"Oh, dia." Aku menyudahi sidak hari ini, dan keluar dari ruang produksi. Wanita yang tak lain adalah Alina, melambaikan tangan kepada orang-orang yang dulu menjadi temannya saat masih menjadi buruh di sini. Kemudian, kami keluar bersama menuju ruanganku. "Kamu galak banget, Run. Kalau aku jadi wanita tadi, sudah keluar aku dari pabrik ini. Malu," ujar Alina seraya terkekeh. "Mau gimana lagi, beginilah aku. Kalau di tempat kerja, ya galak. Kalau di rumah ....""Ya, bucin.""Hahahaha!" Aku tertawa lepas seraya membuka pintu ruanganku. Kupersilahkan Alina duduk, seiring dengan bokongku yang menyentuh kursi di belakang meja. "Tumben datang, Mbak. Ada apa?" tanyaku kemudian. "Kangen aja sama suasana pabrik ini. Terus ... aku juga mau tanya-tanya soal foto yang kemarin kamu kirimkan padaku."Lagi-lagi aku terkekeh melihat Alina yang menaikturunkan alisnya. Aku tahu ke mana arah bicara dia. Foto, itu artinya gambar ...."Sang mantan?" kataku. "Penasaran sama kehidupan mantan?" Aku mem
"Aduh ...." "Runa, kamu sudah bangun, Sayang?""Aruna ...." Kupandangi wajah-wajah yang sekarang tengah menatapku dengan sendu. Bang Aldi, Alina, juga ... Saffa. Ah, syukurlah anak itu tidak berhasil diambil ayahnya. Aku lega jika dia tetap bersama Alina. Namun .... Aku mengingat-ingat lagi kejadian di depan sekolah Saffa tadi. Di mana, aku yang jatuh dan ... bayiku!"Bang, aku tidak kenapa-kenapa, kan? Anakku baik-baik saja, bukan?" tanyaku panik seraya melihat Bang Aldi yang tidak melepaskan genggaman tangannya. Suamiku diam. Begitu pun dengan Alina. Bahkan, sekarang Saffa menyembunyikan wajahnya di dada sang ibu. Dia enggan melihatku yang kebingungan. "Abang, tadi aku lihat banyak darah setelah mobil menghantam tubuhku. Apa anakku di dalam perut tidak apa-apa?" tanyaku lagi. "Enggak, Sayang. Kamu baik-baik saja, kok. Sudah, ya jangan terlalu banyak bergerak dulu, kamu baru saja siuman."Ah, lega rasanya mendengar kalau anakku baik-baik saja. Terus, darah yang banyak tadi be
Bongkahan batu besar seakan menghimpit dada hingga sesak ini semakin terasa nyata. "Keguguran?" Aku mengulang kata yang terdengar sangat menyakitkan. "Maafkan aku, Aruna. Karena demi anakku, kamu kehilangan calon bayimu."Lagi, pisau belati seakan menusuk-nusuk jantung ini hingga perihnya membuatku tak berdaya. Aku ingin menjerit, ingin menangis hingga sesak ini menghilang. Namun, entah kenapa air mata dan sedu sedan tak kunjung datang. Yang ada hanya kebisuan. Lidahku seakan dikunci, tak mampu mengatakan apa pun untuk mengeluarkan rasa di dalam dada. Aku menatap wajah sendu suamiku yang menatap diri ini dengan khawatir. "Aku kehilangannya?" tanyaku lirih dengan tatapan kosong. "Bukan rezeki kita, Sayang .... Ikhlas, ya? Yakin, nanti Allah ganti dengan yang lebih baik lagi." Aldi mengusap kepalaku, menarik tubuhku dengan pelan untuk dipeluknya. Namun, aku menolak. Kembali aku diam seraya menunduk melihat perut dan merabanya. Kuangkat kepalaku, melihat wajah-wajah semua orang y
Matahari pagi ini bersinar dengan sangat terang. Cahayanya masuk dari kaca, menembus kamar rawat inapku. Kuhirup udara dengan sangat banyak untuk melonggarkan rasa sesak. Tetap sama, aku masih merasa terluka dengan kenyataan yang menimpa. Tak ada lagi benih Aldi di dalam perutku ini."Jangan terus meratap, Aruna .... Ikhlaskan yang bukan rezekimu," ujar Mama menyibak gorden agar cahaya matahari semakin banyak yang masuk. Aku beringsut duduk, lalu mengambil sisir rambut yang ada di atas meja kecil di samping ranjang. Saat tanganku mulai menggerakkan sisir itu, Mama langsung mengambilnya. Dengan masih berdiri di sampingku, Mama menyisir rambutku yang sedikit lepek belum tersentuh air. "Biar aku saja, Mah," kataku tak enak."Sudah, tidak apa-apa. Tanganmu masih sakit, bukan? Semalam saja waktu perbannya dibuka, masih mengeluarkan darah. Anggap saja Mama ini ibumu yang sedang menyisir rambut putrinya. Jangan sungkan, Mama tidak keberatan melakukan ini."Aku tersenyum meskipun Mama ti
"Bu Aruna mau ke mana?" "Saya harus pergi, Sus. Papa saya sedang membutuhkan saya sekarang!" kataku seraya turun dari ranjang. Infus di tangan sudah terlepas. Aku berniat untuk pulang ke rumah Mama, ingin membawa Papa ke rumah sakit. Rasanya tidak tenang saat mendengar penyakit Papa kambuh dan di rumah tidak ada supir. Sebenarnya, Mama bisa mengendarai mobil. Akan tetapi itu dulu. Sekarang ia tidak mau lagi mengendarai roda empat karena rasa takut yang berlebihan akibat pernah kecelakaan menubruk pembatas jalan beberapa tahun ke belakang. "Jangan, Bu! Dokter belum mengizinkan Bu Aruna untuk pulang, kondisi Bu Aruna masih harus mendapatkan perawatan," ujar suster seraya menghalangi jalanku untuk pergi. Namun, aku tidak sama sekali mengindahkan ucapan wanita yang sangat panik karena melihatku yang nekad untuk pergi. Beberapa kali dia memanggil dokter untuk mencegahku. "Suster ...," kataku pelan seraya berdiri di depan wanita itu. "Dengarkan saya. Biarkan saja pergi, karena di sana
"Jangan kabur-kabur lagi. Jangan nakal, oke?" Aldi mencubit hidungku. Aku mengangguk seraya mesem-mesem manakala jari suamiku mengetuk-ngetuk hidung, lalu pindah ke pipi. Pandangan kami bertemu, saling mengunci saat daguku diangkat sedikit lebih mendongak dan maju. Perlahan, wajah Aldi mendekati wajahku hingga kurasakan lembutnya sentuhan bibir suamiku di kulit bibirku. Sayangnya hanya sebentar dia melakukan itu. Padahal, aku mendambakan lebih dari sekedar berciuman saja. Ah, Aruna ... ini masih di rumah sakit. Harusnya keinginan itu tidak datang dalam situasi seperti ini. Namun, hatiku tak memungkiri, jika aku merindukan sentuhan suamiku. "Ekhem." Aku berdehem pelan. "Gimana keadaan Papa?" tanyaku mencoba mengalihkan pikiran yang berkelana jauh. "Belum tahu, tapi tadi dia sudah mendapatkan penanganan dari dokter. Dan kamu ...." Lagi-lagi Aldi mencubit pelan pipiku. "Awas kalau melakukan hal seperti tadi lagi. Aku terkekeh. Dia pun demikian. Saat baru saja sampai di rumah saki
"Gimana keadaan Papa sekarang?" tanyaku kepada pria yang saat ini terbaring di atas ranjang. "Sudah lebih baik dari sebelumnya, Runa. Katanya kamu sudah boleh pulang?" Aku duduk di kursi yang ada di samping ranjang Papa seraya menganggukkan kepala. Hari ini, aku memang sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Akan tetapi, sebelum pergi aku ingin melihat Papa dulu yang sudah dua hari dirawat di sini. Seperti yang dikatakan Papa tadi, kondisinya sudah lebih baik daripada saat pertama datang ke sini. Wajahnya sudah semakin segar, dan Papa pun sudah bisa bangun dan duduk. "Liat kamu sudah bisa pulang, Papa juga jadi ingin pulang, Runa.""Loh ... jangan gitu, Papa. Kan, Papa belum boleh pulang," ujar Mama menjawab ucapan suaminya. Aku hanya tersenyum seraya melirik Aldi yang sedari tadi ada di belakangku. Kedua tangan Aldi memegang pundakku, seakan tak ingin berjauhan. Sedangkan Mama, ada di seberang ranjang Papa. "Benar kata Mama, Pah. Papa harus sembuh dulu, baru pulang ke rum
"Biasa saja, tidak usah kaget seperti itu," ujar seorang pria seraya masuk tanpa permisi. "Ternyata ... kita tetanggaan, ya? Hem ... rumahmu bagus juga."Aku mengikuti pria tak tahu malu yang sekarang sudah duduk di sofa ruang tamu. Matanya celingukan ke sana kemari, lalu berhenti dengan menatapku yang berdiri di depannya. Mimpi apa aku malam tadi, hingga harus kedatangan tamu tidak diundang itu? Lebih menyebalkannya lagi, dia adalah orang yang sudah membuatku kehilangan calon bayiku. "Katakan ada apa kamu datang ke sini, Haikal?" tanyaku tanpa embel-embel 'Mas'. Haikal menarik napas panjang. "Masih sama seperti yang waktu itu. Kita kerja sama," ujarnya seraya membuka resleting tas kecil yang ia bawa, lalu mengeluarkan sejumlah uang yang diikat dengan karet gelang. Ceritanya dia nyogok? Aku tersenyum kecut melihat itu. "Kamu pikir aku sedang butuh uang?" Aku bersidekap dada dengan pandangan tajam ke arahnya. "Siapa, sih yang tidak butuh uang? Orang mati aja masih mengeluarkan u