Kukira aku adalah wanita paling beruntung di dunia ini. Suamiku tampan dan sangat mencintaiku. Sikapnya juga sangat lembut dan penuh perhatian, sehingga membuatku dan semua keluargaku menganggap Fagan Zio Rafiandra sebagai suami terbaik di dunia. Namun, semua berubah ketika seorang wanita dari masa lalunya membuka tabir masa lalu mereka, menguak alasannya menikahiku. Ternyata, aku telah tertipu. Semua perhatian dan kasih sayangnya hanya akting belaka. Pernikahan kami semata untuk balas dendam sakit hatinya pada adik kandungnya sendiri. Mampukah aku menjalankan pernikahan ini, sedangkan hatiku telah terlanjur kecewa?
View MoreTak terasa kehamilanku sudah menginjak tujuh bulan. Dan hari ini akan diadakan tasyakuran tujuh bulanan calon anak kami. Aku begitu bahagia juga berdebar-debar menunggu hari kelahiran anak kami yang tinggal dua bulan lagi. Bukan tanpa alasan aku merasakan kegelisahan ini, dua kehamilanku sebelumnya tidak pernah sampai menginjak bulan ke tujuh. Mas Fagan yang nampak tenang pun sempat takut dan overprotective begitu Kehamilanku menginjak bulan kelima. Bulan dimana dua calon anak kami gugur dan kembali ke pangkuan ilahi tanpa sempat kami dekap. "Hati-hati jalannya, Sayang, jangan buru-buru! Tamunya juga gak akan pergi kok," tegur Mas Fagan saat aku buru-buru ke depan saat mendengar kedatangan Zaskia. "Iya, Mas, ini jalanya sudah pelan kok." Aku Memperlambat jalanku. Disamping karena teguran Mas Fagan juga karena tanganku yang di pegangnya. Pelan tapi pasti hubungan Papa dengan Papa mertuaku pun membaik. Di hari yang kaya orang Jawa di sebut tingkepan ini, keluarga besar kami benar-b
Hari-hari berlalu dengan sangat cepat. Perlahan zemuanya mulai membaik. Hari- hariku terasa penuh warna. Tidka lagi monoton dan penuh sandiwara.Hpir setiap pagi aku terbangun oleh suara Mas Fagan yang sedang muntah-muntah di dalam kamar mandi. Suara cukup keras sampai membuat seisi rumah terbangun tepat jam tiga pagi Ya, diambil baiknya saja, mungkin calon anak kami ingin orang tuanya beribadah di sepertiga malam. Dan anehnya, mual Mas Fagan akan hilang setelah kami berdua mengambil air wudhu untuk sholat sunah.Dan mualnya akan kembali setelah selesai sholat shubuh. Bukanlah itu pertanda. Anak kami pasti akan jadi anak sholeh nantinya.Meski begitu tersiksa dengan mual dan nyidam yang tiba-tiba saja dirasakannya. Namun tak sekalipun suamiku itu mengeluh atau menyalahkan kehamilanku. Mas Fagan begitu sabar dan ikhlas menjalani perannya. Ia bahkan selalu mengunci kamar mandi setiap kali muntah, takut aku menyusul masuk ke dalam katanya. "Sudah di atas ranjang saja, jangan ikut masu
Malamnya suster Erina langsung datang ke rumah bersama seorang bidan setelah siangnya mendapatkan telpon dari Mas Fagan. Perempuan berwajah tegas itu datang dengan membawa alat-alat medis yang tidak semuanya aku tahu namanya. Suster Erina dan dua orang perawat laki-laki menata alat-alat medis atas intruksi snag Bidan. Ya Alloh.... kenapa aku merasa akan menjadi pasien di rumahku sendiri. Aku hanya sedang hamil bukan habis kecelakaan dan sedang koma. Saat ini aku duduk bersandar di atas ranjang dengan Mas Fagan yang setia menemani sambil menggenggam satu tanganku. "Zenia, dengerin Sus, beliau ini teman Sus, namanya Bidan Hana. Dia akan memeriksa kondisimu. Jangan menolak!" Belum apa-apa Suster Erina sudah memberiku peringatan. Meski nadanya dibuat lembut tapi tatapannya itu tatapan tak ingin dibantah. Wanita ini bahkan lebih tegas dari Papa dan Mas Fagan. Aku mengangguk penuh kepasrahan. Sepatah kata penolakan dariku akan berbuntut panjang dan membuatku harus menjalani terapi len
Kurang lebih tiga puluh menit perjalanan kami sudah sampai di pelataran sebuah klinik terdekat dari rumah. Dengan dipegangi pak sopir di sisi kanan Mas Fagan dan aku di sisi kirinya. Kami turun dan menuju kursi tunggu. Sedangkan Bi Sarti lebih dulu turun dan langsung mendaftar di tempat pendaftaran. Di siang hari yang terik seperti saat ini suasana klinik yang nampak lengang, mungkin orang-orang lebih memilih datang di sore hari saat udara lebih sejuk. Hanya ada dua orang pasien yang menunggu antrian. Setelah menunggu sekitar dua puluh menit akhirnya namaku di panggil. Aku sedikit bingung, yang sakit Mas Fagan kenapa Bibi mendaftarkan namaku. "Sayang.... ini klinik bersalin tentu saja nama kamu yang di daftarkan Bibi." ujar Mas Fagan merangkulku lalu mengelus lembut lenganku.Lama-lama Mas Fagan sudah seperti Suster Erina yang bisa membaca isi hatiku. Dan sikapnya lembutnya selalu sukses membuat hatiku bergetar dan semakin merasa bergantung padanya. Kami pun akhirnya masuk dengan
Beberapa hari ini Mas Fagan kurang enak badan. Setiap pagi selepas sholat shubuh dia pasti akan muntah-muntah. padahal perutnya msih kosong. aku pikir itu asam lambung, aku mengajaknya ke dokter untuk periksa tapi bukan Mas Fagan jika tidak keras kepala. Laki-laki itu tegas menolak dan mengatakan akan segera membaik jika aku memanjakannya. Ada-ada saja suamiku ini. Memang ada penyakit yang sembuh hanya dengan dimanjakan? Pagi ini kondisinya semakin membuatku khawatir. Sejak pagi intensitas muntahnya makin sering sampai-sampai membuat tubuh kekarnya itu lemas.Dan sekarang hanya bisa berbaring di atas tempat tidur sambil memelukku. Tak sedetikpun aku di izinkan jauh darinya. Bahkan untuk sarapan aku sampai merepotkan Bi Sarti untuk mengantar ke kamar. Tak berhenti berdrama, sarapan pun aku harus membujuknya seperti anak kecil. Ya Alloh...... Mas. Melihatnya seperti ini membuatku teringat kondisiku ketika aku hamil anak pertama kami dulu. Saat itu aku begitu manja dan malas untuk
Pov Meizura. Setelah hari ke tujuh kematian Ardiaz, aku dan Mas Fagan kembali pulang ke rumah Eyang. Jakarta kota yang panas dan sangat bising membuatku tidak betah berlama-lama di sana. Bunda dan Mbak Zahra sangat sedih ketika kami memutuskan untuk pulang kembali ke rumah Eyang. Bunda berusaha membujukku untuk tetap tinggal namun aku menolak. Rasanya masih belum nyaman untuk bertemu dengan orang-orang yang berhubungan dengan masa laluku dan Mas Fagan. Dua hari yang lalu kami pulang dengan diantar Bunda. Beliau menginap satu hari sebelum kembali pulang karena harus mengurus Azqiara yang masih sekolah. Adik sambungku itu masih butuh pengawasan di usia peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Bunda dan Papa tidak oleh teledor mengingat pergaulan sekarang yang yang begitu bebas. Malam ini kulihat Mas Fagan nampak gelisah. Sejak tadi dia banyak melamun. Sama seperti saat ini, dengan bertelanjang dada, duduk melamun dengan laptop di pangkuannya.Setelah satu jam yang lalu pria jangkung
"Kalian merasa lega...?" sentak Mama dengan wajah sembab dan mata bengkak karena terlalu lama menangis. Segera aku beranjak bangun mundur dan berdiri didepan Zura saat Mama berusaha untuk berdiri. Tak akan kubiarkan siapapun menyentuhnya, termasuk Mama. Sudah cukup penderitaan yang selama ini Zura rasakan. Sebagai seorang suami aku harus lebih protect dan peka terhadap perasaannya. "Ma...." Papa menegur Mama. "Jangan asal bicara! Ingat baik-baik, apa kamu pernah melihat Zura menangis saat ada keluarga yang meninggal? Saat Oma Kasih meninggal dia juga tidak menangis." "Ingat, kamu sudah berjanji kan tadi?" Kembali Papa memberi peringatan Mama. Wajahnya nampak serius. Mama pun menurut, mendengus kasar lalu kembali menangis. "Tolong jangan benci Ardiaz,.. hiks...hikss. Semua salah Mama, Ardiaz tidak bersalah." Dengan sabar Tante Tia mengelus punggung dan lengan Mama. Adik bungsu Mama itu terus menasehati Mama untuk bisa tenang dan ikhlas dengan kepergian Putra keduanya. Tante Tia
Pagi ini selesai sarapan aku akan mengajak Meizura pergi ke makam kedua anak kami. Sudah lama sekali aku tidak kesana. Istriku terlihat lebih bersemangat pagi ini setelah aku mengatakan hendak berziarah ke makam putra dan putri kami. Sudah dari jam tujuh wanita berambut panjang itu duduk di sofa kamar dengan pakaian yang sudah rapi. Atasan lengan panjang berawarna hitam dipadukan dengan celana krem dan di sampingnya sudah ada kain segi empat berwarna senada dengan celana yang dipakainya. "Kita sarapan dulu," ajakku sambil mengulurkan tanganku kearahnya. Dengan senyum tipis, wanitaku ini langsung menyambutnya. Lekas kami turun menuju meja makan, dimana mertua dan saudara iparku sudah menunggu. Sejak kedatangan kami sampai hari ini keluarga mertuaku selalu menunggu kami saat waktu makan tiba. Entah itu sarapan atau makan malam mereka pasti sudah menunggu kami di meja makan dan mereka baru akan makan saat kami sudah ikut bergabung. Kehangatan begitu terasa diantara semua anggota kel
"Ardiaz kritis. Kondisinya menurun sejak kemarin malam," beritahu Mas Fagan begitu aku dan Bunda sampai di rumah sakit. Kami datang setelah Mas Fagan memintaku menyusulnya ke rumah sakit tentu dengan diantar Bunda. Tadi setelah Bibi menyampaikan pesan Mama Kinanti tentang kondisi Ardiaz, aku tak serta merta ingin datang ke rumah sakit. Kupikir Mama Kinanti menelpon untuk memberitahu Mas Fagan. Pastinya kedatanganku tak terlalu diharapkan setelah ucapanku beberapa hari yang lalu. Tapi ternyata aku salah, Mama Kinanti sengaja menelpon bukan untuk memberitahu Mas Fagan melainkan memintaku untuk datang. Jika bukan karena Mas Fagan yang menelpon dan memintaku menyusulnya mungkin aku tidak akan pernah datang. Mas Fagan sendiri langsung berangkat ke rumah sakit dari kantor. "Jangan berpikir yang tidak-tidak. Kondisi Ardiaz memang sudah memburuk sejak satu bulan lalu. Jadi tidak ada hubungannya dengan kedatangan kita seminggu yang lalu. Jangan dengarkan jika ada omongan yang tak enak." Ka
"Fagan tidak pernah mencintaimu." Kalimat itu keluar dari mulut seorang wanita cantik berwajah pucat dengan pakaian pasien sebuah rumah sakit. "Hanya akulah wanita yang ada di hatinya." Tiba-tiba hatiku terasa nyeri dan perih dalam waktu yang bersamaan mendengar kalimat yang keluar dari mulut wanita yang amat sangat aku benci itu. Tapi, aku bukan wanita bodoh yang akan langsung percaya dengan mulut wanita yang juga tidak membenciku itu. Kubiarkan saja dia berbicara sesukanya. "Sikap lembut yang dia tunjukkan hanya untuk menyakiti hati Ardiaz. Mungkin kamu tidak sadar, tapi Ardiaz sangat mencintaimu. Dia sudah berusaha menghalangi kamu untuk menggantikan posisiku tapi kamu terlalu naif dengan sok jadi pahlawan kesiangan untuk keluarga yang gila hormat itu."Ardiaz? Dia mulai menyebut nama lain lagi. Ardiaz adalah adik iparku yang sudah lebih dulu akrab denganku sebelum aku menikahi kakaknya. Sepertinya, wanita ini tidak pernah berubah meski kini keadaannya sudah sangat memprihatin
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments