Beranda / Romansa / Membalas Kesombongan Mantan / 332 permintaan Haikal

Share

332 permintaan Haikal

Penulis: Pena_yuni
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Kamu Aruna, kan, istrinya Bang Aldi?" ucap dia lagi menunjukku.

"Iya, saya istrinya Bang Aldi."

"Kok, sama pria lain? Kamu selingkuh?" Aku terkejut dengan tuduhannya. "Aduh ... kasihan sekali Bang Aldi. Dulu, berpisah karena diselingkuhi. Sekarang pun istrinya main gila dengan pria lain."

"Heh, dijaga, ya ucapannya! Gua sama Aruna enggak punya hubungan apa pun. Dia datang ke sini untuk makan, bukan jadi selingkuhan!"

Yoga berdiri seraya bicara penuh penekanan kepada laki-laki yang tak lain mantan suami iparku.

Iya, dia Haikal. Masa lalu Alina yang tiba-tiba datang menuduhku yang bukan-bukan.

"Sudah, Ga. Biarkan saja. Lebih baik kamu bekerja dan bawakan makanan yang aku mau. Tidak usah meladeni dia," kataku agar ketegangan tidak terus berlanjut.

Yoga pergi dengan membawa catatan menu makanan yang kumau. Sedangkan Haikal, dia malah duduk di kursi yang tadi ditempati Yoga.

"Aku minta maaf jika kata-kataku barusan menyinggungmu. Aku sengaja membuat dia pergi biar kita bisa bicara e
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (1)
goodnovel comment avatar
sazliwaty said
Aruna dh berubah jangan di ganggu hidupnya haikal
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 333 Haikal kaya raya?

    "Obatnya gak diminum?" Aku menoleh ke arah Aldi yang memeriksa obat dari dokter yang belum aku sentuh. Sepulangnya dari restoran tadi, aku tidur hingga suamiku datang. Aku bahkan belum memakan makanan yang dibeli dari restoran tempat Yoga bekerja. "Kenapa gak diminum?" tanya Aldi lagi. "Aku ... lupa, Bang.""Lupa apa sengaja?" Aku hanya menunduk enggan menjawab. Sedangkan suamiku, dia keluar dari kamar dengan membawa obatku. Sepertinya Aldi marah dan kesal karen aku tidak melakukan pesan yang dia berikan sebelum pergi tadi. Namun, dugaanku salah. Aldi kembali ke kamar dengan membawa nampan. Dia meletakkan nampan yang ternyata berisikan nasi dan lauk, beserta beberapa butir obat yang sudah dikeluarkan dari bungkusnya. "Makan, terus makan obat. Aku tidak mau ada penolakan darimu," tuturnya dingin. Kali ini aku tidak menolak. Wajah Aldi sudah berubah dingin, itu artinya dia tengah serius. Sebagai istri yang paham akan sifat suami, aku memilih melakukan apa yang dia inginkan darip

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 334 membuktikan tes kehamilan

    Satu minggu telah berlalu dari pemecatan masal gara-gara kecurangan karyawan di pabrik Papa. Keamanan semakin diperketat, pantauan semakin ditingkatkan. Sebagai orang baru yang berhasil membuka kedok para penjilat, aku menjadi semakin percaya diri untuk bisa memajukan usaha Papa ini. Apalagi, sekarang aku sangat disegani di sini. Tidak ada yang berani membantah, apalagi berkata tidak saat aku menyuruh. Dan aku bukan tipikal orang yang suka basa-basi. Jika salah, ya salah. Jika aku tidak suka, akan mengatakannya langsung, bukan menyindir apalagi membicarakan di belakang. "Bajumu terlalu ketat, secepatnya ganti, atau posisi kamu akan saya gantikan dengan orang baru," ujarku pada salah satu karyawati yang memakai baju teramat sangat mencetak di tubuh.Dua gundukan di dadanya terlihat menonjol, dengan kancing kemeja yang terbuka sedikit. Dia pun tidak memakai kaus dalam, hanya bra dengan warna marun yang terlihat hingga luar. "Ba–baik, Bu." Wanita itu mengangguk. Aku risih melihatny

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 335 akan jadi orang tua

    "Ak–aku ....""Kita akan konsultasi," ucap Bang Aldi menjawab pertanyaan adiknya. "Oh .... Yasudah, cepat masuk. Mumpung lagi gak ada pasien lain. Aku yang temenin, ya? Biar Bang Aldi sama Mas Adi saja tunggu di sini.""Enggak. Aku yang ke dalam nemenin Aruna."Bang Aldi menolak usulan adiknya. Dia menarik tanganku pelan, lalu kami masuk ke dalam ruangan dokter kandungan. Gugup, takut, itu yang aku rasakan hingga keringat mulai keluar dari pori-pori tubuhku. "Santai, Bu," ucap dokter seperti memahami perasaanku. Suamiku langsung menoleh ke arahku yang duduk di sampingnya. Dia mengelus punggung ini seraya membisikkan kata untuk menenangkanku. "Tenanglah, Sayang .... Apa pun yang terjadi, aku ada di sini."Aku berdehem, lalu mengikuti arahan dokter untuk melakukan tes urin lagi. Setelahnya, aku diarahkan untuk berbaring di tempat pemeriksaan. Tes urin yang kedua ini sama seperti yang aku lakukan di klinik waktu itu. Hasilnya positif, tapi aku masih tidak mau percaya. Belum, lebih

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 336 nasihat Papa

    "Kalian sudah datang?" Mama menyambut kami dengan wajah sendu. Sedangkan di atas ranjang, Papa sedang diperiksa oleh dokter langganan keluarga Dinata Wiratmadja. "Kami baru saja datang, Mah. Gimana keadaan Papa?" tanyaku seraya mengahmpiri Mama yang duduk di pinggir ranjang. "Begitulah, dari tadi Papa mengeluhkan sakit dada, makanya menyuruh kalian datang."Dokter memberikan beberapa butir obat untuk diminum Papa. Setelahnya, dokter yang usianya hampir sebaya dengan Papa, pamit pulang dengan diantar supir. Aldi duduk di samping ayahnya, lalu memijit pelan tangan pria yang hanya berbaring di tempat tidur. "Sebaiknya Papa ke rumah sakit, ya? Biar dirawat hingga benar-benar sembuh."Papa menggelengkan kepala menolak usulan putranya. Detik berikutnya, Papa beringsut duduk dengan dibantu Aldi. "Ah ... tidak usah. Nanti juga Papa akan sembuh. Papa hanya kesepian saja, ingin dikunjungi kalian," tutur Papa seraya terkekeh pelan. "Papa itu harus sehat, harus kuat. Soalnya ... Papa mau n

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 337 sah

    Esok harinya, aku dan Aldi sudah siap untuk pergi ke pesta pernikahan Naima. Meskipun semalam kami menginap di rumah Mama, tapi tadi pagi kami pulang dan sekarang sudah mau pergi lagi. "Ada yang ketinggalan, gak?" tanya Aldi saat kami hendak keluar dari kamar. "Enggak ada, Bang.""Kado?" tanya Aldi lagi. Aku menepuk jidat karena dua benda penting yang harusnya kami bawa, ketinggalan. Aku pun bergegas mengambil dua kotak berhiaskan pita merah muda, lalu kembali menghampiri Aldi. "Ini, Bang. Hampir, saja ketinggalan.""Kalau aku gak inget, mungkin kita akan bolak-balik, Run."Aku membenarkan ucapan suamiku yang sudah berjalan terlebih dahulu. Sesampainya di mobil, Aldi menyimpan kado di kursi belakang, lalu dia mulai menyalakan mesin mobilnya. "Bang, Papa kuat, gak ya, pergi ke gedung?" tanyaku lagi setelah mobil mulai berjalan. "Pasti kuat, Run. Semalam saja dia sudah becanda dengan Syakir, kan? Aku yakin, Papa tidak akan meninggalkan momen ini. Naima sudah Papa anggap seperti p

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 338 tidak suka dibandingkan

    "Tolong jangan katakan apa pun pada Mas Ammar tentangku yang mengetahui kebenaran dirinya."Aku dan Aldi saling pandang, lalu mengangguk pelan menjawab bisikan Naima ketika kami tengah berfoto. Saat ini di pelaminan hanya ada Naima. Sedangkan pengantin pria, ia tengah ke toilet. Naima meminta kami untuk merahasiakan tentang suaminya itu. Dia juga meminta Aldi, untuk tidak lagi menemani Ammar berobat. Itu semua dia lakukan agar Ammar bercerita pada dia, dan masalah yang ada pada diri Ammar bisa dibagi dengan istrinya. "Maaf, ya? Aku lama di belakang," tutur Ammar yang kembali ke pelaminan. "Tidak apa-apa, kita santai, kok." Aldi menjabat tangan Ammar, lalu mereka berpelukan layaknya saudara. Beberapa saat berbasa-basi di atas pelaminan bersama pengantin, kami pun sudah berfoto dengan mereka, aku dan Aldi turun. Membiarkan tamu undangan lainnya untuk memberikan ucapan selamat kepada ke dua mempelai. Hidangan yang tersaji di meja perasmanan tidak ada yang membuatku berselera. Hingg

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 339 baikan

    "Run."Aku tidak menoleh ataupun menjawab panggilan Aldi. Tanganku sibuk menyuapkan makanan ke dalam mulut tanpa peduli dengan dia yang baru saja masuk seraya menentang sesuatu. Sebenarnya aku tidak lapar. Rasa ingin makan pun hilang berganti dengan rasa sakit hati karena ucapan Aldi. Akan tetapi, aku memikirkan janin yang ada di dalam perutku. Aku tidak mau anakku kekurangan gizi karena aku yang tidak mengkonsumsi makanan sehat. Meskipun dengan air mata yang berlinang, aku terus memakan sayur bening yang aku buat subuh tadi. Aku hanya menghangatkannya sebentar agar tidak terlalu dingin di lidah."Kamu makan apa? Ini aku bawakan ikan bakar kesukaanmu," ujar Aldi lagi. Dia menyimpan tentengannya di atas meja, kemudian membuka kotak makanan hingga bau ikan bakar tercium begitu menggiurkan. Namun, egoku terlalu tinggi hingga tidak ada niatan sama sekali untukku menikmati makanan yang Aldi suguhkan. Aku marah pada dia yang mengataiku kekanak-kanakan. "Runa, kamu marah padaku?" tany

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 340 kunjungan mertua

    "Mama ...?" Aku menarik napas dalam-dalam saat Aldi menyebut sosok yang ada di balik pintu. Selanjutnya, aku menghampiri mereka seraya menyiapkan hati sekiranya ada ucapan dari mertuaku yang tidak mengenakkan hati. "Mah," ucapku seraya mengulurkan tangan. Mama tidak datang sendiri. Ia ke sini bersama Papa, yang mengekor di belakangnya. Seperti pada Mama, aku juga mengulurkan tangan pada Papa, lalu mencium punggung tangannya. "Tadi kenapa pulang lebih dulu?" tanya Papa membuatku melirik Aldi dan juga Mama. "Emh ... tadi aku ....""Papa paham, kalau sedang hamil muda itu, sangat sensitif. Termasuk penciuman. Dulu, Mama juga gitu, seperti kamu, Run. Dia tidak suka dengan bau parfum, pokoknya yang wangi-wangi, deh. Sampai wangi sabun pun, dia enggak suka. Sering gonta-ganti sabun mandi saat Mama sedang hamil muda dulu." Sambil berjalan ke arah sofa, Papa menceritakan masa lalu ibu mertua. Aku menanggapinya dengan sedikit kekehan, dengan mata yang melihat sebentar kepada yang dibicar

Bab terbaru

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 408 Ending season 2

    "Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 407

    Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 406

    Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 405

    Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb

  • Membalas Kesombongan Mantan   404

    Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 403 tidak marah lagi

    "Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 402 gara-gara membahas anak

    Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 401 maaf dan permintaan laki-laki di balik jeruji besi

    "Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika

  • Membalas Kesombongan Mantan   Bab 400 menggoda Syafiq

    "Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan

DMCA.com Protection Status