Damar benar-benar memberikan mobilnya padaku seperti yang dia tulis dalam surat tadi. Buktinya, kunci mobil itu sekarang ada pada Aldi, yang langsung diberikan padaku. "Ini dari Alex?" Aku mengulang pertanyaan. "Iya. Sama nomor telepon dia kayaknya. Sebaiknya jangan disimpan."Aku menoleh ke arah Aldi yang terlihat tidak suka dengan pemberian Alex. Bukan kunci mobil milik Damar, melainkan secarik kertas bertuliskan dua belas angka di sana. "Kenapa jangan disimpan?" Lagi-lagi pertanyaan keluar dari bibir ini. "Menurutmu, apa baik menyimpan nomor pria lain yang tidak terikat hubungan apa pun denganmu? Dia bukan rekan bisnis, jadi tidak usah disimpan. Tidak akan menguntungkan.""Eh, Bang!" Aku hanya bisa bengong saat Aldi mengambil kembali kertas tersebut, lalu membuangnya ke luar jendela mobil. Melihat wajah tak suka Aldi, aku tidak berani membantah. Hanya pasrah, lalu mulai melajukan mobil baru untuk mencobanya. Cemburu. Mungkin karena itu Aldi tidak memperbolehkan aku menyimpan
Aku mencoba mencerna ucapan Mami Siska dengan kepala yang dingin, tapi aku tetap tidak mengerti.Mengembalikan jualanku? Mungkinkah maksud dia mengembalikan kemeja yang waktu itu dia order dariku? "Bentar, Mam. Maksud Mami barang jualanku itu ....""Iya, Aruna. Saya ingin memutuskan menyudahi kerja sama denganmu, dan mengembalikan kemeja yang saya beli darimu.""Loh, kenapa?" tanyaku. Aku bingung saat ini. Antara terkejut, juga panik, dan tidak mengerti kenapa Mami Siska melakukan ini. Setahuku, pada saat transaksi beberapa waktu lalu, tidak ada masalah apa pun. Bahkan dia juga sudah membayar penuh, tanpa tunggakan. Lalu kenapa harus dikembalikan, jika sebenarnya barang yang ada pada dia saat ini, sudah menjadi haknya? "Mam," panggilku, karena tidak ada suara dari wanita itu. "Pokoknya saya akan kembalikan sisa barang yang ada pada saya, dan kamu juga harus mengembalikan uang saya.""Tidak bisa begitu, Mam!" tolakku cepat. "Barang yang sudah dibeli, tidak bisa dikembalikan tanp
"Bang, ada apa?" tanyaku lagi karena tidak mendapatkan jawaban. Aldi menyudahi berbicara dengan yang kuyakini adalah Papa. Setelahnya, dia menatapku bersamaan tangannya yang menyimpan ponsel. "Kata Papa, tadi dia melihat postingan seseorang di grup bisnis dan usaha, yang mengatakan kecewa dan merasa ditipu oleh pabrik yang bekerja sama dengan orang itu. Dan dari foto yang orang asing itu kirim, Papa mengenali label pakaiannya. Seperti merk pakaian yang pabrik kita produksi, katanya.""Hah ...." Aku melongo dengan pikiran ke sana kemari. Entah ini hanya kebetulan atau memang disengaja, kenapa berita itu ada di saat aku tengah terlibat masalah dengan Mami Siska? Apa jangan-jangan memang orang yang sama dalam grup yang Papa maksud? "Bang, apa pikiran kita sama?" tanyaku pada Aldi. "Mami Siska di balik postingan yang Papa maksud?" Aku mengangguk membenarkan ucapan Aldi. Siapa lagi kalau bukan dia. Saat ini aku hanya punya masalah dengan Mami Siska, yang untuk membicarakan dan meny
"Ini barang yang dibalikin?" tanya Papa."Iya, Pah." Aku menjawab seraya mengembuskan napas kasar. Pagi ini, pabrik dikunjungi Papa. Apalagi alasannya jika bukan tentang masalah yang dibuat Haikal. Tadi, aku sudah memeriksa barang yang dikembalikan Mami Siska. Ada beberapa rijek di bagian dalam baju, yang sangat aku yakini sengaja dibuat rusak. Karena aku sangat yakin sekali, cacat loncat benang dan kerutan pada serat kain tidak akan lolos qiusi di bagian produksi. Ini benar-benar fitnah yang dibuat untuk menjatuhkan perusahaan. "Siapa kemarin yang mengantar ke sini?" tanya Papa lagi. "Katanya kurir, Pah. Aku juga tidak tahu pas dibawa ke sininya. Aku tidak ke pabrik kemarin." Aku menunduk merasa bersalah. Pabrik ini tanggung jawabku. Seharusnya aku bisa mengatasi semua masalah, tidak harus melibatkan Papa. Namun, pada akhirnya Papa turun tangan karena masalah yang datang bukan soal bisnis lagi, melainkan urusan pribadi keluarga kami."Sudah, jangan terlalu dipikirkan. Simpan s
Sebelum mengambil ponsel yang diberikan Aldi, aku melihat lagi wajah suamiku yang seperti menaruh curiga. "Kamu menyuruh orang memata-matai Haikal?" tanyanya lagi. Sudah bisa kutebak siapa yang mengirimkan pesan ke ponselku setelah Aldi berucap demikian. Tanganku mengambilnya benda pipih itu, lalu melihat apa sekiranya pesan yang dikirimkan Alex untukku. [Gue sudah dapat semua yang lo mau, Run.] Kemudian Bebe foto Haikal pun muncul, yang pastinya dari Alex. Dalam hati aku tersenyum karena tahu di mana dia saat ini. Dan yang membuatku lebih bahagia lagi, Alex mengirimkan beberapa gambar yang pasti akan membuat Mami Siska patah hati. Bagaimana tidak, di dalam gambar yang Alex kirimkan, Haikal berada di club malam dengan menggandeng seorang wanita. Selanjutnya, ada foto Haikal yang sedang karaokean dengan ditemani wanita berpakaian mini dan terbuka. "Ternyata dia memang suka jajan," ucapku menyeringai. "Siapa dia?"Aku mengangkat kepala, melihat pada Aldi yang menatapku lekat.
"Alina di rumah sakit.""Apa? Kenapa bisa di rumah sakit?" Oh, Tuhan. Apa lagi yang terjadi pada keluargaku, kenapa begitu banyak kejutan di setiap harinya?Masalah Haikal saja belum selesai, sudah muncul lagi masalah yang lain. "Mobil yang ditumpangi Alina dan Saffa menabrak pembatas jalan, sekarang adikku belum sadarkan diri di rumah sakit."Aku hanya bisa beristighfar seraya menghela napas panjang. Sungguh, ini kejutan yang luar biasa di luar dugaan. "Sebaiknya kita ke rumah sakit sekarang, Bang," kataku akhirnya. Aldi memutarbalikkan kendaraannya, mengurungkan niat untuk pergi ke Bogor. Alina lebih penting, aku pun ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi hingga mobil Alina bisa kecelakaan. Rasanya tidak mungkin jika wanita itu mengendarai mobilnya sendirian. Alina memang pernah belajar mengemudi, tapi tidak sampai bisa. Mungkinkah Ari ngebut, atau dia kelelahan hingga akhirnya mobil yang membawa mereka nabrak?Aku menggeleng-gelengkan kepala karena tidak menemukan jawaban ata
Pagi mulai menyapa dengan langit yang begitu cerah. Tidak ada awan hitam yang menghalangi langkah hariku untuk beraktivitas. Dua cangkir kopi di atas meja menghadirkan aroma ketenangan bagi penikmatnya. Roti tawar dan selai cokelat pun menjadi pelengkap sarapan pagi ini. "Mau ke rumah sakit?" Satu pertanyaan Aldi layangkan seraya berjalan mendekat, lalu mengecup keningku singkat. Aku mengangguk. Namun, pandangan ini tetap fokus pada pekerjaan yang belum terselesaikan. Memasukkan beberapa makanan ke dalam kotak bekal, untukku bawa ke rumah sakit. Kemarin malam, aku dan Aldi pulang. Bukan tidak ingin menemani Alina dan Saffa, tapi memang di sana sudah cukup ramai dan akan sangat mengganggu jika semua keluarga menginap di rumah sakit. Makanya, kami memutuskan untuk pulang dan kembali ke sana pagi ini. Ah, bukan kami. Melainkan hanya aku saja. Aldi harus mengurus beberapa pekerjaan yang tidak mungkin dapat ditinggalkan. "Ini bekal kamu, Bang." Aku menggeser satu kotak bekal yang s
"Lex!" Aku berteriak seraya melambaikan tangan pada pria yang berada di parkiran hotel. Alex menegakkan tubuhnya yang tadi bersandar pada mobil."Kamu datang sendirian? Kenapa enggak sama polisi?" tanya Alex setelah aku berada di dekatnya. "Sebentar lagi mereka datang. Aku juga sudah memberitahu suamiku dan yang lainnya, kok. Kamu yakin, jika Haikal benar-benar ada di dalam?" tanyaku ingin memastikan. "Seratus persen yakin. Ini yang ada di sampingku, mobilnya dia," jawab Alex dengan pasti.Beberapa saat mengobrol dengan Alex, suamiku berserta Adikara, datang. Tidak hanya mereka berdua yang sekarang ada di sini, tapi polisi juga. Saat diperjalanan tadi, aku segera menghubungi Adi dan suamiku agar mereka datang membawa polisi ke hotel di mana Haikal berada. Dan sekarang, adalah waktunya melihat drama penjemputan pria itu. Dibantu manager hotel, kami pun akhirnya pergi ke kamar Haikal, dan berdiri di depan pintu berwarna cokelat itu. Sebelumnya, polisi memang sudah menjelaskan apa