355"Ekhem!" Aku berdehem membuat semua orang yang tengah duduk menoleh ke arahku. "Maaf, Bapak-bapak, sepertinya saya harus bicara empat mata dengan Pak Haikal," lanjutku seraya menatap pria yang melihatku tanpa dosa. Haikal tersenyum miring. Sedangkan teman-temannya saling berbisik, seperti tengah membicarakanku. "Eh, Aruna. Sepertinya kamu selalu rindu padaku, ya? Baru saja tadi kita bertemu, sekarang sudah menyusulku ke sini. Maaf, Aruna, aku ini sudah beristri sekarang. Jadi, jangan terus mengejarku dan memintaku kembali.""Tutup mulutmu!" sergahku. Demi Tuhan aku sangat muak dengan tingkah laku Haikal. Dia bahkan bicara tanpa merasa dosa, dengan terus tersenyum seolah apa yang dia katakan benar adanya. Tidak tahu malu."Mohon maaf, Pak Haikal, Bu Aruna, jika ada masalah yang belum selesai, silahkan selesaikan di tempat lain. Jangan bertengkar di warung saya." Wanita paruh baya keluar dari dalam warung, dan bicara menengahi kami. Mataku memindai sekitar, di mana orang-orang
Aldi tidak mengingkari janji. Sore setelah dia pulang bekerja, kami pergi ke rumah sakit untuk menjenguk Papa. Perjalanan kami dipenuhi canda tawa seraya membahas pekerjaan. Namun, tak kuceritakan Haikal yang mengancamku, juga memfitnahku di depan orang-orang. Biarkan aku yang tahu, dan mengusir kuman itu agar menjauh dari hidup kami. "Gak beli makanan dulu, Bang?" tanyaku saat mobil sudah masuk ke kawasan rumah sakit. "Tidak usah, tadi saat aku telepon, katanya di sana banyak makanan.""Siapa yang bawa?" tanyaku lagi. "Teman-teman Papa yang besuk."Aku manggut-manggut. Tidak berapa lama, Aldi menghentikannya laju mobilnya. Aku pun turun dari mobil, lalu berjalan bergandengan tangan menuju kamar rawat inap Papa. Pintu Aldi ketuk seraya mengucapkan salam ketika sudah berada di depan pintu kamar Papa. Suara Mama menyambut kedatangan kami yang masuk setelah ada izin dari mereka yang ada di dalam. "Kok, sama Runa?" Pertanyaan itu Papa layangkan pada kami. "Maksa pengen ikut, Pah. K
Udara sore ini terasa lebih sejuk dari biasanya. Angin bertiup pelan, membuat kepulan asap dari cangkir di depanku menari dibawanya. Keheningan tercipta di antara aku, Aldi dan ... Naima. Iya, dialah yang tadi datang menjenguk Papa. Naima tidak sendirian. Dia bersama Tante Ratna yang sekarang masih berada di ruang rawat inap ayah mertuaku. Sedangkan kami, memilih pergi ke kantin rumah sakit untuk mengobrol seraya menikmati minuman yang dapat menghangatkan perut. "Gimana kabar Ammar?" Aldi bertanya untuk mencairkan kebekuan. Entahlah, kurasa ... Naima menjadi sangat pendiam setelah menikah. Dia irit bicara, dan hanya menjawab pertanyaan dengan singkat saja. "Baik," jawab Naima. "Keadaannya?" Suamiku kembali bertanya. Naima menarik napas panjang, seolah-olah pertanyaan yang dilontarkan Aldi membuatnya sesak napas. Dia tidak menjawab pertanyaan suamiku. Wanita yang selalu cantik dengan balutan gamis dan hijab itu memilih menyesap cokelat panas yang tadi dipesannya. "Maaf, harusny
Tanganku menghapus air mata yang melintas di pipi, pun dengan Naima. Jari-jari lentik wanita itu beberapa kali mengambil lembaran tisu untuk menghilangkan jejak air di wajahnya. Sedangkan wanita lain yang baru saja datang, semakin intens melihatku yang berada di dekat putrinya. Mungkinkah Tante Ratna mengira aku penyebab putrinya menangis? "Apa yang kamu lakukan pada putriku?" Pertanyaan itu keluar dari bibir Tante Ratna seraya menghampiri kami. Dia menarik sebelah tanganku agar menjauh dari Naima. Tentu saja, hal itu membuat Aldi kaget, dan Naima bereaksi menahan ibunya yang hendak kembali bicara. "Mah, jangan kasar," ujar Naima."Apa yang dia lakukan padamu, Nai? Kenapa kamu sampai menangis seperti ini?" Tante Ratna bertanya seraya melihat wajah putrinya. "Ini bukan karena Aruna menyakitiku, Mah. Aku nangis karena ... sedih saat tahu Aruna telah kehilangan calon bayinya. Tadi dia menceritakan musibah itu, dan aku terbawa suasana atas duka yang mereka alami. Iya, hanya itu. Tid
"Kamu beli online saja, ya? Aku tidak ijinkan kamu keluar rumah sendirian. Ingat, kondisimu belum sehat betul, dan masih harus banyak istirahat."Satu gelas air putih Aldi letakan di depanku. Di telapak tangan, ada beberapa butir obat yang harus aku minum pagi ini. Sudah malas sebenarnya mengkonsumsi obat itu, tapi Aldi kekeh menyuruhku harus menghabiskannya. "Makasih, Bang," kataku seraya mengambil obat darinya. "Sama-sama, Sayang," jawabnya "Kamu janji kan, tidak akan memaksa keluar hanya untuk membeli alat masak?" Aldi kembali bicara karena tidak ada jawaban dariku mengenai permintaannya. Aku mengangguk dengan terus meneguk air hingga sisa setengah di dalam gelas. "Heem, aku enggak akan keluar sendirian. Tapi, kalau ada temannya, tidak apa-apa, dong aku pergi?" kataku seraya mengedipkan mata beberapa kali. "Teman siapa? Emangnya kamu punya teman?" Aku merengut mendengarkan pertanyaan Aldi yang terdengar seperti ejekan. "Tidak ada," kataku lemah.Iya, aku memang tidak punya
Aku tidak mengatakan jika istri Haikal itu jelek. Dari pandanganku, istrinya cantik. Meskipun memang, kerutan di wajahnya tidak bisa membohongi usainya saat ini. Apalagi tanpa makeup, semakin jelaslah perbedaan usia antara Haikal dan istrinya itu. "Kamu datang dengan siapa, Ros?" tanya wanita yang tadi dipanggil Mami oleh Rossa. "Oh, ini tetangga baru kita, Mam. Namanya Aruna. Dia tinggal di rumah bekas Pak Rudi."Istrinya Haikal membulatkan mulut. Dia tersenyum ke arahku yang mengangguk ramah dengan bibir yang terangkat ke atas. Saat ini, aku dan dua tetanggaku tadi tengah berada di satu ruangan yang cukup luas. Sepertinya ... ini ruang keluarga di rumah ini. Aku kembali tersenyum saat mata ini saling bertatapan dengan istri Haikal yang wajahnya terlihat pucat. Namun, tidak aku lihat Haikal di sini sejak aku masuk tadi. Ke mana dia? Kenapa tidak menemani istrinya yang tengah sakit? "Mami sakit apa?" tanya Nurmala kepada wanita yang tubuhnya dibalut sweater itu. "Biasalah, Nur
Sepulang dari toko kue, aku terus saja tersenyum seraya otak bekerja menyusun rencana untuk menghancurkan Haikal. Pemandangan yang tadi tersaji, akan menjadi bukti jika di memang tidak benar-benar mencintai istrinya. Haikal, hanya memanfaatkan harta Mami Siska saja. "Bu, sudah sampai." Suara supir taksi menyadarkanku dari lamunan. Aku pun turun seraya menjinjing kue yang tadi aku beli, setelah memberikan sejumlah uang kepada supir taksi. Sejak perubahan sikap Mama, aku selalu ingin bertemu mertuaku itu. Aku merasa, sosok orang tua yang sudah lama pergi, kini kembali. Rindu kepada Bapak dan Ibu, bisa terobati dengan bertemu Mama dan Papa. Aku berharap, Mama tidak berubah lagi. Agar hidupku semakin terasa sempurna, karena disayangi mertua. "Assalamualaikum," ucapku seraya mengetuk pintu. "Waalaikumsalam!" Jawaban dari dalam sana membuatku tersenyum bahagia. Aku membuka pintu, lalu diam beberapa saat tahu ternyata ada Alina juga di sana. "Hai, Run!" sapa Alina yang tengah duduk
Aku menekan diri ini untuk tidak marah dan cemburu. Aku mencoba bersikap positif, demi untuk kebaikanku sendiri. Meskipun, tadi sangat jelas jika wanita itu memang mencari kesempatan untuk dekat dengan suamiku. Tapi, Aldi tidak menanggapi.Ah, entahlah suamiku tidak menanggapi, atau memang kebetulan aku datang tepat waktu. "Sayang," ucap Aldi lagi dengan mencoba memegang tanganku. "Aku tidak apa-apa, Bang. Aku tidak marah, aku juga tidak menyalahkan kamu. Tadi, aku hanya becanda saja. Lanjutkan kerja, ya?" kataku. Kuhirup udara dalam-dalam untuk menghilangkan sesak. Aku tidak boleh jadi wanita pemarah, dan tetaplah tenang. Pekerjaan suamiku jauh lebih penting daripada perasaan cemburu yang datang sebagai pengganggu. "Kamu datang ke sini untuk membantuku?" tanya Aldi dengan tangan kembali bermain di mesin jahit. "Iya. Kata Mama, Abang sedang sibuk karena orderan yang melimpah. Makanya aku datang ke sini untuk membantu, sekaligus mengawasi Abang. Aku tidak mau, Abang telat makan