. Setelah menutup pintu, ia memandu sang istri untuk duduk dengan hati-hati. "Tidak." Alis sang pria pun melengkung sempurna. "Lalu?" "Ruby ingin mengakhiri hubungan mereka secepatnya. Dengan begitu, dia bisa tinggal di kediaman Tuan Berg tanpa kekhawatiran," terang Amber sebelum menyentak alis. "Lalu, bagaimana denganmu? Apakah terjadi sesuatu selama aku masih di dalam?" Sambil meninggikan sudut bibir, Adam mengecup tangan sang istri. "Percaya atau tidak, aku merasa biasa-biasa saja. Ya, aku kesal melihat wajah Ed. Tapi, mengetahui dia sudah mendapat balasan yang setimpal, aku tidak juga merasa lega. Hanya ... biasa-biasa saja, seperti tidak ada yang berubah."