"Ammar?" ucapku saat tahu siapa yang memanggil suamiku. Dia calon suami Naima. Baru saja otakku memikirkan pria itu, sekarang dia ada di depanku. Ammar mengulurkan tangan pada Aldi, lalu beralih padaku. Penampilannya berubah seratus delapan puluh derajat dari yang pertama kali aku lihat di Kafe Asmara dulu. Kini dia sangat rapi dengan setelah kerja serta dasi yang mengikat lehernya. "Bang Aldi apa kabar?" tanya Ammar berbasa-basi. "Baik. Kamu sendiri? Oh, iya kamu sedang apa di sini?" "Saya baik, Bang. Saya di sini sedang ... mencari sesuatu untuk seserahan nanti. Emh ... boleh saya minta nomor hape Abang?" "Untuk?" tanya suamiku. "Untuk bertanya soal pernikahan. Abang, kan berpengalaman dalam berumah tangga, sedangkan saya pastinya masih belajar. Untuk sharing saja, sih Bang."Aldi manggut-manggut. Dia pun tidak keberatan memberikan nomor ponselnya kepada Ammar. Memang tidak ada salahnya juga saling berhubungan. Lagipula, Aldi dan Naima sepupuan, dan supaya kami pun bisa lebi
"Hus, kalau Mama denger gimana? Kamu malah tambah dikucilkan nanti."Aku menutup mulut menyadari bibir yang salah ucap. "Maaf.""Teruskan makannya sebelum kita dipanggil Papa."Aku mengangguk patuh. Semua makanan yang ada di piring sudah habis tidak tersisa. Begitu pun dengan suamiku. Kami menyudahi makan siang, lalu kembali ke ruang tengah di mana Mama dan Papa berada. Dari dapur, aku membawa buah mangga yang sudah dikupas. Saffa dan Syakir langsung berebut ingin menikmati buah segar tersebut. "Pelan-pelan makannya, Syakir ...," tutur Alina pada putranya. Aku hanya tersenyum melihat mereka yang tak mau jauh dariku. Selalu seperti ini. Jika aku datang berkunjung pun, Syakir selalu ingin denganku. Aku tidak keberatan. Justru merasa senang karena bisa belajar bagaimana mengurus anak. "Mah, Pah, ada apa sebenarnya kita dipanggil ke sini?" tanya Aldi membuka percakapan. Aku yang sedang menyuapi Syakir, seketika langsung melihat kepada dua orang yang paling tua di antara kami. "Ekhe
"Mama setuju Aruna mengelola salah satu pabrik Papa," celetuk Mama. Wanita yang masih terlihat segar di usia matangnya itu berjalan ke arah kami, lalu berdiri tepat di belakang sofa yang diduduki Papa. Kedua tangannya bertumpu pada sofa, dengan pandangan lurus menatap aku dan Aldi. "Mama ingin memberikan kesempatan kepada Aruna untuk membuktikan jika dia memang berubah. Tapi, jika nanti dia mengulang kesalahan, atau membuat pabrik menurun, Mama tidak akan memaafkan kamu lagi. Kamu mengerti?" ujar Mama lagi seraya menatapku tajam. Aku tidak langsung menjawab. Mata ini melirik Aldi yang sedari tadi tidak melepaskan genggaman tangannya. "Mendingan duduk dulu, kita bicarakan ini dengan bahasa yang baik, juga pikiran yang tenang." Papa memberikan instruksi. Aku, Aldi dan Mama pun duduk di tempat semula. Papa mulai mencecar istrinya dengan pertanyaan tentang keyakinan dia untuk mempercayakan aku dalam mengelola pabrik cabang miliknya. Beberapa kali Papa bertanya, jawabannya tetap sa
Setengah berlari aku mengikuti Aldi. Seperti polisi yang tengah tengah mengintai penjahat, aku melangkah dengan hati-hati. Mobil Aldi sudah keluar dari area apartemen. Dia membawa kendaraan roda empatnya itu ke arah kanan, dan aku pun segera masuk ke dalam taksi yang kebetulan ada di depan apartemen, dengan penumpang yang baru saja turun. "Jalan, Pak!" kataku memerintah. "Jalan ke mana, Mbak?" Supir taksi bertanya dengan wajah yang bingung. "Jalan ke arah kanan. Cepetan! Pokonya Bapak ikuti saya perintah saya. Saya bayar dua kali lipat!" Pria berseragam warna biru itu tidak lagi bertanya. Dia melajukan kendaraannya me arah yang aku perintahkan. Beberapa saat aku kehilangan jejak Aldi. Namun, akhirnya aku bisa menemukan mobil suamiku di lampu merah. "Pak, ikuti mobil di depan itu. Dia suami saya yang akan menemui ... ah, pokoknya Bapak ikuti saja mobil yang itu!" kataku dengan telunjuk ke depan. Pria di depanku mengangguk. Dia kembali melajukan mobil setelah kendaraan milik Ald
"Gimana dengan pabrik?" Aku bertanya seraya menuangkan air panas ke dalam gelas. Embusan napas kasar terdengar dari suamiku. Kulihat ke belakang, dia merebahkan tubuhnya di sofa dengan kedua tangan jadi bantalnya. Satu cangkir kopi kubawa menghampiri suamiku, kemudian meletakkannya di atas meja. Kedua kaki Aldi aku turunkan sebentar, lalu kuangkat kembali hingga kini berada di kedua pahaku. Tangan ini memijatnya pelan seraya menunggu jawaban dari pertanyaan yang aku berikan. "Apa urusannya belum selesai, Bang?" tanyaku lagi. "Sudah, Run. Pabrik mah aman, tapi ... ada masalah lain yang tiba-tiba mengganggu pikiranku."Aku melihat lekat suamiku yang berucap dengan masih dalam posisi yang sama. Sedangkan hatiku, malah semakin bertanya-tanya. "Masalah lain apa?" Kembali aku bertanya. Aldi menurunkan kakinya dari kakiku. Dia beringsut duduk, lalu mengambil cangkir berisikan kopi. Aroma dari minuman hangat itu tercium kala bibir Aldi mulai menyesapnya. "Ammar," ucapnya singkat. Ald
Hari ini jadwalku cukup padat. Setelah menerima amanah Papa, sekarang saatnya aku menjalankan tugas. Paginya, aku dibawa Papa untuk dikenalkan kepada semua orang yang bekerja di pabrik, yang katanya pernah jadi tempat Alina mengais rezeki. "Saya harap, kita bisa bekerja sama dengan baik, membuat pabrik ini semakin maju dengan karyawan yang sejahtera," ucapku menutup perkenalkan. Seulas senyum diberikan para staf yang ikut rapat, juga kata 'aamiin' terucap dengan serempak. Setelah rapat, aku dibawa Papa ke ruangan besar yang dijadikan tempat produksi. Bising suara mesin jahit menjadi ciri khas dari ruangan ini. Para karyawan yang didominasi oleh perempuan, sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Hal ini mengingatkanku ketika dulu jadi karyawan Aldi. Aku seperti mereka, mengawali karir dari operator jahit sebelum diangkat jadi asisten pribadi oleh Aldi. "Beginilah keadaan di sini, Aruna. Kemeja dan jaket jadi barang utama yang diproduksi," tutur Papa menjelaskan. "Termasuk
"Mas Ammar? Ada apa dengan dia?" tanya Naima dengan pandangan ke arah Aldi. Suamiku tak langsung bicara. Dia membiarkan pelayan menyimpan tiga gelas minuman di meja kami, kemudian mengangguk ramah sebelum pergi. "Bang." Naima memanggil suamiku yang tak kunjung bicara. "Aku bingung harus memulai dari mana, Nai. Tapi ... apa pun nanti keputusan yang kamu ambil, aku harap memikirkannya dengan matang.""Ayolah, Bang. Jangan buat aku semakin penasaran. Katakan, ada apa dengan Mas Ammar? Dia kenapa? Punya wanita lain di luar sana? Iya, begitu?" "Tidak, Nai." Aku menyanggah ucapan Naima. "Ammar—""Dia memiliki kelainan dalam dirinya," ucap Bang Aldi memotong ucapanku. Naima mengerutkan kening. Dia menggeser gelas berisikan teh di depannya, lalu melipat kedua tangan di atas meja. Tatapan wanita cantik dengan balutan hijab warna abu-abu itu masih lekat pada suamiku. "Kelainan apa?" tanya Naima lagi. "Ammar .... Impoten."Aku berhenti bernapas untuk beberapa detik dengan pandangan tak le
"Ada-ada saja anak itu," ucap Tante Ratna membiarkan putrinya masuk ke rumah. Aku dan Aldi turun dari mobil, lalu menghampiri Tante Ratna yang masih berada di teras rumah. Seulas senyum aku berikan meskipun tidak ada tanggapan darinya. "Tante, kami pamit pulang dulu, ya?" ucap Aldi kepada tantenya itu. "Oh, mau langsung pulang, Al? Gak mampir dulu?" "Tidak Tante, terima kasih," jawab Aldi seraya mengangguk pelan. "Yasudah kalau mau langsung pulang. Hati-hati di jalan, ya? Terima kasih, lho, sudah membawa Naima jalan-jalan. Akhir-akhir ini dia memang terlihat kesepian. Hormon pengantin juga membuat anak itu uring-uringan. Mudah-mudahan setelah ini dia bisa santai, ya?" Baik aku maupun Aldi tidak ada yang menjawab ucapan Tante Ratna. Kami hanya tersenyum tipis, lalu kembali ke dalam mobil.Kuembuskan napas kasar seraya duduk dengan tatapan lurus ke depan. Ucapan Tante Ratna barusan, menyentil hatiku. Bagaimana tidak, dia mengucapkan terima kasih kepada orang yang secara langsung