Aku merogoh ponsel di tasku, lalu memotret beberapa botol yang dibalut dengan kain. Setelahnya, aku menutup kembali botol-botol itu menggunakan kain yang tidak terpakai. "Sebelum aku membuang botol-botol itu, aku harus tahu siapa pemilik dari minuman keras itu." Aku berucap seorang diri. Saat akan keluar dari gudang, aku mendengar beberapa orang bicara sambil berjalan ke arah sini. Cepat aku mematikan lampu, lalu bersembunyi di balik pintu agar mereka tidak melihatku. "Bu Aruna itu bukan rajin, dia hanya sedang mencari perhatian Pak Dinata saja. Biar kepake jadi atasan di sini." Entah siapa yang bicara, tapi kata-katanya sungguh menyinggungku. "Ah, cuma wanita ini. Palingan juga tidak akan bertahan lama dia di sini," timpal suara lainnya. Ingin rasanya aku menyobek mulut mereka, tapi kutahan demi sebuah bukti. Pikirku, mereka adalah pemilik dari botol miras yang aku temukan. Akan tetapi, sepertinya bukan. Setelah masuk ke gudang, dua lelaki itu tidak membuka tumpukan kain dan
"Santai saja, lanjutkan minumnya. Saya, tidak akan menyuruh kalian menyudahi hobi kalian itu," kataku seraya mendekati mereka. Pintu kututup rapat. Lampu yang tadi mati, aku nyalakan hingga ruangan jadi terang. Kusimpan tas di atas meja besar tempat memotong kain, masih dengan senyum yang mengembang.Aku buang rasa takut, aku singkirkan kekhawatiran. Kali ini, aku tengah menjadi Aruna si wanita jahat dan penjilat. Aku duduk di lantai bersama mereka, lalu mengambil satu gelas minuman beralkohol itu dan meminumnya hingga tandas. "Bu," kata salah satu pria, yang tadi melempar kain ke luar pagar tembok. "Santai saja, tidak usah gugup seperti itu. Minuman ini, bukan minuman yang baru saya temui. Ayo, kita minum bersama." Aku menuangkan minuman keras ke dalam gelas, lalu memberikannya kepada Pak Yanto. Awalnya dia ragu, tapi setelah aku membicarakan tentang diriku di masa lalu yang hidup berdampingan dengan alkohol, mereka pun mau kembali melanjutkan acara minum-minum itu. Selama merek
"Jangan sampai video itu tersebar ke luar! Memalukan! Apa kata orang-orang kalau menantu Wiratmadja ternyata wanita pemabuk!" Diam menunduk adalah hal yang sedang aku lakukan saat ini. Kesalahan telah aku lakukan dengan fatal. Tanpa mengecek ulang, aku memperlihatkan video di gudang tadi. Bodohnya aku ialah, ternyata video yang aku perlihatkan kepada Aldi dan keluarganya, itu yang asli. Bukan hasil editan yang menghilangkan detik-detik aku meminum alkohol. Di sinilah aku berada saat ini. Di rumah Mama, di kelilingi keluarga suamiku, juga Tante Ratna beserta Naima yang turut hadir. "Mah, Mama tahu intel dalam kepolisian? Itu yang dilakukan Aruna untuk mengintrogasi para cecunguk itu, Mah." "Tapi, enggak harus ikut minum juga, kan?" ujar Mama lagi menjawab ucapan Alina dengan emosi. Di antara semua orang yang ada di rumah ini, hanya Mama yang terlihat menggebu menentang apa yang aku lakukan. Nama baik Papa yang ingin Mama lindungi dalam hal ini. Dia tidak mau jika video-ku terseb
Kepala masih terasa berat ketika aku membuka mata. Kulirik ke samping, ada Aldi yang setia menemani. "Hey, sudah bangun? Mana yang sakit?" tanya suamiku. "Hanya pusing, Bang. Aduh, aku kenapa, ya? Apa karena kurang tidur, ya Bang?" kataku seraya beringsut duduk. Aldi membantuku, kemudian mengambilkan air minum untukku. "Aku tidak tahu, Run. Tunggu dokter untuk memeriksamu lagi, ya?"Aku mengangguk. Sedangkan Aldi, dia keluar dari ruangan di mana aku berada, untuk memanggil dokter. "Masih pusing?" tanya seorang dokter wanita yang usianya terlihat sudah matang. "Masih, Dok. Saya kenapa, ya?" "Saya belum tahu. Tadi waktu Ibu datang, saya hanya memeriksa bagian vital Ibu saja. Dan semuanya normal. Sekarang, saya mau Ibu Aruna ke kamar mandi, dan isi tabung ini dengan urin, ya?" "Urin?" ucapku mengulang kata penting yang barusan keluar dari bibir dokter itu. "Iya. Suaminya boleh bantu."Aku melihat ke arah Aldi, lalu dia mengangguk dan membantuku untuk turun dari ranjang. Diliha
"Kamu Aruna, kan, istrinya Bang Aldi?" ucap dia lagi menunjukku. "Iya, saya istrinya Bang Aldi.""Kok, sama pria lain? Kamu selingkuh?" Aku terkejut dengan tuduhannya. "Aduh ... kasihan sekali Bang Aldi. Dulu, berpisah karena diselingkuhi. Sekarang pun istrinya main gila dengan pria lain.""Heh, dijaga, ya ucapannya! Gua sama Aruna enggak punya hubungan apa pun. Dia datang ke sini untuk makan, bukan jadi selingkuhan!" Yoga berdiri seraya bicara penuh penekanan kepada laki-laki yang tak lain mantan suami iparku. Iya, dia Haikal. Masa lalu Alina yang tiba-tiba datang menuduhku yang bukan-bukan. "Sudah, Ga. Biarkan saja. Lebih baik kamu bekerja dan bawakan makanan yang aku mau. Tidak usah meladeni dia," kataku agar ketegangan tidak terus berlanjut. Yoga pergi dengan membawa catatan menu makanan yang kumau. Sedangkan Haikal, dia malah duduk di kursi yang tadi ditempati Yoga. "Aku minta maaf jika kata-kataku barusan menyinggungmu. Aku sengaja membuat dia pergi biar kita bisa bicara e
"Obatnya gak diminum?" Aku menoleh ke arah Aldi yang memeriksa obat dari dokter yang belum aku sentuh. Sepulangnya dari restoran tadi, aku tidur hingga suamiku datang. Aku bahkan belum memakan makanan yang dibeli dari restoran tempat Yoga bekerja. "Kenapa gak diminum?" tanya Aldi lagi. "Aku ... lupa, Bang.""Lupa apa sengaja?" Aku hanya menunduk enggan menjawab. Sedangkan suamiku, dia keluar dari kamar dengan membawa obatku. Sepertinya Aldi marah dan kesal karen aku tidak melakukan pesan yang dia berikan sebelum pergi tadi. Namun, dugaanku salah. Aldi kembali ke kamar dengan membawa nampan. Dia meletakkan nampan yang ternyata berisikan nasi dan lauk, beserta beberapa butir obat yang sudah dikeluarkan dari bungkusnya. "Makan, terus makan obat. Aku tidak mau ada penolakan darimu," tuturnya dingin. Kali ini aku tidak menolak. Wajah Aldi sudah berubah dingin, itu artinya dia tengah serius. Sebagai istri yang paham akan sifat suami, aku memilih melakukan apa yang dia inginkan darip
Satu minggu telah berlalu dari pemecatan masal gara-gara kecurangan karyawan di pabrik Papa. Keamanan semakin diperketat, pantauan semakin ditingkatkan. Sebagai orang baru yang berhasil membuka kedok para penjilat, aku menjadi semakin percaya diri untuk bisa memajukan usaha Papa ini. Apalagi, sekarang aku sangat disegani di sini. Tidak ada yang berani membantah, apalagi berkata tidak saat aku menyuruh. Dan aku bukan tipikal orang yang suka basa-basi. Jika salah, ya salah. Jika aku tidak suka, akan mengatakannya langsung, bukan menyindir apalagi membicarakan di belakang. "Bajumu terlalu ketat, secepatnya ganti, atau posisi kamu akan saya gantikan dengan orang baru," ujarku pada salah satu karyawati yang memakai baju teramat sangat mencetak di tubuh.Dua gundukan di dadanya terlihat menonjol, dengan kancing kemeja yang terbuka sedikit. Dia pun tidak memakai kaus dalam, hanya bra dengan warna marun yang terlihat hingga luar. "Ba–baik, Bu." Wanita itu mengangguk. Aku risih melihatny
"Ak–aku ....""Kita akan konsultasi," ucap Bang Aldi menjawab pertanyaan adiknya. "Oh .... Yasudah, cepat masuk. Mumpung lagi gak ada pasien lain. Aku yang temenin, ya? Biar Bang Aldi sama Mas Adi saja tunggu di sini.""Enggak. Aku yang ke dalam nemenin Aruna."Bang Aldi menolak usulan adiknya. Dia menarik tanganku pelan, lalu kami masuk ke dalam ruangan dokter kandungan. Gugup, takut, itu yang aku rasakan hingga keringat mulai keluar dari pori-pori tubuhku. "Santai, Bu," ucap dokter seperti memahami perasaanku. Suamiku langsung menoleh ke arahku yang duduk di sampingnya. Dia mengelus punggung ini seraya membisikkan kata untuk menenangkanku. "Tenanglah, Sayang .... Apa pun yang terjadi, aku ada di sini."Aku berdehem, lalu mengikuti arahan dokter untuk melakukan tes urin lagi. Setelahnya, aku diarahkan untuk berbaring di tempat pemeriksaan. Tes urin yang kedua ini sama seperti yang aku lakukan di klinik waktu itu. Hasilnya positif, tapi aku masih tidak mau percaya. Belum, lebih