Pagi mulai menyapa dengan langit yang begitu cerah. Tidak ada awan hitam yang menghalangi langkah hariku untuk beraktivitas. Dua cangkir kopi di atas meja menghadirkan aroma ketenangan bagi penikmatnya. Roti tawar dan selai cokelat pun menjadi pelengkap sarapan pagi ini. "Mau ke rumah sakit?" Satu pertanyaan Aldi layangkan seraya berjalan mendekat, lalu mengecup keningku singkat. Aku mengangguk. Namun, pandangan ini tetap fokus pada pekerjaan yang belum terselesaikan. Memasukkan beberapa makanan ke dalam kotak bekal, untukku bawa ke rumah sakit. Kemarin malam, aku dan Aldi pulang. Bukan tidak ingin menemani Alina dan Saffa, tapi memang di sana sudah cukup ramai dan akan sangat mengganggu jika semua keluarga menginap di rumah sakit. Makanya, kami memutuskan untuk pulang dan kembali ke sana pagi ini. Ah, bukan kami. Melainkan hanya aku saja. Aldi harus mengurus beberapa pekerjaan yang tidak mungkin dapat ditinggalkan. "Ini bekal kamu, Bang." Aku menggeser satu kotak bekal yang s
"Lex!" Aku berteriak seraya melambaikan tangan pada pria yang berada di parkiran hotel. Alex menegakkan tubuhnya yang tadi bersandar pada mobil."Kamu datang sendirian? Kenapa enggak sama polisi?" tanya Alex setelah aku berada di dekatnya. "Sebentar lagi mereka datang. Aku juga sudah memberitahu suamiku dan yang lainnya, kok. Kamu yakin, jika Haikal benar-benar ada di dalam?" tanyaku ingin memastikan. "Seratus persen yakin. Ini yang ada di sampingku, mobilnya dia," jawab Alex dengan pasti.Beberapa saat mengobrol dengan Alex, suamiku berserta Adikara, datang. Tidak hanya mereka berdua yang sekarang ada di sini, tapi polisi juga. Saat diperjalanan tadi, aku segera menghubungi Adi dan suamiku agar mereka datang membawa polisi ke hotel di mana Haikal berada. Dan sekarang, adalah waktunya melihat drama penjemputan pria itu. Dibantu manager hotel, kami pun akhirnya pergi ke kamar Haikal, dan berdiri di depan pintu berwarna cokelat itu. Sebelumnya, polisi memang sudah menjelaskan apa
"Jangan lupa obati lukamu," tutur Aldi seraya memberikan beberapa lembaran merah pada Alex. Baru kusadari jika ada luka di pipi bagian bawah Alex. Entah tergores apa, tapi sepertinya itu terjadi saat tadi mengejar Haikal. Pria bertato itu tidak langsung mengambil uang yang diberikan suamiku. Dia mengalihkan pandangan ke arahku seperti meminta persetujuan. Aku pun mengangguk pelan agar dia tidak menolak pemberian suamiku. "Terima kasih, senang bekerja sama dengan kalian. Kalau kalian butuh aku lagi, jangan sungkan untuk datang dan menghubungi," ujar Alex, lalu mencium kertas berwarna merah di tangannya. Setelah itu, dia langsung pergi membawa motornya keluar dari area hotel. Aldi membalikkan badan. Dia mengulurkan tangan memintaku mengisi sela-sela jarinya yang kosong. Tentu saja aku menerima uluran tangan itu hingga akhirnya kami berjalan bersama menuju mobilku. Karena tadi, Aldi ke sini memakai mobil Adikara. "Kamu yang nyetir," kataku seraya memberikan kunci mobilku. "Baik,
"Saffa takut nabrak lagi, Mah." Gadis itu mendongak melihat ibunya yang memeluk dia. Embusan napas berat Alina mencerminkan kekhawatiran kepada putrinya yang masih trauma pasca kecelakaan. Aku dan Mama mencoba menenangkan Saffa, membujuk anak itu agar tidak takut naik mobil. "Saffa duduknya mau di depan aja, Mah. Biar Saffa tahu ada apa di depan. Dan jika nanti Tante Aruna mau nabrak, Saffa bisa kasih tahu," pinta Saffa pada ibunya. Baik Alina maupun aku dan Mama, tidak ada yang menolak keinginan anak itu. Dengan dibukakan pintu oleh ibunya, Saffa pun masuk dan duduk dengan kedua tangan memeluk boneka kesayangannya. Mobil mulai melaju meninggalkan area rumah sakit. Kali ini aku tidak ngebut, juga sangat hati-hati mengendarai mobil agar Saffa merasa nyaman dan aman. Kecelakaan itu tidak akan terjadi lagi. Setelah beberapa saat kemudian, sampailah kami di rumah Alina. Dan kepulangan Saffa, disambut senang oleh Bunda Nur dan Syafiq, juga dua wanita muda yang entah aku tidak tau si
Rasa panas dan sakit menjalar di kulit pipi hingga menusuk ke ulu hati. Kuusap pipi seraya mengangkat kepala melihat pada seseorang yang baru saja memberikan tamparannya di wajahku. Dia menatapku tajam, amarah terlihat jelas di kedua mata wanita paruh baya di depanku ini. "Mami Siska?" Aku menyebutkan namanya. "Kamu sudah sangat keterlaluan, Aruna!" Aku mundur satu langkah saat Mami Siska maju dengan mengacungkan telunjuk di wajahku. "Keterlaluan apa, Mam?" tanyaku tidak mengerti. Harusnya, akulah yang berucap demikian. Dia sudah keterlaluan memfitnahku hingga berdampak buruk terhadap perusahaan. "Kamu, kan yang telah melaporkan suami saya ke kantor polisi?!" "Bukan," jawabku singkat. "Bukan saya yang melaporkan suami Mami, tapi adik ipar saya. Mami tahu, kenapa Haikal dilaporkan?" "Saya tahu. Dia menyebarkan berita di sosial media mengenai perusahaan Pak Dinata dan Adikara. Tapi, kamu tidak tahu kenapa dia melakukan itu. Mas Haikal kecewa dan marah, karena Alina tidak mengi
Sesuatu yang tadi aku khawatirkan, kini terjadi juga. Mami Sidak, dia tergelatak di lantai dengan kedua mata yang tertutup. Gawat! Ini benar-benar sangat gawat. Jika terjadi sesuatu dengan Mami Siska, aku pasti akan jadi tersangka karena ini terjadi di rumahku. "Tolong!" Aku berteriak kencang memanggil siapa saja yang bisa membantuku membawa Mami Siska. Setidaknya, mengangkat tubuhnya yang berat ini. "Tolong! Mbak, Mas, tolong!!" Lagi-lagi aku berteriak, dan kali ini sampai berlari ke depan pintu. Dari arah seberang rumah, terlihat ada dua orang yang lari menghampiriku. Dia Rossa dan suaminya. Cepat-cepat aku menyuruh mereka membantuku mengangkat tubuh Mami Siska ke atas sofa. "Kenapa bisa begini, Mbak Aruna?" tanya suami Rossa. "Saya juga tidak tahu, Mas. Tadi saya tinggal ke dapur, tapi pas saya kembali, Mami Siska sudah tergeletak di bawah.""Astaghfirullahaladzim, ini bukannya suami Mami Siska? Apa gara-gara ini dia pingsan?" Rossa yang melihat ada banyak foto Haikal di at
"Enak?" Aldi mengangguk menjawab pertanyaanku. "Dagingnya empuk, bumbunya juga terasa banget sampai ke dalam. Gurih manis," ujar Aldi seraya menyuapkan gulai sapi ke mulutnya. "Enakan mana sama yang tadi?" Aldi menatapku dengan sebelah alis yang terangkat. Kubalas tatapan itu dengan sedikit melebarkan mata ke arahnya. Suamiku berdehem. Dia mengambil gelas berisikan air, lalu menegaknya sedikit. "Yang tadi kita ....""Yang sup ayamnya, Bang. Enakan mana sama itu?" ujarku mendahului ucapan Aldi yang menggantung. "Oh, sup ayam?" Aldi terkekeh. "Abang kita yang lain."Aku mengulum senyum seraya mendelikkan mata pada suamiku yang pikirannya berkelana. Aldi kembali melihat ke arahku hingga mata kami saling bertemu. Tawa pun tercipta membuat suasana menjadi tidak biasa. Sepertinya pikiranku dan dia sedang sama-sama pada momen yang sama. Di mana, kami yang baru saja melakukan hal m wwwenyenangkan sebagai suami istri. Menjadi tidak biasa, karena dilakukan di tempat yang tak biasa jug
"Pagi, Sayang."Aku tersenyum saat kedua tangan Aldi melingkar di pinggang. Namun, saat kuingat lagi tentang malam tadi, segera aku singkirkan tangan suamiku, lalu menghindarinya. Sakit. Hatiku perih mendengar dia menyebut nama mantan istrinya. "Kenapa?" tanyanya seraya bergeming. "Aku mau ambil piring, Bang. Tanganku tidak sampai kalau mengambil dari sana." Aku mengacungkan piring keramik yang sudah ada di genggaman. Dengan seulas senyum getir. Aldi membulatkan mulut. Kemudian dia duduk di kursi meja makan, lalu menyeruput kopi yang sudah aku hidangkan. Kutatap punggung itu dengan hati yang terkoyak. Sudah lumayan lama aku menjadi istrinya. Sudah lama juga Rindu meninggal dunia dengan segala cerita di dalamnya. Namun, kenapa suamiku masih mengingat dia, bahkan sampai mengigau menyebutkan namanya? "Run, kemarin aku pesan karpet permadani, mungkin hari ini akan datang. Sebaiknya kamu di rumah saja, ya?" Aku mengerjapkan mata, lalu berbalik badan menghindari tatapan Aldi. Tanga
"Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan
Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"
Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli
Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb
Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel
"Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda
Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka
"Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika
"Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan