"Hari ini pulang sore, gak, Bang?" tanyaku seraya mencuci piring di wastafel. "Aku usahain enggak, Run. Kenapa memangnya? Kamu mau kita pergi?"Aku membalikkan badan menatap dia dengan senyuman. Aldi pun sama. Sendok dia simpan, lalu melipat kedua tangan di atas meja. "Aku ... ingin ke pemakaman, Bang.""Jiarah ke makam adikmu? Oke, nanti kita akan ke sana. Kebetulan, aku juga belum pernah ke sana. Maaf, ya waktu itu aku tidak menemani kamu karena ....""Aku paham, Bang. Abang kaget saat tahu siapa aku dan motif mendekatimu. Iya, 'kan?"Aldi mengangguk. Aku meninggalkan wastafel yang sudah tidak ada lagi cucian di sana. Kemudian menghampiri suamiku dan duduk di kursi yang ada di sampingnya. Pria yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya kembali menikmati sarapan yang aku suguhkan. Tidak mewah, hanya nasi goreng beserta beberapa lauk pelengkap lainnya. "Bang, apa sebaiknya kita menemui Mama dan Papa untuk menjelaskan tentang kehamilan yang tidak ada ini?" ujarku memberikan masukkan.
"Aku akan berusaha," jawab Aldi. "Bukankah tugas seorang suami itu mendidik istrinya agar menjadi lebih baik? Dan aku akan melakukannya sekarang. Aku tidak ingin mengulang kesalahan di masa lalu, di mana Rindu tidak bisa menjadi menantu yang baik, karena kelalaianku."Mataku memanas, kemudian satu tetes bulir bening jatuh melintasi pipi. Segera aku menghapusnya sebelum Aldi menyadari jika aku menangis mendengar kata-katanya barusan. Ini bukan air mata kesedihan, tapi kebahagiaan. Aldi begitu kekeh mempertahankan aku, bahkan ingin menjadikan istrinya ini wanita salihah yang bukan hanya dicintainya, tapi juga orang-orang di sekitarnya. Dinata Wiratmadja dan Nyonya Marta tidak berkomentar. Suasana pun menjadi hening karena tidak ada yang membalas ucapan suamiku. Nyonya Marta yang kemarin-kemarin terlihat selalu emosi, kini lebih santai dan tidak terlalu berapi-api. Tidak ada kata kasar, juga perintah untuk putranya menceraikanku seperti pertemuan sebelumnya. "Sebenarnya, tadi malam Pa
"Dokter Kamila," ucap Nyonya Marta. "Kata Alina, dia ditemukan tak bernyawa di rumahnya."Aku tercengang mendengar kabar yang sangat mengejutkan ini. Begitu pun dengan Aldi dan ayah mertuaku. Mereka saling pandang dengan wajah yang sama kagetnya. "Apa dia sakit dulu?" Nyonya Marta kembali bertanya pada Alina yang masih terhubung dalam panggilan telepon. "Astaghfirullah ... Mama gak nyangka, Al. Padahal dia seorang dokter," ujar Nyonya Marta lagi. Kami yang hanya menyimak obrolan Nyonya Marta dan Alina, hanya diam dengan hati bertanya-tanya tentang berita kematian Dokter Kamila. Mungkinkah ini ada hubungannya dengan Damar yang masuk penjara? "Kamila meninggal karena apa? Sakit?" Dinata Wiratmadja bertanya pada istrinya yang sudah mengakhiri panggilan telepon. "Katanya overdosis minuman keras."Wajah kaget kembali terlihat dari dua laki-laki yang duduk saling berhadapan. Namun, tidak denganku. Aku yang sudah tahu bagaimana kehidupan asli dokter itu, tidak aneh jika dia meninggal ka
Arti bahagia yang sesungguhnya ternyata bukan karena banyaknya harta. Melainkan dari banyaknya orang yang peduli dan sayang pada kita. Itulah yang saat ini tengah aku rasakan. Bisa berkumpul dan diterima keluarga Aldi, adalah salah satu kebahagiaan yang luar biasa. Meskipun, sekarang yang kami nikmati hanyalah makanan sederhana, bukan hidangan mewah seperti biasa. Satu minggu setelah Mama dan Papa memberikan restu padaku dan Aldi, kini kami tengah berada di rumah Alina seraya duduk lesehan menikmati nasi liwet yang tadi kami buat bersama."Run, tolong minta ikan asinnya." Aku mengangkat kepala, lalu mengambil lauk yang barusan disebut Alina. "Ini, Mbak.""Makasih, ya?"Aku mengangguk seraya tersenyum penuh kebahagiaan. Di sampingku, seorang pria yang duduk bersila dengan keringat di keningnya membuatku ingin tertawa.Aldi, wajahnya memerah karena terlalu banyak makan sambal hingga membuatnya kepedesan. Namun, dia tidak mau berhenti. Malah semakin lahap menyuapkan nasi beserta lalap
Kubuka kaca jendela kamar lebar-lebar hingga udara segar di pagi hari masuk membuat kulit wajah terasa sejuk dibelainya. Sejenak, aku menoleh ke belakang saat ada pergerakan dari pria yang baru saja membuka mata. "Sayang ... kenapa dibuka jendelanya? Cukup gordennya saja yang dibuka, nanti pun sinar matahari akan masuk," ujarnya seraya beringsut duduk. Aku tidak menjawab. Malah menarik napas dalam-dalam menghirup udara sejuk dengan sangat dalam. Terasa menenangkan. Dua tangan kokoh tiba-tiba melingkar di pinggangku dengan satu kecupan manis mendarat di pipi. Kusambut kemesraan pagi ini dengan belaian pelan di punggung tangan suamiku. Kemudian menyandarkan kepala di dadanya yang berbalut kimono berbahan satin. "Aku nanya, kok enggak dijawab, sih?" ucapnya merajuk. Aku terkekeh. "Sengaja. Biar disamperin ke sini, lalu dipeluk seperti ini.""Kenapa gak bilang aja kalau mau dipeluk? Malah main kode-kodean segala. Dingin, gak?" Aldi kembali bertanya. "Enggak, Bang. Justru seger, uda
"Yoga?" Bibirku mengucapkan satu nama. "Ah, syukurlah kamu masih mengingatku, Aruna. Boleh aku masuk? Kamu sendirian, kan?""Eh, tunggu!" sergahku, menghalangi pria itu yang hendak masuk. "Dari mana kamu tahu aku tinggal di sini? Lalu, untuk apa kamu menemuiku?" Rentetan pertanyaan aku berikan kepada Yoga. Dia hanya terkekeh, tidak ada niat untuk menjawab pertanyaanku. Mungkinkah dia akan berbuat jahat padaku? Aku harus siaga. Menjaga dan menyelamatkan diri jika sewaktu-waktu Yoga melakukan sesuatu. Beberapa saat saling diam, akhirnya aku mengizinkan Yoga masuk seraya terus waspada. Pria masa laluku itu duduk di sofa dengan menyilangkan kaki. Matanya terus memindai apartemen milik suamiku ini seraya tersenyum tipis. "Kamu apa kabar?" tanyanya kemudian. "Baik. Kamu belum menjawab pertanyaanku, Ga." Tanganku sibuk menuangkan air minum ke dalam gelas saat bibir ini berbicara. Setelahnya, aku menyuguhkan minuman itu kepada tamuku. "Pertanyaan yang mana?" Aku mendengus kesal. "U
"Mama mengganggu kamu?" tanyanya memindaiku lekat. "Enggak, Mah. Tentu saja tidak. Mana mungkin kedatangan Mama menggangguku.""Kirain Mama ganggu," ujarnya lagi seraya berjalan ke arah sofa, lalu menjatuhkan tubuhnya di sana. Aku mengembuskan napas kasar seraya bersikap biasa saja untuk menyembunyikan ketakutan yang amat sangat.Entah apa yang akan terjadi jika Mama melihat Yoga di sini. Mungkin dia akan mengadukanku pada Aldi, dan lebih parahnya lagi menyuruh putranya itu menceraikanku. Oh, sungguh menyeramkan. "Apa sebelumnya ada tamu? Ini bekas air siapa?" Aku tersentak dengan pertanyaan yang Mama layangkan. Dengan perasaan gugup, aku duduk di sofa yang ada di sebrang Mama, lalu mengambil gelas yang ditunjuk mertuaku itu. "Ini punyaku, Mah. Tenggorokan terasa sering kering setelah pulang dari Bali," jawabku. Kemudian menegak air sisa Yoga yang tinggal setengahnya di dalam gelas. Mama tidak bertanya lagi. Pandangannya berfokus pada beberapa paperbag yang ada di bawah gorden.
"Ini menurutmu gimana, Run?" "Bagus, Mah.""Ah, kamu mah tiap ditanya bagus-bagus terus. Bagusan ini apa ini?" Mama menyimpan dua kotak perhiasan di depanku, untuk dipilih mana yang lebih cocok diberikan pada Naima dari kedua perhiasan tersebut. Aku hanya tersenyum simpul tidak berani menjawab. Takutnya, nanti malah disalahkan jika tidak cocok dengan selera dia. "Keduanya bangus, Mah. Beli aja dua-duanya," cetusku membuat Mama cemberut. Ah, jawabanku sepertinya salah. Aku menggaruk tengkuk leher yang tidak gatal, lalu menarik napas dalam-dalam hingga akhirnya Mama memberikan kartu ATM kepada pelayan toko perhiasan tersebut. "Saya beli keduanya," ucap Mama membuatku membulatkan mata. Apa aku tidak salah dengar? Mama membeli dua set perhiasan untuk dijadikan kado dalam pernikahan Naima? Entah, aku harus merasa senang atau sedih melihat ini. Haruskah aku bangga, karena saranku dilakukan Mama? Atau ... harus sedih, karena Naima mendapatkan hadiah yang sangat mahal dan bagus dari