"Kuat, Sayang .... Kita tidak boleh lemah, ya? Kamu harus jadi kekuatan untuk Mama." Aku berucap seraya mengelus perut. Sudah menjadi rutinitas di pagi hari, rasa mual yang melanda membuatku muntah-muntah di kamar mandi. Seperti sekarang ini, aku masih berdiri di depan cermin seraya menatap wajah yang lesu setelah mengeluarkan isi perut. Hanya air saja, karena aku belum memakan apa pun. "Sayang, kamu di dalam?" Gedoran di pintu membuatku menoleh. Siapa lagi kalau bukan Aldi yang baru saja menyadari ketidakadaanku di sampingnya. "Iya, Bang.""Muntah lagi?" "Heem," kataku seraya mengusap bibir dengan air. Setelah merasa lebih baik dari sebelumnya, aku keluar. Dan wajah khawatir suamiku jadi pemandangan yang sudah tak asing lagi. "Hari ini kamu gak usah ke pabrik, ya? Kamu istirahat saja." Aldi menuntunku ke tempat tidur. "Dua hari yang lalu aku enggak ke pabrik, Bang. Masa, sekarang juga enggak kerja lagi. Nanti aku dibilang males dan manja. Aku gak mau, ah ....""Aruna, tidak
"Alhamdulillah kalau kamu sudah punya kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya, Mas. Tapi, untuk memberikan Saffa padamu, aku tidak bisa. Lebih tepatnya aku tidak percaya," tutur Alina. Iparku itu menolak permintaan mantan suaminya untuk memberikan putri mereka. Tidak ingin menguping pembicaraan mereka, aku pun menghampiri keduanya dengan berbasa-basi. Aku pura-pura tidak tahu dengan adanya Haikal di sana, padahal sengaja masuk untuk mendengarkan pembicaraan dua orang yang pernah saling mencintai itu."Oh, maaf, aku kira gak ada tamu, Mbak." "Tidak apa-apa, Run. Sini, duduk di sini temani aku," ujar Alina menyadari keberadaanku. Dengan senang hati dan memang itulah keinginanku, aku pun menjatuhkan tubuh di samping Alina. Mainan untuk Syakir, aku simpan di bawah kaki karena belum melihat anak itu. Sekilas, aku lihat wajah Haikal yang ditekuk menahan kesal. Mungkin dia pikir Alina akan memberikan putrinya. Akan tetapi, tidak. Meskipun Haikal mengaku sudah kaya raya dan pasti mamp
"Tolong kamu awasi Saffa, jangan biarkan dia pergi dengan siapa pun. Kalau ada yang mengaku ayahnya atau siapa pun yang berhubungan dengan ayahnya, jangan kamu kasih ijin untuk bertemu Saffa. Pulang sekolah, langsung bawa ke rumah. Paham?""Baik, Bu, saya mengerti."Pria yang tak lain supir Adikara itu langsung melesat pergi setelah mendapatkan amanah dari Alina untuk menjaga Saffa. Terpaksa Alina harus menyuruh Ari datang lebih awal ke sekolah Saffa, karena tidak mau didahului oleh Haikal. Tidak hanya memberikan amanat kepada Ari, si supir, Alina pun menelepon wali kelas Saffa di sekolah, untuk tidak mengizinkan siapa pun pengambil Saffa, kecuali Ari. Alina begitu khawatir jika Haikal akan mengambil Saffa darinya. Dia juga tahu, jika mantan suaminya itu nekad dan bisa melakukan apa pun yang dia inginkan. Jadi, sebelum itu terjadi, Alina lebih dulu bertindak meminimalisir kemungkinan yang tidak mengenakkan terjadi. "Mbak, kamu sayang banget, ya sama Saffa. Padahal, anakmu enggak c
"Pilih mana saja yang kamu sukai. Aku ikut saja."Aku melihat wajah suamiku dan gambar-gambar yang dia tunjuk bergantian. Demi Tuhan aku tidak mengerti dengan semua ini. Apa maksud Aldi memperlihatkanku gambar rumah dan kendaraan roda empat? Astaga, apa Alina ada di balik ini semua? Rasanya aku menyesal telah bercerita pada dia. "Untuk apa, Bang? Aku tidak mau," kataku seraya menggeser gambar-gambar itu menjauh dari hadapanku. Aku tersinggung, takut dan sedikit marah karena obrolan aku dan Alina sampai ke telinga suamiku. Jika Aldi menganggapku istri matre, gimana? "Kenapa tidak mau? Kita butuh itu, Run. Apa kamu mau tinggal selamanya di apartemen?""Apa semua ini karena Mbak Alina?" tanyaku balik. Aldi yang sekarang duduk di depanku, kini beralih ke sampingku. Dia menggenggam tangan ini seraya menarik sedikit daguku agar menatapnya. "Saat Alina membicarakan rumah denganmu tadi, sebenarnya dia menghubungiku lewat video call. Dan dari sana, bisa tahu apa keinginan istriku, dan k
"Liat apa, sih?" "Eh, enggak liat apa-apa, Bang. Rumahnya bagus-bagus," kataku beralasan. Aldi menghentikan mobilnya tak jauh dari rumah yang tadi aku lihat. Bangunan di samping mobil Aldi pun tak kalah bagus dan besar dari hunian yang di mana, ada seseorang di dalamnya. Jika aku jadi tinggal di sini, sepertinya tidak akan susah bagiku untuk mencari tahu tentang dia dan keluarga barunya. Hem ... entah ini suatu keberuntungan atau kebetulan. Aku akan bertetangga dengan Haikal si mantan suami iparku. Pria sombong yang ingin merebut Saffa dari Alina. "Kenapa senyum-senyum terus, sih? Curiga aku," tutur Aldi menatapku dengan penuh tanda tanya. Aku menoleh ke arahnya seraya mengembalikan mimik wajah menjadi sangat biasa. Dan tentu saja perubahan ekspresi wajah ini terlihat lucu di mata suamiku, dan membuatnya tertawa terbahak. "Ih, Abang .... Aku senyum-senyum dicurigain, aku masang wajah lempeng, malah diketawain," ujarku menggerutu. "Ya lucu aja, bisa langsung beda banget dalam b
"Yang ini rumahnya?" tanya Aldi seraya memelankan laju kendaraan yang dia kendarai. "Sepertinya iya, Bang. Soalnya tadi aku lihat Haikal ada di sana sama perempuan," jawabku celingukan. Sekarang rumah itu terlihat sepi bak tak berpenghuni. Jangankan Haikal, dua mobil yang tadi terparkir di sana pun, sekarang tidak ada. Mungkin mereka sedang pergi. Aldi pun melajukan mobilnya pada kecepatan normal. Kami meninggalkan perumahan yang nantinya akan menjadi tempat tinggal kami. Sepanjang perjalanan, aku dan Aldi membahas tentang barang-barang apa saja yang akan kami beli untuk mengisi rumah itu nanti. Maunya langsung segala terbeli, akan tetapi aku harus sadar, jika uang itu tidak datang dengan sendirinya. Harus bekerja keras dulu untuk mendapatkan apa yang aku inginkan. Termasuk perabotan rumah. "Nanti kamar kita di lantai dua, ya?" kataku kemudian. "Janganlah, Run. Di lantai satu aja.""Kok, gitu?" kataku lagi seraya mengerutkan kening ke arah suamiku. "Kamu sedang hamil, Sayang
"Oh, dia." Aku menyudahi sidak hari ini, dan keluar dari ruang produksi. Wanita yang tak lain adalah Alina, melambaikan tangan kepada orang-orang yang dulu menjadi temannya saat masih menjadi buruh di sini. Kemudian, kami keluar bersama menuju ruanganku. "Kamu galak banget, Run. Kalau aku jadi wanita tadi, sudah keluar aku dari pabrik ini. Malu," ujar Alina seraya terkekeh. "Mau gimana lagi, beginilah aku. Kalau di tempat kerja, ya galak. Kalau di rumah ....""Ya, bucin.""Hahahaha!" Aku tertawa lepas seraya membuka pintu ruanganku. Kupersilahkan Alina duduk, seiring dengan bokongku yang menyentuh kursi di belakang meja. "Tumben datang, Mbak. Ada apa?" tanyaku kemudian. "Kangen aja sama suasana pabrik ini. Terus ... aku juga mau tanya-tanya soal foto yang kemarin kamu kirimkan padaku."Lagi-lagi aku terkekeh melihat Alina yang menaikturunkan alisnya. Aku tahu ke mana arah bicara dia. Foto, itu artinya gambar ...."Sang mantan?" kataku. "Penasaran sama kehidupan mantan?" Aku mem
"Aduh ...." "Runa, kamu sudah bangun, Sayang?""Aruna ...." Kupandangi wajah-wajah yang sekarang tengah menatapku dengan sendu. Bang Aldi, Alina, juga ... Saffa. Ah, syukurlah anak itu tidak berhasil diambil ayahnya. Aku lega jika dia tetap bersama Alina. Namun .... Aku mengingat-ingat lagi kejadian di depan sekolah Saffa tadi. Di mana, aku yang jatuh dan ... bayiku!"Bang, aku tidak kenapa-kenapa, kan? Anakku baik-baik saja, bukan?" tanyaku panik seraya melihat Bang Aldi yang tidak melepaskan genggaman tangannya. Suamiku diam. Begitu pun dengan Alina. Bahkan, sekarang Saffa menyembunyikan wajahnya di dada sang ibu. Dia enggan melihatku yang kebingungan. "Abang, tadi aku lihat banyak darah setelah mobil menghantam tubuhku. Apa anakku di dalam perut tidak apa-apa?" tanyaku lagi. "Enggak, Sayang. Kamu baik-baik saja, kok. Sudah, ya jangan terlalu banyak bergerak dulu, kamu baru saja siuman."Ah, lega rasanya mendengar kalau anakku baik-baik saja. Terus, darah yang banyak tadi be