Arti bahagia yang sesungguhnya ternyata bukan karena banyaknya harta. Melainkan dari banyaknya orang yang peduli dan sayang pada kita. Itulah yang saat ini tengah aku rasakan. Bisa berkumpul dan diterima keluarga Aldi, adalah salah satu kebahagiaan yang luar biasa. Meskipun, sekarang yang kami nikmati hanyalah makanan sederhana, bukan hidangan mewah seperti biasa. Satu minggu setelah Mama dan Papa memberikan restu padaku dan Aldi, kini kami tengah berada di rumah Alina seraya duduk lesehan menikmati nasi liwet yang tadi kami buat bersama."Run, tolong minta ikan asinnya." Aku mengangkat kepala, lalu mengambil lauk yang barusan disebut Alina. "Ini, Mbak.""Makasih, ya?"Aku mengangguk seraya tersenyum penuh kebahagiaan. Di sampingku, seorang pria yang duduk bersila dengan keringat di keningnya membuatku ingin tertawa.Aldi, wajahnya memerah karena terlalu banyak makan sambal hingga membuatnya kepedesan. Namun, dia tidak mau berhenti. Malah semakin lahap menyuapkan nasi beserta lalap
Kubuka kaca jendela kamar lebar-lebar hingga udara segar di pagi hari masuk membuat kulit wajah terasa sejuk dibelainya. Sejenak, aku menoleh ke belakang saat ada pergerakan dari pria yang baru saja membuka mata. "Sayang ... kenapa dibuka jendelanya? Cukup gordennya saja yang dibuka, nanti pun sinar matahari akan masuk," ujarnya seraya beringsut duduk. Aku tidak menjawab. Malah menarik napas dalam-dalam menghirup udara sejuk dengan sangat dalam. Terasa menenangkan. Dua tangan kokoh tiba-tiba melingkar di pinggangku dengan satu kecupan manis mendarat di pipi. Kusambut kemesraan pagi ini dengan belaian pelan di punggung tangan suamiku. Kemudian menyandarkan kepala di dadanya yang berbalut kimono berbahan satin. "Aku nanya, kok enggak dijawab, sih?" ucapnya merajuk. Aku terkekeh. "Sengaja. Biar disamperin ke sini, lalu dipeluk seperti ini.""Kenapa gak bilang aja kalau mau dipeluk? Malah main kode-kodean segala. Dingin, gak?" Aldi kembali bertanya. "Enggak, Bang. Justru seger, uda
"Yoga?" Bibirku mengucapkan satu nama. "Ah, syukurlah kamu masih mengingatku, Aruna. Boleh aku masuk? Kamu sendirian, kan?""Eh, tunggu!" sergahku, menghalangi pria itu yang hendak masuk. "Dari mana kamu tahu aku tinggal di sini? Lalu, untuk apa kamu menemuiku?" Rentetan pertanyaan aku berikan kepada Yoga. Dia hanya terkekeh, tidak ada niat untuk menjawab pertanyaanku. Mungkinkah dia akan berbuat jahat padaku? Aku harus siaga. Menjaga dan menyelamatkan diri jika sewaktu-waktu Yoga melakukan sesuatu. Beberapa saat saling diam, akhirnya aku mengizinkan Yoga masuk seraya terus waspada. Pria masa laluku itu duduk di sofa dengan menyilangkan kaki. Matanya terus memindai apartemen milik suamiku ini seraya tersenyum tipis. "Kamu apa kabar?" tanyanya kemudian. "Baik. Kamu belum menjawab pertanyaanku, Ga." Tanganku sibuk menuangkan air minum ke dalam gelas saat bibir ini berbicara. Setelahnya, aku menyuguhkan minuman itu kepada tamuku. "Pertanyaan yang mana?" Aku mendengus kesal. "U
"Mama mengganggu kamu?" tanyanya memindaiku lekat. "Enggak, Mah. Tentu saja tidak. Mana mungkin kedatangan Mama menggangguku.""Kirain Mama ganggu," ujarnya lagi seraya berjalan ke arah sofa, lalu menjatuhkan tubuhnya di sana. Aku mengembuskan napas kasar seraya bersikap biasa saja untuk menyembunyikan ketakutan yang amat sangat.Entah apa yang akan terjadi jika Mama melihat Yoga di sini. Mungkin dia akan mengadukanku pada Aldi, dan lebih parahnya lagi menyuruh putranya itu menceraikanku. Oh, sungguh menyeramkan. "Apa sebelumnya ada tamu? Ini bekas air siapa?" Aku tersentak dengan pertanyaan yang Mama layangkan. Dengan perasaan gugup, aku duduk di sofa yang ada di sebrang Mama, lalu mengambil gelas yang ditunjuk mertuaku itu. "Ini punyaku, Mah. Tenggorokan terasa sering kering setelah pulang dari Bali," jawabku. Kemudian menegak air sisa Yoga yang tinggal setengahnya di dalam gelas. Mama tidak bertanya lagi. Pandangannya berfokus pada beberapa paperbag yang ada di bawah gorden.
"Ini menurutmu gimana, Run?" "Bagus, Mah.""Ah, kamu mah tiap ditanya bagus-bagus terus. Bagusan ini apa ini?" Mama menyimpan dua kotak perhiasan di depanku, untuk dipilih mana yang lebih cocok diberikan pada Naima dari kedua perhiasan tersebut. Aku hanya tersenyum simpul tidak berani menjawab. Takutnya, nanti malah disalahkan jika tidak cocok dengan selera dia. "Keduanya bangus, Mah. Beli aja dua-duanya," cetusku membuat Mama cemberut. Ah, jawabanku sepertinya salah. Aku menggaruk tengkuk leher yang tidak gatal, lalu menarik napas dalam-dalam hingga akhirnya Mama memberikan kartu ATM kepada pelayan toko perhiasan tersebut. "Saya beli keduanya," ucap Mama membuatku membulatkan mata. Apa aku tidak salah dengar? Mama membeli dua set perhiasan untuk dijadikan kado dalam pernikahan Naima? Entah, aku harus merasa senang atau sedih melihat ini. Haruskah aku bangga, karena saranku dilakukan Mama? Atau ... harus sedih, karena Naima mendapatkan hadiah yang sangat mahal dan bagus dari
"Loh, sudah pada kenal?" Aku tidak mengindahkan ucapan Mama. Begitu pun dengan Tante Arini. Dia fokus melihatku, menatapku dengan pandangan yang sulit aku artikan. Ada keterkejutan dari kedua sorot matanya, dan wajahnya pun terlihat tidak setenang sebelumnya. "Kamu istri Aldi?" tanya Tante Arini padaku. "I–iya, Tante." "Tante tidak menyangka jika kamu akan melakukan ini, Aruna. Bukankah kamu pun tahu, jika Aldi itu siapa? Dia suami temanmu. Oh, atau jangan-jangan ... sebelumnya kamu dan Aldi memang sudah memiliki hubungan di belakang Rindu?""Tidak, Tante!" sanggahku cepat. "Apa yang Tante ucapkan, itu tidak benar. Saya dan Bang Aldi, dekat setelah Rindu meninggal.""Omong kosong, aku tidak percaya dengan ucapanmu itu. Teman macam apa yang menikah dengan suami sahabatnya sendiri? Kalian pasti mengkhianati anakku."Aku menggelengkan kepala menolak tuduhan Tante Arini. Sekilas, kulihat Mama yang hanya diam tidak memberikan pembelaan terhadapku. Mungkinkah dalam pikirannya pun sama
"Sini lihat aku." Aldi menangkup kedua pipi ini agar mataku menatap bola matanya yang hitam. "Jangan dengarkan kata orang lain. Mereka menuduhmu ini itu, abaikan. Mereka mengatakan kejelekanmu, biarkan. Satu yang harus kamu lakukan. Jadi diri sendiri. Aku tidak ingin melihat kamu seperti yang mereka mau. Aku ingin, hanya ada sosok istriku di dalam raga ini. Hanya istriku."Aku meleleh dibuatnya. Perkataan Aldi seperti embusan angin pagi yang menyegarkan. Dalam kukungan tangannya, aku tersenyum seraya menganggukkan kepala. Kubuang semua ucapan Tante Arini yang sempat melukai pikiranku ini, dan aku ganti dengan kata-kata indah yang baru saja diucapkan suamiku. Jadi diri sendiri. Itu yang diminta suamiku. Hatiku terasa lega setelah mencurahkan isi hati kepada Aldi. Kuceritakan semua yang tadi terjadi di butiknya Mama. Namun, aku tidak menceritakan kediaman Mama yang seolah membenarkan ucapan besannya tadi. Aku tidak ingin ibu dan anak itu bertengkar karena aku yang mengadu ke sa
"Maafin Aldi, ya Mah. Tadi aku kaget waktu lihat Aruna menangis di pojokan kayak anak TK. Tidak ada maksud dari Aldi buat nuduh Mama, aku hanya bertanya saja. Maaf, jika kata-kata Aldi menyakiti hati Mama," ujar suamiku seraya memeluk pundak ibunya dari belakang. Bunga anggrek yang tadi aku beli, berada di pangkuan Mama. Dia mengusap-usap kelopak bunga yang mekar, tapi tidak menjawab ucapan maaf suamiku. "Mah, kok diam saja? Mama marah sama aku?" Aldi kembali bertanya."Mama hanya kecewa karena kamu meninggikan suara saat bicara. Sudahlah, sudah Mama maafkan. Terima kasih untuk bunganya, ya? Mama suka."Aku tersenyum. Begitu pun dengan Aldi yang langsung pindah posisi. Dia duduk di samping Mama, tepat di seberangku berada. Meja kaca di depan kami dipenuhi cemilan khas Bali yang aku dan suamiku beli. Oleh-oleh lainnya sudah kami berikan kepada masing-masing penerima, salah satunya Alina yang terus mengelus kain tenun khas Bali pemberianku. "Suka, Mbak?" tanyaku pada iparku itu. "S