Jika saja diriku punya keberanian, ingin rasanya berteriak memanggil dia. Atau, haruskah aku lari menghampirinya? Ah, tidak. Dia akan malu didatangi olehku di tempat usahanya. Dia juga akan jadi tontonan banyak orang, dan tentunya justru bisa merusak nama baiknya jika ada pertengkaran antara kami di sini. Aku tersenyum di balik masker ketika melihat Aldi mengacungkan ibu jari tangannya pada satpam yang telah membukakan gerbang. Meskipun hanya itu bagian tubuhnya yang aku lihat, aku sudah merasa senang. Itu artinya, dia baik-baik saja. Tidak mengurung diri lagi seperti yang pernah dikatakan Alina. "Tuh, itu mobil pemilik pabrik ini, Mbak. Ini yang pertama kalinya dia datang setelah isu perceraiannya tersebar."Aku menoleh sebentar pada wanita yang juga memperhatikan suamiku. Lalu pandangan kembali mengarah pada mobil Aldi yang sudah hilang tertutup gerbang yang kembali rapat. Keinginan untuk menghampiri suamiku semakin mendorong diri ini. Namun, lagi-lagi aku berpikir ulang untuk
Bang Aldi ....Nama itu kusebut dalam hati. Tak mampu aku berucap saat melihat wajah yang sangat aku rindukan berada di depan mata. Dadaku berdetak kencang, jantungku mengalunkan kidung rindu yang tak mampu terucap lewat kata. Seperti patung, aku hanya diam saja seraya menatap kedua mata indah yang terus menyorotiku bingung. Hingga akhirnya, Aldi melambaikan tangan di depan wajah, membuatku mengerjap beberapa kali. "Mbak salah kamar, ya?" tanya Aldi seraya celingukan melihat ke kanan dan kiri.Itu aku jadikan kesempatan untuk bisa masuk ke apartemen Aldi, tanpa harus izin padanya. Dengan sekuat tenaga aku menarik tangan Aldi agar keluar dari kamarnya, lalu aku masuk dengan cepat. "Hey, apa-apaan kamu main masuk saja? Kamu maling, ya?" ujar Aldi menyusulku. Aku bergeming dengan membelakanginya. Aku bingung, lidahku tidak mampu menjawab pertanyaannya. Ingin kuhentikan waktu di sini saja. Di mana aku tengah berada bersamanya dalam satu tempat. Masa bodoh dengan dia yang tidak mengen
Kupejamkan mata menikmati momen yang mungkin tidak akan terulang lagi. Kepala kusandarkan pada punggung suamiku yang bidang. Nyaman, hingga membuatku enggan beranjak meninggalkan dia pemilik hati ini. "Sudah cukup, Aruna." Aldi melepaskan kedua tangan yang melingkar di pinggangnya. Terpaksa aku harus membuka mata menatap nanar punggung kokoh Aldi. Dia masih enggan membalikkan badan melihatku. Meskipun begitu, penolakan kembali dia berikan saat kedua tanganku kembali menyusup ingin mengulangi momen tadi. "Pergi," ucap Aldi datar. "Bang.""Pergi dari sini, Aruna." "Apakah Abang tidak ingin memberikan kesempatan kedua untukku?" Aku berucap penuh harap. Akan sangat bahagia jika Aldi membalikkan badan seraya mengabulkan keinginanku. Namun, sepertinya itu hanya mimpi saja. Nyatanya, Aldi menggelengkan kepala tanda tidak ingin memberikan kesempatan. "Baiklah, jika Abang tetap dengan keputusan Abang untuk berpisah dariku. Tapi, dengarkan ungkapan perasaanku untuk Abang. Dan kali ini a
"Hey, Runa. Apa kabar? Kamu tinggal di sini sekarang? Emh ... sepertinya tidak mungkin. Apa ... habis melayani pria hidung belang?"Tangan kukepalkan kuat dengan mata menyoroti pria menyebalkan itu sangat tajam. Yoga. Pria masa lalu datang secara tiba-tiba dengan banyak pertanyaan yang membuatku naik darah. Apa tadi dia bilang? Melayani pria hidung belang? Sialan! Dia selalu merendahkanku. "Tidak, aku ...."Haruskah aku mengatakan memang tinggal di sini bersama suamiku? Ah, tidak. Akan sangat memalukan jika nanti kami bertemu lagi dengan keadaan aku yang sudah menjanda karena diceraikan Aldi Wiratmadja. "Aku baru saja bertemu temanku di sini," ucapku kemudian. "Teman yang mana? Emangnya kamu punya teman orang kaya? Oh ... aku tahu sekarang. Jangan-jangan, kamu habis ngebabu di sini. Iya, 'kan?" ujar Yoga lagi dengan nada mengejekku. Dia terkekeh seraya memindai penampilanku dari atas hingga bawah. Dan itu membuatku muak. "Terserahlah kamu mau menilaiku seperti apa dan bagaimana
"Abang menjemputku?" ujarku seraya mengedipkan mata yang basah oleh air mata, juga air hujan. "Tidak, hanya kebetulan lewat saja. Cepat bangun," ucapnya dingin. Dengan tidak mengalihkan pandangan dari Aldi, aku mengangkat tubuh ini mengikuti pintanya. Kami berjalan beriringan dengan dia yang melindungi kepalaku menggunakan jas kerjanya. Ini adalah kesempatan yang langka, dan mungkin tidak akan datang untuk kedua kalinya. Maka dari itu, aku memanfaatkan keadaan ini untuk kembali menikmati hangatnya tubuh suamiku. Dengan sadar, aku melingkarkan kedua tangan di pinggang Aldi hingga membuat suamiku itu berhenti berjalan. Aku pura-pura tidak melihat ekspresi dia dengan terus menunduk, menempelkan kepala di dada bagian kirinya. Aldi kembali melangkah, membuatku mengikuti ke mana arah kakinya pergi. Aku mengira Aldi akan membawaku berteduh di kafe yang ada di sebrang jalan danau. Namun, rupanya dia lebih memilih menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari area ini. "Masuk," pintanya ma
Kedua telapak tangan sibuk mengusap mata yang terus mengeluarkan air tanpa henti. Aldi sudah pergi sejak tadi, tapi sakitnya akan sikap dia masih terasa menyiksa. Baju yang tadi dia berikan, aku lempar ke sembarang arah karena kesal dan marah. Aku kesal pada diriku sendiri yang tidak sekuat dulu. Aku marah, aku benci pada hati ini yang terlalu rapuh. "Aaaaahhh ...!" Aku berteriak untuk melepaskan sesak yang semakin terasa nyata. Pintu kamar kembali diketuk, tapi bukan Aldi. Suara perempuan yang terdengar menanyakan keadaanku di dalam sini. Mungkin tetangga kamar sebelah. "Aruna, kamu baik-baik saja, kan? Ada apa?" tanyanya lagi masih berada di tempat. Aku menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. "A–aku baik-baik saja. Tadi, kepeleset," jawabku dengan tergagap. "Oh, yasudah kalau baik-baik saja. Kirain ada apaan?" Hening kembali. Orang tadi sudah pergi dan aku kembali menangis merutuki nasib diri yang penuh dengan kemalangan. Aku ditinggal pergi adikku. Aku akan dic
"Masih punya muka kamu menampakkan diri di hadapan kami?" Getar tubuh selaras dengan detak jantung yang kian bergemuruh. Apalagi, sekarang aku jadi perhatian semua mata yang ada di sini. Setelah kehadiranku dipergoki Adikara, di sinilah sekarang aku berada. Di tengah-tengah keluarga Dinata Wiratmadja dengan kepala yang menunduk dalam. Tidak ada keberanian untukku mengangkat kepala, apalagi menatap wajah-wajah mereka yang aku sakiti. Pertanyaan Nyonya Marta pun hanya aku jawab dengan gelengan saja. Lidah ini terasa kaku dan sulit untuk berucap. "Kenapa diam? Apa maksud kedatanganmu ke sini untuk meminta harta gono-gini dari Aldi?" tanya Nyonya Marta lagi. "Jangan harap!" "Mama ...." Alina mulai bersuara menahan ibunya untuk tidak berucap yang menyakiti hatiku. "Bukan, Mah. Kedatanganku ke sini, bukan untuk minta harta atau uang. Tapi ... aku mau minta maaf pada kalian semua. Maafkan perbuatanku, maafkan kesalahanku, dan mohon dilapangkan hati untuk tidak membenciku," ujarku akhir
"Bu Nai?" Wanita yang namanya kusebut itu tersenyum manis. Aku berdiri, mengusap kedua mata yang basah, lalu menatap dia yang juga melihatku dengan iba. "Sini," ucapnya seraya membuka tangan memintaku masuk ke dalam pelukannya. Aku tidak menolak. Tangisku kembali pecah dalam pelukan Naima dengan lembut mengusap punggung serta rambutku. "Aku tahu perasaanmu, Run. Berpisah dengan orang yang kita cintai, memanglah menyakitkan. Menangislah, Aruna. Keluarkan sesak yang menghimpit dadamu," ujar Naima membuat tangisku semakin tergugu. Dia tidak lagi bicara, tangannya terus membelai rambutku merangkulku yang tengah dalam kepiluan. Lama aku menangis di dalam pelukan Naima. Hingga dada yang tadi terasa sesak sedikit lega dan bisa bernapas dengan teratur. Aku mengurai pelukan, mengusap kedua mata yang basah. "Sudah tenang?" tanya wanita bermata teduh itu. "Sedikit," kataku, "terima kasih sudah mau menampung rasa sedih saya, Bu. Entah terbuat dari apa hati Bu Nai hingga masih mau memperlak