"Jangan kabur-kabur lagi. Jangan nakal, oke?" Aldi mencubit hidungku. Aku mengangguk seraya mesem-mesem manakala jari suamiku mengetuk-ngetuk hidung, lalu pindah ke pipi. Pandangan kami bertemu, saling mengunci saat daguku diangkat sedikit lebih mendongak dan maju. Perlahan, wajah Aldi mendekati wajahku hingga kurasakan lembutnya sentuhan bibir suamiku di kulit bibirku. Sayangnya hanya sebentar dia melakukan itu. Padahal, aku mendambakan lebih dari sekedar berciuman saja. Ah, Aruna ... ini masih di rumah sakit. Harusnya keinginan itu tidak datang dalam situasi seperti ini. Namun, hatiku tak memungkiri, jika aku merindukan sentuhan suamiku. "Ekhem." Aku berdehem pelan. "Gimana keadaan Papa?" tanyaku mencoba mengalihkan pikiran yang berkelana jauh. "Belum tahu, tapi tadi dia sudah mendapatkan penanganan dari dokter. Dan kamu ...." Lagi-lagi Aldi mencubit pelan pipiku. "Awas kalau melakukan hal seperti tadi lagi. Aku terkekeh. Dia pun demikian. Saat baru saja sampai di rumah saki
"Gimana keadaan Papa sekarang?" tanyaku kepada pria yang saat ini terbaring di atas ranjang. "Sudah lebih baik dari sebelumnya, Runa. Katanya kamu sudah boleh pulang?" Aku duduk di kursi yang ada di samping ranjang Papa seraya menganggukkan kepala. Hari ini, aku memang sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Akan tetapi, sebelum pergi aku ingin melihat Papa dulu yang sudah dua hari dirawat di sini. Seperti yang dikatakan Papa tadi, kondisinya sudah lebih baik daripada saat pertama datang ke sini. Wajahnya sudah semakin segar, dan Papa pun sudah bisa bangun dan duduk. "Liat kamu sudah bisa pulang, Papa juga jadi ingin pulang, Runa.""Loh ... jangan gitu, Papa. Kan, Papa belum boleh pulang," ujar Mama menjawab ucapan suaminya. Aku hanya tersenyum seraya melirik Aldi yang sedari tadi ada di belakangku. Kedua tangan Aldi memegang pundakku, seakan tak ingin berjauhan. Sedangkan Mama, ada di seberang ranjang Papa. "Benar kata Mama, Pah. Papa harus sembuh dulu, baru pulang ke rum
"Biasa saja, tidak usah kaget seperti itu," ujar seorang pria seraya masuk tanpa permisi. "Ternyata ... kita tetanggaan, ya? Hem ... rumahmu bagus juga."Aku mengikuti pria tak tahu malu yang sekarang sudah duduk di sofa ruang tamu. Matanya celingukan ke sana kemari, lalu berhenti dengan menatapku yang berdiri di depannya. Mimpi apa aku malam tadi, hingga harus kedatangan tamu tidak diundang itu? Lebih menyebalkannya lagi, dia adalah orang yang sudah membuatku kehilangan calon bayiku. "Katakan ada apa kamu datang ke sini, Haikal?" tanyaku tanpa embel-embel 'Mas'. Haikal menarik napas panjang. "Masih sama seperti yang waktu itu. Kita kerja sama," ujarnya seraya membuka resleting tas kecil yang ia bawa, lalu mengeluarkan sejumlah uang yang diikat dengan karet gelang. Ceritanya dia nyogok? Aku tersenyum kecut melihat itu. "Kamu pikir aku sedang butuh uang?" Aku bersidekap dada dengan pandangan tajam ke arahnya. "Siapa, sih yang tidak butuh uang? Orang mati aja masih mengeluarkan u
355"Ekhem!" Aku berdehem membuat semua orang yang tengah duduk menoleh ke arahku. "Maaf, Bapak-bapak, sepertinya saya harus bicara empat mata dengan Pak Haikal," lanjutku seraya menatap pria yang melihatku tanpa dosa. Haikal tersenyum miring. Sedangkan teman-temannya saling berbisik, seperti tengah membicarakanku. "Eh, Aruna. Sepertinya kamu selalu rindu padaku, ya? Baru saja tadi kita bertemu, sekarang sudah menyusulku ke sini. Maaf, Aruna, aku ini sudah beristri sekarang. Jadi, jangan terus mengejarku dan memintaku kembali.""Tutup mulutmu!" sergahku. Demi Tuhan aku sangat muak dengan tingkah laku Haikal. Dia bahkan bicara tanpa merasa dosa, dengan terus tersenyum seolah apa yang dia katakan benar adanya. Tidak tahu malu."Mohon maaf, Pak Haikal, Bu Aruna, jika ada masalah yang belum selesai, silahkan selesaikan di tempat lain. Jangan bertengkar di warung saya." Wanita paruh baya keluar dari dalam warung, dan bicara menengahi kami. Mataku memindai sekitar, di mana orang-orang
Aldi tidak mengingkari janji. Sore setelah dia pulang bekerja, kami pergi ke rumah sakit untuk menjenguk Papa. Perjalanan kami dipenuhi canda tawa seraya membahas pekerjaan. Namun, tak kuceritakan Haikal yang mengancamku, juga memfitnahku di depan orang-orang. Biarkan aku yang tahu, dan mengusir kuman itu agar menjauh dari hidup kami. "Gak beli makanan dulu, Bang?" tanyaku saat mobil sudah masuk ke kawasan rumah sakit. "Tidak usah, tadi saat aku telepon, katanya di sana banyak makanan.""Siapa yang bawa?" tanyaku lagi. "Teman-teman Papa yang besuk."Aku manggut-manggut. Tidak berapa lama, Aldi menghentikannya laju mobilnya. Aku pun turun dari mobil, lalu berjalan bergandengan tangan menuju kamar rawat inap Papa. Pintu Aldi ketuk seraya mengucapkan salam ketika sudah berada di depan pintu kamar Papa. Suara Mama menyambut kedatangan kami yang masuk setelah ada izin dari mereka yang ada di dalam. "Kok, sama Runa?" Pertanyaan itu Papa layangkan pada kami. "Maksa pengen ikut, Pah. K
Udara sore ini terasa lebih sejuk dari biasanya. Angin bertiup pelan, membuat kepulan asap dari cangkir di depanku menari dibawanya. Keheningan tercipta di antara aku, Aldi dan ... Naima. Iya, dialah yang tadi datang menjenguk Papa. Naima tidak sendirian. Dia bersama Tante Ratna yang sekarang masih berada di ruang rawat inap ayah mertuaku. Sedangkan kami, memilih pergi ke kantin rumah sakit untuk mengobrol seraya menikmati minuman yang dapat menghangatkan perut. "Gimana kabar Ammar?" Aldi bertanya untuk mencairkan kebekuan. Entahlah, kurasa ... Naima menjadi sangat pendiam setelah menikah. Dia irit bicara, dan hanya menjawab pertanyaan dengan singkat saja. "Baik," jawab Naima. "Keadaannya?" Suamiku kembali bertanya. Naima menarik napas panjang, seolah-olah pertanyaan yang dilontarkan Aldi membuatnya sesak napas. Dia tidak menjawab pertanyaan suamiku. Wanita yang selalu cantik dengan balutan gamis dan hijab itu memilih menyesap cokelat panas yang tadi dipesannya. "Maaf, harusny
Tanganku menghapus air mata yang melintas di pipi, pun dengan Naima. Jari-jari lentik wanita itu beberapa kali mengambil lembaran tisu untuk menghilangkan jejak air di wajahnya. Sedangkan wanita lain yang baru saja datang, semakin intens melihatku yang berada di dekat putrinya. Mungkinkah Tante Ratna mengira aku penyebab putrinya menangis? "Apa yang kamu lakukan pada putriku?" Pertanyaan itu keluar dari bibir Tante Ratna seraya menghampiri kami. Dia menarik sebelah tanganku agar menjauh dari Naima. Tentu saja, hal itu membuat Aldi kaget, dan Naima bereaksi menahan ibunya yang hendak kembali bicara. "Mah, jangan kasar," ujar Naima."Apa yang dia lakukan padamu, Nai? Kenapa kamu sampai menangis seperti ini?" Tante Ratna bertanya seraya melihat wajah putrinya. "Ini bukan karena Aruna menyakitiku, Mah. Aku nangis karena ... sedih saat tahu Aruna telah kehilangan calon bayinya. Tadi dia menceritakan musibah itu, dan aku terbawa suasana atas duka yang mereka alami. Iya, hanya itu. Tid
"Kamu beli online saja, ya? Aku tidak ijinkan kamu keluar rumah sendirian. Ingat, kondisimu belum sehat betul, dan masih harus banyak istirahat."Satu gelas air putih Aldi letakan di depanku. Di telapak tangan, ada beberapa butir obat yang harus aku minum pagi ini. Sudah malas sebenarnya mengkonsumsi obat itu, tapi Aldi kekeh menyuruhku harus menghabiskannya. "Makasih, Bang," kataku seraya mengambil obat darinya. "Sama-sama, Sayang," jawabnya "Kamu janji kan, tidak akan memaksa keluar hanya untuk membeli alat masak?" Aldi kembali bicara karena tidak ada jawaban dariku mengenai permintaannya. Aku mengangguk dengan terus meneguk air hingga sisa setengah di dalam gelas. "Heem, aku enggak akan keluar sendirian. Tapi, kalau ada temannya, tidak apa-apa, dong aku pergi?" kataku seraya mengedipkan mata beberapa kali. "Teman siapa? Emangnya kamu punya teman?" Aku merengut mendengarkan pertanyaan Aldi yang terdengar seperti ejekan. "Tidak ada," kataku lemah.Iya, aku memang tidak punya
"Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan
Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"
Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli
Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb
Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel
"Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda
Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka
"Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika
"Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan