"Mama setuju Aruna mengelola salah satu pabrik Papa," celetuk Mama. Wanita yang masih terlihat segar di usia matangnya itu berjalan ke arah kami, lalu berdiri tepat di belakang sofa yang diduduki Papa. Kedua tangannya bertumpu pada sofa, dengan pandangan lurus menatap aku dan Aldi. "Mama ingin memberikan kesempatan kepada Aruna untuk membuktikan jika dia memang berubah. Tapi, jika nanti dia mengulang kesalahan, atau membuat pabrik menurun, Mama tidak akan memaafkan kamu lagi. Kamu mengerti?" ujar Mama lagi seraya menatapku tajam. Aku tidak langsung menjawab. Mata ini melirik Aldi yang sedari tadi tidak melepaskan genggaman tangannya. "Mendingan duduk dulu, kita bicarakan ini dengan bahasa yang baik, juga pikiran yang tenang." Papa memberikan instruksi. Aku, Aldi dan Mama pun duduk di tempat semula. Papa mulai mencecar istrinya dengan pertanyaan tentang keyakinan dia untuk mempercayakan aku dalam mengelola pabrik cabang miliknya. Beberapa kali Papa bertanya, jawabannya tetap sa
Setengah berlari aku mengikuti Aldi. Seperti polisi yang tengah tengah mengintai penjahat, aku melangkah dengan hati-hati. Mobil Aldi sudah keluar dari area apartemen. Dia membawa kendaraan roda empatnya itu ke arah kanan, dan aku pun segera masuk ke dalam taksi yang kebetulan ada di depan apartemen, dengan penumpang yang baru saja turun. "Jalan, Pak!" kataku memerintah. "Jalan ke mana, Mbak?" Supir taksi bertanya dengan wajah yang bingung. "Jalan ke arah kanan. Cepetan! Pokonya Bapak ikuti saya perintah saya. Saya bayar dua kali lipat!" Pria berseragam warna biru itu tidak lagi bertanya. Dia melajukan kendaraannya me arah yang aku perintahkan. Beberapa saat aku kehilangan jejak Aldi. Namun, akhirnya aku bisa menemukan mobil suamiku di lampu merah. "Pak, ikuti mobil di depan itu. Dia suami saya yang akan menemui ... ah, pokoknya Bapak ikuti saja mobil yang itu!" kataku dengan telunjuk ke depan. Pria di depanku mengangguk. Dia kembali melajukan mobil setelah kendaraan milik Ald
"Gimana dengan pabrik?" Aku bertanya seraya menuangkan air panas ke dalam gelas. Embusan napas kasar terdengar dari suamiku. Kulihat ke belakang, dia merebahkan tubuhnya di sofa dengan kedua tangan jadi bantalnya. Satu cangkir kopi kubawa menghampiri suamiku, kemudian meletakkannya di atas meja. Kedua kaki Aldi aku turunkan sebentar, lalu kuangkat kembali hingga kini berada di kedua pahaku. Tangan ini memijatnya pelan seraya menunggu jawaban dari pertanyaan yang aku berikan. "Apa urusannya belum selesai, Bang?" tanyaku lagi. "Sudah, Run. Pabrik mah aman, tapi ... ada masalah lain yang tiba-tiba mengganggu pikiranku."Aku melihat lekat suamiku yang berucap dengan masih dalam posisi yang sama. Sedangkan hatiku, malah semakin bertanya-tanya. "Masalah lain apa?" Kembali aku bertanya. Aldi menurunkan kakinya dari kakiku. Dia beringsut duduk, lalu mengambil cangkir berisikan kopi. Aroma dari minuman hangat itu tercium kala bibir Aldi mulai menyesapnya. "Ammar," ucapnya singkat. Ald
Hari ini jadwalku cukup padat. Setelah menerima amanah Papa, sekarang saatnya aku menjalankan tugas. Paginya, aku dibawa Papa untuk dikenalkan kepada semua orang yang bekerja di pabrik, yang katanya pernah jadi tempat Alina mengais rezeki. "Saya harap, kita bisa bekerja sama dengan baik, membuat pabrik ini semakin maju dengan karyawan yang sejahtera," ucapku menutup perkenalkan. Seulas senyum diberikan para staf yang ikut rapat, juga kata 'aamiin' terucap dengan serempak. Setelah rapat, aku dibawa Papa ke ruangan besar yang dijadikan tempat produksi. Bising suara mesin jahit menjadi ciri khas dari ruangan ini. Para karyawan yang didominasi oleh perempuan, sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Hal ini mengingatkanku ketika dulu jadi karyawan Aldi. Aku seperti mereka, mengawali karir dari operator jahit sebelum diangkat jadi asisten pribadi oleh Aldi. "Beginilah keadaan di sini, Aruna. Kemeja dan jaket jadi barang utama yang diproduksi," tutur Papa menjelaskan. "Termasuk
"Mas Ammar? Ada apa dengan dia?" tanya Naima dengan pandangan ke arah Aldi. Suamiku tak langsung bicara. Dia membiarkan pelayan menyimpan tiga gelas minuman di meja kami, kemudian mengangguk ramah sebelum pergi. "Bang." Naima memanggil suamiku yang tak kunjung bicara. "Aku bingung harus memulai dari mana, Nai. Tapi ... apa pun nanti keputusan yang kamu ambil, aku harap memikirkannya dengan matang.""Ayolah, Bang. Jangan buat aku semakin penasaran. Katakan, ada apa dengan Mas Ammar? Dia kenapa? Punya wanita lain di luar sana? Iya, begitu?" "Tidak, Nai." Aku menyanggah ucapan Naima. "Ammar—""Dia memiliki kelainan dalam dirinya," ucap Bang Aldi memotong ucapanku. Naima mengerutkan kening. Dia menggeser gelas berisikan teh di depannya, lalu melipat kedua tangan di atas meja. Tatapan wanita cantik dengan balutan hijab warna abu-abu itu masih lekat pada suamiku. "Kelainan apa?" tanya Naima lagi. "Ammar .... Impoten."Aku berhenti bernapas untuk beberapa detik dengan pandangan tak le
"Ada-ada saja anak itu," ucap Tante Ratna membiarkan putrinya masuk ke rumah. Aku dan Aldi turun dari mobil, lalu menghampiri Tante Ratna yang masih berada di teras rumah. Seulas senyum aku berikan meskipun tidak ada tanggapan darinya. "Tante, kami pamit pulang dulu, ya?" ucap Aldi kepada tantenya itu. "Oh, mau langsung pulang, Al? Gak mampir dulu?" "Tidak Tante, terima kasih," jawab Aldi seraya mengangguk pelan. "Yasudah kalau mau langsung pulang. Hati-hati di jalan, ya? Terima kasih, lho, sudah membawa Naima jalan-jalan. Akhir-akhir ini dia memang terlihat kesepian. Hormon pengantin juga membuat anak itu uring-uringan. Mudah-mudahan setelah ini dia bisa santai, ya?" Baik aku maupun Aldi tidak ada yang menjawab ucapan Tante Ratna. Kami hanya tersenyum tipis, lalu kembali ke dalam mobil.Kuembuskan napas kasar seraya duduk dengan tatapan lurus ke depan. Ucapan Tante Ratna barusan, menyentil hatiku. Bagaimana tidak, dia mengucapkan terima kasih kepada orang yang secara langsung
Aku merogoh ponsel di tasku, lalu memotret beberapa botol yang dibalut dengan kain. Setelahnya, aku menutup kembali botol-botol itu menggunakan kain yang tidak terpakai. "Sebelum aku membuang botol-botol itu, aku harus tahu siapa pemilik dari minuman keras itu." Aku berucap seorang diri. Saat akan keluar dari gudang, aku mendengar beberapa orang bicara sambil berjalan ke arah sini. Cepat aku mematikan lampu, lalu bersembunyi di balik pintu agar mereka tidak melihatku. "Bu Aruna itu bukan rajin, dia hanya sedang mencari perhatian Pak Dinata saja. Biar kepake jadi atasan di sini." Entah siapa yang bicara, tapi kata-katanya sungguh menyinggungku. "Ah, cuma wanita ini. Palingan juga tidak akan bertahan lama dia di sini," timpal suara lainnya. Ingin rasanya aku menyobek mulut mereka, tapi kutahan demi sebuah bukti. Pikirku, mereka adalah pemilik dari botol miras yang aku temukan. Akan tetapi, sepertinya bukan. Setelah masuk ke gudang, dua lelaki itu tidak membuka tumpukan kain dan
"Santai saja, lanjutkan minumnya. Saya, tidak akan menyuruh kalian menyudahi hobi kalian itu," kataku seraya mendekati mereka. Pintu kututup rapat. Lampu yang tadi mati, aku nyalakan hingga ruangan jadi terang. Kusimpan tas di atas meja besar tempat memotong kain, masih dengan senyum yang mengembang.Aku buang rasa takut, aku singkirkan kekhawatiran. Kali ini, aku tengah menjadi Aruna si wanita jahat dan penjilat. Aku duduk di lantai bersama mereka, lalu mengambil satu gelas minuman beralkohol itu dan meminumnya hingga tandas. "Bu," kata salah satu pria, yang tadi melempar kain ke luar pagar tembok. "Santai saja, tidak usah gugup seperti itu. Minuman ini, bukan minuman yang baru saya temui. Ayo, kita minum bersama." Aku menuangkan minuman keras ke dalam gelas, lalu memberikannya kepada Pak Yanto. Awalnya dia ragu, tapi setelah aku membicarakan tentang diriku di masa lalu yang hidup berdampingan dengan alkohol, mereka pun mau kembali melanjutkan acara minum-minum itu. Selama merek
"Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan
Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"
Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli
Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb
Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel
"Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda
Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka
"Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika
"Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan