"Ak–aku ....""Kita akan konsultasi," ucap Bang Aldi menjawab pertanyaan adiknya. "Oh .... Yasudah, cepat masuk. Mumpung lagi gak ada pasien lain. Aku yang temenin, ya? Biar Bang Aldi sama Mas Adi saja tunggu di sini.""Enggak. Aku yang ke dalam nemenin Aruna."Bang Aldi menolak usulan adiknya. Dia menarik tanganku pelan, lalu kami masuk ke dalam ruangan dokter kandungan. Gugup, takut, itu yang aku rasakan hingga keringat mulai keluar dari pori-pori tubuhku. "Santai, Bu," ucap dokter seperti memahami perasaanku. Suamiku langsung menoleh ke arahku yang duduk di sampingnya. Dia mengelus punggung ini seraya membisikkan kata untuk menenangkanku. "Tenanglah, Sayang .... Apa pun yang terjadi, aku ada di sini."Aku berdehem, lalu mengikuti arahan dokter untuk melakukan tes urin lagi. Setelahnya, aku diarahkan untuk berbaring di tempat pemeriksaan. Tes urin yang kedua ini sama seperti yang aku lakukan di klinik waktu itu. Hasilnya positif, tapi aku masih tidak mau percaya. Belum, lebih
"Kalian sudah datang?" Mama menyambut kami dengan wajah sendu. Sedangkan di atas ranjang, Papa sedang diperiksa oleh dokter langganan keluarga Dinata Wiratmadja. "Kami baru saja datang, Mah. Gimana keadaan Papa?" tanyaku seraya mengahmpiri Mama yang duduk di pinggir ranjang. "Begitulah, dari tadi Papa mengeluhkan sakit dada, makanya menyuruh kalian datang."Dokter memberikan beberapa butir obat untuk diminum Papa. Setelahnya, dokter yang usianya hampir sebaya dengan Papa, pamit pulang dengan diantar supir. Aldi duduk di samping ayahnya, lalu memijit pelan tangan pria yang hanya berbaring di tempat tidur. "Sebaiknya Papa ke rumah sakit, ya? Biar dirawat hingga benar-benar sembuh."Papa menggelengkan kepala menolak usulan putranya. Detik berikutnya, Papa beringsut duduk dengan dibantu Aldi. "Ah ... tidak usah. Nanti juga Papa akan sembuh. Papa hanya kesepian saja, ingin dikunjungi kalian," tutur Papa seraya terkekeh pelan. "Papa itu harus sehat, harus kuat. Soalnya ... Papa mau n
Esok harinya, aku dan Aldi sudah siap untuk pergi ke pesta pernikahan Naima. Meskipun semalam kami menginap di rumah Mama, tapi tadi pagi kami pulang dan sekarang sudah mau pergi lagi. "Ada yang ketinggalan, gak?" tanya Aldi saat kami hendak keluar dari kamar. "Enggak ada, Bang.""Kado?" tanya Aldi lagi. Aku menepuk jidat karena dua benda penting yang harusnya kami bawa, ketinggalan. Aku pun bergegas mengambil dua kotak berhiaskan pita merah muda, lalu kembali menghampiri Aldi. "Ini, Bang. Hampir, saja ketinggalan.""Kalau aku gak inget, mungkin kita akan bolak-balik, Run."Aku membenarkan ucapan suamiku yang sudah berjalan terlebih dahulu. Sesampainya di mobil, Aldi menyimpan kado di kursi belakang, lalu dia mulai menyalakan mesin mobilnya. "Bang, Papa kuat, gak ya, pergi ke gedung?" tanyaku lagi setelah mobil mulai berjalan. "Pasti kuat, Run. Semalam saja dia sudah becanda dengan Syakir, kan? Aku yakin, Papa tidak akan meninggalkan momen ini. Naima sudah Papa anggap seperti p
"Tolong jangan katakan apa pun pada Mas Ammar tentangku yang mengetahui kebenaran dirinya."Aku dan Aldi saling pandang, lalu mengangguk pelan menjawab bisikan Naima ketika kami tengah berfoto. Saat ini di pelaminan hanya ada Naima. Sedangkan pengantin pria, ia tengah ke toilet. Naima meminta kami untuk merahasiakan tentang suaminya itu. Dia juga meminta Aldi, untuk tidak lagi menemani Ammar berobat. Itu semua dia lakukan agar Ammar bercerita pada dia, dan masalah yang ada pada diri Ammar bisa dibagi dengan istrinya. "Maaf, ya? Aku lama di belakang," tutur Ammar yang kembali ke pelaminan. "Tidak apa-apa, kita santai, kok." Aldi menjabat tangan Ammar, lalu mereka berpelukan layaknya saudara. Beberapa saat berbasa-basi di atas pelaminan bersama pengantin, kami pun sudah berfoto dengan mereka, aku dan Aldi turun. Membiarkan tamu undangan lainnya untuk memberikan ucapan selamat kepada ke dua mempelai. Hidangan yang tersaji di meja perasmanan tidak ada yang membuatku berselera. Hingg
"Run."Aku tidak menoleh ataupun menjawab panggilan Aldi. Tanganku sibuk menyuapkan makanan ke dalam mulut tanpa peduli dengan dia yang baru saja masuk seraya menentang sesuatu. Sebenarnya aku tidak lapar. Rasa ingin makan pun hilang berganti dengan rasa sakit hati karena ucapan Aldi. Akan tetapi, aku memikirkan janin yang ada di dalam perutku. Aku tidak mau anakku kekurangan gizi karena aku yang tidak mengkonsumsi makanan sehat. Meskipun dengan air mata yang berlinang, aku terus memakan sayur bening yang aku buat subuh tadi. Aku hanya menghangatkannya sebentar agar tidak terlalu dingin di lidah."Kamu makan apa? Ini aku bawakan ikan bakar kesukaanmu," ujar Aldi lagi. Dia menyimpan tentengannya di atas meja, kemudian membuka kotak makanan hingga bau ikan bakar tercium begitu menggiurkan. Namun, egoku terlalu tinggi hingga tidak ada niatan sama sekali untukku menikmati makanan yang Aldi suguhkan. Aku marah pada dia yang mengataiku kekanak-kanakan. "Runa, kamu marah padaku?" tany
"Mama ...?" Aku menarik napas dalam-dalam saat Aldi menyebut sosok yang ada di balik pintu. Selanjutnya, aku menghampiri mereka seraya menyiapkan hati sekiranya ada ucapan dari mertuaku yang tidak mengenakkan hati. "Mah," ucapku seraya mengulurkan tangan. Mama tidak datang sendiri. Ia ke sini bersama Papa, yang mengekor di belakangnya. Seperti pada Mama, aku juga mengulurkan tangan pada Papa, lalu mencium punggung tangannya. "Tadi kenapa pulang lebih dulu?" tanya Papa membuatku melirik Aldi dan juga Mama. "Emh ... tadi aku ....""Papa paham, kalau sedang hamil muda itu, sangat sensitif. Termasuk penciuman. Dulu, Mama juga gitu, seperti kamu, Run. Dia tidak suka dengan bau parfum, pokoknya yang wangi-wangi, deh. Sampai wangi sabun pun, dia enggak suka. Sering gonta-ganti sabun mandi saat Mama sedang hamil muda dulu." Sambil berjalan ke arah sofa, Papa menceritakan masa lalu ibu mertua. Aku menanggapinya dengan sedikit kekehan, dengan mata yang melihat sebentar kepada yang dibicar
"Kuat, Sayang .... Kita tidak boleh lemah, ya? Kamu harus jadi kekuatan untuk Mama." Aku berucap seraya mengelus perut. Sudah menjadi rutinitas di pagi hari, rasa mual yang melanda membuatku muntah-muntah di kamar mandi. Seperti sekarang ini, aku masih berdiri di depan cermin seraya menatap wajah yang lesu setelah mengeluarkan isi perut. Hanya air saja, karena aku belum memakan apa pun. "Sayang, kamu di dalam?" Gedoran di pintu membuatku menoleh. Siapa lagi kalau bukan Aldi yang baru saja menyadari ketidakadaanku di sampingnya. "Iya, Bang.""Muntah lagi?" "Heem," kataku seraya mengusap bibir dengan air. Setelah merasa lebih baik dari sebelumnya, aku keluar. Dan wajah khawatir suamiku jadi pemandangan yang sudah tak asing lagi. "Hari ini kamu gak usah ke pabrik, ya? Kamu istirahat saja." Aldi menuntunku ke tempat tidur. "Dua hari yang lalu aku enggak ke pabrik, Bang. Masa, sekarang juga enggak kerja lagi. Nanti aku dibilang males dan manja. Aku gak mau, ah ....""Aruna, tidak
"Alhamdulillah kalau kamu sudah punya kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya, Mas. Tapi, untuk memberikan Saffa padamu, aku tidak bisa. Lebih tepatnya aku tidak percaya," tutur Alina. Iparku itu menolak permintaan mantan suaminya untuk memberikan putri mereka. Tidak ingin menguping pembicaraan mereka, aku pun menghampiri keduanya dengan berbasa-basi. Aku pura-pura tidak tahu dengan adanya Haikal di sana, padahal sengaja masuk untuk mendengarkan pembicaraan dua orang yang pernah saling mencintai itu."Oh, maaf, aku kira gak ada tamu, Mbak." "Tidak apa-apa, Run. Sini, duduk di sini temani aku," ujar Alina menyadari keberadaanku. Dengan senang hati dan memang itulah keinginanku, aku pun menjatuhkan tubuh di samping Alina. Mainan untuk Syakir, aku simpan di bawah kaki karena belum melihat anak itu. Sekilas, aku lihat wajah Haikal yang ditekuk menahan kesal. Mungkin dia pikir Alina akan memberikan putrinya. Akan tetapi, tidak. Meskipun Haikal mengaku sudah kaya raya dan pasti mamp