Sepulang dari toko kue, aku terus saja tersenyum seraya otak bekerja menyusun rencana untuk menghancurkan Haikal. Pemandangan yang tadi tersaji, akan menjadi bukti jika di memang tidak benar-benar mencintai istrinya. Haikal, hanya memanfaatkan harta Mami Siska saja. "Bu, sudah sampai." Suara supir taksi menyadarkanku dari lamunan. Aku pun turun seraya menjinjing kue yang tadi aku beli, setelah memberikan sejumlah uang kepada supir taksi. Sejak perubahan sikap Mama, aku selalu ingin bertemu mertuaku itu. Aku merasa, sosok orang tua yang sudah lama pergi, kini kembali. Rindu kepada Bapak dan Ibu, bisa terobati dengan bertemu Mama dan Papa. Aku berharap, Mama tidak berubah lagi. Agar hidupku semakin terasa sempurna, karena disayangi mertua. "Assalamualaikum," ucapku seraya mengetuk pintu. "Waalaikumsalam!" Jawaban dari dalam sana membuatku tersenyum bahagia. Aku membuka pintu, lalu diam beberapa saat tahu ternyata ada Alina juga di sana. "Hai, Run!" sapa Alina yang tengah duduk
Aku menekan diri ini untuk tidak marah dan cemburu. Aku mencoba bersikap positif, demi untuk kebaikanku sendiri. Meskipun, tadi sangat jelas jika wanita itu memang mencari kesempatan untuk dekat dengan suamiku. Tapi, Aldi tidak menanggapi.Ah, entahlah suamiku tidak menanggapi, atau memang kebetulan aku datang tepat waktu. "Sayang," ucap Aldi lagi dengan mencoba memegang tanganku. "Aku tidak apa-apa, Bang. Aku tidak marah, aku juga tidak menyalahkan kamu. Tadi, aku hanya becanda saja. Lanjutkan kerja, ya?" kataku. Kuhirup udara dalam-dalam untuk menghilangkan sesak. Aku tidak boleh jadi wanita pemarah, dan tetaplah tenang. Pekerjaan suamiku jauh lebih penting daripada perasaan cemburu yang datang sebagai pengganggu. "Kamu datang ke sini untuk membantuku?" tanya Aldi dengan tangan kembali bermain di mesin jahit. "Iya. Kata Mama, Abang sedang sibuk karena orderan yang melimpah. Makanya aku datang ke sini untuk membantu, sekaligus mengawasi Abang. Aku tidak mau, Abang telat makan
"Loh, katanya makan di restoran?""Makan di resto?" Aku mengulang kata yang diucapkan Aldi. Suamiku tidak melanjutkan suapannya, dia menatapku dan karyawannya bergantian. Aku melangkahkan kaki dengan cepat, lalu menyimpan makanan dengan kasar di atas meja. Tentu saja, hal itu membuat Aldi tersentak dan memundurkan tubuh ke belakang. "Abang tega, ya? Aku rela keluar untuk membelikan Abang makan siang, tapi ternyata Abang malah makan suguhan wanita lain. Tidak punya perasaan!" ujarku yang sudah tersulut emosi. "Kamu ini bicara apa, sih, Run? Bukannya makanan yang aku makan itu darimu. Kamu menitipkannya pada ...?"Kini keningku mengkerut mendengar ucapan Aldi. Sedangkan suamiku, dia celingukan mencari karyawannya yang sudah tidak ada. Entah ke mana."Lawak kamu, Bang. Untuk apa aku menitipkan makanan untukmu, sedangkan aku akan kembali lagi ke sini?""Tapi kata orang tadi, kamu sengaja menitipkan makan siang untukku, karena kamu akan makan dengan temanmu di sana," ujar Aldi lagi. Di
Sesuatu terasa menghantam pundakku, membuat diri ini menjadi lemah dan tak bertenaga. Cengkraman di tangan Naya pun terlepas, seiring dengan tubuh yang ambruk ke tanah. Mataku terpejam, duniaku terasa gelap gulita dengan kesadaran yang perlahan tiada. Entah apa yang terjadi pada diriku, dan siapa yang membawaku, hingga akhirnya kini aku berada di sebuah tempat yang terasa asing. "Aduh," kataku seraya meraba pundak yang terasa ngilu dan sakit. "Selamat datang, Aruna." Aku mendongak, melihat pada seseorang yang masuk ke ruangan sempit ini seraya membawa tas milikku. "Kamu?" kataku begitu tahu siapa yang datang. "Apa yang kamu lakukan padaku? Kau menculikku?" Rentetan pertanyaan aku berikan, tapi tidak dibawanya. Haikal, pria brengsek itu malah tertawa lebar seolah pertanyaanku hanyalah sebuah candaan. Aku turun dari ranjang sempit yang menjadi tempat tidurku, lalu menghampiri Haikal dan berniat mengambil barangku yang ada pada dirinya. Namun, sayangnya aku kalah tinggi dari la
Kakiku sudah terasa lelah, tapi jalan raya belum nampak juga. Hari pun mulai gelap, membuatku sedikit takut karena tidak ada orang lagi yang aku temui. "Di sini banyak rumah, tapi seperti kuburan. Sepi," kataku seraya menyeka keringat. Ada niat untuk minta tolong pada orang yang lewat membawa kendaraan. Akan tetapi, aku tidak pegang uang. Rasanya tidak enak jika tidak memberikan upah pada yang menolongku. "Dari sini ke mana, ya?" Aku diam di pertigaan. Bingung antara pergi ke kanan, atau kiri. Di sini pun tidak ada orang yang bisa aku tanyai. Jika pergi ke kanan, takutnya aku malah semakin berjalan jauh dari jalan raya. Pun, sebaliknya. Aku tidak ingin tersesat terlalu lama. "Bang Aldi ...." Aku memanggil nama suamiku, berharap dia akan datang menolongku. Namun, mustahil. Aku bahkan tidak bisa memberitahukan dia, keberadaanku sekarang ini. Setelah beberapa saat diam, akhirnya aku kembali berjalan ke arah kiri. Entahlah benar atau salah, tapi sepertinya ...."Aku kayak kenal te
"Kenapa bengong? Apa kata suamimu?" Aku menggeleng pelan saat Santika bertanya. Keinginan makan yang tadi menggebu, kini terkikis oleh rasa khawatir akan perkataan suamiku. Aku sangat mengenal Aldi. Dan aku tahu, nada bicaranya tadi menandakan ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Bukan khawatir padaku, tapi lebih tepatnya seperti marah. "Makan dulu, Run, keburu suamimu datang. Dia akan ke sini untuk menjemput, bukan?" Kali ini aku mengangguk, tapi masih tidak mengeluarkan kata. Untuk menghargai Santika yang sudah membelikan makanan untukku, aku pun mulai menyuapkan nasi ke dalam mulut. Sepanjang makan, pikiranku terus saja tak tenang. Hingga akhirnya, aku menyudahi suapanku, lalu mencuci tangan. "Kenapa tidak dihabiskan?" tanya Santika lagi. "Sudah kenyang, San. Sebaiknya aku nunggu suamiku di gang saja, dia tidak akan tahu jalan ke sini." "Yasudah, aku antar," ujar Santika. Dia melepaskan mukena yang sedari tadi masih melekat di tubuhnya. Setelah itu, dia mengambil sweater d
Aku menyanggah fitnah yang ada dalam sebuah foto. Mirisnya, gambar-gambar itu ada di dalam tas milikku. Foto di mana aku yang tidur dengan dipeluk oleh seorang pria yang aku pun tidak tahu siapa dia. Jangankan mengenalnya, melihatnya pun baru sekarang dari sebuah gambar. "Ini fitnah, Bang." Aku berucap dengan mata tak lepas dari foto tersebut. Memang tidak telanjang, tapi tetap saja tidak enak dipandang. Apalagi, tangan si pria berada tepat di bagian dadaku. "Apa kamu akan mengatakan itu editan?" tanya Aldi dengan sorot mata merahnya. "Aku tidak tahu ini editan atau bukan, Bang. Tapi demi Allah aku tidak tahu laki-laki itu siapa. Aku tidak melakukan apa pun dengan dia!" Aku menjerit seraya melempar foto tersebut ke sembarang arah. Aku terduduk di lantai dengan kepala kutundukkan pada sofa. Aku capek, lelah untuk menjelaskan kepada Aldi. Dia tidak percaya dengan kata-kataku. Dia kekeh dengan keyakinannya bahwa aku telah berkhianat. "Itu bukan aku. Aku difitnah, aku dijebak oleh
"Bang Aldi," ucapku lirih. Haikal yang terjatuh, dibantu istrinya yang terlihat panik dengan tubuh gemetar. Keduanya menatap suamiku yang datang dengan wajah memerah. "Sekali lagi kasar pada istriku, membusuk, lu di penjara!" ujar Aldi emosi. "Istrimu yang datang dan marah-marah pada suami saya. Kalian yang tidak punya adab, kalian juga yang mengancam kami? Saya yang akan melaporkan kalian ke polisi!" Mami Siska membela suaminya. "Anda sudah mencari tahu kenapa istri saya bersikap kasar pada suami Anda, Nyonya?" Aldi mengambil foto yang masih ada di tanganku, lalu melemparkannya ke wajah Haikal. "Aku akan mencari tahu siapa laki-laki itu, dan jika kalian lapor polisi, kami pun akan melakukan hal yang sama," pungkas suamiku, lalu pergi dari rumah Haikal dengan menarik tanganku. Sepanjang langkah dari rumah Haikal menuju rumah kami, Aldi tak sedikit pun bicara. Namun, meskipun begitu aku terus mengikuti langkah kakinya, tanpa ingin melepaskan tangan ini. Pembelaan yang Aldi berika