"Nyonya..... Nyonya sudah sadar?" Bik Minah.... Dialah orang pertama yang aku lihat begitu membuka mata. Wanita paruh baya itu berdiri di sisi ranjang. Ada aroma disinfektan dan obat-obatan yang menyengat memasuki indera penciumanku. Sepertinya aku berada di rumah sakit. "Alhamdulillah..... Nyonya sudah sadar," ucap Bik Minah bersyukur sembari mengelus kepalaku pelan."Sekarang Nyonya berada di rumah sakit. Kata Tuan Fagan semalam Nyonya jatuh dari tangga," beritahu nya tanpa kuminta. Aku memejamkan mata berusaha mengingat apa yang terjadi. Deghh...... Tiba-tiba jantungku terasa di remas-remas mengingat kejadian semalam. Ya aku terjatuh dari tangga dan itu karena Mas Fagan yang mendorongku. "Kepala Nyonya luka karena terbentur lantai. Kakinya juga, kata Tuan harus di perban untuk beberapa hari sampai otot dan tulang kembali normal," sambungnya menjelaskan keadaanku sekarang. Lalu dimana pria itu sekarang? Kualihkan pandanganku ke sekeliling. Harusnya dia berada disini? Pria itu
"Coba tebak, apa yang ingin aku lakukan?" ucapnya dengan senyum mesum yang menghiasi bibirnya. Jangan-jangan.....?"Sudah lima hari kita tidak tidur satu ranjang. Dan malam ini......" Apa dia sudah gila? Ini di rumah sakit, apa dia tidak melihat kepala dan kakiku yang masih di perban? Setidaknya dia harus punya rasa malu kalau sampai ada dokter jaga yang datang untuk memeriksa keadaanku. "Aku ingin meminta hakku sebagai suamimu." Mataku membulat saat dia melempar kemejanya lalu beralih membuka ikat pinggangnya. "Apa kamu sudah gila? Sekarang kita di rumah sakit." Aku beranjak bangun. "Lagi pula kamu tidak lagi punya hak setelah apa yang kamu lakukan padaku.""Selama kamu masih berstatus sebagai istriku, aku tetap satu-satunya orang yang berhak menyentuhmu," kekehnya tak bisa di bantah. Ya Tuhan...... dia benar-benar melucuti semua pakaian yang melekat di tubuhnya. Satu-satunya kelemahan Mas Fagan adalah tidak bisa menahan nafsunya. Jika di luar ia terlihat dingin akan tatapi seb
Ceklek... "Meizura...." Terdengar suara seseorang bersamaan dengan pintu terbuka. "Hah.." Dengan cepat Meizura memutar tubuhnya. "Astaga..." pekik Meizura sambil mendengus kasar. ""Kenapa?" tanya Zaskia kebingungan sambil menoleh ke kanan kiri. "Ya Alloh.... kamu ngagetin aja! Hampir saja jantungku copot," gerutunya sambil mengelus dadanya. "Maaf... maaf, tadi aku pikir salah kamar." Buru-buru Zaskia menjelaskan. "Ya Alloh kepala dan kaki kamu kenapa di perban?" tanyanya dengan mata berkaca-kaca sambil memeriksa keadaan sahabatnya itu. Baru juga dua hari mereka tidak bertemu dan kini keadaan sahabatnya itu lebih buruk dari saat mereka bertemu beberapa hari sebelumnya. "Ceritanya panjang. Tolong bantu aku jalan, kita harus cepat pergi dari sini sebelum Bi Minah kembali." Meizura mengulurkan tangannya. "Sebentar, aku bawa kursi roda." Zaskia berlari keluar untuk mengambil kursi roda yang ia letakkan di depan kamar. Dengan hati-hati Zaskia membatu Meizura untuk duduk di atas kur
"Bisa buka masker kalian!" Fagan beralih ke depan Meizura. Meizura spontan menutup matanya, menahan kesal bercampur panik. Insting pria itu memang sangat kuat, hanya dengan melihat gerakan tubuh orang ia bisa mendeteksi sesuatu yang tidak wajar. 'Pasti Zaskia melihat matanya,' batinnya menebak.Perlahan ia mengangkat kepalanya, tanpa berani menatap wajah pria itu. "Untuk apa? Apa kamu pegawai rumah sakit?" sahut Zaskia ketus."Bukan, saya bukan pegawai rumah sakit. Hanya saja saya merasa seperti pernah bertemu kalian sebelum," jawab Fagan tanpa mengalihkan tatapannya pada wanita yang sejak tadi tak berani menatapnya.Sikap wanita ini lebih membuatnya curiga ketimbang gadis yang yang mencuri pandang padanya secara langsung. "Apa kamu tidak tahu jika di rumah sakit itu banyak virus penyakit? Jadi, wajar dong kami pakai masker," tambahnya memberi alasan. "Saya hanya ingin memastikan, apa kalian benar orang yang saya kenal atau bukan?" Fagan mengangkat satu alisnya merasa curiga pada
[Kata satpam Zura di rumah sakit, kenapa kamu gak ngasih tahu kami?][Kenapa kamu diam? Kalian di rumah sakit mana? Biar Mama sama Eyang Farida menyusul.] Kembali suara Kinanti terdengar memaksa, membuat Fagan semakin bingung. [Gak.... perlu Mah, tunggu di rumah saja. Nanti aku jelasin di rumah.] Tanpa menunggu jawaban dari Mamanya, Fagan langsung memutus sambungan telpon sepihak. Kesal, Fagan memukul stir mobilnya. "Zura.... Lihat apa yang akan aku lakukan padamu saat aku sudah menemukanmu," desisnya dengan nafas memburu. Fagan tidak pernah menyangka jika istrinya yang terlihat polos dan penurut itu berani kabur. Pasti ada yang membantunya, pikir Fagan. "Hampir saja lupa," gumam Fagan lantas kembali menghubungi seseorang."Halo Bi, hari ini jangan datang ke rumah saya. Dari rumah sakit langsung pulang saja, besok pagi baru Bibi datang sekalian bawa barang-barang istri saya," perintah Fagan pada Bi Minah melalui sambungan telpon.Sekitar tiga puluh menit Fagan sudah sampai di kedia
"Laporkan Fagan ke polisi atas kasus KDRT. Dengan begitu kamu juga bisa mengajukan gugatan cerai," Kata-kata Zaskia masih terus terngiang di pikiranku. Meski sudah seminggu yang lalu namun aku masih bimbang untuk mengambil keputusan. Bukan hanya karena perasaan tapi lebih ke menjaga nama baik kedua keluarga. Keluarga Rafiandra termasuk salah satu keluarga pengusaha yang cukup terkenal dan disegani di negara ini. Pasti berita tentang salah satu pewarisnya akan mudah sekali tersebar. Apalagi jika perceraian di iringi dengan berita KDRT, takutnya akan berimbas pada kedua perusahaan keluarga kami. Kemungkinan besar akan berdampak buruk pada perusahaan Arrasyid yang sekarang di jalankan oleh Papa. Aku bisa menutup mata jika itu hanya menyangkut papa. Sayangnya, perusahaan papa adalah warisan dari Eyang Rasyid, suami Eyang Farida. Bagaimanapun aku tidak boleh egois dan membahayakan perusahaan warisan kakekku sendiri. Bisa jadi nilai sahamnya akan turun drastis karena rumor perseteruan
tak teras sudah 3 bulan berlalu dan Meizura sudah kembali ke bangku kuliah. Sesuai harapannya, dia mendapat beasiswa penuh dari kampus. Untuk biaya hidupnya wanita berambut panjang itu bekerja di sebuah apotik dekat kampus. Setiap harinya dia bekerja dengan menyesuaikan jadwal kuliahnya. Beruntungnya, semua karyawan apotik adalah mahasiswa di kampus yang sama dengan Meizura. Jadi shift di bagi sesuai jadwal kuliah mereka. "Zura, nanti pulang kuliah aku ada acara ulang tahun Diandra. Kamu mau ikut? Dia juga mengundangmu," ucap Zaskia yang baru saja duduk di kursi meja makan. "Pulang kuliah aku harus kerja. Kamu aja aku nggak ikut. Tolong sampaikan permintaan maafku pada Diandra," jawab Zura sembari meletakkan sepiring nasi goreng di atas meja makan. "Pagi ini aku ingin sekali sarapan nasi goreng, kamu gak papa kan ikut sarapan nasi goreng?" sambungnya merasa tak enak.Zaskia menganggukkan kepalanya disertai dengan senyum ceria khasnya. "Apapun yang kamu buatkan akan aku makan sampai
Ketika aku membuka mata, terlihat sebuah ruangan yang di dominan warna putih dengan aroma disinfektan yang sangat menyengat, sampai-sampai terasa menusuk indra penciumanku. Aku yakin tebakanku benar,Ini rumah sakit. Kupejamkan mata berusaha mengingat kejadian sebelum aku pingsan. Hal terakhir yang bisa aku ingat, ketika aku hendak meminum segelas air pemberian Santi tiba-tiba kepalaku terasa pusing dan berat sampai akhirnya aku tidak sadarkan diri."Zura, kamu sudah sadar?" Suara Zaskia memasuki ruangan. "Ya Alloh, kamu bikin aku hampir jantungan." "Kok kamu di sini? Bukannya ada acara ulang tahun?" tanyaku beranjak bangun. "Mana mungkin aku senang-senang setelah mendapat telfon kalau kamu pingsan. Santi menelpon ku, katanya kamu pingsan dan dibawa ke rumah sakit sama Ardi." Zaskia bercerita. "Dimana sekarang Ardi? Aku mau bilang terima kasih.""Dia langsung balik begitu aku datang. Katanya, dia harus menutup apotik nanti dia kesini lagi." "Tidak perlu balik lagi. Aku juga mau p
Tak terasa kehamilanku sudah menginjak tujuh bulan. Dan hari ini akan diadakan tasyakuran tujuh bulanan calon anak kami. Aku begitu bahagia juga berdebar-debar menunggu hari kelahiran anak kami yang tinggal dua bulan lagi. Bukan tanpa alasan aku merasakan kegelisahan ini, dua kehamilanku sebelumnya tidak pernah sampai menginjak bulan ke tujuh. Mas Fagan yang nampak tenang pun sempat takut dan overprotective begitu Kehamilanku menginjak bulan kelima. Bulan dimana dua calon anak kami gugur dan kembali ke pangkuan ilahi tanpa sempat kami dekap. "Hati-hati jalannya, Sayang, jangan buru-buru! Tamunya juga gak akan pergi kok," tegur Mas Fagan saat aku buru-buru ke depan saat mendengar kedatangan Zaskia. "Iya, Mas, ini jalanya sudah pelan kok." Aku Memperlambat jalanku. Disamping karena teguran Mas Fagan juga karena tanganku yang di pegangnya. Pelan tapi pasti hubungan Papa dengan Papa mertuaku pun membaik. Di hari yang kaya orang Jawa di sebut tingkepan ini, keluarga besar kami benar-b
Hari-hari berlalu dengan sangat cepat. Perlahan zemuanya mulai membaik. Hari- hariku terasa penuh warna. Tidka lagi monoton dan penuh sandiwara.Hpir setiap pagi aku terbangun oleh suara Mas Fagan yang sedang muntah-muntah di dalam kamar mandi. Suara cukup keras sampai membuat seisi rumah terbangun tepat jam tiga pagi Ya, diambil baiknya saja, mungkin calon anak kami ingin orang tuanya beribadah di sepertiga malam. Dan anehnya, mual Mas Fagan akan hilang setelah kami berdua mengambil air wudhu untuk sholat sunah.Dan mualnya akan kembali setelah selesai sholat shubuh. Bukanlah itu pertanda. Anak kami pasti akan jadi anak sholeh nantinya.Meski begitu tersiksa dengan mual dan nyidam yang tiba-tiba saja dirasakannya. Namun tak sekalipun suamiku itu mengeluh atau menyalahkan kehamilanku. Mas Fagan begitu sabar dan ikhlas menjalani perannya. Ia bahkan selalu mengunci kamar mandi setiap kali muntah, takut aku menyusul masuk ke dalam katanya. "Sudah di atas ranjang saja, jangan ikut masu
Malamnya suster Erina langsung datang ke rumah bersama seorang bidan setelah siangnya mendapatkan telpon dari Mas Fagan. Perempuan berwajah tegas itu datang dengan membawa alat-alat medis yang tidak semuanya aku tahu namanya. Suster Erina dan dua orang perawat laki-laki menata alat-alat medis atas intruksi snag Bidan. Ya Alloh.... kenapa aku merasa akan menjadi pasien di rumahku sendiri. Aku hanya sedang hamil bukan habis kecelakaan dan sedang koma. Saat ini aku duduk bersandar di atas ranjang dengan Mas Fagan yang setia menemani sambil menggenggam satu tanganku. "Zenia, dengerin Sus, beliau ini teman Sus, namanya Bidan Hana. Dia akan memeriksa kondisimu. Jangan menolak!" Belum apa-apa Suster Erina sudah memberiku peringatan. Meski nadanya dibuat lembut tapi tatapannya itu tatapan tak ingin dibantah. Wanita ini bahkan lebih tegas dari Papa dan Mas Fagan. Aku mengangguk penuh kepasrahan. Sepatah kata penolakan dariku akan berbuntut panjang dan membuatku harus menjalani terapi len
Kurang lebih tiga puluh menit perjalanan kami sudah sampai di pelataran sebuah klinik terdekat dari rumah. Dengan dipegangi pak sopir di sisi kanan Mas Fagan dan aku di sisi kirinya. Kami turun dan menuju kursi tunggu. Sedangkan Bi Sarti lebih dulu turun dan langsung mendaftar di tempat pendaftaran. Di siang hari yang terik seperti saat ini suasana klinik yang nampak lengang, mungkin orang-orang lebih memilih datang di sore hari saat udara lebih sejuk. Hanya ada dua orang pasien yang menunggu antrian. Setelah menunggu sekitar dua puluh menit akhirnya namaku di panggil. Aku sedikit bingung, yang sakit Mas Fagan kenapa Bibi mendaftarkan namaku. "Sayang.... ini klinik bersalin tentu saja nama kamu yang di daftarkan Bibi." ujar Mas Fagan merangkulku lalu mengelus lembut lenganku.Lama-lama Mas Fagan sudah seperti Suster Erina yang bisa membaca isi hatiku. Dan sikapnya lembutnya selalu sukses membuat hatiku bergetar dan semakin merasa bergantung padanya. Kami pun akhirnya masuk dengan
Beberapa hari ini Mas Fagan kurang enak badan. Setiap pagi selepas sholat shubuh dia pasti akan muntah-muntah. padahal perutnya msih kosong. aku pikir itu asam lambung, aku mengajaknya ke dokter untuk periksa tapi bukan Mas Fagan jika tidak keras kepala. Laki-laki itu tegas menolak dan mengatakan akan segera membaik jika aku memanjakannya. Ada-ada saja suamiku ini. Memang ada penyakit yang sembuh hanya dengan dimanjakan? Pagi ini kondisinya semakin membuatku khawatir. Sejak pagi intensitas muntahnya makin sering sampai-sampai membuat tubuh kekarnya itu lemas.Dan sekarang hanya bisa berbaring di atas tempat tidur sambil memelukku. Tak sedetikpun aku di izinkan jauh darinya. Bahkan untuk sarapan aku sampai merepotkan Bi Sarti untuk mengantar ke kamar. Tak berhenti berdrama, sarapan pun aku harus membujuknya seperti anak kecil. Ya Alloh...... Mas. Melihatnya seperti ini membuatku teringat kondisiku ketika aku hamil anak pertama kami dulu. Saat itu aku begitu manja dan malas untuk
Pov Meizura. Setelah hari ke tujuh kematian Ardiaz, aku dan Mas Fagan kembali pulang ke rumah Eyang. Jakarta kota yang panas dan sangat bising membuatku tidak betah berlama-lama di sana. Bunda dan Mbak Zahra sangat sedih ketika kami memutuskan untuk pulang kembali ke rumah Eyang. Bunda berusaha membujukku untuk tetap tinggal namun aku menolak. Rasanya masih belum nyaman untuk bertemu dengan orang-orang yang berhubungan dengan masa laluku dan Mas Fagan. Dua hari yang lalu kami pulang dengan diantar Bunda. Beliau menginap satu hari sebelum kembali pulang karena harus mengurus Azqiara yang masih sekolah. Adik sambungku itu masih butuh pengawasan di usia peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Bunda dan Papa tidak oleh teledor mengingat pergaulan sekarang yang yang begitu bebas. Malam ini kulihat Mas Fagan nampak gelisah. Sejak tadi dia banyak melamun. Sama seperti saat ini, dengan bertelanjang dada, duduk melamun dengan laptop di pangkuannya.Setelah satu jam yang lalu pria jangkung
"Kalian merasa lega...?" sentak Mama dengan wajah sembab dan mata bengkak karena terlalu lama menangis. Segera aku beranjak bangun mundur dan berdiri didepan Zura saat Mama berusaha untuk berdiri. Tak akan kubiarkan siapapun menyentuhnya, termasuk Mama. Sudah cukup penderitaan yang selama ini Zura rasakan. Sebagai seorang suami aku harus lebih protect dan peka terhadap perasaannya. "Ma...." Papa menegur Mama. "Jangan asal bicara! Ingat baik-baik, apa kamu pernah melihat Zura menangis saat ada keluarga yang meninggal? Saat Oma Kasih meninggal dia juga tidak menangis." "Ingat, kamu sudah berjanji kan tadi?" Kembali Papa memberi peringatan Mama. Wajahnya nampak serius. Mama pun menurut, mendengus kasar lalu kembali menangis. "Tolong jangan benci Ardiaz,.. hiks...hikss. Semua salah Mama, Ardiaz tidak bersalah." Dengan sabar Tante Tia mengelus punggung dan lengan Mama. Adik bungsu Mama itu terus menasehati Mama untuk bisa tenang dan ikhlas dengan kepergian Putra keduanya. Tante Tia
Pagi ini selesai sarapan aku akan mengajak Meizura pergi ke makam kedua anak kami. Sudah lama sekali aku tidak kesana. Istriku terlihat lebih bersemangat pagi ini setelah aku mengatakan hendak berziarah ke makam putra dan putri kami. Sudah dari jam tujuh wanita berambut panjang itu duduk di sofa kamar dengan pakaian yang sudah rapi. Atasan lengan panjang berawarna hitam dipadukan dengan celana krem dan di sampingnya sudah ada kain segi empat berwarna senada dengan celana yang dipakainya. "Kita sarapan dulu," ajakku sambil mengulurkan tanganku kearahnya. Dengan senyum tipis, wanitaku ini langsung menyambutnya. Lekas kami turun menuju meja makan, dimana mertua dan saudara iparku sudah menunggu. Sejak kedatangan kami sampai hari ini keluarga mertuaku selalu menunggu kami saat waktu makan tiba. Entah itu sarapan atau makan malam mereka pasti sudah menunggu kami di meja makan dan mereka baru akan makan saat kami sudah ikut bergabung. Kehangatan begitu terasa diantara semua anggota kel
"Ardiaz kritis. Kondisinya menurun sejak kemarin malam," beritahu Mas Fagan begitu aku dan Bunda sampai di rumah sakit. Kami datang setelah Mas Fagan memintaku menyusulnya ke rumah sakit tentu dengan diantar Bunda. Tadi setelah Bibi menyampaikan pesan Mama Kinanti tentang kondisi Ardiaz, aku tak serta merta ingin datang ke rumah sakit. Kupikir Mama Kinanti menelpon untuk memberitahu Mas Fagan. Pastinya kedatanganku tak terlalu diharapkan setelah ucapanku beberapa hari yang lalu. Tapi ternyata aku salah, Mama Kinanti sengaja menelpon bukan untuk memberitahu Mas Fagan melainkan memintaku untuk datang. Jika bukan karena Mas Fagan yang menelpon dan memintaku menyusulnya mungkin aku tidak akan pernah datang. Mas Fagan sendiri langsung berangkat ke rumah sakit dari kantor. "Jangan berpikir yang tidak-tidak. Kondisi Ardiaz memang sudah memburuk sejak satu bulan lalu. Jadi tidak ada hubungannya dengan kedatangan kita seminggu yang lalu. Jangan dengarkan jika ada omongan yang tak enak." Ka