"Ini barang yang dibalikin?" tanya Papa."Iya, Pah." Aku menjawab seraya mengembuskan napas kasar. Pagi ini, pabrik dikunjungi Papa. Apalagi alasannya jika bukan tentang masalah yang dibuat Haikal. Tadi, aku sudah memeriksa barang yang dikembalikan Mami Siska. Ada beberapa rijek di bagian dalam baju, yang sangat aku yakini sengaja dibuat rusak. Karena aku sangat yakin sekali, cacat loncat benang dan kerutan pada serat kain tidak akan lolos qiusi di bagian produksi. Ini benar-benar fitnah yang dibuat untuk menjatuhkan perusahaan. "Siapa kemarin yang mengantar ke sini?" tanya Papa lagi. "Katanya kurir, Pah. Aku juga tidak tahu pas dibawa ke sininya. Aku tidak ke pabrik kemarin." Aku menunduk merasa bersalah. Pabrik ini tanggung jawabku. Seharusnya aku bisa mengatasi semua masalah, tidak harus melibatkan Papa. Namun, pada akhirnya Papa turun tangan karena masalah yang datang bukan soal bisnis lagi, melainkan urusan pribadi keluarga kami."Sudah, jangan terlalu dipikirkan. Simpan s
Sebelum mengambil ponsel yang diberikan Aldi, aku melihat lagi wajah suamiku yang seperti menaruh curiga. "Kamu menyuruh orang memata-matai Haikal?" tanyanya lagi. Sudah bisa kutebak siapa yang mengirimkan pesan ke ponselku setelah Aldi berucap demikian. Tanganku mengambilnya benda pipih itu, lalu melihat apa sekiranya pesan yang dikirimkan Alex untukku. [Gue sudah dapat semua yang lo mau, Run.] Kemudian Bebe foto Haikal pun muncul, yang pastinya dari Alex. Dalam hati aku tersenyum karena tahu di mana dia saat ini. Dan yang membuatku lebih bahagia lagi, Alex mengirimkan beberapa gambar yang pasti akan membuat Mami Siska patah hati. Bagaimana tidak, di dalam gambar yang Alex kirimkan, Haikal berada di club malam dengan menggandeng seorang wanita. Selanjutnya, ada foto Haikal yang sedang karaokean dengan ditemani wanita berpakaian mini dan terbuka. "Ternyata dia memang suka jajan," ucapku menyeringai. "Siapa dia?"Aku mengangkat kepala, melihat pada Aldi yang menatapku lekat.
"Alina di rumah sakit.""Apa? Kenapa bisa di rumah sakit?" Oh, Tuhan. Apa lagi yang terjadi pada keluargaku, kenapa begitu banyak kejutan di setiap harinya?Masalah Haikal saja belum selesai, sudah muncul lagi masalah yang lain. "Mobil yang ditumpangi Alina dan Saffa menabrak pembatas jalan, sekarang adikku belum sadarkan diri di rumah sakit."Aku hanya bisa beristighfar seraya menghela napas panjang. Sungguh, ini kejutan yang luar biasa di luar dugaan. "Sebaiknya kita ke rumah sakit sekarang, Bang," kataku akhirnya. Aldi memutarbalikkan kendaraannya, mengurungkan niat untuk pergi ke Bogor. Alina lebih penting, aku pun ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi hingga mobil Alina bisa kecelakaan. Rasanya tidak mungkin jika wanita itu mengendarai mobilnya sendirian. Alina memang pernah belajar mengemudi, tapi tidak sampai bisa. Mungkinkah Ari ngebut, atau dia kelelahan hingga akhirnya mobil yang membawa mereka nabrak?Aku menggeleng-gelengkan kepala karena tidak menemukan jawaban ata
Pagi mulai menyapa dengan langit yang begitu cerah. Tidak ada awan hitam yang menghalangi langkah hariku untuk beraktivitas. Dua cangkir kopi di atas meja menghadirkan aroma ketenangan bagi penikmatnya. Roti tawar dan selai cokelat pun menjadi pelengkap sarapan pagi ini. "Mau ke rumah sakit?" Satu pertanyaan Aldi layangkan seraya berjalan mendekat, lalu mengecup keningku singkat. Aku mengangguk. Namun, pandangan ini tetap fokus pada pekerjaan yang belum terselesaikan. Memasukkan beberapa makanan ke dalam kotak bekal, untukku bawa ke rumah sakit. Kemarin malam, aku dan Aldi pulang. Bukan tidak ingin menemani Alina dan Saffa, tapi memang di sana sudah cukup ramai dan akan sangat mengganggu jika semua keluarga menginap di rumah sakit. Makanya, kami memutuskan untuk pulang dan kembali ke sana pagi ini. Ah, bukan kami. Melainkan hanya aku saja. Aldi harus mengurus beberapa pekerjaan yang tidak mungkin dapat ditinggalkan. "Ini bekal kamu, Bang." Aku menggeser satu kotak bekal yang s
"Lex!" Aku berteriak seraya melambaikan tangan pada pria yang berada di parkiran hotel. Alex menegakkan tubuhnya yang tadi bersandar pada mobil."Kamu datang sendirian? Kenapa enggak sama polisi?" tanya Alex setelah aku berada di dekatnya. "Sebentar lagi mereka datang. Aku juga sudah memberitahu suamiku dan yang lainnya, kok. Kamu yakin, jika Haikal benar-benar ada di dalam?" tanyaku ingin memastikan. "Seratus persen yakin. Ini yang ada di sampingku, mobilnya dia," jawab Alex dengan pasti.Beberapa saat mengobrol dengan Alex, suamiku berserta Adikara, datang. Tidak hanya mereka berdua yang sekarang ada di sini, tapi polisi juga. Saat diperjalanan tadi, aku segera menghubungi Adi dan suamiku agar mereka datang membawa polisi ke hotel di mana Haikal berada. Dan sekarang, adalah waktunya melihat drama penjemputan pria itu. Dibantu manager hotel, kami pun akhirnya pergi ke kamar Haikal, dan berdiri di depan pintu berwarna cokelat itu. Sebelumnya, polisi memang sudah menjelaskan apa
"Jangan lupa obati lukamu," tutur Aldi seraya memberikan beberapa lembaran merah pada Alex. Baru kusadari jika ada luka di pipi bagian bawah Alex. Entah tergores apa, tapi sepertinya itu terjadi saat tadi mengejar Haikal. Pria bertato itu tidak langsung mengambil uang yang diberikan suamiku. Dia mengalihkan pandangan ke arahku seperti meminta persetujuan. Aku pun mengangguk pelan agar dia tidak menolak pemberian suamiku. "Terima kasih, senang bekerja sama dengan kalian. Kalau kalian butuh aku lagi, jangan sungkan untuk datang dan menghubungi," ujar Alex, lalu mencium kertas berwarna merah di tangannya. Setelah itu, dia langsung pergi membawa motornya keluar dari area hotel. Aldi membalikkan badan. Dia mengulurkan tangan memintaku mengisi sela-sela jarinya yang kosong. Tentu saja aku menerima uluran tangan itu hingga akhirnya kami berjalan bersama menuju mobilku. Karena tadi, Aldi ke sini memakai mobil Adikara. "Kamu yang nyetir," kataku seraya memberikan kunci mobilku. "Baik,
"Saffa takut nabrak lagi, Mah." Gadis itu mendongak melihat ibunya yang memeluk dia. Embusan napas berat Alina mencerminkan kekhawatiran kepada putrinya yang masih trauma pasca kecelakaan. Aku dan Mama mencoba menenangkan Saffa, membujuk anak itu agar tidak takut naik mobil. "Saffa duduknya mau di depan aja, Mah. Biar Saffa tahu ada apa di depan. Dan jika nanti Tante Aruna mau nabrak, Saffa bisa kasih tahu," pinta Saffa pada ibunya. Baik Alina maupun aku dan Mama, tidak ada yang menolak keinginan anak itu. Dengan dibukakan pintu oleh ibunya, Saffa pun masuk dan duduk dengan kedua tangan memeluk boneka kesayangannya. Mobil mulai melaju meninggalkan area rumah sakit. Kali ini aku tidak ngebut, juga sangat hati-hati mengendarai mobil agar Saffa merasa nyaman dan aman. Kecelakaan itu tidak akan terjadi lagi. Setelah beberapa saat kemudian, sampailah kami di rumah Alina. Dan kepulangan Saffa, disambut senang oleh Bunda Nur dan Syafiq, juga dua wanita muda yang entah aku tidak tau si
Rasa panas dan sakit menjalar di kulit pipi hingga menusuk ke ulu hati. Kuusap pipi seraya mengangkat kepala melihat pada seseorang yang baru saja memberikan tamparannya di wajahku. Dia menatapku tajam, amarah terlihat jelas di kedua mata wanita paruh baya di depanku ini. "Mami Siska?" Aku menyebutkan namanya. "Kamu sudah sangat keterlaluan, Aruna!" Aku mundur satu langkah saat Mami Siska maju dengan mengacungkan telunjuk di wajahku. "Keterlaluan apa, Mam?" tanyaku tidak mengerti. Harusnya, akulah yang berucap demikian. Dia sudah keterlaluan memfitnahku hingga berdampak buruk terhadap perusahaan. "Kamu, kan yang telah melaporkan suami saya ke kantor polisi?!" "Bukan," jawabku singkat. "Bukan saya yang melaporkan suami Mami, tapi adik ipar saya. Mami tahu, kenapa Haikal dilaporkan?" "Saya tahu. Dia menyebarkan berita di sosial media mengenai perusahaan Pak Dinata dan Adikara. Tapi, kamu tidak tahu kenapa dia melakukan itu. Mas Haikal kecewa dan marah, karena Alina tidak mengi