"Aku akan berusaha," jawab Aldi. "Bukankah tugas seorang suami itu mendidik istrinya agar menjadi lebih baik? Dan aku akan melakukannya sekarang. Aku tidak ingin mengulang kesalahan di masa lalu, di mana Rindu tidak bisa menjadi menantu yang baik, karena kelalaianku."Mataku memanas, kemudian satu tetes bulir bening jatuh melintasi pipi. Segera aku menghapusnya sebelum Aldi menyadari jika aku menangis mendengar kata-katanya barusan. Ini bukan air mata kesedihan, tapi kebahagiaan. Aldi begitu kekeh mempertahankan aku, bahkan ingin menjadikan istrinya ini wanita salihah yang bukan hanya dicintainya, tapi juga orang-orang di sekitarnya. Dinata Wiratmadja dan Nyonya Marta tidak berkomentar. Suasana pun menjadi hening karena tidak ada yang membalas ucapan suamiku. Nyonya Marta yang kemarin-kemarin terlihat selalu emosi, kini lebih santai dan tidak terlalu berapi-api. Tidak ada kata kasar, juga perintah untuk putranya menceraikanku seperti pertemuan sebelumnya. "Sebenarnya, tadi malam Pa
"Dokter Kamila," ucap Nyonya Marta. "Kata Alina, dia ditemukan tak bernyawa di rumahnya."Aku tercengang mendengar kabar yang sangat mengejutkan ini. Begitu pun dengan Aldi dan ayah mertuaku. Mereka saling pandang dengan wajah yang sama kagetnya. "Apa dia sakit dulu?" Nyonya Marta kembali bertanya pada Alina yang masih terhubung dalam panggilan telepon. "Astaghfirullah ... Mama gak nyangka, Al. Padahal dia seorang dokter," ujar Nyonya Marta lagi. Kami yang hanya menyimak obrolan Nyonya Marta dan Alina, hanya diam dengan hati bertanya-tanya tentang berita kematian Dokter Kamila. Mungkinkah ini ada hubungannya dengan Damar yang masuk penjara? "Kamila meninggal karena apa? Sakit?" Dinata Wiratmadja bertanya pada istrinya yang sudah mengakhiri panggilan telepon. "Katanya overdosis minuman keras."Wajah kaget kembali terlihat dari dua laki-laki yang duduk saling berhadapan. Namun, tidak denganku. Aku yang sudah tahu bagaimana kehidupan asli dokter itu, tidak aneh jika dia meninggal ka
Arti bahagia yang sesungguhnya ternyata bukan karena banyaknya harta. Melainkan dari banyaknya orang yang peduli dan sayang pada kita. Itulah yang saat ini tengah aku rasakan. Bisa berkumpul dan diterima keluarga Aldi, adalah salah satu kebahagiaan yang luar biasa. Meskipun, sekarang yang kami nikmati hanyalah makanan sederhana, bukan hidangan mewah seperti biasa. Satu minggu setelah Mama dan Papa memberikan restu padaku dan Aldi, kini kami tengah berada di rumah Alina seraya duduk lesehan menikmati nasi liwet yang tadi kami buat bersama."Run, tolong minta ikan asinnya." Aku mengangkat kepala, lalu mengambil lauk yang barusan disebut Alina. "Ini, Mbak.""Makasih, ya?"Aku mengangguk seraya tersenyum penuh kebahagiaan. Di sampingku, seorang pria yang duduk bersila dengan keringat di keningnya membuatku ingin tertawa.Aldi, wajahnya memerah karena terlalu banyak makan sambal hingga membuatnya kepedesan. Namun, dia tidak mau berhenti. Malah semakin lahap menyuapkan nasi beserta lalap
Kubuka kaca jendela kamar lebar-lebar hingga udara segar di pagi hari masuk membuat kulit wajah terasa sejuk dibelainya. Sejenak, aku menoleh ke belakang saat ada pergerakan dari pria yang baru saja membuka mata. "Sayang ... kenapa dibuka jendelanya? Cukup gordennya saja yang dibuka, nanti pun sinar matahari akan masuk," ujarnya seraya beringsut duduk. Aku tidak menjawab. Malah menarik napas dalam-dalam menghirup udara sejuk dengan sangat dalam. Terasa menenangkan. Dua tangan kokoh tiba-tiba melingkar di pinggangku dengan satu kecupan manis mendarat di pipi. Kusambut kemesraan pagi ini dengan belaian pelan di punggung tangan suamiku. Kemudian menyandarkan kepala di dadanya yang berbalut kimono berbahan satin. "Aku nanya, kok enggak dijawab, sih?" ucapnya merajuk. Aku terkekeh. "Sengaja. Biar disamperin ke sini, lalu dipeluk seperti ini.""Kenapa gak bilang aja kalau mau dipeluk? Malah main kode-kodean segala. Dingin, gak?" Aldi kembali bertanya. "Enggak, Bang. Justru seger, uda
"Yoga?" Bibirku mengucapkan satu nama. "Ah, syukurlah kamu masih mengingatku, Aruna. Boleh aku masuk? Kamu sendirian, kan?""Eh, tunggu!" sergahku, menghalangi pria itu yang hendak masuk. "Dari mana kamu tahu aku tinggal di sini? Lalu, untuk apa kamu menemuiku?" Rentetan pertanyaan aku berikan kepada Yoga. Dia hanya terkekeh, tidak ada niat untuk menjawab pertanyaanku. Mungkinkah dia akan berbuat jahat padaku? Aku harus siaga. Menjaga dan menyelamatkan diri jika sewaktu-waktu Yoga melakukan sesuatu. Beberapa saat saling diam, akhirnya aku mengizinkan Yoga masuk seraya terus waspada. Pria masa laluku itu duduk di sofa dengan menyilangkan kaki. Matanya terus memindai apartemen milik suamiku ini seraya tersenyum tipis. "Kamu apa kabar?" tanyanya kemudian. "Baik. Kamu belum menjawab pertanyaanku, Ga." Tanganku sibuk menuangkan air minum ke dalam gelas saat bibir ini berbicara. Setelahnya, aku menyuguhkan minuman itu kepada tamuku. "Pertanyaan yang mana?" Aku mendengus kesal. "U
"Mama mengganggu kamu?" tanyanya memindaiku lekat. "Enggak, Mah. Tentu saja tidak. Mana mungkin kedatangan Mama menggangguku.""Kirain Mama ganggu," ujarnya lagi seraya berjalan ke arah sofa, lalu menjatuhkan tubuhnya di sana. Aku mengembuskan napas kasar seraya bersikap biasa saja untuk menyembunyikan ketakutan yang amat sangat.Entah apa yang akan terjadi jika Mama melihat Yoga di sini. Mungkin dia akan mengadukanku pada Aldi, dan lebih parahnya lagi menyuruh putranya itu menceraikanku. Oh, sungguh menyeramkan. "Apa sebelumnya ada tamu? Ini bekas air siapa?" Aku tersentak dengan pertanyaan yang Mama layangkan. Dengan perasaan gugup, aku duduk di sofa yang ada di sebrang Mama, lalu mengambil gelas yang ditunjuk mertuaku itu. "Ini punyaku, Mah. Tenggorokan terasa sering kering setelah pulang dari Bali," jawabku. Kemudian menegak air sisa Yoga yang tinggal setengahnya di dalam gelas. Mama tidak bertanya lagi. Pandangannya berfokus pada beberapa paperbag yang ada di bawah gorden.
"Ini menurutmu gimana, Run?" "Bagus, Mah.""Ah, kamu mah tiap ditanya bagus-bagus terus. Bagusan ini apa ini?" Mama menyimpan dua kotak perhiasan di depanku, untuk dipilih mana yang lebih cocok diberikan pada Naima dari kedua perhiasan tersebut. Aku hanya tersenyum simpul tidak berani menjawab. Takutnya, nanti malah disalahkan jika tidak cocok dengan selera dia. "Keduanya bangus, Mah. Beli aja dua-duanya," cetusku membuat Mama cemberut. Ah, jawabanku sepertinya salah. Aku menggaruk tengkuk leher yang tidak gatal, lalu menarik napas dalam-dalam hingga akhirnya Mama memberikan kartu ATM kepada pelayan toko perhiasan tersebut. "Saya beli keduanya," ucap Mama membuatku membulatkan mata. Apa aku tidak salah dengar? Mama membeli dua set perhiasan untuk dijadikan kado dalam pernikahan Naima? Entah, aku harus merasa senang atau sedih melihat ini. Haruskah aku bangga, karena saranku dilakukan Mama? Atau ... harus sedih, karena Naima mendapatkan hadiah yang sangat mahal dan bagus dari
"Loh, sudah pada kenal?" Aku tidak mengindahkan ucapan Mama. Begitu pun dengan Tante Arini. Dia fokus melihatku, menatapku dengan pandangan yang sulit aku artikan. Ada keterkejutan dari kedua sorot matanya, dan wajahnya pun terlihat tidak setenang sebelumnya. "Kamu istri Aldi?" tanya Tante Arini padaku. "I–iya, Tante." "Tante tidak menyangka jika kamu akan melakukan ini, Aruna. Bukankah kamu pun tahu, jika Aldi itu siapa? Dia suami temanmu. Oh, atau jangan-jangan ... sebelumnya kamu dan Aldi memang sudah memiliki hubungan di belakang Rindu?""Tidak, Tante!" sanggahku cepat. "Apa yang Tante ucapkan, itu tidak benar. Saya dan Bang Aldi, dekat setelah Rindu meninggal.""Omong kosong, aku tidak percaya dengan ucapanmu itu. Teman macam apa yang menikah dengan suami sahabatnya sendiri? Kalian pasti mengkhianati anakku."Aku menggelengkan kepala menolak tuduhan Tante Arini. Sekilas, kulihat Mama yang hanya diam tidak memberikan pembelaan terhadapku. Mungkinkah dalam pikirannya pun sama
"Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan
Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"
Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli
Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb
Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel
"Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda
Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka
"Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika
"Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan