Beranda / Romansa / Membalas Kesombongan Mantan / 358 tidur ditemani bintang-bintang

Share

358 tidur ditemani bintang-bintang

Penulis: Pena_yuni
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Tanganku menghapus air mata yang melintas di pipi, pun dengan Naima. Jari-jari lentik wanita itu beberapa kali mengambil lembaran tisu untuk menghilangkan jejak air di wajahnya.

Sedangkan wanita lain yang baru saja datang, semakin intens melihatku yang berada di dekat putrinya.

Mungkinkah Tante Ratna mengira aku penyebab putrinya menangis?

"Apa yang kamu lakukan pada putriku?" Pertanyaan itu keluar dari bibir Tante Ratna seraya menghampiri kami.

Dia menarik sebelah tanganku agar menjauh dari Naima. Tentu saja, hal itu membuat Aldi kaget, dan Naima bereaksi menahan ibunya yang hendak kembali bicara.

"Mah, jangan kasar," ujar Naima.

"Apa yang dia lakukan padamu, Nai? Kenapa kamu sampai menangis seperti ini?" Tante Ratna bertanya seraya melihat wajah putrinya.

"Ini bukan karena Aruna menyakitiku, Mah. Aku nangis karena ... sedih saat tahu Aruna telah kehilangan calon bayinya. Tadi dia menceritakan musibah itu, dan aku terbawa suasana atas duka yang mereka alami. Iya, hanya itu. Tid
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 359 tetangga yang sakit itu ....

    "Kamu beli online saja, ya? Aku tidak ijinkan kamu keluar rumah sendirian. Ingat, kondisimu belum sehat betul, dan masih harus banyak istirahat."Satu gelas air putih Aldi letakan di depanku. Di telapak tangan, ada beberapa butir obat yang harus aku minum pagi ini. Sudah malas sebenarnya mengkonsumsi obat itu, tapi Aldi kekeh menyuruhku harus menghabiskannya. "Makasih, Bang," kataku seraya mengambil obat darinya. "Sama-sama, Sayang," jawabnya "Kamu janji kan, tidak akan memaksa keluar hanya untuk membeli alat masak?" Aldi kembali bicara karena tidak ada jawaban dariku mengenai permintaannya. Aku mengangguk dengan terus meneguk air hingga sisa setengah di dalam gelas. "Heem, aku enggak akan keluar sendirian. Tapi, kalau ada temannya, tidak apa-apa, dong aku pergi?" kataku seraya mengedipkan mata beberapa kali. "Teman siapa? Emangnya kamu punya teman?" Aku merengut mendengarkan pertanyaan Aldi yang terdengar seperti ejekan. "Tidak ada," kataku lemah.Iya, aku memang tidak punya

  • Membalas Kesombongan Mantan   360 sesuatu yang mencengangkan

    Aku tidak mengatakan jika istri Haikal itu jelek. Dari pandanganku, istrinya cantik. Meskipun memang, kerutan di wajahnya tidak bisa membohongi usainya saat ini. Apalagi tanpa makeup, semakin jelaslah perbedaan usia antara Haikal dan istrinya itu. "Kamu datang dengan siapa, Ros?" tanya wanita yang tadi dipanggil Mami oleh Rossa. "Oh, ini tetangga baru kita, Mam. Namanya Aruna. Dia tinggal di rumah bekas Pak Rudi."Istrinya Haikal membulatkan mulut. Dia tersenyum ke arahku yang mengangguk ramah dengan bibir yang terangkat ke atas. Saat ini, aku dan dua tetanggaku tadi tengah berada di satu ruangan yang cukup luas. Sepertinya ... ini ruang keluarga di rumah ini. Aku kembali tersenyum saat mata ini saling bertatapan dengan istri Haikal yang wajahnya terlihat pucat. Namun, tidak aku lihat Haikal di sini sejak aku masuk tadi. Ke mana dia? Kenapa tidak menemani istrinya yang tengah sakit? "Mami sakit apa?" tanya Nurmala kepada wanita yang tubuhnya dibalut sweater itu. "Biasalah, Nur

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 361 darahku dibuat mendidih

    Sepulang dari toko kue, aku terus saja tersenyum seraya otak bekerja menyusun rencana untuk menghancurkan Haikal. Pemandangan yang tadi tersaji, akan menjadi bukti jika di memang tidak benar-benar mencintai istrinya. Haikal, hanya memanfaatkan harta Mami Siska saja. "Bu, sudah sampai." Suara supir taksi menyadarkanku dari lamunan. Aku pun turun seraya menjinjing kue yang tadi aku beli, setelah memberikan sejumlah uang kepada supir taksi. Sejak perubahan sikap Mama, aku selalu ingin bertemu mertuaku itu. Aku merasa, sosok orang tua yang sudah lama pergi, kini kembali. Rindu kepada Bapak dan Ibu, bisa terobati dengan bertemu Mama dan Papa. Aku berharap, Mama tidak berubah lagi. Agar hidupku semakin terasa sempurna, karena disayangi mertua. "Assalamualaikum," ucapku seraya mengetuk pintu. "Waalaikumsalam!" Jawaban dari dalam sana membuatku tersenyum bahagia. Aku membuka pintu, lalu diam beberapa saat tahu ternyata ada Alina juga di sana. "Hai, Run!" sapa Alina yang tengah duduk

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 362 lagi-lagi bergemuruh

    Aku menekan diri ini untuk tidak marah dan cemburu. Aku mencoba bersikap positif, demi untuk kebaikanku sendiri. Meskipun, tadi sangat jelas jika wanita itu memang mencari kesempatan untuk dekat dengan suamiku. Tapi, Aldi tidak menanggapi.Ah, entahlah suamiku tidak menanggapi, atau memang kebetulan aku datang tepat waktu. "Sayang," ucap Aldi lagi dengan mencoba memegang tanganku. "Aku tidak apa-apa, Bang. Aku tidak marah, aku juga tidak menyalahkan kamu. Tadi, aku hanya becanda saja. Lanjutkan kerja, ya?" kataku. Kuhirup udara dalam-dalam untuk menghilangkan sesak. Aku tidak boleh jadi wanita pemarah, dan tetaplah tenang. Pekerjaan suamiku jauh lebih penting daripada perasaan cemburu yang datang sebagai pengganggu. "Kamu datang ke sini untuk membantuku?" tanya Aldi dengan tangan kembali bermain di mesin jahit. "Iya. Kata Mama, Abang sedang sibuk karena orderan yang melimpah. Makanya aku datang ke sini untuk membantu, sekaligus mengawasi Abang. Aku tidak mau, Abang telat makan

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 363 wanita itu bernama Naya

    "Loh, katanya makan di restoran?""Makan di resto?" Aku mengulang kata yang diucapkan Aldi. Suamiku tidak melanjutkan suapannya, dia menatapku dan karyawannya bergantian. Aku melangkahkan kaki dengan cepat, lalu menyimpan makanan dengan kasar di atas meja. Tentu saja, hal itu membuat Aldi tersentak dan memundurkan tubuh ke belakang. "Abang tega, ya? Aku rela keluar untuk membelikan Abang makan siang, tapi ternyata Abang malah makan suguhan wanita lain. Tidak punya perasaan!" ujarku yang sudah tersulut emosi. "Kamu ini bicara apa, sih, Run? Bukannya makanan yang aku makan itu darimu. Kamu menitipkannya pada ...?"Kini keningku mengkerut mendengar ucapan Aldi. Sedangkan suamiku, dia celingukan mencari karyawannya yang sudah tidak ada. Entah ke mana."Lawak kamu, Bang. Untuk apa aku menitipkan makanan untukmu, sedangkan aku akan kembali lagi ke sini?""Tapi kata orang tadi, kamu sengaja menitipkan makan siang untukku, karena kamu akan makan dengan temanmu di sana," ujar Aldi lagi. Di

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 364 disekap

    Sesuatu terasa menghantam pundakku, membuat diri ini menjadi lemah dan tak bertenaga. Cengkraman di tangan Naya pun terlepas, seiring dengan tubuh yang ambruk ke tanah. Mataku terpejam, duniaku terasa gelap gulita dengan kesadaran yang perlahan tiada. Entah apa yang terjadi pada diriku, dan siapa yang membawaku, hingga akhirnya kini aku berada di sebuah tempat yang terasa asing. "Aduh," kataku seraya meraba pundak yang terasa ngilu dan sakit. "Selamat datang, Aruna." Aku mendongak, melihat pada seseorang yang masuk ke ruangan sempit ini seraya membawa tas milikku. "Kamu?" kataku begitu tahu siapa yang datang. "Apa yang kamu lakukan padaku? Kau menculikku?" Rentetan pertanyaan aku berikan, tapi tidak dibawanya. Haikal, pria brengsek itu malah tertawa lebar seolah pertanyaanku hanyalah sebuah candaan. Aku turun dari ranjang sempit yang menjadi tempat tidurku, lalu menghampiri Haikal dan berniat mengambil barangku yang ada pada dirinya. Namun, sayangnya aku kalah tinggi dari la

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 365 ada apa dengan Aldi?

    Kakiku sudah terasa lelah, tapi jalan raya belum nampak juga. Hari pun mulai gelap, membuatku sedikit takut karena tidak ada orang lagi yang aku temui. "Di sini banyak rumah, tapi seperti kuburan. Sepi," kataku seraya menyeka keringat. Ada niat untuk minta tolong pada orang yang lewat membawa kendaraan. Akan tetapi, aku tidak pegang uang. Rasanya tidak enak jika tidak memberikan upah pada yang menolongku. "Dari sini ke mana, ya?" Aku diam di pertigaan. Bingung antara pergi ke kanan, atau kiri. Di sini pun tidak ada orang yang bisa aku tanyai. Jika pergi ke kanan, takutnya aku malah semakin berjalan jauh dari jalan raya. Pun, sebaliknya. Aku tidak ingin tersesat terlalu lama. "Bang Aldi ...." Aku memanggil nama suamiku, berharap dia akan datang menolongku. Namun, mustahil. Aku bahkan tidak bisa memberitahukan dia, keberadaanku sekarang ini. Setelah beberapa saat diam, akhirnya aku kembali berjalan ke arah kiri. Entahlah benar atau salah, tapi sepertinya ...."Aku kayak kenal te

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 366 isi tasku

    "Kenapa bengong? Apa kata suamimu?" Aku menggeleng pelan saat Santika bertanya. Keinginan makan yang tadi menggebu, kini terkikis oleh rasa khawatir akan perkataan suamiku. Aku sangat mengenal Aldi. Dan aku tahu, nada bicaranya tadi menandakan ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Bukan khawatir padaku, tapi lebih tepatnya seperti marah. "Makan dulu, Run, keburu suamimu datang. Dia akan ke sini untuk menjemput, bukan?" Kali ini aku mengangguk, tapi masih tidak mengeluarkan kata. Untuk menghargai Santika yang sudah membelikan makanan untukku, aku pun mulai menyuapkan nasi ke dalam mulut. Sepanjang makan, pikiranku terus saja tak tenang. Hingga akhirnya, aku menyudahi suapanku, lalu mencuci tangan. "Kenapa tidak dihabiskan?" tanya Santika lagi. "Sudah kenyang, San. Sebaiknya aku nunggu suamiku di gang saja, dia tidak akan tahu jalan ke sini." "Yasudah, aku antar," ujar Santika. Dia melepaskan mukena yang sedari tadi masih melekat di tubuhnya. Setelah itu, dia mengambil sweater d

Bab terbaru

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 408 Ending season 2

    "Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 407

    Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 406

    Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 405

    Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb

  • Membalas Kesombongan Mantan   404

    Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 403 tidak marah lagi

    "Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 402 gara-gara membahas anak

    Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 401 maaf dan permintaan laki-laki di balik jeruji besi

    "Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 400 menggoda Syafiq

    "Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan

DMCA.com Protection Status