Kakiku sudah terasa lelah, tapi jalan raya belum nampak juga. Hari pun mulai gelap, membuatku sedikit takut karena tidak ada orang lagi yang aku temui. "Di sini banyak rumah, tapi seperti kuburan. Sepi," kataku seraya menyeka keringat. Ada niat untuk minta tolong pada orang yang lewat membawa kendaraan. Akan tetapi, aku tidak pegang uang. Rasanya tidak enak jika tidak memberikan upah pada yang menolongku. "Dari sini ke mana, ya?" Aku diam di pertigaan. Bingung antara pergi ke kanan, atau kiri. Di sini pun tidak ada orang yang bisa aku tanyai. Jika pergi ke kanan, takutnya aku malah semakin berjalan jauh dari jalan raya. Pun, sebaliknya. Aku tidak ingin tersesat terlalu lama. "Bang Aldi ...." Aku memanggil nama suamiku, berharap dia akan datang menolongku. Namun, mustahil. Aku bahkan tidak bisa memberitahukan dia, keberadaanku sekarang ini. Setelah beberapa saat diam, akhirnya aku kembali berjalan ke arah kiri. Entahlah benar atau salah, tapi sepertinya ...."Aku kayak kenal te
"Kenapa bengong? Apa kata suamimu?" Aku menggeleng pelan saat Santika bertanya. Keinginan makan yang tadi menggebu, kini terkikis oleh rasa khawatir akan perkataan suamiku. Aku sangat mengenal Aldi. Dan aku tahu, nada bicaranya tadi menandakan ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Bukan khawatir padaku, tapi lebih tepatnya seperti marah. "Makan dulu, Run, keburu suamimu datang. Dia akan ke sini untuk menjemput, bukan?" Kali ini aku mengangguk, tapi masih tidak mengeluarkan kata. Untuk menghargai Santika yang sudah membelikan makanan untukku, aku pun mulai menyuapkan nasi ke dalam mulut. Sepanjang makan, pikiranku terus saja tak tenang. Hingga akhirnya, aku menyudahi suapanku, lalu mencuci tangan. "Kenapa tidak dihabiskan?" tanya Santika lagi. "Sudah kenyang, San. Sebaiknya aku nunggu suamiku di gang saja, dia tidak akan tahu jalan ke sini." "Yasudah, aku antar," ujar Santika. Dia melepaskan mukena yang sedari tadi masih melekat di tubuhnya. Setelah itu, dia mengambil sweater d
Aku menyanggah fitnah yang ada dalam sebuah foto. Mirisnya, gambar-gambar itu ada di dalam tas milikku. Foto di mana aku yang tidur dengan dipeluk oleh seorang pria yang aku pun tidak tahu siapa dia. Jangankan mengenalnya, melihatnya pun baru sekarang dari sebuah gambar. "Ini fitnah, Bang." Aku berucap dengan mata tak lepas dari foto tersebut. Memang tidak telanjang, tapi tetap saja tidak enak dipandang. Apalagi, tangan si pria berada tepat di bagian dadaku. "Apa kamu akan mengatakan itu editan?" tanya Aldi dengan sorot mata merahnya. "Aku tidak tahu ini editan atau bukan, Bang. Tapi demi Allah aku tidak tahu laki-laki itu siapa. Aku tidak melakukan apa pun dengan dia!" Aku menjerit seraya melempar foto tersebut ke sembarang arah. Aku terduduk di lantai dengan kepala kutundukkan pada sofa. Aku capek, lelah untuk menjelaskan kepada Aldi. Dia tidak percaya dengan kata-kataku. Dia kekeh dengan keyakinannya bahwa aku telah berkhianat. "Itu bukan aku. Aku difitnah, aku dijebak oleh
"Bang Aldi," ucapku lirih. Haikal yang terjatuh, dibantu istrinya yang terlihat panik dengan tubuh gemetar. Keduanya menatap suamiku yang datang dengan wajah memerah. "Sekali lagi kasar pada istriku, membusuk, lu di penjara!" ujar Aldi emosi. "Istrimu yang datang dan marah-marah pada suami saya. Kalian yang tidak punya adab, kalian juga yang mengancam kami? Saya yang akan melaporkan kalian ke polisi!" Mami Siska membela suaminya. "Anda sudah mencari tahu kenapa istri saya bersikap kasar pada suami Anda, Nyonya?" Aldi mengambil foto yang masih ada di tanganku, lalu melemparkannya ke wajah Haikal. "Aku akan mencari tahu siapa laki-laki itu, dan jika kalian lapor polisi, kami pun akan melakukan hal yang sama," pungkas suamiku, lalu pergi dari rumah Haikal dengan menarik tanganku. Sepanjang langkah dari rumah Haikal menuju rumah kami, Aldi tak sedikit pun bicara. Namun, meskipun begitu aku terus mengikuti langkah kakinya, tanpa ingin melepaskan tangan ini. Pembelaan yang Aldi berika
"Kamu tahu, bukan apa yang harus dibicarakan dan yang tidak di sini? Jangan sampai, sikap Mama yang sudah mencair kembali beku akibat tahu masalah kita semalam."Aku mengangguk patuh. Tanpa dia suruh pun, aku sudah paham soal itu. Tidak mungkin aku bunuh diri dengan mengatakan telah dipeluk pria lain. Dan memang kenyataannya, itu fitnah. Jebakan yang dibuat Haikal untuk menghancurkan rumah tanggaku dan Aldi. "Ayo, turun." Aldi memberikan perintah. Aku membuka pintu mobil dan keluar dari kendaraan roda empat yang baru saja berhenti di depan rumah Mama. Rencana untuk berangkat bekerja, kami urungkan sebentar demi melihat kondisi Papa yang baru pulang dari rumah sakit. Harusnya kemarin sore kami ke sini, tapi karena ada insiden yang tidak mengenakkan, akhirnya sekarang baru bisa datang. "Pagi, Mah, Pah." Tanpa basa-basi dan permisi, kami langsung masuk ke rumah dan menghampiri kedua mertuaku yang tengah sarapan pagi. Mereka sedikit terkejut dengan kedatangan kami yang tidak member
"Apa semuanya baik-baik saja? Maksud saya ... tidak ada masalah selama saya tidak masuk kerja?"Saat ini aku sudah berada di pabrik. Para staf aku kumpulkan untuk rapat ringan hanya sekedar temu kangen setelah beberapa hari aku libur. "Alhamdulillah, tidak ada kendala apa pun, Bu. Semuanya berjalan lancar.""Syukurlah kalau begitu. Sekarang, kalian boleh kembali bekerja," kataku akhirnya. Mereka kembali ke tempatnya masing-masing sesuai pekerjaan yang mereka jalani. Aku pun mulai bergelut dengan beberapa berkas, juga sampel-sampel yang akan dikerjakan bulan ini. Cukup banyak, dan menyita waktu. Setelah beberapa jam duduk di kursi hingga bokongku mulai terasa panas, aku pun memutuskan untuk melihat bagian produksi. Seperti yang dikatakan staf tadi pagi, di sini aman dan tidak ada satu pun pelanggaran yang terjadi. Mungkin mereka sudah tahu aku akan datang memeriksa, atau memang sudah jera karena hukumanku tak main-main. Langsung pecat. "Ibu, maaf di atas ada tamu yang ingin berte
"Geser ke kanan dikit, Mas," kataku mengarahkan. "Nah, iya di situ. Kan ... jadi kelihatan cantik," lanjutku seraya memandang foto pernikahan aku dan Aldi. Satu minggu telah berlalu. Kesibukan mengurusi pekerjaan sejenak kami tinggalkan. Setelah Aldi menyelesaikan pekerjaannya di pabrik sepatu, dia berinisiatif untuk meliburkan diri dan memanjakanku. Bukan dengan liburan ke luar kota atau luar negeri, tapi dengan menemaniku membeli perabotan rumah. Saat ini, aku dan Aldi kedatangan tamu yang sengaja diundang. Kurir salah satu toko mebel yang tadi pagi kami datangi. "Di sini pas, Bu?" tanya si pria berkaus warna merah itu. "Iya, Mas," jawabku. Mataku puas melihat foto pernikahanku yang dipindahkan ke ruang tengah, tepatnya di atas televisi yang menempel di dinding. Sedangkan di ruang tamu, aku hanya memberikan hiasan dinding dengan beberapa lukisan, juga foto-foto kecil kebersamaanku dan Aldi. "Jika tidak ada yang mau dibenahi lagi, kami pamit pulang sekarang, Bu, Pak." Si pri
Satu jam kemudian, rumah sudah bersih dan rapi. Tidak ada satu sampah pun yang ketinggalan di lantai, juga tidak ada debu yang mengotori tempat tinggalku. Sungguh kerjasama yang luar biasa antara para pria dan satu wanita. Iya, hanya Lasmi wanita yang bekerja. Aku dan Alina jadi penonton saja. "Minum dulu, Las." Alina memanggil asisten rumah tangganya itu. Lasmi mengangguk patuh, lalu menghampiri Alina untuk mengambil dua botol air mineral, lalu membaginya dengan Ari. Mataku terus memperhatikan sepasang suami istri itu dengan lekat. Sudah menikah lama, tapi tidak punya keturunan, sama sekali tidak menyurutkan rasa cinta kasih di antara mereka. Keduanya selalu terlihat kompak, mesra dengan versi mereka. Bagaimana jika aku berada di posisi mereka? Sepertinya tidak akan sanggup. Apalagi dengan ekonomi yang biasa saja. Keberuntungan mereka hanya satu menurutku. Karena memiliki majikan yang sangat baik seperti Alina dan Adikara yang sudah menganggap mereka seperti saudara. "Las, jan
"Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan
Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"
Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli
Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb
Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel
"Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda
Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka
"Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika
"Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan