"Kamu Aruna, kan, istrinya Bang Aldi?" ucap dia lagi menunjukku. "Iya, saya istrinya Bang Aldi.""Kok, sama pria lain? Kamu selingkuh?" Aku terkejut dengan tuduhannya. "Aduh ... kasihan sekali Bang Aldi. Dulu, berpisah karena diselingkuhi. Sekarang pun istrinya main gila dengan pria lain.""Heh, dijaga, ya ucapannya! Gua sama Aruna enggak punya hubungan apa pun. Dia datang ke sini untuk makan, bukan jadi selingkuhan!" Yoga berdiri seraya bicara penuh penekanan kepada laki-laki yang tak lain mantan suami iparku. Iya, dia Haikal. Masa lalu Alina yang tiba-tiba datang menuduhku yang bukan-bukan. "Sudah, Ga. Biarkan saja. Lebih baik kamu bekerja dan bawakan makanan yang aku mau. Tidak usah meladeni dia," kataku agar ketegangan tidak terus berlanjut. Yoga pergi dengan membawa catatan menu makanan yang kumau. Sedangkan Haikal, dia malah duduk di kursi yang tadi ditempati Yoga. "Aku minta maaf jika kata-kataku barusan menyinggungmu. Aku sengaja membuat dia pergi biar kita bisa bicara e
"Obatnya gak diminum?" Aku menoleh ke arah Aldi yang memeriksa obat dari dokter yang belum aku sentuh. Sepulangnya dari restoran tadi, aku tidur hingga suamiku datang. Aku bahkan belum memakan makanan yang dibeli dari restoran tempat Yoga bekerja. "Kenapa gak diminum?" tanya Aldi lagi. "Aku ... lupa, Bang.""Lupa apa sengaja?" Aku hanya menunduk enggan menjawab. Sedangkan suamiku, dia keluar dari kamar dengan membawa obatku. Sepertinya Aldi marah dan kesal karen aku tidak melakukan pesan yang dia berikan sebelum pergi tadi. Namun, dugaanku salah. Aldi kembali ke kamar dengan membawa nampan. Dia meletakkan nampan yang ternyata berisikan nasi dan lauk, beserta beberapa butir obat yang sudah dikeluarkan dari bungkusnya. "Makan, terus makan obat. Aku tidak mau ada penolakan darimu," tuturnya dingin. Kali ini aku tidak menolak. Wajah Aldi sudah berubah dingin, itu artinya dia tengah serius. Sebagai istri yang paham akan sifat suami, aku memilih melakukan apa yang dia inginkan darip
Satu minggu telah berlalu dari pemecatan masal gara-gara kecurangan karyawan di pabrik Papa. Keamanan semakin diperketat, pantauan semakin ditingkatkan. Sebagai orang baru yang berhasil membuka kedok para penjilat, aku menjadi semakin percaya diri untuk bisa memajukan usaha Papa ini. Apalagi, sekarang aku sangat disegani di sini. Tidak ada yang berani membantah, apalagi berkata tidak saat aku menyuruh. Dan aku bukan tipikal orang yang suka basa-basi. Jika salah, ya salah. Jika aku tidak suka, akan mengatakannya langsung, bukan menyindir apalagi membicarakan di belakang. "Bajumu terlalu ketat, secepatnya ganti, atau posisi kamu akan saya gantikan dengan orang baru," ujarku pada salah satu karyawati yang memakai baju teramat sangat mencetak di tubuh.Dua gundukan di dadanya terlihat menonjol, dengan kancing kemeja yang terbuka sedikit. Dia pun tidak memakai kaus dalam, hanya bra dengan warna marun yang terlihat hingga luar. "Ba–baik, Bu." Wanita itu mengangguk. Aku risih melihatny
"Ak–aku ....""Kita akan konsultasi," ucap Bang Aldi menjawab pertanyaan adiknya. "Oh .... Yasudah, cepat masuk. Mumpung lagi gak ada pasien lain. Aku yang temenin, ya? Biar Bang Aldi sama Mas Adi saja tunggu di sini.""Enggak. Aku yang ke dalam nemenin Aruna."Bang Aldi menolak usulan adiknya. Dia menarik tanganku pelan, lalu kami masuk ke dalam ruangan dokter kandungan. Gugup, takut, itu yang aku rasakan hingga keringat mulai keluar dari pori-pori tubuhku. "Santai, Bu," ucap dokter seperti memahami perasaanku. Suamiku langsung menoleh ke arahku yang duduk di sampingnya. Dia mengelus punggung ini seraya membisikkan kata untuk menenangkanku. "Tenanglah, Sayang .... Apa pun yang terjadi, aku ada di sini."Aku berdehem, lalu mengikuti arahan dokter untuk melakukan tes urin lagi. Setelahnya, aku diarahkan untuk berbaring di tempat pemeriksaan. Tes urin yang kedua ini sama seperti yang aku lakukan di klinik waktu itu. Hasilnya positif, tapi aku masih tidak mau percaya. Belum, lebih
"Kalian sudah datang?" Mama menyambut kami dengan wajah sendu. Sedangkan di atas ranjang, Papa sedang diperiksa oleh dokter langganan keluarga Dinata Wiratmadja. "Kami baru saja datang, Mah. Gimana keadaan Papa?" tanyaku seraya mengahmpiri Mama yang duduk di pinggir ranjang. "Begitulah, dari tadi Papa mengeluhkan sakit dada, makanya menyuruh kalian datang."Dokter memberikan beberapa butir obat untuk diminum Papa. Setelahnya, dokter yang usianya hampir sebaya dengan Papa, pamit pulang dengan diantar supir. Aldi duduk di samping ayahnya, lalu memijit pelan tangan pria yang hanya berbaring di tempat tidur. "Sebaiknya Papa ke rumah sakit, ya? Biar dirawat hingga benar-benar sembuh."Papa menggelengkan kepala menolak usulan putranya. Detik berikutnya, Papa beringsut duduk dengan dibantu Aldi. "Ah ... tidak usah. Nanti juga Papa akan sembuh. Papa hanya kesepian saja, ingin dikunjungi kalian," tutur Papa seraya terkekeh pelan. "Papa itu harus sehat, harus kuat. Soalnya ... Papa mau n
Esok harinya, aku dan Aldi sudah siap untuk pergi ke pesta pernikahan Naima. Meskipun semalam kami menginap di rumah Mama, tapi tadi pagi kami pulang dan sekarang sudah mau pergi lagi. "Ada yang ketinggalan, gak?" tanya Aldi saat kami hendak keluar dari kamar. "Enggak ada, Bang.""Kado?" tanya Aldi lagi. Aku menepuk jidat karena dua benda penting yang harusnya kami bawa, ketinggalan. Aku pun bergegas mengambil dua kotak berhiaskan pita merah muda, lalu kembali menghampiri Aldi. "Ini, Bang. Hampir, saja ketinggalan.""Kalau aku gak inget, mungkin kita akan bolak-balik, Run."Aku membenarkan ucapan suamiku yang sudah berjalan terlebih dahulu. Sesampainya di mobil, Aldi menyimpan kado di kursi belakang, lalu dia mulai menyalakan mesin mobilnya. "Bang, Papa kuat, gak ya, pergi ke gedung?" tanyaku lagi setelah mobil mulai berjalan. "Pasti kuat, Run. Semalam saja dia sudah becanda dengan Syakir, kan? Aku yakin, Papa tidak akan meninggalkan momen ini. Naima sudah Papa anggap seperti p
"Tolong jangan katakan apa pun pada Mas Ammar tentangku yang mengetahui kebenaran dirinya."Aku dan Aldi saling pandang, lalu mengangguk pelan menjawab bisikan Naima ketika kami tengah berfoto. Saat ini di pelaminan hanya ada Naima. Sedangkan pengantin pria, ia tengah ke toilet. Naima meminta kami untuk merahasiakan tentang suaminya itu. Dia juga meminta Aldi, untuk tidak lagi menemani Ammar berobat. Itu semua dia lakukan agar Ammar bercerita pada dia, dan masalah yang ada pada diri Ammar bisa dibagi dengan istrinya. "Maaf, ya? Aku lama di belakang," tutur Ammar yang kembali ke pelaminan. "Tidak apa-apa, kita santai, kok." Aldi menjabat tangan Ammar, lalu mereka berpelukan layaknya saudara. Beberapa saat berbasa-basi di atas pelaminan bersama pengantin, kami pun sudah berfoto dengan mereka, aku dan Aldi turun. Membiarkan tamu undangan lainnya untuk memberikan ucapan selamat kepada ke dua mempelai. Hidangan yang tersaji di meja perasmanan tidak ada yang membuatku berselera. Hingg
"Run."Aku tidak menoleh ataupun menjawab panggilan Aldi. Tanganku sibuk menyuapkan makanan ke dalam mulut tanpa peduli dengan dia yang baru saja masuk seraya menentang sesuatu. Sebenarnya aku tidak lapar. Rasa ingin makan pun hilang berganti dengan rasa sakit hati karena ucapan Aldi. Akan tetapi, aku memikirkan janin yang ada di dalam perutku. Aku tidak mau anakku kekurangan gizi karena aku yang tidak mengkonsumsi makanan sehat. Meskipun dengan air mata yang berlinang, aku terus memakan sayur bening yang aku buat subuh tadi. Aku hanya menghangatkannya sebentar agar tidak terlalu dingin di lidah."Kamu makan apa? Ini aku bawakan ikan bakar kesukaanmu," ujar Aldi lagi. Dia menyimpan tentengannya di atas meja, kemudian membuka kotak makanan hingga bau ikan bakar tercium begitu menggiurkan. Namun, egoku terlalu tinggi hingga tidak ada niatan sama sekali untukku menikmati makanan yang Aldi suguhkan. Aku marah pada dia yang mengataiku kekanak-kanakan. "Runa, kamu marah padaku?" tany