"Sini lihat aku." Aldi menangkup kedua pipi ini agar mataku menatap bola matanya yang hitam. "Jangan dengarkan kata orang lain. Mereka menuduhmu ini itu, abaikan. Mereka mengatakan kejelekanmu, biarkan. Satu yang harus kamu lakukan. Jadi diri sendiri. Aku tidak ingin melihat kamu seperti yang mereka mau. Aku ingin, hanya ada sosok istriku di dalam raga ini. Hanya istriku."Aku meleleh dibuatnya. Perkataan Aldi seperti embusan angin pagi yang menyegarkan. Dalam kukungan tangannya, aku tersenyum seraya menganggukkan kepala. Kubuang semua ucapan Tante Arini yang sempat melukai pikiranku ini, dan aku ganti dengan kata-kata indah yang baru saja diucapkan suamiku. Jadi diri sendiri. Itu yang diminta suamiku. Hatiku terasa lega setelah mencurahkan isi hati kepada Aldi. Kuceritakan semua yang tadi terjadi di butiknya Mama. Namun, aku tidak menceritakan kediaman Mama yang seolah membenarkan ucapan besannya tadi. Aku tidak ingin ibu dan anak itu bertengkar karena aku yang mengadu ke sa
"Maafin Aldi, ya Mah. Tadi aku kaget waktu lihat Aruna menangis di pojokan kayak anak TK. Tidak ada maksud dari Aldi buat nuduh Mama, aku hanya bertanya saja. Maaf, jika kata-kata Aldi menyakiti hati Mama," ujar suamiku seraya memeluk pundak ibunya dari belakang. Bunga anggrek yang tadi aku beli, berada di pangkuan Mama. Dia mengusap-usap kelopak bunga yang mekar, tapi tidak menjawab ucapan maaf suamiku. "Mah, kok diam saja? Mama marah sama aku?" Aldi kembali bertanya."Mama hanya kecewa karena kamu meninggikan suara saat bicara. Sudahlah, sudah Mama maafkan. Terima kasih untuk bunganya, ya? Mama suka."Aku tersenyum. Begitu pun dengan Aldi yang langsung pindah posisi. Dia duduk di samping Mama, tepat di seberangku berada. Meja kaca di depan kami dipenuhi cemilan khas Bali yang aku dan suamiku beli. Oleh-oleh lainnya sudah kami berikan kepada masing-masing penerima, salah satunya Alina yang terus mengelus kain tenun khas Bali pemberianku. "Suka, Mbak?" tanyaku pada iparku itu. "S
"Pokoknya ada masalah yang harus aku selesaikan, Mah. Aku pergi dulu, ya?" Aldi langsung menarik tanganku lalu membawanya keluar dari dapur. Dia tidak mengindahkan pertanyaan dan tatapan penasaran dari orang rumah. Suamiku itu tidak melepaskan tangan hingga akhirnya kami berada di dalam mobil. Masih dengan kebisuan, Aldi melajukan mobil keluar dari halaman rumah Mama. "Bang, ada apa?" tanyaku akhirnya."Gak ada apa-apa.""Enggak ada apa-apa?" Aku mengulang jawaban Aldi seraya mengerutkan kening. Dia yang kulihat dengan tatapan heran, malah tersenyum tanpa beban. Dan itu membuatku kesal karenanya. "Emang enggak ada apa-apa. Aku sengaja bawa kamu pergi agar tidak satu tempat dengan Mama. Aku tahu, kamu merasa tidak nyaman, kan dengan sikap Mama yang dingin padamu?" ujar Aldi menjelaskan maksud dari tindakannya. Aku menggelengkan kepala seraya menyugar rambut. "Astaga ... Abang! Kenapa melakukan ini? Aku gak apa-apa, kok didiemin Mama. Dan aku tidak sakit hati meskipun pertanyaank
"Ammar?" ucapku saat tahu siapa yang memanggil suamiku. Dia calon suami Naima. Baru saja otakku memikirkan pria itu, sekarang dia ada di depanku. Ammar mengulurkan tangan pada Aldi, lalu beralih padaku. Penampilannya berubah seratus delapan puluh derajat dari yang pertama kali aku lihat di Kafe Asmara dulu. Kini dia sangat rapi dengan setelah kerja serta dasi yang mengikat lehernya. "Bang Aldi apa kabar?" tanya Ammar berbasa-basi. "Baik. Kamu sendiri? Oh, iya kamu sedang apa di sini?" "Saya baik, Bang. Saya di sini sedang ... mencari sesuatu untuk seserahan nanti. Emh ... boleh saya minta nomor hape Abang?" "Untuk?" tanya suamiku. "Untuk bertanya soal pernikahan. Abang, kan berpengalaman dalam berumah tangga, sedangkan saya pastinya masih belajar. Untuk sharing saja, sih Bang."Aldi manggut-manggut. Dia pun tidak keberatan memberikan nomor ponselnya kepada Ammar. Memang tidak ada salahnya juga saling berhubungan. Lagipula, Aldi dan Naima sepupuan, dan supaya kami pun bisa lebi
"Hus, kalau Mama denger gimana? Kamu malah tambah dikucilkan nanti."Aku menutup mulut menyadari bibir yang salah ucap. "Maaf.""Teruskan makannya sebelum kita dipanggil Papa."Aku mengangguk patuh. Semua makanan yang ada di piring sudah habis tidak tersisa. Begitu pun dengan suamiku. Kami menyudahi makan siang, lalu kembali ke ruang tengah di mana Mama dan Papa berada. Dari dapur, aku membawa buah mangga yang sudah dikupas. Saffa dan Syakir langsung berebut ingin menikmati buah segar tersebut. "Pelan-pelan makannya, Syakir ...," tutur Alina pada putranya. Aku hanya tersenyum melihat mereka yang tak mau jauh dariku. Selalu seperti ini. Jika aku datang berkunjung pun, Syakir selalu ingin denganku. Aku tidak keberatan. Justru merasa senang karena bisa belajar bagaimana mengurus anak. "Mah, Pah, ada apa sebenarnya kita dipanggil ke sini?" tanya Aldi membuka percakapan. Aku yang sedang menyuapi Syakir, seketika langsung melihat kepada dua orang yang paling tua di antara kami. "Ekhe
"Mama setuju Aruna mengelola salah satu pabrik Papa," celetuk Mama. Wanita yang masih terlihat segar di usia matangnya itu berjalan ke arah kami, lalu berdiri tepat di belakang sofa yang diduduki Papa. Kedua tangannya bertumpu pada sofa, dengan pandangan lurus menatap aku dan Aldi. "Mama ingin memberikan kesempatan kepada Aruna untuk membuktikan jika dia memang berubah. Tapi, jika nanti dia mengulang kesalahan, atau membuat pabrik menurun, Mama tidak akan memaafkan kamu lagi. Kamu mengerti?" ujar Mama lagi seraya menatapku tajam. Aku tidak langsung menjawab. Mata ini melirik Aldi yang sedari tadi tidak melepaskan genggaman tangannya. "Mendingan duduk dulu, kita bicarakan ini dengan bahasa yang baik, juga pikiran yang tenang." Papa memberikan instruksi. Aku, Aldi dan Mama pun duduk di tempat semula. Papa mulai mencecar istrinya dengan pertanyaan tentang keyakinan dia untuk mempercayakan aku dalam mengelola pabrik cabang miliknya. Beberapa kali Papa bertanya, jawabannya tetap sa
Setengah berlari aku mengikuti Aldi. Seperti polisi yang tengah tengah mengintai penjahat, aku melangkah dengan hati-hati. Mobil Aldi sudah keluar dari area apartemen. Dia membawa kendaraan roda empatnya itu ke arah kanan, dan aku pun segera masuk ke dalam taksi yang kebetulan ada di depan apartemen, dengan penumpang yang baru saja turun. "Jalan, Pak!" kataku memerintah. "Jalan ke mana, Mbak?" Supir taksi bertanya dengan wajah yang bingung. "Jalan ke arah kanan. Cepetan! Pokonya Bapak ikuti saya perintah saya. Saya bayar dua kali lipat!" Pria berseragam warna biru itu tidak lagi bertanya. Dia melajukan kendaraannya me arah yang aku perintahkan. Beberapa saat aku kehilangan jejak Aldi. Namun, akhirnya aku bisa menemukan mobil suamiku di lampu merah. "Pak, ikuti mobil di depan itu. Dia suami saya yang akan menemui ... ah, pokoknya Bapak ikuti saja mobil yang itu!" kataku dengan telunjuk ke depan. Pria di depanku mengangguk. Dia kembali melajukan mobil setelah kendaraan milik Ald
"Gimana dengan pabrik?" Aku bertanya seraya menuangkan air panas ke dalam gelas. Embusan napas kasar terdengar dari suamiku. Kulihat ke belakang, dia merebahkan tubuhnya di sofa dengan kedua tangan jadi bantalnya. Satu cangkir kopi kubawa menghampiri suamiku, kemudian meletakkannya di atas meja. Kedua kaki Aldi aku turunkan sebentar, lalu kuangkat kembali hingga kini berada di kedua pahaku. Tangan ini memijatnya pelan seraya menunggu jawaban dari pertanyaan yang aku berikan. "Apa urusannya belum selesai, Bang?" tanyaku lagi. "Sudah, Run. Pabrik mah aman, tapi ... ada masalah lain yang tiba-tiba mengganggu pikiranku."Aku melihat lekat suamiku yang berucap dengan masih dalam posisi yang sama. Sedangkan hatiku, malah semakin bertanya-tanya. "Masalah lain apa?" Kembali aku bertanya. Aldi menurunkan kakinya dari kakiku. Dia beringsut duduk, lalu mengambil cangkir berisikan kopi. Aroma dari minuman hangat itu tercium kala bibir Aldi mulai menyesapnya. "Ammar," ucapnya singkat. Ald