Satu jam kemudian, rumah sudah bersih dan rapi. Tidak ada satu sampah pun yang ketinggalan di lantai, juga tidak ada debu yang mengotori tempat tinggalku. Sungguh kerjasama yang luar biasa antara para pria dan satu wanita. Iya, hanya Lasmi wanita yang bekerja. Aku dan Alina jadi penonton saja. "Minum dulu, Las." Alina memanggil asisten rumah tangganya itu. Lasmi mengangguk patuh, lalu menghampiri Alina untuk mengambil dua botol air mineral, lalu membaginya dengan Ari. Mataku terus memperhatikan sepasang suami istri itu dengan lekat. Sudah menikah lama, tapi tidak punya keturunan, sama sekali tidak menyurutkan rasa cinta kasih di antara mereka. Keduanya selalu terlihat kompak, mesra dengan versi mereka. Bagaimana jika aku berada di posisi mereka? Sepertinya tidak akan sanggup. Apalagi dengan ekonomi yang biasa saja. Keberuntungan mereka hanya satu menurutku. Karena memiliki majikan yang sangat baik seperti Alina dan Adikara yang sudah menganggap mereka seperti saudara. "Las, jan
"Papa?" Kami berucap bersamaan. Sedangkan pria yang kami sebut terlihat keheranan seraya memindai wajah kami satu per satu. "Kenapa? Kok, wajah kalian tegang kayak gitu? Gak suka, kami datang? Yasudah, kita pulang lagi.""Eh, jangan!" ujar kami serempak. Aku dan Alina menuntun Mama dan Papa untuk masuk ke rumah, sedangkan Aldi dan Adikara menutup pintu kembali setelah mengajak supir Papa untuk masuk. Akan tetapi, ditolak pria muda yang tak lain anak dari Bi Narsih. Dia bekerja menggantikan ayahnya yang memutuskan berhenti karena usia yang tak lagi muda. "Kalian kenapa, sih? Kok, aneh?" Mama bertanya seraya terus melangkah mengikuti tuntunan kami. "Enggak apa-apa, Mah. Tadi itu, kami kira yang datang ... Haikal. Makanya kami siap-siap untuk menyerang," jawabku jujur. "Dasar kalian ini. Mama kira sengaja menyambut kedatangan kami, eh tahunya sedang pasang kuda-kuda."Aku beserta yang lainnya tertawa setelah Mama berucap. Kedua mertuaku itu langsung aku persilahkan duduk di ruang
Bukan hanya Alina yang terperangah dengan permintaan putrinya, tapi semua orang yang ada di sini pun demikian. Kami semua melihat pada Saffa yang menatap wajah ibunya dengan penuh harap. "Saffa, Saffa sedang tidak bercanda, kan?" tanya Alina seraya menggenggam tangan putri sulungnya. "Enggak, Mah. Saffa serius. Saffa ingin ketemu Ayah. Siapa tahu, kalau Saffa sering ketemu Ayah, datang ke rumah Ayah, Ayah tidak akan culik-culik Saffa lagi. Ayah juga tidak akan maksa Saffa tinggal di sana seperti waktu itu."Suasana tiba-tiba kembali hening setelah Saffa mengeluarkan apa yang ada dalam pikirannya. Tidak aku pungkiri, gadis kecil yang masih duduk di bangku sekolah dasar itu teramat cerdas. Sedikitnya, dia memahami perasaan Haikal yang ingin berperan langsung sebagai ayah biologis dari Saffa. Akan tetapi, pemikiran Saffa itu justru membuat kami khawatir. Takutnya dia dimanfaatkan Haikal, dicuci otaknya sehingga tidak ingin kembali pada Alina. Sedangkan aku tahu, betapa besar kasih
"Ayah mau pergi ke mana?" tanya Saffa dengan tatapan sendu. "Ke ... pokoknya Ayah harus pergi, Fa. Saffa ke sininya lain kali aja, ya?" "Lain kali?" sergahku cepat. "Itu anakmu sendiri yang minta ke sini. Dia kangen sama ayahnya, dan dengan entengnya kamu minta datang lain kali?" Aku tidak habis pikir dengan laki-laki itu. Kemarin-kemarin ngotot minta Saffa untuk tinggal di sini. Giliran didatangi karena anaknya rindu sekali, malah disuruh datang lain kali. Dasar laki-laki tak punya hati. "Mas, kamu ngusir Saffa? Dia yang minta ke sini, loh?" timpal Alina. Dia tidak terima kedatangan anaknya ditolak langsung oleh orang yang dirindukannya. "Aku harus pergi, Lin. Ada urusan penting yang tidak bisa aku tinggalkan.""Tidak bisakah ditunda sebentar untuk menemani putrimu yang datang?" tanya Adikara kepada pria yang baru saja bicara. Haikal mengusap wajahnya. Dia menggulung lengan kemeja hingga ke siku, lalu berjongkok di depan putrinya. "Saffa, kamu nginap saja di sini, ya? Nanti
"Keterlaluan, si Haikal!" Aldi berucap geram. Begitu pun dengan Adikara yang tadi terlihat emosi seraya mengelus kepala Saffa. Gadis kecil itu kini menangis melihat kepergian ayahnya yang tanpa pamit. Dia memeluk kaki ayah sambungnya yang selalu berada di sisinya. "Aruna, Pak Aldi dan semuanya, saya mohon maaf karena tidak bisa menghentikan Mas Haikal. Dia benar-benar harus pergi, ada urusan yang sangat mendesak." Mami Siska terpogoh-pogoh menghampiri kami seraya menangkupkan kedua tangan di dada. Dia meminta maaf atas nama suaminya yang pengecut itu. Jika saja ini bukan rumah Mami Siska, ingin kuhancurkan rasanya. "Urusan apa, sih, sampai dia tidak mau duduk sebentar menemani anaknya?" tanya Adikara dengan wajah merah karena marah. "Dengar, ya Bu, katakan pada suami Anda, jangan lagi menemui Saffa. Mulai saat ini, mulai detik ini, saya memutuskan tali darah antara Saffa dengan dia! Saffa hanya putri saya, Saffa bukan anak Haikal!" Begitu geramnya Adi hingga dia mengucapkan kata
"Nai, kamu kenapa?" tanyaku panik saat hanya suara isak lirih yang terdengar oleh telingaku. Tidak ada jawaban dari wanita itu, hingga rasa khawatir membuatku ingin pergi menemuinya. Ada apa dengan Naima? Dia sakit, terluka, atau dia celaka?Pertanyaan demi pertanyaan datang di benakku dan membuat hatiku semakin tak karuan. "Naima, kamu baik-baik saja, 'kan?" tanyaku lagi, berharap mendapatkan jawaban. "Ekhem, Run." "Iya, ini aku. Kamu kenapa menangis?" Pertanyaanku masih sama. Kenapa dan ada apa. "Aku sedang nonton drama Korea, Run. Sedih, dia harus pisah dengan pasangannya.""Oh, ya ampun ...." Aku mengembuskan napas lega. "Apa status WhatsApp kamu juga mengenai drama itu?" tanyaku lagi. "Status? Oh, he'em. Emang itu juga ada hubungannya dengan drama yang sedang aku tonton sekarang. Aduh, aku jadi malu, bicara denganmu dengan suara yang seperti ini," ujar Naima dengan diselangi suara ingus yang ditarik ke dalam hidung. Aku sampai geleng-geleng kepala dibuatnya. Tidakkah dia
"Satu minggu lagi aja, Al. Biar waktu persiapan kalian, enggak mepet," tutur Papa saat Aldi menanyakan kapan baiknya kami mengadakan acara syukuran. Aku dan suamiku mengangguk, menerima usulan yang diberikan ayah mertua. Sebagai anak yang sudah tidak punya orang tua selain ayah dan ibunya Aldi, aku hanya bisa menuruti apa yang mereka sarankan. Meskipun, inginku disegerakan. "Baik, Pah. Mungkin kami akan melakukan persiapan dari sekarang. Untung acara pengajian, juga acara santunannya. Sekaligus, mencari bingkisan yang pantas untuk kami berikan kepada yang datang," ujar suamiku kemudian. Tidak lama kami berada di rumah Mama dan Papa. Aku dan Aldi pamit, mengatakan kepada mereka untuk mencari keperluan syukuran. Mama sempat menawarkan diri untuk membantu, tapi ditolak Aldi. Karena tujuan kami sebenarnya, adalah rumah Naima. Setelah itu, baru mencari apa yang kami butuhkan. "Kamu kenapa, sih diam saja?" tanya Aldi setelah kami sudah berada di dalam mobil. Jalanan begitu lengang, ka
"Kenapa selalu pertanyaan itu yang kamu berikan, Run? Apa karena kamu sedang bahagia, hingga menganggap orang lain menderita? Aku baik-baik saja, kok.""Eh, bukan seperti itu, Nai," kataku tidak enak. "Maaf, jika pertanyaanku menyinggung perasaanmu. Aku hanya merindukan kamu, Naima."Aku tidak menyangka jika pertanyaanku akan membuat dia sakit hati. Sungguh, aku tidak percaya Naima akan melontarkan kata yang tidak aku sangkakan keluar dari bibir yang selalu berucap lembut itu. Senyum kembali hadir dari wajah Naima dengan tangan mengusap lenganku. "Aku hanya becanda, Aruna. Ya ampun ... wajahnya sampai tegang gitu."Aku tersenyum sumbang tidak paham dengan Naima. Tadi dia marah, sekarang kembali ramah. Apa tadi dia bilang? Becanda? Menurutku tidak. Tadi seperti ungkapan hatinya yang benar-benar emosi karena ucapanku. Aku menggelengkan kepala pelan menepis pikiran burukku yang selalu sok tahu. Benar kata Naima. Aku tidak boleh menilai orang lain menderita, karena hidupku sekarang te