"Geser ke kanan dikit, Mas," kataku mengarahkan. "Nah, iya di situ. Kan ... jadi kelihatan cantik," lanjutku seraya memandang foto pernikahan aku dan Aldi. Satu minggu telah berlalu. Kesibukan mengurusi pekerjaan sejenak kami tinggalkan. Setelah Aldi menyelesaikan pekerjaannya di pabrik sepatu, dia berinisiatif untuk meliburkan diri dan memanjakanku. Bukan dengan liburan ke luar kota atau luar negeri, tapi dengan menemaniku membeli perabotan rumah. Saat ini, aku dan Aldi kedatangan tamu yang sengaja diundang. Kurir salah satu toko mebel yang tadi pagi kami datangi. "Di sini pas, Bu?" tanya si pria berkaus warna merah itu. "Iya, Mas," jawabku. Mataku puas melihat foto pernikahanku yang dipindahkan ke ruang tengah, tepatnya di atas televisi yang menempel di dinding. Sedangkan di ruang tamu, aku hanya memberikan hiasan dinding dengan beberapa lukisan, juga foto-foto kecil kebersamaanku dan Aldi. "Jika tidak ada yang mau dibenahi lagi, kami pamit pulang sekarang, Bu, Pak." Si pri
Satu jam kemudian, rumah sudah bersih dan rapi. Tidak ada satu sampah pun yang ketinggalan di lantai, juga tidak ada debu yang mengotori tempat tinggalku. Sungguh kerjasama yang luar biasa antara para pria dan satu wanita. Iya, hanya Lasmi wanita yang bekerja. Aku dan Alina jadi penonton saja. "Minum dulu, Las." Alina memanggil asisten rumah tangganya itu. Lasmi mengangguk patuh, lalu menghampiri Alina untuk mengambil dua botol air mineral, lalu membaginya dengan Ari. Mataku terus memperhatikan sepasang suami istri itu dengan lekat. Sudah menikah lama, tapi tidak punya keturunan, sama sekali tidak menyurutkan rasa cinta kasih di antara mereka. Keduanya selalu terlihat kompak, mesra dengan versi mereka. Bagaimana jika aku berada di posisi mereka? Sepertinya tidak akan sanggup. Apalagi dengan ekonomi yang biasa saja. Keberuntungan mereka hanya satu menurutku. Karena memiliki majikan yang sangat baik seperti Alina dan Adikara yang sudah menganggap mereka seperti saudara. "Las, jan
"Papa?" Kami berucap bersamaan. Sedangkan pria yang kami sebut terlihat keheranan seraya memindai wajah kami satu per satu. "Kenapa? Kok, wajah kalian tegang kayak gitu? Gak suka, kami datang? Yasudah, kita pulang lagi.""Eh, jangan!" ujar kami serempak. Aku dan Alina menuntun Mama dan Papa untuk masuk ke rumah, sedangkan Aldi dan Adikara menutup pintu kembali setelah mengajak supir Papa untuk masuk. Akan tetapi, ditolak pria muda yang tak lain anak dari Bi Narsih. Dia bekerja menggantikan ayahnya yang memutuskan berhenti karena usia yang tak lagi muda. "Kalian kenapa, sih? Kok, aneh?" Mama bertanya seraya terus melangkah mengikuti tuntunan kami. "Enggak apa-apa, Mah. Tadi itu, kami kira yang datang ... Haikal. Makanya kami siap-siap untuk menyerang," jawabku jujur. "Dasar kalian ini. Mama kira sengaja menyambut kedatangan kami, eh tahunya sedang pasang kuda-kuda."Aku beserta yang lainnya tertawa setelah Mama berucap. Kedua mertuaku itu langsung aku persilahkan duduk di ruang
Bukan hanya Alina yang terperangah dengan permintaan putrinya, tapi semua orang yang ada di sini pun demikian. Kami semua melihat pada Saffa yang menatap wajah ibunya dengan penuh harap. "Saffa, Saffa sedang tidak bercanda, kan?" tanya Alina seraya menggenggam tangan putri sulungnya. "Enggak, Mah. Saffa serius. Saffa ingin ketemu Ayah. Siapa tahu, kalau Saffa sering ketemu Ayah, datang ke rumah Ayah, Ayah tidak akan culik-culik Saffa lagi. Ayah juga tidak akan maksa Saffa tinggal di sana seperti waktu itu."Suasana tiba-tiba kembali hening setelah Saffa mengeluarkan apa yang ada dalam pikirannya. Tidak aku pungkiri, gadis kecil yang masih duduk di bangku sekolah dasar itu teramat cerdas. Sedikitnya, dia memahami perasaan Haikal yang ingin berperan langsung sebagai ayah biologis dari Saffa. Akan tetapi, pemikiran Saffa itu justru membuat kami khawatir. Takutnya dia dimanfaatkan Haikal, dicuci otaknya sehingga tidak ingin kembali pada Alina. Sedangkan aku tahu, betapa besar kasih
"Ayah mau pergi ke mana?" tanya Saffa dengan tatapan sendu. "Ke ... pokoknya Ayah harus pergi, Fa. Saffa ke sininya lain kali aja, ya?" "Lain kali?" sergahku cepat. "Itu anakmu sendiri yang minta ke sini. Dia kangen sama ayahnya, dan dengan entengnya kamu minta datang lain kali?" Aku tidak habis pikir dengan laki-laki itu. Kemarin-kemarin ngotot minta Saffa untuk tinggal di sini. Giliran didatangi karena anaknya rindu sekali, malah disuruh datang lain kali. Dasar laki-laki tak punya hati. "Mas, kamu ngusir Saffa? Dia yang minta ke sini, loh?" timpal Alina. Dia tidak terima kedatangan anaknya ditolak langsung oleh orang yang dirindukannya. "Aku harus pergi, Lin. Ada urusan penting yang tidak bisa aku tinggalkan.""Tidak bisakah ditunda sebentar untuk menemani putrimu yang datang?" tanya Adikara kepada pria yang baru saja bicara. Haikal mengusap wajahnya. Dia menggulung lengan kemeja hingga ke siku, lalu berjongkok di depan putrinya. "Saffa, kamu nginap saja di sini, ya? Nanti
"Keterlaluan, si Haikal!" Aldi berucap geram. Begitu pun dengan Adikara yang tadi terlihat emosi seraya mengelus kepala Saffa. Gadis kecil itu kini menangis melihat kepergian ayahnya yang tanpa pamit. Dia memeluk kaki ayah sambungnya yang selalu berada di sisinya. "Aruna, Pak Aldi dan semuanya, saya mohon maaf karena tidak bisa menghentikan Mas Haikal. Dia benar-benar harus pergi, ada urusan yang sangat mendesak." Mami Siska terpogoh-pogoh menghampiri kami seraya menangkupkan kedua tangan di dada. Dia meminta maaf atas nama suaminya yang pengecut itu. Jika saja ini bukan rumah Mami Siska, ingin kuhancurkan rasanya. "Urusan apa, sih, sampai dia tidak mau duduk sebentar menemani anaknya?" tanya Adikara dengan wajah merah karena marah. "Dengar, ya Bu, katakan pada suami Anda, jangan lagi menemui Saffa. Mulai saat ini, mulai detik ini, saya memutuskan tali darah antara Saffa dengan dia! Saffa hanya putri saya, Saffa bukan anak Haikal!" Begitu geramnya Adi hingga dia mengucapkan kata
"Nai, kamu kenapa?" tanyaku panik saat hanya suara isak lirih yang terdengar oleh telingaku. Tidak ada jawaban dari wanita itu, hingga rasa khawatir membuatku ingin pergi menemuinya. Ada apa dengan Naima? Dia sakit, terluka, atau dia celaka?Pertanyaan demi pertanyaan datang di benakku dan membuat hatiku semakin tak karuan. "Naima, kamu baik-baik saja, 'kan?" tanyaku lagi, berharap mendapatkan jawaban. "Ekhem, Run." "Iya, ini aku. Kamu kenapa menangis?" Pertanyaanku masih sama. Kenapa dan ada apa. "Aku sedang nonton drama Korea, Run. Sedih, dia harus pisah dengan pasangannya.""Oh, ya ampun ...." Aku mengembuskan napas lega. "Apa status WhatsApp kamu juga mengenai drama itu?" tanyaku lagi. "Status? Oh, he'em. Emang itu juga ada hubungannya dengan drama yang sedang aku tonton sekarang. Aduh, aku jadi malu, bicara denganmu dengan suara yang seperti ini," ujar Naima dengan diselangi suara ingus yang ditarik ke dalam hidung. Aku sampai geleng-geleng kepala dibuatnya. Tidakkah dia
"Satu minggu lagi aja, Al. Biar waktu persiapan kalian, enggak mepet," tutur Papa saat Aldi menanyakan kapan baiknya kami mengadakan acara syukuran. Aku dan suamiku mengangguk, menerima usulan yang diberikan ayah mertua. Sebagai anak yang sudah tidak punya orang tua selain ayah dan ibunya Aldi, aku hanya bisa menuruti apa yang mereka sarankan. Meskipun, inginku disegerakan. "Baik, Pah. Mungkin kami akan melakukan persiapan dari sekarang. Untung acara pengajian, juga acara santunannya. Sekaligus, mencari bingkisan yang pantas untuk kami berikan kepada yang datang," ujar suamiku kemudian. Tidak lama kami berada di rumah Mama dan Papa. Aku dan Aldi pamit, mengatakan kepada mereka untuk mencari keperluan syukuran. Mama sempat menawarkan diri untuk membantu, tapi ditolak Aldi. Karena tujuan kami sebenarnya, adalah rumah Naima. Setelah itu, baru mencari apa yang kami butuhkan. "Kamu kenapa, sih diam saja?" tanya Aldi setelah kami sudah berada di dalam mobil. Jalanan begitu lengang, ka
"Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan
Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"
Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli
Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb
Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel
"Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda
Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka
"Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika
"Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan