"Kenapa selalu pertanyaan itu yang kamu berikan, Run? Apa karena kamu sedang bahagia, hingga menganggap orang lain menderita? Aku baik-baik saja, kok.""Eh, bukan seperti itu, Nai," kataku tidak enak. "Maaf, jika pertanyaanku menyinggung perasaanmu. Aku hanya merindukan kamu, Naima."Aku tidak menyangka jika pertanyaanku akan membuat dia sakit hati. Sungguh, aku tidak percaya Naima akan melontarkan kata yang tidak aku sangkakan keluar dari bibir yang selalu berucap lembut itu. Senyum kembali hadir dari wajah Naima dengan tangan mengusap lenganku. "Aku hanya becanda, Aruna. Ya ampun ... wajahnya sampai tegang gitu."Aku tersenyum sumbang tidak paham dengan Naima. Tadi dia marah, sekarang kembali ramah. Apa tadi dia bilang? Becanda? Menurutku tidak. Tadi seperti ungkapan hatinya yang benar-benar emosi karena ucapanku. Aku menggelengkan kepala pelan menepis pikiran burukku yang selalu sok tahu. Benar kata Naima. Aku tidak boleh menilai orang lain menderita, karena hidupku sekarang te
"Ada tamu rupanya?" Seorang wanita turun dari mobil tersebut dengan menenteng tas mahal di tangannya. Ternyata ibu mertua Naima yang datang. Meskipun hanya bertemu satu kali, aku masih mengingat wajah cantik nan segar itu. "Kami hanya mampir, Bu," kataku seraya mengulurkan tangan menyalaminya. Hal yang sama pun dilakukan Aldi, lalu disusul Naima yang mencium punggung tangan mertuanya itu. "Oh, sudah mau pulang?" tanya ibu mertua Naima. "Iya, Bu. Kalau begitu, kami permisi, ya?" Aku mengangguk ramah. "Nai, kami pulang. Jangan lupa untuk minggu depan, ya?" lanjutku seraya mengusap lengan Naima.Wanita yang tak lain ibu dari Ammar itu langsung masuk ke dalam rumah anaknya setelah berbasa-basi denganku sebentar. Melihat itu, perasaanku kembali tidak enak. Begitukah sikap ibu mertua Naima sebenarnya? Dia bahkan masuk sebelum kami benar-benar pergi. Pada Naima pun dia tidak berucap apa-apa.Bukan aku gila hormat hingga orang lain harus memperlakukanku dengan baik dan sopan. Akan tet
Mendengar ada orang yang mencariku, Aldi bergegas membawaku pulang. Kini pikiranku dipenuhi dengan tanda tanya tentang siapa orang yang datang ke rumah, ingin bertemu denganku. Damar? Rasanya tidak mungkin. Dia divonis hukuman seumur hidup, dan tidak akan bebas dari kurungan penjara. Kecuali, Damar ... kabur. Oh, astaga. Benarkah begitu? Dia mencariku untuk balas dendam? Seketika bulu-bulu di tubuhku meremang membayangkan kemungkinan yang sedang kupikirkan. Namun, secepat kilat kutepis, lalu mencoba tenang dengan menarik napas panjang berulang kali. "Kamu ada janjian sama orang, Run?" tanya Aldi memecah keheningan. "Tidak, Bang. Aku juga tidak tahu siapa yang datang mencariku. Apa satpam tadi tidak bertanya namanya?" "Orang itu tidak mengatakan nama dia. Dia hanya bilang ingin bertemu denganmu. Penting."Jalanan mulai ramai kembali, hingga membuat Aldi harus hati-hati mengendarai mobil dengan kecepatan yang cukup tinggi. Kami memang sedang buru-buru, tapi keselamatan nomor sat
"Gue sengaja ke sini buat nemuin, lo."Aku melirik Rossa sebentar, lalu mataku beralih ke arah rumah yang di mana suamiku dan dua sales tadi keluar. Wajah penuh tanya Aldi membuatku merasa tak enak. Sedangkan dua pria yang mengantarkan mobil baru untukku, dia pamit dan pergi menggunakan sepeda motor salah satu dari mereka. Aldi berjalan mendekatiku. Dia menanyakan siapa lelaki bertato di depanku yang masih bergeming tidak melakukan apa-apa. "Dia Alex, Bang. Temannya Damar." Rahang suamiku tiba-tiba mengeras dengan mata menatap tak suka. Bukan rahasia lagi, jika Aldi memang sangat membenci Damar. Dari awal masalah dengan Rindu, sampai denganku waktu itu, Damar menjadi orang yang punya pengaruh buruk bagi hidupnya. "Ada apa ke sini?" tanya Aldi dingin. "Mbak Aruna, Pak Aldi, saya pamit dulu, ya? Nanti main lagi." Rossa langsung pulang. Dia mengerti jika aku sedang kedatangan tamu. Aku mengangguk ramah pada Rossa, kemudian kembali melihat Alex yang mengeluarkan sesuatu dari saku
Damar benar-benar memberikan mobilnya padaku seperti yang dia tulis dalam surat tadi. Buktinya, kunci mobil itu sekarang ada pada Aldi, yang langsung diberikan padaku. "Ini dari Alex?" Aku mengulang pertanyaan. "Iya. Sama nomor telepon dia kayaknya. Sebaiknya jangan disimpan."Aku menoleh ke arah Aldi yang terlihat tidak suka dengan pemberian Alex. Bukan kunci mobil milik Damar, melainkan secarik kertas bertuliskan dua belas angka di sana. "Kenapa jangan disimpan?" Lagi-lagi pertanyaan keluar dari bibir ini. "Menurutmu, apa baik menyimpan nomor pria lain yang tidak terikat hubungan apa pun denganmu? Dia bukan rekan bisnis, jadi tidak usah disimpan. Tidak akan menguntungkan.""Eh, Bang!" Aku hanya bisa bengong saat Aldi mengambil kembali kertas tersebut, lalu membuangnya ke luar jendela mobil. Melihat wajah tak suka Aldi, aku tidak berani membantah. Hanya pasrah, lalu mulai melajukan mobil baru untuk mencobanya. Cemburu. Mungkin karena itu Aldi tidak memperbolehkan aku menyimpan
Aku mencoba mencerna ucapan Mami Siska dengan kepala yang dingin, tapi aku tetap tidak mengerti.Mengembalikan jualanku? Mungkinkah maksud dia mengembalikan kemeja yang waktu itu dia order dariku? "Bentar, Mam. Maksud Mami barang jualanku itu ....""Iya, Aruna. Saya ingin memutuskan menyudahi kerja sama denganmu, dan mengembalikan kemeja yang saya beli darimu.""Loh, kenapa?" tanyaku. Aku bingung saat ini. Antara terkejut, juga panik, dan tidak mengerti kenapa Mami Siska melakukan ini. Setahuku, pada saat transaksi beberapa waktu lalu, tidak ada masalah apa pun. Bahkan dia juga sudah membayar penuh, tanpa tunggakan. Lalu kenapa harus dikembalikan, jika sebenarnya barang yang ada pada dia saat ini, sudah menjadi haknya? "Mam," panggilku, karena tidak ada suara dari wanita itu. "Pokoknya saya akan kembalikan sisa barang yang ada pada saya, dan kamu juga harus mengembalikan uang saya.""Tidak bisa begitu, Mam!" tolakku cepat. "Barang yang sudah dibeli, tidak bisa dikembalikan tanp
"Bang, ada apa?" tanyaku lagi karena tidak mendapatkan jawaban. Aldi menyudahi berbicara dengan yang kuyakini adalah Papa. Setelahnya, dia menatapku bersamaan tangannya yang menyimpan ponsel. "Kata Papa, tadi dia melihat postingan seseorang di grup bisnis dan usaha, yang mengatakan kecewa dan merasa ditipu oleh pabrik yang bekerja sama dengan orang itu. Dan dari foto yang orang asing itu kirim, Papa mengenali label pakaiannya. Seperti merk pakaian yang pabrik kita produksi, katanya.""Hah ...." Aku melongo dengan pikiran ke sana kemari. Entah ini hanya kebetulan atau memang disengaja, kenapa berita itu ada di saat aku tengah terlibat masalah dengan Mami Siska? Apa jangan-jangan memang orang yang sama dalam grup yang Papa maksud? "Bang, apa pikiran kita sama?" tanyaku pada Aldi. "Mami Siska di balik postingan yang Papa maksud?" Aku mengangguk membenarkan ucapan Aldi. Siapa lagi kalau bukan dia. Saat ini aku hanya punya masalah dengan Mami Siska, yang untuk membicarakan dan meny
"Ini barang yang dibalikin?" tanya Papa."Iya, Pah." Aku menjawab seraya mengembuskan napas kasar. Pagi ini, pabrik dikunjungi Papa. Apalagi alasannya jika bukan tentang masalah yang dibuat Haikal. Tadi, aku sudah memeriksa barang yang dikembalikan Mami Siska. Ada beberapa rijek di bagian dalam baju, yang sangat aku yakini sengaja dibuat rusak. Karena aku sangat yakin sekali, cacat loncat benang dan kerutan pada serat kain tidak akan lolos qiusi di bagian produksi. Ini benar-benar fitnah yang dibuat untuk menjatuhkan perusahaan. "Siapa kemarin yang mengantar ke sini?" tanya Papa lagi. "Katanya kurir, Pah. Aku juga tidak tahu pas dibawa ke sininya. Aku tidak ke pabrik kemarin." Aku menunduk merasa bersalah. Pabrik ini tanggung jawabku. Seharusnya aku bisa mengatasi semua masalah, tidak harus melibatkan Papa. Namun, pada akhirnya Papa turun tangan karena masalah yang datang bukan soal bisnis lagi, melainkan urusan pribadi keluarga kami."Sudah, jangan terlalu dipikirkan. Simpan s