"Pilih mana saja yang kamu sukai. Aku ikut saja."Aku melihat wajah suamiku dan gambar-gambar yang dia tunjuk bergantian. Demi Tuhan aku tidak mengerti dengan semua ini. Apa maksud Aldi memperlihatkanku gambar rumah dan kendaraan roda empat? Astaga, apa Alina ada di balik ini semua? Rasanya aku menyesal telah bercerita pada dia. "Untuk apa, Bang? Aku tidak mau," kataku seraya menggeser gambar-gambar itu menjauh dari hadapanku. Aku tersinggung, takut dan sedikit marah karena obrolan aku dan Alina sampai ke telinga suamiku. Jika Aldi menganggapku istri matre, gimana? "Kenapa tidak mau? Kita butuh itu, Run. Apa kamu mau tinggal selamanya di apartemen?""Apa semua ini karena Mbak Alina?" tanyaku balik. Aldi yang sekarang duduk di depanku, kini beralih ke sampingku. Dia menggenggam tangan ini seraya menarik sedikit daguku agar menatapnya. "Saat Alina membicarakan rumah denganmu tadi, sebenarnya dia menghubungiku lewat video call. Dan dari sana, bisa tahu apa keinginan istriku, dan k
"Liat apa, sih?" "Eh, enggak liat apa-apa, Bang. Rumahnya bagus-bagus," kataku beralasan. Aldi menghentikan mobilnya tak jauh dari rumah yang tadi aku lihat. Bangunan di samping mobil Aldi pun tak kalah bagus dan besar dari hunian yang di mana, ada seseorang di dalamnya. Jika aku jadi tinggal di sini, sepertinya tidak akan susah bagiku untuk mencari tahu tentang dia dan keluarga barunya. Hem ... entah ini suatu keberuntungan atau kebetulan. Aku akan bertetangga dengan Haikal si mantan suami iparku. Pria sombong yang ingin merebut Saffa dari Alina. "Kenapa senyum-senyum terus, sih? Curiga aku," tutur Aldi menatapku dengan penuh tanda tanya. Aku menoleh ke arahnya seraya mengembalikan mimik wajah menjadi sangat biasa. Dan tentu saja perubahan ekspresi wajah ini terlihat lucu di mata suamiku, dan membuatnya tertawa terbahak. "Ih, Abang .... Aku senyum-senyum dicurigain, aku masang wajah lempeng, malah diketawain," ujarku menggerutu. "Ya lucu aja, bisa langsung beda banget dalam b
"Yang ini rumahnya?" tanya Aldi seraya memelankan laju kendaraan yang dia kendarai. "Sepertinya iya, Bang. Soalnya tadi aku lihat Haikal ada di sana sama perempuan," jawabku celingukan. Sekarang rumah itu terlihat sepi bak tak berpenghuni. Jangankan Haikal, dua mobil yang tadi terparkir di sana pun, sekarang tidak ada. Mungkin mereka sedang pergi. Aldi pun melajukan mobilnya pada kecepatan normal. Kami meninggalkan perumahan yang nantinya akan menjadi tempat tinggal kami. Sepanjang perjalanan, aku dan Aldi membahas tentang barang-barang apa saja yang akan kami beli untuk mengisi rumah itu nanti. Maunya langsung segala terbeli, akan tetapi aku harus sadar, jika uang itu tidak datang dengan sendirinya. Harus bekerja keras dulu untuk mendapatkan apa yang aku inginkan. Termasuk perabotan rumah. "Nanti kamar kita di lantai dua, ya?" kataku kemudian. "Janganlah, Run. Di lantai satu aja.""Kok, gitu?" kataku lagi seraya mengerutkan kening ke arah suamiku. "Kamu sedang hamil, Sayang
"Oh, dia." Aku menyudahi sidak hari ini, dan keluar dari ruang produksi. Wanita yang tak lain adalah Alina, melambaikan tangan kepada orang-orang yang dulu menjadi temannya saat masih menjadi buruh di sini. Kemudian, kami keluar bersama menuju ruanganku. "Kamu galak banget, Run. Kalau aku jadi wanita tadi, sudah keluar aku dari pabrik ini. Malu," ujar Alina seraya terkekeh. "Mau gimana lagi, beginilah aku. Kalau di tempat kerja, ya galak. Kalau di rumah ....""Ya, bucin.""Hahahaha!" Aku tertawa lepas seraya membuka pintu ruanganku. Kupersilahkan Alina duduk, seiring dengan bokongku yang menyentuh kursi di belakang meja. "Tumben datang, Mbak. Ada apa?" tanyaku kemudian. "Kangen aja sama suasana pabrik ini. Terus ... aku juga mau tanya-tanya soal foto yang kemarin kamu kirimkan padaku."Lagi-lagi aku terkekeh melihat Alina yang menaikturunkan alisnya. Aku tahu ke mana arah bicara dia. Foto, itu artinya gambar ...."Sang mantan?" kataku. "Penasaran sama kehidupan mantan?" Aku mem
"Aduh ...." "Runa, kamu sudah bangun, Sayang?""Aruna ...." Kupandangi wajah-wajah yang sekarang tengah menatapku dengan sendu. Bang Aldi, Alina, juga ... Saffa. Ah, syukurlah anak itu tidak berhasil diambil ayahnya. Aku lega jika dia tetap bersama Alina. Namun .... Aku mengingat-ingat lagi kejadian di depan sekolah Saffa tadi. Di mana, aku yang jatuh dan ... bayiku!"Bang, aku tidak kenapa-kenapa, kan? Anakku baik-baik saja, bukan?" tanyaku panik seraya melihat Bang Aldi yang tidak melepaskan genggaman tangannya. Suamiku diam. Begitu pun dengan Alina. Bahkan, sekarang Saffa menyembunyikan wajahnya di dada sang ibu. Dia enggan melihatku yang kebingungan. "Abang, tadi aku lihat banyak darah setelah mobil menghantam tubuhku. Apa anakku di dalam perut tidak apa-apa?" tanyaku lagi. "Enggak, Sayang. Kamu baik-baik saja, kok. Sudah, ya jangan terlalu banyak bergerak dulu, kamu baru saja siuman."Ah, lega rasanya mendengar kalau anakku baik-baik saja. Terus, darah yang banyak tadi be
Bongkahan batu besar seakan menghimpit dada hingga sesak ini semakin terasa nyata. "Keguguran?" Aku mengulang kata yang terdengar sangat menyakitkan. "Maafkan aku, Aruna. Karena demi anakku, kamu kehilangan calon bayimu."Lagi, pisau belati seakan menusuk-nusuk jantung ini hingga perihnya membuatku tak berdaya. Aku ingin menjerit, ingin menangis hingga sesak ini menghilang. Namun, entah kenapa air mata dan sedu sedan tak kunjung datang. Yang ada hanya kebisuan. Lidahku seakan dikunci, tak mampu mengatakan apa pun untuk mengeluarkan rasa di dalam dada. Aku menatap wajah sendu suamiku yang menatap diri ini dengan khawatir. "Aku kehilangannya?" tanyaku lirih dengan tatapan kosong. "Bukan rezeki kita, Sayang .... Ikhlas, ya? Yakin, nanti Allah ganti dengan yang lebih baik lagi." Aldi mengusap kepalaku, menarik tubuhku dengan pelan untuk dipeluknya. Namun, aku menolak. Kembali aku diam seraya menunduk melihat perut dan merabanya. Kuangkat kepalaku, melihat wajah-wajah semua orang y
Matahari pagi ini bersinar dengan sangat terang. Cahayanya masuk dari kaca, menembus kamar rawat inapku. Kuhirup udara dengan sangat banyak untuk melonggarkan rasa sesak. Tetap sama, aku masih merasa terluka dengan kenyataan yang menimpa. Tak ada lagi benih Aldi di dalam perutku ini."Jangan terus meratap, Aruna .... Ikhlaskan yang bukan rezekimu," ujar Mama menyibak gorden agar cahaya matahari semakin banyak yang masuk. Aku beringsut duduk, lalu mengambil sisir rambut yang ada di atas meja kecil di samping ranjang. Saat tanganku mulai menggerakkan sisir itu, Mama langsung mengambilnya. Dengan masih berdiri di sampingku, Mama menyisir rambutku yang sedikit lepek belum tersentuh air. "Biar aku saja, Mah," kataku tak enak."Sudah, tidak apa-apa. Tanganmu masih sakit, bukan? Semalam saja waktu perbannya dibuka, masih mengeluarkan darah. Anggap saja Mama ini ibumu yang sedang menyisir rambut putrinya. Jangan sungkan, Mama tidak keberatan melakukan ini."Aku tersenyum meskipun Mama ti
"Bu Aruna mau ke mana?" "Saya harus pergi, Sus. Papa saya sedang membutuhkan saya sekarang!" kataku seraya turun dari ranjang. Infus di tangan sudah terlepas. Aku berniat untuk pulang ke rumah Mama, ingin membawa Papa ke rumah sakit. Rasanya tidak tenang saat mendengar penyakit Papa kambuh dan di rumah tidak ada supir. Sebenarnya, Mama bisa mengendarai mobil. Akan tetapi itu dulu. Sekarang ia tidak mau lagi mengendarai roda empat karena rasa takut yang berlebihan akibat pernah kecelakaan menubruk pembatas jalan beberapa tahun ke belakang. "Jangan, Bu! Dokter belum mengizinkan Bu Aruna untuk pulang, kondisi Bu Aruna masih harus mendapatkan perawatan," ujar suster seraya menghalangi jalanku untuk pergi. Namun, aku tidak sama sekali mengindahkan ucapan wanita yang sangat panik karena melihatku yang nekad untuk pergi. Beberapa kali dia memanggil dokter untuk mencegahku. "Suster ...," kataku pelan seraya berdiri di depan wanita itu. "Dengarkan saya. Biarkan saja pergi, karena di sana