Dia mulai menyebut nama lain lagi. Ardiaz adalah adik iparku yang sudah lebih dulu akrab denganku sebelum aku menikahi kakaknya.
Sepertinya, wanita ini tidak pernah berubah meski kini keadaannya sudah sangat memprihatinkan. Namun tetap saja mulutnya suka menebar fitnah untuk membuat masalah dalam rumah tanggaku dan Mas Fagan.Adira Mayang Mahesti, mantan tunangan dan kekasih suamiku. Dua hari yang lalu seseorang perawat datang ke rumah dan menyampaikan pesan jika wanita itu ingin bertemu denganku.Mas Fagan langsung melarang ketika aku meminta izin. Dia tidak peduli meski wanita ini sedang sekarat. 'Jangan pernah menemuinya! Hidup dan matinya bukan urusan kita,' tegasnya kemarin malam.Sikapnya yang keras dan terkesan tak ingin aku bertemu mantan kekasihnya, malah membuatku penasaran. Dan di sinilah aku sekarang. Dengan ditemani Adiba sepupu Mas Fagan menemui wanita cantik yang sekarang menatapku dengan tatapan sendu bercampur sinis.Meski berusaha menutupi tapi aku tahu ada kebencian di dalam tatapannya kepadaku.Adiba yang sejak tadi diam mulai gerah dengan omong kosong wanita ini. Beberapa kali dia berdecak kesal dan mengajak pulang."Fagan pasti melarang kamu datang menemuiku kan?" tanyanya yang masih ku jawab dengan kebisuan."Itu karena dia takut aku menceritakan kebenarannya padamu."Spontan aku mengerutkan dahiku. Melihat eskpresiku wanita ini tersenyum tipis, sepertinya dia merasa menang karena sudah bisa memancing rasa penasaranku."Selama ini dia hanya berpura-pura mencintaimu supaya Ardiaz sakit hati dan pergi keluar negeri. Percaya atau tidak tapi Ardiaz sangat mencintaimu," ucapnya dengan nada sedikit meninggi. "Suamimu hanya menjadikan kamu sebagai alat untuk membalas Ardiaz yang telah berselingkuh denganku."Duar...... Bak petir yang menyambar tepat dia tas kepalaku mendengar pengakuan Mayang."Ya aku berselingkuh dengan Ardiaz dan anak yang aku kandung adalah anak Ardiaz Tapi mereka memaksaku untuk menggugurkannya."Aku melebarkan mataku tak percaya. Kutatap dalam-dalam setiap ekspresi yang diperlihatkan wanita di depanku ini. Matanya terlihat mengembun, seperti ada luka yang berusaha ia sembunyikan. Kurasa dia jujur."Aku tidak berbohong kali ini, tanyakan pada Adiba semua keluarga mereka juga tahu." Mayang mengarahkan tatapannya pada Adiba yang berdiri di sebelahku.Segera ku alihkan tatapanku pada gadis yang sejak tadi menggandeng tanganku.Adiba menatapku melas sambil mengangguk samar. "Kak Fagan melarang kami cerita sama Mbak," lirihnya yang bak petasan raksasa yang menggelegar di dadaku.Mereka membohongiku?Ibarat bom, hatiku seakan meledak dan hancur berkeping-keping. Namun aku masih tetap diam, kutahan air mata dengan sekuat tenaga. Aku tak ingin terlihat lemah di depan mantan kekasih suamiku ini."Apa kamu ingat kedatangan terakhirku ke rumah orang tua Fagan?" Kali ini aku mengangguk untuk menjawab pertanyaannya."Saat itu dia sengaja membiarkan aku mendorongmu untuk menyulut amarah Ardiaz. Dia juga sengaja membiarkan Ardiaz mengajakmu masuk agar aku melihat sikap lembut Ardiaz padamu. Saat kalian pergi Fagan berbisik, 'Ardiaz hanya akan bersikap lembut pada orang yang dicintainya pertama Mamanya, kedua Meizura Humayra, wanita yang tidak akan pernah dimiliki oleh Ardiaz seumur hidupnya'."Tes.... Cairan bening menerobos keluar dari mata kananku. Kulihat Mayang tersenyum puas."Mbak,," bisik Adiba mengeratkan genggaman tangannya.Tak terkendali air mataku mulai berduyun-duyun melintasi pipi dan membasahi kemeja merah maroon yang kukenakan. "Tak apa." Aku berusaha tetap tegar."Jika kamu tidak percaya, pulang dan tanyakan padanya! Aku mengatakan ini karena rasa bersalahku yang telah membuatmu masuk ke dalam lingkaran dendam atara aku, Ardiaz dan Fagan. Fagan sengaja memilihmu agar Ardiaz tidak bisa memilikimu.""Apa mereka tahu jika janin yang kamu kandung itu anak Ardiaz?" Aku penasaran mengapa mertuaku memaksanya untuk menggugurkan janinnya.Wanita itu menunduk sebentar lalu kembali menatapku datar. Kurasa dia sedang berusaha menyembunyikan perasaannya agar aku tak bisa membaca ekspresi wajahnya. "Mereka tahu tapi tidak percaya, menurut mereka janin itu adalah anak Raka," ucapnya tanpa berani membalas tatapanku.Raka? Wanita itu kembali menyebut nama lain lagi."Aditya Raka?" tanyaku yang di jawab anggukkan olehnya.Raka adalah teman sekaligus sepupu jauh Mas Fagan. Sebuah pertanyaan kembali muncul di kepalaku."Apa kamu juga selingkuh dengan Raka?" Aku menyipitkan mata, menelisik setiap kerutan dan ekspresi di wajahnya.Aku ingin menyakinkan hatiku, wanita di depanku ini jujur atau sedang membohongiku."Iya,," jawabnya seraya membuang muka kearah jendela kamar.Tanpa sadar aku menghela nafas, "Maaf, tapi pantas jika mereka tidak percaya padamu."Sontak Mayang menoleh kembali padaku. Aku cukup puas melihat ekspresi tak terima di wajah wanita yang mungkin hidupnya tidak akan lama lagi ini.Mungkin orang akan menganggap aku kejam tapi wanita ini juga tak menunjukkan rasa penyesalan atas semua perbuatannya. Meski mulutnya mengatakan, merasa bersalah tapi ekspresi wajahnya tetap saja angkuh dan sombong, bahkan terkesan menertawakan kebodohanku."Aku berselingkuh dari Fagan juga ada alasannya,"Aku tersenyum sinis. Naif sekali, membenarkan sebuah kesalahan dengan menyalahkan korbannya."Fagan terlalu sibuk dengan kuliah dan pekerjaan. Hampir setiap hari dia menghabiskan waktunya di kampus dan kantor. Mengangkat telfonku saja tidak sempat. Berbeda dengan Ardiaz, kapanpun aku minta dia pasti akan datang dan mengantarku kemanapun aku pergi."Alasan yang diutarakannya sama sekali tak merubah penilaianku. Aku membenci wanita ini. Wanita jahat yang mulutnya penuh bisa. Dia sudah salah jika ingin mencari simpati dariku. Sayang sekali aku bukan tipe wanita lemah lembut yang langsung percaya dengan wajah melas dan air mata palsu."Apa kamu sudah selesai bicara? Jika sudah, aku akan pergi. Semoga kamu cepat sembuh dan punya waktu untuk bertobat," pungkasku tanpa menunggu jawaban, langsung berbalik dan keluar dari ruang perawatan yang penuh dengan aroma obat dan disinfektan."Biar aku yang pesan taksi online," ujarku sambil berjalan cepat dan membuat Adiba sedikit berlari mengejarku.🍂🍂🍂Aku segera memesan taksi online begitu keluar dari kamar perawatan Mayang. Tak perlu menuggu lama, sebuah mobil berhenti setelah kami sampai di depan rumah sakit. Segera aku naik disusul Adiba setelah mengkonfirmasi pemesanan pada pak sopir. Sepanjang perjalanan pulang aku hanya diam, nampak Adiba kebingungan dan khawatir. Mungkin dia takut akan di marahi Mas Fagan kalau sampai ketahuan jika dirinya yang mengantarku untuk bertemu Mayang. Harusnya gadis ini tak perlu merasa takut, aku tidak akan memberitahu Mas Fagan. Aku tidak mungkin membuat Adiba terkena masalah. Dari semua kerabat dan sepupu Mas Fagan hanya Adiba yang paling dekat denganku dan aku juga menyayanginya seperti layaknya saudara kandung. Mungkin karena umur kami yang tidak terpaut jauh sehingga aku dan Adiba sangat akrab dan kompak. Kurang 4 bulan lagi umurku genap 20 tahun dan Adiba baru sebulan lalu berumur 19 tahun. Jika bukan karena terpaksa menikah dengan Mas Fagan mungkin sekarang aku sedang sibuk dengan tugas k
Mas Fagan berdiri dengan kemeja biru muda yang tadi pagi kusiapkan. Namun, kemeja itu sekarang terlihat sedikit kusut dengan lengan bajunya di tarik ke atas sampai siku dan jas abu-abunya juga entah kemana. Dengan sorot mata tajam dan dingin dia berjalan kearahku. Spontan aku mengerutkan dahi melihat tatapan tajamnya yang selama ini tak pernah aku lihat sebelumnya. "Dari mana kamu?" bentaknya "Kamu menemui wanita itu?" sambungnya dengan nada yang tak kalah dingin dengan tatapannya. "Meizura, jawab pertanyaanku!! Apa kamu menemui wanita itu?" sentaknya yang membuatku berjingkat kaget. "Iya." Seketika wajah dan telinganya memerah. "Bukankah aku sudah melarangmu? Beraninya kamu melanggar laranganku!" geramnya dengan suara tertahan. Ini kali kedua aku melihatnya semarah ini. Pertama ketika dia sedang bertengkar dengan salah satu sepupunya yang istrinya menggosipkan aku sebagai perebut Mas Fagan dari mantan kekasihnya dan inilah yang kedua. "Kenapa kamu tidak ingin aku bertemu dengan
Mas Fagan kini menatapku dengan mata berkabut. "Maaf, sudah kasar padamu," bisiknya sembari membelai lembut sebelah pipiku. Lalu, ia mencium bibirku selanjutnya tangannya mulai bergerilya melepas kancing piyama yang aku pakai. Deg!Aku menepis tangannya dan kudorong kasar laki-laki itu sampai tersingkir dari atas tubuhku. "Jangan berani menyentuhku!!!" sentakku dengan nada dingin dan tatapan tajam. Sontak saja tatapan matanya berubah. Sayangnya, aku tak peduli. "Aku suamimu. Aku punya hak atas dirimu," jawabnya yang langsung kusambut dengan senyum remeh. "Untuk sekarang. Tapi, tunggu saja aku akan mengajukan gugatan ke pengadilan." Aku beranjak turun dari ranjang. Namun, baru satu kakiku mencapai lantai, dengan kasar Mas Fagan menarikku kembali ke atas ranjang. "Apa kamu berpikir untuk kembali bersama Ardiaz? Kamu pikir dia akan menerimamu setelah kita bercerai?" ujarnya kembali mengukung tubuhku dengan tubuhnya yang besar. Pertanyaannya seolah membenarkan semua tuduhan Mayan
"Astaga, Mbak!" pekiknya sambil berlari lalu menaiki ranjang. "Mbak ditampar Kak Fagan? Leher Mbak juga kenapa merah, berdarah lagi?" Adiba nampak shock melihat keadaanku. "Hemmm... bisa tolong ambilkan minum! Tenggorokanku rasanya sangat kering." Adiba langsung berlari keluar kamar, setelah lima menit ia kembali dengan sebotol air mineral. "Minum dulu, Mbak." Aku tersenyum. Sepupu Mas Fagan ini memang sangat baik dan sayang padaku. "Makasih," ucapku pelan."Aku tidak menyangka Mas Fagan tega melakukan ini sama kamu Mbak." Wajah Adiba kini terlihat sedih dengan mata yang sudah berair. Aku menggelengkan kepala. "Jangan menangis, atau aku juga akan menangis." Jujur, hatiku sangat sakit. Selama ini, aku mengorbankan cita-cita dan keinginanku demi menjadi seorang istri yang baik dan penurut untuknya. Namun, apa yang kini aku dapatkan? Rasa sakit. 'Tidak hanya hatiku, tubuhku pun kamu lukai, Mas.' batinku. "Aku tidak menangis, jadi Mbak juga jangan menangis." Adiba berucap sambil m
Setelah melakukan visum, Adiba menyarankan untuk sekalian tes darah. Memeriksa apa aku terjangkit penyakit yang sekarang menggerogoti tubuh Mayang dan Ardiaz. Sekitar satu jam lebih kami menunggu dan bersyukur hasilnya sangat melegakan. Ternyata meski Mas Fagan sangat mencintai mantan tunangannya itu tapi dia masih bisa menjaga batasan yang tidak boleh dia langgar. Tidak seperti Ardiaz, sudah menjalin hubungan terlarang dengan calon kakak iparnya, adik iparku itu juga melanggar larangan agama. Menurut pengamatanku adik Mas Fagan itu memang agak bandel dan suka bikin onar. Aku mengenal Ardiaz saat kami membantu di acara pernikahan salah satu sepupu kami. Saat itu aku dan Ardiaz menjadi pasangan kembang mayang. Aku masih disekolah sedangkan Ardiaz baru memasuki bangku kuliah. Ardiaz sangat humble dan sangat ramah, berbeda dengan Mas Fagan yang cool dan sedikit bicara. Awal-awal kenal aku agak menghindar. Ya, bisa dikatakan aku seperti Mas Fagan. Hanya dengan orang tertentu saja aku b
Sudah dua hari ini Meizura tinggal di rumah Zaskia. Ponselnya tak berhenti berdering sejak semalam. Hanya ketika ponselnya itu kehabisan daya baru panggilan masuk dari nomor Fagan berhenti. Semalaman Fagan menelpon dan mengirim pesan berisi ancaman jika Meizura tidak segera pulang. Pri itu sepertinya mengira jika Meizura akan pergi menyusul Ardiaz ke luar negeri. [Pulang! Kamu masih istriku. Patuhlah atau kamu tahu apa yang bisa aku lakukan.][Pulang!!! Lihat apa yang aku lakukan!] Pesan Fagan kini disertai foto sebuah paspor dibakar. [Cepat pulang! Jangan menguji kesabaranku!]Beberapa isi pesan yang Fagan kirim ke ponsel Meizura. Namun, tak sedikit pun wanita berambut panjang itu ingin membalasnya. Saat ini yang dia inginkan hanya ketenangan. "Pria itu gak capek apa telponin kamu mulu?" Zaskia mengambil duduk di sebelah Meizura. "Dendam sudah menutup matanya sampai membuatnya tak memliki rasa lelah dan bosan," jawab Meizura masih dengan menatap layar televisi. "Lalu apa renca
Ucapan Meizura langsung membuat empat orang itu melebarkan matanya kaget. Terlebih Fagan, pria itu langsung berdiri dengan tangan mengepal kuat. Dia tidak menyangka ancamannya kemarin tidak sedikitpun membuat istrinya itu takut. "Tidak. Aku tidak akan menceraikan kamu," tegas Fagan. "Aku sama sekali tidak peduli. Yang pasti aku tidak ingin hidup dengan pria munafik seperti kamu," ujar Meizura dengan tatapan menantang. Perlahan tangannya membenarkan syal di lehernya untuk memberi isyarat pada Fagan jika dirinya masih memiliki satu senjata untuk melawan pria itu"Zura!!!" bentak Furqon. "Jaga ucapan dan sikapmu. Fagan itu suamimu kamu harus menghormatinya." Wajah Furqon sudah memerah karena marah. Tangannya mengepal kuat sampai membuat kuku-kuku jarinya memutih. Sarah yang duduk di samping Furqon tak melepaskan tangannya dari lengan pria itu. Wanita itu takut jika suaminya akan lepas kontrol dan memukul anak tirinya itu. "Pa, biar aku bicara dulu sama Zura. Dia pasti punya alasan.
Pov Meizura. "Khemm.... Aku lapar.... Kita mampir dulu cari makan," ucap Mas Fagan tiba-tiba."Kamu mau makan apa?" tanyanya tapi tak kuhiraukan, aku tetap membisu dan mengarahkan pandanganku ke luar jendela."Aku bertanya sama kamu. Kamu gak tuli kan?" Mas Fagan menghentikan mobilnya di pinggir jalan. "Aku tuli." Aku menoleh, "Telingaku tidak bisa mendengar suara orang yang bermuka dua," Seketika rahang Mas Fagan mengeras dan matanya melotot tajam padaku. Kuangkat satu sudut bibirku, puas sekali aku melihat ekspresi kemarahannya."Kamu......" geramnya."Aku tak peduli." Aku kembali mengarahkan tatapanku keluar jendela. Terdengar Mas Fagan menghembuskan nafas kasar beberapa kali. Mungkin dia sedang berusaha menghilangkan emosinya yang sempat tersulut karena ucapanku. Ini baru awal, mulai sekarang kamu akan tahu seperti apa aslinya Zenia Meizura Humayra itu. "Tadi kamu sudah lihat sendiri, bahkan papamu saja tidak membelamu. Jadi, bersikap baiklah atau kamu akan benar-benar kehila
Tak terasa kehamilanku sudah menginjak tujuh bulan. Dan hari ini akan diadakan tasyakuran tujuh bulanan calon anak kami. Aku begitu bahagia juga berdebar-debar menunggu hari kelahiran anak kami yang tinggal dua bulan lagi. Bukan tanpa alasan aku merasakan kegelisahan ini, dua kehamilanku sebelumnya tidak pernah sampai menginjak bulan ke tujuh. Mas Fagan yang nampak tenang pun sempat takut dan overprotective begitu Kehamilanku menginjak bulan kelima. Bulan dimana dua calon anak kami gugur dan kembali ke pangkuan ilahi tanpa sempat kami dekap. "Hati-hati jalannya, Sayang, jangan buru-buru! Tamunya juga gak akan pergi kok," tegur Mas Fagan saat aku buru-buru ke depan saat mendengar kedatangan Zaskia. "Iya, Mas, ini jalanya sudah pelan kok." Aku Memperlambat jalanku. Disamping karena teguran Mas Fagan juga karena tanganku yang di pegangnya. Pelan tapi pasti hubungan Papa dengan Papa mertuaku pun membaik. Di hari yang kaya orang Jawa di sebut tingkepan ini, keluarga besar kami benar-b
Hari-hari berlalu dengan sangat cepat. Perlahan zemuanya mulai membaik. Hari- hariku terasa penuh warna. Tidka lagi monoton dan penuh sandiwara.Hpir setiap pagi aku terbangun oleh suara Mas Fagan yang sedang muntah-muntah di dalam kamar mandi. Suara cukup keras sampai membuat seisi rumah terbangun tepat jam tiga pagi Ya, diambil baiknya saja, mungkin calon anak kami ingin orang tuanya beribadah di sepertiga malam. Dan anehnya, mual Mas Fagan akan hilang setelah kami berdua mengambil air wudhu untuk sholat sunah.Dan mualnya akan kembali setelah selesai sholat shubuh. Bukanlah itu pertanda. Anak kami pasti akan jadi anak sholeh nantinya.Meski begitu tersiksa dengan mual dan nyidam yang tiba-tiba saja dirasakannya. Namun tak sekalipun suamiku itu mengeluh atau menyalahkan kehamilanku. Mas Fagan begitu sabar dan ikhlas menjalani perannya. Ia bahkan selalu mengunci kamar mandi setiap kali muntah, takut aku menyusul masuk ke dalam katanya. "Sudah di atas ranjang saja, jangan ikut masu
Malamnya suster Erina langsung datang ke rumah bersama seorang bidan setelah siangnya mendapatkan telpon dari Mas Fagan. Perempuan berwajah tegas itu datang dengan membawa alat-alat medis yang tidak semuanya aku tahu namanya. Suster Erina dan dua orang perawat laki-laki menata alat-alat medis atas intruksi snag Bidan. Ya Alloh.... kenapa aku merasa akan menjadi pasien di rumahku sendiri. Aku hanya sedang hamil bukan habis kecelakaan dan sedang koma. Saat ini aku duduk bersandar di atas ranjang dengan Mas Fagan yang setia menemani sambil menggenggam satu tanganku. "Zenia, dengerin Sus, beliau ini teman Sus, namanya Bidan Hana. Dia akan memeriksa kondisimu. Jangan menolak!" Belum apa-apa Suster Erina sudah memberiku peringatan. Meski nadanya dibuat lembut tapi tatapannya itu tatapan tak ingin dibantah. Wanita ini bahkan lebih tegas dari Papa dan Mas Fagan. Aku mengangguk penuh kepasrahan. Sepatah kata penolakan dariku akan berbuntut panjang dan membuatku harus menjalani terapi len
Kurang lebih tiga puluh menit perjalanan kami sudah sampai di pelataran sebuah klinik terdekat dari rumah. Dengan dipegangi pak sopir di sisi kanan Mas Fagan dan aku di sisi kirinya. Kami turun dan menuju kursi tunggu. Sedangkan Bi Sarti lebih dulu turun dan langsung mendaftar di tempat pendaftaran. Di siang hari yang terik seperti saat ini suasana klinik yang nampak lengang, mungkin orang-orang lebih memilih datang di sore hari saat udara lebih sejuk. Hanya ada dua orang pasien yang menunggu antrian. Setelah menunggu sekitar dua puluh menit akhirnya namaku di panggil. Aku sedikit bingung, yang sakit Mas Fagan kenapa Bibi mendaftarkan namaku. "Sayang.... ini klinik bersalin tentu saja nama kamu yang di daftarkan Bibi." ujar Mas Fagan merangkulku lalu mengelus lembut lenganku.Lama-lama Mas Fagan sudah seperti Suster Erina yang bisa membaca isi hatiku. Dan sikapnya lembutnya selalu sukses membuat hatiku bergetar dan semakin merasa bergantung padanya. Kami pun akhirnya masuk dengan
Beberapa hari ini Mas Fagan kurang enak badan. Setiap pagi selepas sholat shubuh dia pasti akan muntah-muntah. padahal perutnya msih kosong. aku pikir itu asam lambung, aku mengajaknya ke dokter untuk periksa tapi bukan Mas Fagan jika tidak keras kepala. Laki-laki itu tegas menolak dan mengatakan akan segera membaik jika aku memanjakannya. Ada-ada saja suamiku ini. Memang ada penyakit yang sembuh hanya dengan dimanjakan? Pagi ini kondisinya semakin membuatku khawatir. Sejak pagi intensitas muntahnya makin sering sampai-sampai membuat tubuh kekarnya itu lemas.Dan sekarang hanya bisa berbaring di atas tempat tidur sambil memelukku. Tak sedetikpun aku di izinkan jauh darinya. Bahkan untuk sarapan aku sampai merepotkan Bi Sarti untuk mengantar ke kamar. Tak berhenti berdrama, sarapan pun aku harus membujuknya seperti anak kecil. Ya Alloh...... Mas. Melihatnya seperti ini membuatku teringat kondisiku ketika aku hamil anak pertama kami dulu. Saat itu aku begitu manja dan malas untuk
Pov Meizura. Setelah hari ke tujuh kematian Ardiaz, aku dan Mas Fagan kembali pulang ke rumah Eyang. Jakarta kota yang panas dan sangat bising membuatku tidak betah berlama-lama di sana. Bunda dan Mbak Zahra sangat sedih ketika kami memutuskan untuk pulang kembali ke rumah Eyang. Bunda berusaha membujukku untuk tetap tinggal namun aku menolak. Rasanya masih belum nyaman untuk bertemu dengan orang-orang yang berhubungan dengan masa laluku dan Mas Fagan. Dua hari yang lalu kami pulang dengan diantar Bunda. Beliau menginap satu hari sebelum kembali pulang karena harus mengurus Azqiara yang masih sekolah. Adik sambungku itu masih butuh pengawasan di usia peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Bunda dan Papa tidak oleh teledor mengingat pergaulan sekarang yang yang begitu bebas. Malam ini kulihat Mas Fagan nampak gelisah. Sejak tadi dia banyak melamun. Sama seperti saat ini, dengan bertelanjang dada, duduk melamun dengan laptop di pangkuannya.Setelah satu jam yang lalu pria jangkung
"Kalian merasa lega...?" sentak Mama dengan wajah sembab dan mata bengkak karena terlalu lama menangis. Segera aku beranjak bangun mundur dan berdiri didepan Zura saat Mama berusaha untuk berdiri. Tak akan kubiarkan siapapun menyentuhnya, termasuk Mama. Sudah cukup penderitaan yang selama ini Zura rasakan. Sebagai seorang suami aku harus lebih protect dan peka terhadap perasaannya. "Ma...." Papa menegur Mama. "Jangan asal bicara! Ingat baik-baik, apa kamu pernah melihat Zura menangis saat ada keluarga yang meninggal? Saat Oma Kasih meninggal dia juga tidak menangis." "Ingat, kamu sudah berjanji kan tadi?" Kembali Papa memberi peringatan Mama. Wajahnya nampak serius. Mama pun menurut, mendengus kasar lalu kembali menangis. "Tolong jangan benci Ardiaz,.. hiks...hikss. Semua salah Mama, Ardiaz tidak bersalah." Dengan sabar Tante Tia mengelus punggung dan lengan Mama. Adik bungsu Mama itu terus menasehati Mama untuk bisa tenang dan ikhlas dengan kepergian Putra keduanya. Tante Tia
Pagi ini selesai sarapan aku akan mengajak Meizura pergi ke makam kedua anak kami. Sudah lama sekali aku tidak kesana. Istriku terlihat lebih bersemangat pagi ini setelah aku mengatakan hendak berziarah ke makam putra dan putri kami. Sudah dari jam tujuh wanita berambut panjang itu duduk di sofa kamar dengan pakaian yang sudah rapi. Atasan lengan panjang berawarna hitam dipadukan dengan celana krem dan di sampingnya sudah ada kain segi empat berwarna senada dengan celana yang dipakainya. "Kita sarapan dulu," ajakku sambil mengulurkan tanganku kearahnya. Dengan senyum tipis, wanitaku ini langsung menyambutnya. Lekas kami turun menuju meja makan, dimana mertua dan saudara iparku sudah menunggu. Sejak kedatangan kami sampai hari ini keluarga mertuaku selalu menunggu kami saat waktu makan tiba. Entah itu sarapan atau makan malam mereka pasti sudah menunggu kami di meja makan dan mereka baru akan makan saat kami sudah ikut bergabung. Kehangatan begitu terasa diantara semua anggota kel
"Ardiaz kritis. Kondisinya menurun sejak kemarin malam," beritahu Mas Fagan begitu aku dan Bunda sampai di rumah sakit. Kami datang setelah Mas Fagan memintaku menyusulnya ke rumah sakit tentu dengan diantar Bunda. Tadi setelah Bibi menyampaikan pesan Mama Kinanti tentang kondisi Ardiaz, aku tak serta merta ingin datang ke rumah sakit. Kupikir Mama Kinanti menelpon untuk memberitahu Mas Fagan. Pastinya kedatanganku tak terlalu diharapkan setelah ucapanku beberapa hari yang lalu. Tapi ternyata aku salah, Mama Kinanti sengaja menelpon bukan untuk memberitahu Mas Fagan melainkan memintaku untuk datang. Jika bukan karena Mas Fagan yang menelpon dan memintaku menyusulnya mungkin aku tidak akan pernah datang. Mas Fagan sendiri langsung berangkat ke rumah sakit dari kantor. "Jangan berpikir yang tidak-tidak. Kondisi Ardiaz memang sudah memburuk sejak satu bulan lalu. Jadi tidak ada hubungannya dengan kedatangan kita seminggu yang lalu. Jangan dengarkan jika ada omongan yang tak enak." Ka