Esok harinya, aku dan Aldi sudah siap untuk pergi ke pesta pernikahan Naima. Meskipun semalam kami menginap di rumah Mama, tapi tadi pagi kami pulang dan sekarang sudah mau pergi lagi. "Ada yang ketinggalan, gak?" tanya Aldi saat kami hendak keluar dari kamar. "Enggak ada, Bang.""Kado?" tanya Aldi lagi. Aku menepuk jidat karena dua benda penting yang harusnya kami bawa, ketinggalan. Aku pun bergegas mengambil dua kotak berhiaskan pita merah muda, lalu kembali menghampiri Aldi. "Ini, Bang. Hampir, saja ketinggalan.""Kalau aku gak inget, mungkin kita akan bolak-balik, Run."Aku membenarkan ucapan suamiku yang sudah berjalan terlebih dahulu. Sesampainya di mobil, Aldi menyimpan kado di kursi belakang, lalu dia mulai menyalakan mesin mobilnya. "Bang, Papa kuat, gak ya, pergi ke gedung?" tanyaku lagi setelah mobil mulai berjalan. "Pasti kuat, Run. Semalam saja dia sudah becanda dengan Syakir, kan? Aku yakin, Papa tidak akan meninggalkan momen ini. Naima sudah Papa anggap seperti p
"Tolong jangan katakan apa pun pada Mas Ammar tentangku yang mengetahui kebenaran dirinya."Aku dan Aldi saling pandang, lalu mengangguk pelan menjawab bisikan Naima ketika kami tengah berfoto. Saat ini di pelaminan hanya ada Naima. Sedangkan pengantin pria, ia tengah ke toilet. Naima meminta kami untuk merahasiakan tentang suaminya itu. Dia juga meminta Aldi, untuk tidak lagi menemani Ammar berobat. Itu semua dia lakukan agar Ammar bercerita pada dia, dan masalah yang ada pada diri Ammar bisa dibagi dengan istrinya. "Maaf, ya? Aku lama di belakang," tutur Ammar yang kembali ke pelaminan. "Tidak apa-apa, kita santai, kok." Aldi menjabat tangan Ammar, lalu mereka berpelukan layaknya saudara. Beberapa saat berbasa-basi di atas pelaminan bersama pengantin, kami pun sudah berfoto dengan mereka, aku dan Aldi turun. Membiarkan tamu undangan lainnya untuk memberikan ucapan selamat kepada ke dua mempelai. Hidangan yang tersaji di meja perasmanan tidak ada yang membuatku berselera. Hingg
"Run."Aku tidak menoleh ataupun menjawab panggilan Aldi. Tanganku sibuk menyuapkan makanan ke dalam mulut tanpa peduli dengan dia yang baru saja masuk seraya menentang sesuatu. Sebenarnya aku tidak lapar. Rasa ingin makan pun hilang berganti dengan rasa sakit hati karena ucapan Aldi. Akan tetapi, aku memikirkan janin yang ada di dalam perutku. Aku tidak mau anakku kekurangan gizi karena aku yang tidak mengkonsumsi makanan sehat. Meskipun dengan air mata yang berlinang, aku terus memakan sayur bening yang aku buat subuh tadi. Aku hanya menghangatkannya sebentar agar tidak terlalu dingin di lidah."Kamu makan apa? Ini aku bawakan ikan bakar kesukaanmu," ujar Aldi lagi. Dia menyimpan tentengannya di atas meja, kemudian membuka kotak makanan hingga bau ikan bakar tercium begitu menggiurkan. Namun, egoku terlalu tinggi hingga tidak ada niatan sama sekali untukku menikmati makanan yang Aldi suguhkan. Aku marah pada dia yang mengataiku kekanak-kanakan. "Runa, kamu marah padaku?" tany
"Mama ...?" Aku menarik napas dalam-dalam saat Aldi menyebut sosok yang ada di balik pintu. Selanjutnya, aku menghampiri mereka seraya menyiapkan hati sekiranya ada ucapan dari mertuaku yang tidak mengenakkan hati. "Mah," ucapku seraya mengulurkan tangan. Mama tidak datang sendiri. Ia ke sini bersama Papa, yang mengekor di belakangnya. Seperti pada Mama, aku juga mengulurkan tangan pada Papa, lalu mencium punggung tangannya. "Tadi kenapa pulang lebih dulu?" tanya Papa membuatku melirik Aldi dan juga Mama. "Emh ... tadi aku ....""Papa paham, kalau sedang hamil muda itu, sangat sensitif. Termasuk penciuman. Dulu, Mama juga gitu, seperti kamu, Run. Dia tidak suka dengan bau parfum, pokoknya yang wangi-wangi, deh. Sampai wangi sabun pun, dia enggak suka. Sering gonta-ganti sabun mandi saat Mama sedang hamil muda dulu." Sambil berjalan ke arah sofa, Papa menceritakan masa lalu ibu mertua. Aku menanggapinya dengan sedikit kekehan, dengan mata yang melihat sebentar kepada yang dibicar
"Kuat, Sayang .... Kita tidak boleh lemah, ya? Kamu harus jadi kekuatan untuk Mama." Aku berucap seraya mengelus perut. Sudah menjadi rutinitas di pagi hari, rasa mual yang melanda membuatku muntah-muntah di kamar mandi. Seperti sekarang ini, aku masih berdiri di depan cermin seraya menatap wajah yang lesu setelah mengeluarkan isi perut. Hanya air saja, karena aku belum memakan apa pun. "Sayang, kamu di dalam?" Gedoran di pintu membuatku menoleh. Siapa lagi kalau bukan Aldi yang baru saja menyadari ketidakadaanku di sampingnya. "Iya, Bang.""Muntah lagi?" "Heem," kataku seraya mengusap bibir dengan air. Setelah merasa lebih baik dari sebelumnya, aku keluar. Dan wajah khawatir suamiku jadi pemandangan yang sudah tak asing lagi. "Hari ini kamu gak usah ke pabrik, ya? Kamu istirahat saja." Aldi menuntunku ke tempat tidur. "Dua hari yang lalu aku enggak ke pabrik, Bang. Masa, sekarang juga enggak kerja lagi. Nanti aku dibilang males dan manja. Aku gak mau, ah ....""Aruna, tidak
"Alhamdulillah kalau kamu sudah punya kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya, Mas. Tapi, untuk memberikan Saffa padamu, aku tidak bisa. Lebih tepatnya aku tidak percaya," tutur Alina. Iparku itu menolak permintaan mantan suaminya untuk memberikan putri mereka. Tidak ingin menguping pembicaraan mereka, aku pun menghampiri keduanya dengan berbasa-basi. Aku pura-pura tidak tahu dengan adanya Haikal di sana, padahal sengaja masuk untuk mendengarkan pembicaraan dua orang yang pernah saling mencintai itu."Oh, maaf, aku kira gak ada tamu, Mbak." "Tidak apa-apa, Run. Sini, duduk di sini temani aku," ujar Alina menyadari keberadaanku. Dengan senang hati dan memang itulah keinginanku, aku pun menjatuhkan tubuh di samping Alina. Mainan untuk Syakir, aku simpan di bawah kaki karena belum melihat anak itu. Sekilas, aku lihat wajah Haikal yang ditekuk menahan kesal. Mungkin dia pikir Alina akan memberikan putrinya. Akan tetapi, tidak. Meskipun Haikal mengaku sudah kaya raya dan pasti mamp
"Tolong kamu awasi Saffa, jangan biarkan dia pergi dengan siapa pun. Kalau ada yang mengaku ayahnya atau siapa pun yang berhubungan dengan ayahnya, jangan kamu kasih ijin untuk bertemu Saffa. Pulang sekolah, langsung bawa ke rumah. Paham?""Baik, Bu, saya mengerti."Pria yang tak lain supir Adikara itu langsung melesat pergi setelah mendapatkan amanah dari Alina untuk menjaga Saffa. Terpaksa Alina harus menyuruh Ari datang lebih awal ke sekolah Saffa, karena tidak mau didahului oleh Haikal. Tidak hanya memberikan amanat kepada Ari, si supir, Alina pun menelepon wali kelas Saffa di sekolah, untuk tidak mengizinkan siapa pun pengambil Saffa, kecuali Ari. Alina begitu khawatir jika Haikal akan mengambil Saffa darinya. Dia juga tahu, jika mantan suaminya itu nekad dan bisa melakukan apa pun yang dia inginkan. Jadi, sebelum itu terjadi, Alina lebih dulu bertindak meminimalisir kemungkinan yang tidak mengenakkan terjadi. "Mbak, kamu sayang banget, ya sama Saffa. Padahal, anakmu enggak c
"Pilih mana saja yang kamu sukai. Aku ikut saja."Aku melihat wajah suamiku dan gambar-gambar yang dia tunjuk bergantian. Demi Tuhan aku tidak mengerti dengan semua ini. Apa maksud Aldi memperlihatkanku gambar rumah dan kendaraan roda empat? Astaga, apa Alina ada di balik ini semua? Rasanya aku menyesal telah bercerita pada dia. "Untuk apa, Bang? Aku tidak mau," kataku seraya menggeser gambar-gambar itu menjauh dari hadapanku. Aku tersinggung, takut dan sedikit marah karena obrolan aku dan Alina sampai ke telinga suamiku. Jika Aldi menganggapku istri matre, gimana? "Kenapa tidak mau? Kita butuh itu, Run. Apa kamu mau tinggal selamanya di apartemen?""Apa semua ini karena Mbak Alina?" tanyaku balik. Aldi yang sekarang duduk di depanku, kini beralih ke sampingku. Dia menggenggam tangan ini seraya menarik sedikit daguku agar menatapnya. "Saat Alina membicarakan rumah denganmu tadi, sebenarnya dia menghubungiku lewat video call. Dan dari sana, bisa tahu apa keinginan istriku, dan k