Sudah dua hari ini Meizura tinggal di rumah Zaskia. Ponselnya tak berhenti berdering sejak semalam. Hanya ketika ponselnya itu kehabisan daya baru panggilan masuk dari nomor Fagan berhenti.
Semalaman Fagan menelpon dan mengirim pesan berisi ancaman jika Meizura tidak segera pulang. Pri itu sepertinya mengira jika Meizura akan pergi menyusul Ardiaz ke luar negeri.[Pulang! Kamu masih istriku. Patuhlah atau kamu tahu apa yang bisa aku lakukan.][Pulang!!! Lihat apa yang aku lakukan!]Pesan Fagan kini disertai foto sebuah paspor dibakar.[Cepat pulang! Jangan menguji kesabaranku!]Beberapa isi pesan yang Fagan kirim ke ponsel Meizura. Namun, tak sedikit pun wanita berambut panjang itu ingin membalasnya. Saat ini yang dia inginkan hanya ketenangan."Pria itu gak capek apa telponin kamu mulu?" Zaskia mengambil duduk di sebelah Meizura."Dendam sudah menutup matanya sampai membuatnya tak memliki rasa lelah dan bosan," jawab Meizura masih dengan menatap layar televisi."Lalu apa rencanamu?""Aku akan meminta cerai secara baik-baik. Untuk sementara, aku akan merahasiakan masalah ini dari Eyang sampai ketemu waktu yang tepat aku akan menceritakannya," jawab Meizura tenang."Kamu yakin Fagan bersedia cerai secara baik-baik? Dilihat dari pertengkaran kalian kemarin saja, sudah bisa dipastikan pria sombong itu pasti akan menolak."Meizura menarik nafas panjang. "Kamu memang benar. Sepertinya, dia berpikir jika aku akan menjalin hubungan dengan Ardiaz begitu kami berpisah."Zaskia menoleh. "Apa mungkin dia sebenarnya mencintaimu?"'Mencintaiku? Tidak mungkin!!' Meizura membatin. Mengingat apa yang telah dilakukan pria itu pada dirinya, pemikiran itu ditepisnya jauh-jauh. " Tidak mungkin. Dia hanya tidak mau menanggung rasa malu untuk kedua kalinya."Zaskia mengangguk-anggukkan kepalanya, "Mungkin, kamu benar. Tak peduli dia cinta kamu atau tidak, asalkan kamu tidak mencintainya, aku bisa tenang.""Hemm...." Meizura mengangguk lalu tersenyum tipis. Mulut boleh berbohong, tapi hatinya mengakui ada rasa cinta yang sudah tumbuh di hatinya untuk seorang Fagan Zio Rafiandra.Drrtttt!Kembali ponsel Meizura berdering, namun kali ini nada dering nya berbeda. "Mbak Zahra... Jangan-jangan.."
"Cepat angkat! Mungkin penting?"[Halo Meizura? Kamu di mana?] Suara Zahra terdengar panik dan khawatir begitu panggilan diangkat.[Ada apa Mbak?] tanya balik Meizura dengan kening yang berkerut. .[Kamu bertengkar dengan Fagan? Sekarang, dia di rumah. Pulanglah! Jelaskan ada masalah apa? Jangan sampai Papa menemui Eyang.]Mata Meizura membulat. Ternyata, Fagan menemui papanya. Pria itu benar-benar menyulut amarah Meizura."Ada apa?" tanya Zaskia melihat Meizura mengeratkan giginya. Zaskia hafal sekali dengan ekspresi marah sahabatnya itu.[Suruh dia pulang atau aku sendiri yang akan menyeretnya pulang!!!!]Suara papanya terdengar penuh amarah.Kini Zahra membujuknya dengan berbisik. [Kamu dengar Papa marah besar? Cepatlah pulang bicarakan baik-baik. Aku percaya kamu punya alasan. Aku akan membelamu, tapi sekarang pulanglah dulu. Jangan libatkan Eyang.] [Iya, aku akan datang. Dua jam dari sekarang aku akan sampai.]Meizura memutuskan panggilan suara dengan kakak perempuannya itu. Jika sudah membawa nama Eyangnya, wanita itu tidak akan menolak."Kamu mau pulang?" Zaskia terlihat khawatir. "Biar aku antar.""Kapan kamu balik?" Bukannya menjawab, Meizura malah balik bertanya."Hah? Tiga hari lagi." Zaskia sedikit bingung."Baiklah. Antarkan aku tapi jangan ikut masuk. Mereka tidak boleh tahu jika kamu yang mengantarku. Sepertinya, rencanaku tidak akan berjalan lancar."Zaskia langsung mengangguk. Wanita itu tidak lagi bertanya. Meizura orang yang keras kepala, tapi penuh perhitungan. Dia tidak akan mengambil keputusan tanpa memikirkannya lebih dulu.Segera mereka berangkat menuju rumah Furqon dengan menggunakan mobil Zaskia.Sepanjang jalan, Meizura sibuk dengan ponselnya. Terlihat dia mengirim banyak pesan pada Adiba.
"Kamu sedang apa?" tanya Zaskia melirik Meizura yang sedang menulis di balik ujung kemeja bajunya."Fokus menyetir! Jangan sampai kita mati konyol karena rasa penasaranmu," jawab Meizura sembari sibuk menulis beberapa nomor telpon di ujung kemejanya."Ck.... aku cuma tanya sayang...." sahut Zaskia.Meizura menghela napas. "Aku sedang mempersiapkan kemungkinan terburuk.""Kamu memang tidak mengecewakan. Aku yakin kamu pasti bisa. Tulis nomorku dengan jelas!" puji Zaskia."Pasti."🍂🍂🍂Jalanan sedikit macet membuat kedatangan Meizura mundur dari perkiraan. Sepanjang perjalanan sudah tiga kali Zahra menelpon. Kakak kandung Meizura itu takut jika adiknya mengurungkan niatnya untuk pulang. Sedangkan di rumah papanya sudah mengamuk dan hendak menelpon Eyangnya untuk memaksa Meizura pulang.[Iya Mbak, ini aku sudah masuk kompleks perumahan. Lima menit lagi aku sampai,] pungkas Meizura sebelum menutup telpon Zahra yang ke empat kalinya."Astaga mereka gak sabaran banget," gerutu Zaskia."Berhenti di sini!" Meizura memberi perintah ketika mereka sampai di perempatan menuju gang rumah papanya. "Segera kamu pergi. Jangan sampai ada yang melihatmu. Tidak ada yang boleh tahu kita masih berhubungan," sambungnya sembari melingkarkan syal di lehernya untuk menutupi luka bekas cekikan tangan Fagan.Untuk saat ini dia tidak ingin menggunakan bekas luka di lehernya. Ada saatnya nanti dia akan menggunakannya untuk menghancurkan Fagan."Ingat kalau ada apa-apa aku harus jadi orang pertama yang kamu hubungi." Zaskia menahan lengan sahabatnya."Pasti. Makasih," jawab Meizura lalu membuka pintu mobil dan keluar.Ditariknya nafas panjang lalu berjalan menuju rumah paling besar di gang itu. Seorang pria berbaju security langsung membukakan pintu gerbang begitumelihat anak kedua majikannya datang."Makasih," ucap Meizura pada pak satpam, "rumah mewah yang menyedihkan."Meizura kini menghentikan langkah kakinya sejenak menatap rumah megah milik papanya.
Dengan ekspresi tenang, perempuan itu melangkah memasuki ruang tamu. Sudah ada empat orang yang sudah menunggunya dengan wajah tegang--Furqon, Sarah, Zahra dan Fagan.Zahra langsung berlari mendekat begitu Meizura masuk."Astaga muka kamu?!" pekik Zahra melihat bekas memar di wajah sang adik. "Apa yang sudah Fagan lakukan....?"Zahra kembali duduk di tempatmu!" Suara tegas Furgon tiba-tiba terdengar. "Adikmu itu memang pantas dipukul! Dari dulu, dia memang susah diatur!"Duar.......Kalimat Furqon bak bom atom yang meluluhlantakkan hati Meizura. Seorang ayah rela anaknya dipukul? Ayah macam apa itu?Satu sudut bibir Meizura tertarik, sebuah senyum sinis menghiasi wajah dingin wanita cantik itu. "Papa benar. Aku tidak suka diatur. Jadi jangan ada yang mengaturku," sahut Meizura, "Aku ingin bercerai!"🍂🍂🍂Ucapan Meizura langsung membuat empat orang itu melebarkan matanya kaget. Terlebih Fagan, pria itu langsung berdiri dengan tangan mengepal kuat. Dia tidak menyangka ancamannya kemarin tidak sedikitpun membuat istrinya itu takut. "Tidak. Aku tidak akan menceraikan kamu," tegas Fagan. "Aku sama sekali tidak peduli. Yang pasti aku tidak ingin hidup dengan pria munafik seperti kamu," ujar Meizura dengan tatapan menantang. Perlahan tangannya membenarkan syal di lehernya untuk memberi isyarat pada Fagan jika dirinya masih memiliki satu senjata untuk melawan pria itu"Zura!!!" bentak Furqon. "Jaga ucapan dan sikapmu. Fagan itu suamimu kamu harus menghormatinya." Wajah Furqon sudah memerah karena marah. Tangannya mengepal kuat sampai membuat kuku-kuku jarinya memutih. Sarah yang duduk di samping Furqon tak melepaskan tangannya dari lengan pria itu. Wanita itu takut jika suaminya akan lepas kontrol dan memukul anak tirinya itu. "Pa, biar aku bicara dulu sama Zura. Dia pasti punya alasan.
Pov Meizura. "Khemm.... Aku lapar.... Kita mampir dulu cari makan," ucap Mas Fagan tiba-tiba."Kamu mau makan apa?" tanyanya tapi tak kuhiraukan, aku tetap membisu dan mengarahkan pandanganku ke luar jendela."Aku bertanya sama kamu. Kamu gak tuli kan?" Mas Fagan menghentikan mobilnya di pinggir jalan. "Aku tuli." Aku menoleh, "Telingaku tidak bisa mendengar suara orang yang bermuka dua," Seketika rahang Mas Fagan mengeras dan matanya melotot tajam padaku. Kuangkat satu sudut bibirku, puas sekali aku melihat ekspresi kemarahannya."Kamu......" geramnya."Aku tak peduli." Aku kembali mengarahkan tatapanku keluar jendela. Terdengar Mas Fagan menghembuskan nafas kasar beberapa kali. Mungkin dia sedang berusaha menghilangkan emosinya yang sempat tersulut karena ucapanku. Ini baru awal, mulai sekarang kamu akan tahu seperti apa aslinya Zenia Meizura Humayra itu. "Tadi kamu sudah lihat sendiri, bahkan papamu saja tidak membelamu. Jadi, bersikap baiklah atau kamu akan benar-benar kehila
"Nyonya..... Nyonya sudah sadar?" Bik Minah.... Dialah orang pertama yang aku lihat begitu membuka mata. Wanita paruh baya itu berdiri di sisi ranjang. Ada aroma disinfektan dan obat-obatan yang menyengat memasuki indera penciumanku. Sepertinya aku berada di rumah sakit. "Alhamdulillah..... Nyonya sudah sadar," ucap Bik Minah bersyukur sembari mengelus kepalaku pelan."Sekarang Nyonya berada di rumah sakit. Kata Tuan Fagan semalam Nyonya jatuh dari tangga," beritahu nya tanpa kuminta. Aku memejamkan mata berusaha mengingat apa yang terjadi. Deghh...... Tiba-tiba jantungku terasa di remas-remas mengingat kejadian semalam. Ya aku terjatuh dari tangga dan itu karena Mas Fagan yang mendorongku. "Kepala Nyonya luka karena terbentur lantai. Kakinya juga, kata Tuan harus di perban untuk beberapa hari sampai otot dan tulang kembali normal," sambungnya menjelaskan keadaanku sekarang. Lalu dimana pria itu sekarang? Kualihkan pandanganku ke sekeliling. Harusnya dia berada disini? Pria itu
"Coba tebak, apa yang ingin aku lakukan?" ucapnya dengan senyum mesum yang menghiasi bibirnya. Jangan-jangan.....?"Sudah lima hari kita tidak tidur satu ranjang. Dan malam ini......" Apa dia sudah gila? Ini di rumah sakit, apa dia tidak melihat kepala dan kakiku yang masih di perban? Setidaknya dia harus punya rasa malu kalau sampai ada dokter jaga yang datang untuk memeriksa keadaanku. "Aku ingin meminta hakku sebagai suamimu." Mataku membulat saat dia melempar kemejanya lalu beralih membuka ikat pinggangnya. "Apa kamu sudah gila? Sekarang kita di rumah sakit." Aku beranjak bangun. "Lagi pula kamu tidak lagi punya hak setelah apa yang kamu lakukan padaku.""Selama kamu masih berstatus sebagai istriku, aku tetap satu-satunya orang yang berhak menyentuhmu," kekehnya tak bisa di bantah. Ya Tuhan...... dia benar-benar melucuti semua pakaian yang melekat di tubuhnya. Satu-satunya kelemahan Mas Fagan adalah tidak bisa menahan nafsunya. Jika di luar ia terlihat dingin akan tatapi seb
Ceklek... "Meizura...." Terdengar suara seseorang bersamaan dengan pintu terbuka. "Hah.." Dengan cepat Meizura memutar tubuhnya. "Astaga..." pekik Meizura sambil mendengus kasar. ""Kenapa?" tanya Zaskia kebingungan sambil menoleh ke kanan kiri. "Ya Alloh.... kamu ngagetin aja! Hampir saja jantungku copot," gerutunya sambil mengelus dadanya. "Maaf... maaf, tadi aku pikir salah kamar." Buru-buru Zaskia menjelaskan. "Ya Alloh kepala dan kaki kamu kenapa di perban?" tanyanya dengan mata berkaca-kaca sambil memeriksa keadaan sahabatnya itu. Baru juga dua hari mereka tidak bertemu dan kini keadaan sahabatnya itu lebih buruk dari saat mereka bertemu beberapa hari sebelumnya. "Ceritanya panjang. Tolong bantu aku jalan, kita harus cepat pergi dari sini sebelum Bi Minah kembali." Meizura mengulurkan tangannya. "Sebentar, aku bawa kursi roda." Zaskia berlari keluar untuk mengambil kursi roda yang ia letakkan di depan kamar. Dengan hati-hati Zaskia membatu Meizura untuk duduk di atas kur
"Bisa buka masker kalian!" Fagan beralih ke depan Meizura. Meizura spontan menutup matanya, menahan kesal bercampur panik. Insting pria itu memang sangat kuat, hanya dengan melihat gerakan tubuh orang ia bisa mendeteksi sesuatu yang tidak wajar. 'Pasti Zaskia melihat matanya,' batinnya menebak.Perlahan ia mengangkat kepalanya, tanpa berani menatap wajah pria itu. "Untuk apa? Apa kamu pegawai rumah sakit?" sahut Zaskia ketus."Bukan, saya bukan pegawai rumah sakit. Hanya saja saya merasa seperti pernah bertemu kalian sebelum," jawab Fagan tanpa mengalihkan tatapannya pada wanita yang sejak tadi tak berani menatapnya.Sikap wanita ini lebih membuatnya curiga ketimbang gadis yang yang mencuri pandang padanya secara langsung. "Apa kamu tidak tahu jika di rumah sakit itu banyak virus penyakit? Jadi, wajar dong kami pakai masker," tambahnya memberi alasan. "Saya hanya ingin memastikan, apa kalian benar orang yang saya kenal atau bukan?" Fagan mengangkat satu alisnya merasa curiga pada
[Kata satpam Zura di rumah sakit, kenapa kamu gak ngasih tahu kami?][Kenapa kamu diam? Kalian di rumah sakit mana? Biar Mama sama Eyang Farida menyusul.] Kembali suara Kinanti terdengar memaksa, membuat Fagan semakin bingung. [Gak.... perlu Mah, tunggu di rumah saja. Nanti aku jelasin di rumah.] Tanpa menunggu jawaban dari Mamanya, Fagan langsung memutus sambungan telpon sepihak. Kesal, Fagan memukul stir mobilnya. "Zura.... Lihat apa yang akan aku lakukan padamu saat aku sudah menemukanmu," desisnya dengan nafas memburu. Fagan tidak pernah menyangka jika istrinya yang terlihat polos dan penurut itu berani kabur. Pasti ada yang membantunya, pikir Fagan. "Hampir saja lupa," gumam Fagan lantas kembali menghubungi seseorang."Halo Bi, hari ini jangan datang ke rumah saya. Dari rumah sakit langsung pulang saja, besok pagi baru Bibi datang sekalian bawa barang-barang istri saya," perintah Fagan pada Bi Minah melalui sambungan telpon.Sekitar tiga puluh menit Fagan sudah sampai di kedia
"Laporkan Fagan ke polisi atas kasus KDRT. Dengan begitu kamu juga bisa mengajukan gugatan cerai," Kata-kata Zaskia masih terus terngiang di pikiranku. Meski sudah seminggu yang lalu namun aku masih bimbang untuk mengambil keputusan. Bukan hanya karena perasaan tapi lebih ke menjaga nama baik kedua keluarga. Keluarga Rafiandra termasuk salah satu keluarga pengusaha yang cukup terkenal dan disegani di negara ini. Pasti berita tentang salah satu pewarisnya akan mudah sekali tersebar. Apalagi jika perceraian di iringi dengan berita KDRT, takutnya akan berimbas pada kedua perusahaan keluarga kami. Kemungkinan besar akan berdampak buruk pada perusahaan Arrasyid yang sekarang di jalankan oleh Papa. Aku bisa menutup mata jika itu hanya menyangkut papa. Sayangnya, perusahaan papa adalah warisan dari Eyang Rasyid, suami Eyang Farida. Bagaimanapun aku tidak boleh egois dan membahayakan perusahaan warisan kakekku sendiri. Bisa jadi nilai sahamnya akan turun drastis karena rumor perseteruan
Tak terasa kehamilanku sudah menginjak tujuh bulan. Dan hari ini akan diadakan tasyakuran tujuh bulanan calon anak kami. Aku begitu bahagia juga berdebar-debar menunggu hari kelahiran anak kami yang tinggal dua bulan lagi. Bukan tanpa alasan aku merasakan kegelisahan ini, dua kehamilanku sebelumnya tidak pernah sampai menginjak bulan ke tujuh. Mas Fagan yang nampak tenang pun sempat takut dan overprotective begitu Kehamilanku menginjak bulan kelima. Bulan dimana dua calon anak kami gugur dan kembali ke pangkuan ilahi tanpa sempat kami dekap. "Hati-hati jalannya, Sayang, jangan buru-buru! Tamunya juga gak akan pergi kok," tegur Mas Fagan saat aku buru-buru ke depan saat mendengar kedatangan Zaskia. "Iya, Mas, ini jalanya sudah pelan kok." Aku Memperlambat jalanku. Disamping karena teguran Mas Fagan juga karena tanganku yang di pegangnya. Pelan tapi pasti hubungan Papa dengan Papa mertuaku pun membaik. Di hari yang kaya orang Jawa di sebut tingkepan ini, keluarga besar kami benar-b
Hari-hari berlalu dengan sangat cepat. Perlahan zemuanya mulai membaik. Hari- hariku terasa penuh warna. Tidka lagi monoton dan penuh sandiwara.Hpir setiap pagi aku terbangun oleh suara Mas Fagan yang sedang muntah-muntah di dalam kamar mandi. Suara cukup keras sampai membuat seisi rumah terbangun tepat jam tiga pagi Ya, diambil baiknya saja, mungkin calon anak kami ingin orang tuanya beribadah di sepertiga malam. Dan anehnya, mual Mas Fagan akan hilang setelah kami berdua mengambil air wudhu untuk sholat sunah.Dan mualnya akan kembali setelah selesai sholat shubuh. Bukanlah itu pertanda. Anak kami pasti akan jadi anak sholeh nantinya.Meski begitu tersiksa dengan mual dan nyidam yang tiba-tiba saja dirasakannya. Namun tak sekalipun suamiku itu mengeluh atau menyalahkan kehamilanku. Mas Fagan begitu sabar dan ikhlas menjalani perannya. Ia bahkan selalu mengunci kamar mandi setiap kali muntah, takut aku menyusul masuk ke dalam katanya. "Sudah di atas ranjang saja, jangan ikut masu
Malamnya suster Erina langsung datang ke rumah bersama seorang bidan setelah siangnya mendapatkan telpon dari Mas Fagan. Perempuan berwajah tegas itu datang dengan membawa alat-alat medis yang tidak semuanya aku tahu namanya. Suster Erina dan dua orang perawat laki-laki menata alat-alat medis atas intruksi snag Bidan. Ya Alloh.... kenapa aku merasa akan menjadi pasien di rumahku sendiri. Aku hanya sedang hamil bukan habis kecelakaan dan sedang koma. Saat ini aku duduk bersandar di atas ranjang dengan Mas Fagan yang setia menemani sambil menggenggam satu tanganku. "Zenia, dengerin Sus, beliau ini teman Sus, namanya Bidan Hana. Dia akan memeriksa kondisimu. Jangan menolak!" Belum apa-apa Suster Erina sudah memberiku peringatan. Meski nadanya dibuat lembut tapi tatapannya itu tatapan tak ingin dibantah. Wanita ini bahkan lebih tegas dari Papa dan Mas Fagan. Aku mengangguk penuh kepasrahan. Sepatah kata penolakan dariku akan berbuntut panjang dan membuatku harus menjalani terapi len
Kurang lebih tiga puluh menit perjalanan kami sudah sampai di pelataran sebuah klinik terdekat dari rumah. Dengan dipegangi pak sopir di sisi kanan Mas Fagan dan aku di sisi kirinya. Kami turun dan menuju kursi tunggu. Sedangkan Bi Sarti lebih dulu turun dan langsung mendaftar di tempat pendaftaran. Di siang hari yang terik seperti saat ini suasana klinik yang nampak lengang, mungkin orang-orang lebih memilih datang di sore hari saat udara lebih sejuk. Hanya ada dua orang pasien yang menunggu antrian. Setelah menunggu sekitar dua puluh menit akhirnya namaku di panggil. Aku sedikit bingung, yang sakit Mas Fagan kenapa Bibi mendaftarkan namaku. "Sayang.... ini klinik bersalin tentu saja nama kamu yang di daftarkan Bibi." ujar Mas Fagan merangkulku lalu mengelus lembut lenganku.Lama-lama Mas Fagan sudah seperti Suster Erina yang bisa membaca isi hatiku. Dan sikapnya lembutnya selalu sukses membuat hatiku bergetar dan semakin merasa bergantung padanya. Kami pun akhirnya masuk dengan
Beberapa hari ini Mas Fagan kurang enak badan. Setiap pagi selepas sholat shubuh dia pasti akan muntah-muntah. padahal perutnya msih kosong. aku pikir itu asam lambung, aku mengajaknya ke dokter untuk periksa tapi bukan Mas Fagan jika tidak keras kepala. Laki-laki itu tegas menolak dan mengatakan akan segera membaik jika aku memanjakannya. Ada-ada saja suamiku ini. Memang ada penyakit yang sembuh hanya dengan dimanjakan? Pagi ini kondisinya semakin membuatku khawatir. Sejak pagi intensitas muntahnya makin sering sampai-sampai membuat tubuh kekarnya itu lemas.Dan sekarang hanya bisa berbaring di atas tempat tidur sambil memelukku. Tak sedetikpun aku di izinkan jauh darinya. Bahkan untuk sarapan aku sampai merepotkan Bi Sarti untuk mengantar ke kamar. Tak berhenti berdrama, sarapan pun aku harus membujuknya seperti anak kecil. Ya Alloh...... Mas. Melihatnya seperti ini membuatku teringat kondisiku ketika aku hamil anak pertama kami dulu. Saat itu aku begitu manja dan malas untuk
Pov Meizura. Setelah hari ke tujuh kematian Ardiaz, aku dan Mas Fagan kembali pulang ke rumah Eyang. Jakarta kota yang panas dan sangat bising membuatku tidak betah berlama-lama di sana. Bunda dan Mbak Zahra sangat sedih ketika kami memutuskan untuk pulang kembali ke rumah Eyang. Bunda berusaha membujukku untuk tetap tinggal namun aku menolak. Rasanya masih belum nyaman untuk bertemu dengan orang-orang yang berhubungan dengan masa laluku dan Mas Fagan. Dua hari yang lalu kami pulang dengan diantar Bunda. Beliau menginap satu hari sebelum kembali pulang karena harus mengurus Azqiara yang masih sekolah. Adik sambungku itu masih butuh pengawasan di usia peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Bunda dan Papa tidak oleh teledor mengingat pergaulan sekarang yang yang begitu bebas. Malam ini kulihat Mas Fagan nampak gelisah. Sejak tadi dia banyak melamun. Sama seperti saat ini, dengan bertelanjang dada, duduk melamun dengan laptop di pangkuannya.Setelah satu jam yang lalu pria jangkung
"Kalian merasa lega...?" sentak Mama dengan wajah sembab dan mata bengkak karena terlalu lama menangis. Segera aku beranjak bangun mundur dan berdiri didepan Zura saat Mama berusaha untuk berdiri. Tak akan kubiarkan siapapun menyentuhnya, termasuk Mama. Sudah cukup penderitaan yang selama ini Zura rasakan. Sebagai seorang suami aku harus lebih protect dan peka terhadap perasaannya. "Ma...." Papa menegur Mama. "Jangan asal bicara! Ingat baik-baik, apa kamu pernah melihat Zura menangis saat ada keluarga yang meninggal? Saat Oma Kasih meninggal dia juga tidak menangis." "Ingat, kamu sudah berjanji kan tadi?" Kembali Papa memberi peringatan Mama. Wajahnya nampak serius. Mama pun menurut, mendengus kasar lalu kembali menangis. "Tolong jangan benci Ardiaz,.. hiks...hikss. Semua salah Mama, Ardiaz tidak bersalah." Dengan sabar Tante Tia mengelus punggung dan lengan Mama. Adik bungsu Mama itu terus menasehati Mama untuk bisa tenang dan ikhlas dengan kepergian Putra keduanya. Tante Tia
Pagi ini selesai sarapan aku akan mengajak Meizura pergi ke makam kedua anak kami. Sudah lama sekali aku tidak kesana. Istriku terlihat lebih bersemangat pagi ini setelah aku mengatakan hendak berziarah ke makam putra dan putri kami. Sudah dari jam tujuh wanita berambut panjang itu duduk di sofa kamar dengan pakaian yang sudah rapi. Atasan lengan panjang berawarna hitam dipadukan dengan celana krem dan di sampingnya sudah ada kain segi empat berwarna senada dengan celana yang dipakainya. "Kita sarapan dulu," ajakku sambil mengulurkan tanganku kearahnya. Dengan senyum tipis, wanitaku ini langsung menyambutnya. Lekas kami turun menuju meja makan, dimana mertua dan saudara iparku sudah menunggu. Sejak kedatangan kami sampai hari ini keluarga mertuaku selalu menunggu kami saat waktu makan tiba. Entah itu sarapan atau makan malam mereka pasti sudah menunggu kami di meja makan dan mereka baru akan makan saat kami sudah ikut bergabung. Kehangatan begitu terasa diantara semua anggota kel
"Ardiaz kritis. Kondisinya menurun sejak kemarin malam," beritahu Mas Fagan begitu aku dan Bunda sampai di rumah sakit. Kami datang setelah Mas Fagan memintaku menyusulnya ke rumah sakit tentu dengan diantar Bunda. Tadi setelah Bibi menyampaikan pesan Mama Kinanti tentang kondisi Ardiaz, aku tak serta merta ingin datang ke rumah sakit. Kupikir Mama Kinanti menelpon untuk memberitahu Mas Fagan. Pastinya kedatanganku tak terlalu diharapkan setelah ucapanku beberapa hari yang lalu. Tapi ternyata aku salah, Mama Kinanti sengaja menelpon bukan untuk memberitahu Mas Fagan melainkan memintaku untuk datang. Jika bukan karena Mas Fagan yang menelpon dan memintaku menyusulnya mungkin aku tidak akan pernah datang. Mas Fagan sendiri langsung berangkat ke rumah sakit dari kantor. "Jangan berpikir yang tidak-tidak. Kondisi Ardiaz memang sudah memburuk sejak satu bulan lalu. Jadi tidak ada hubungannya dengan kedatangan kita seminggu yang lalu. Jangan dengarkan jika ada omongan yang tak enak." Ka