Ribuan panah api seakan menyerang jantungku berulang kali. Hatiku terbakar, remuk, hancur, duniaku menggelap melihat keadaan adikku di depan sana. Tulang-tulang dalam tubuhku tak mampu lagi menopang raga ini hingga akhirnya aku ambruk dengan tatapan tak lepas dari Luna. "Luna ...," Lirih aku memanggil berharap dia akan menoleh dan menghampiriku yang sudah bergetar melihat keadaannya. Namun, sayangnya dia tidak mendengar panggilanku. Dia cuek, dia dingin, sama sekali tidak mengindahkan panggilanku. "Lun–na," panggilku lagi. Air mata sudah menganak sungai membanjiri pipi. Perlahan, aku menggeser tubuh ini untuk bisa semakin dekat dengannya. "Dek." Tanganku terulur memegang kakinya yang sudah dingin menggantung dengan leher terikat kain. Sesak, dadaku sakit melihat adikku tergantung dengan mata yang melotot tidak berkedip. "Lu, Lunaaaaaaa!!" Aku kembali berteriak sangat kencang hingga telingaku berdengung dan sedikit sakit.Tangan kukepalkan kuat meremas baju untuk berendam sakit
[Kakak ... saat kamu membaca surat ini, berarti aku sudah pergi. Maafkan aku yang memilih jalan seperti ini. Aku sakit, Kak. Lukaku sangat dalam. Aku tidak sanggup menghadapi dunia dengan diriku yang sekarang. Aku tidak punya masa depan lagi.]Baru membaca beberapa kalimat yang Luna tulis, air mataku sudah kembali menganak sungai. Berbagai tanya muncul dalam benak mengenai apa yang terjadi pada adikku. Kuusap bulir bening yang menghalangi pandangan, lalu mulai melanjutkan membaca kata per kata goresan pena Luna. [Kak, kenapa Kakak gak datang saat aku menghubungi Kakak? Tahukah kamu, jika saat itu duniaku sangat mencekam. Aku takut, aku sangat takut hingga aku tidak bisa berbuat apa-apa.]"Ya Tuhan ... Luna." Aku memegangi dada yang terasa sangat sesak. Kusnandar punggung pada tembok kamar untuk menopang tubuh yang terasa lemas kembali. Kutajamkan penglihatan untuk bisa membaca surat yang menceritakan kejadian sebelum adikku mengembuskan napas terakhir. [Semua berawal dari kedatang
"Aruna, gara-gara adikmu bunuh diri di sini, pasti rumah ini tidak akan laku lagi. Astaga ... aku kira kalian anak baik-baik, ternyata nakal! Pemabuk! Hancur usahaku karena kalian ini!" Aku tidak sama sekali meladeni kemarahan Bu Mina pemilik kontrakan. Tenagaku sudah habis dipakai menangis meratapi kepergian Luna yang mengenaskan. Sekarang, aku tengah mengemasi barang-barang milikku dan Luna karena Bu Mina yang minta. Wanita itu tidak ingin ada barang kami satu pun di rumahnya. Dia juga mengeluarkan semua perabotan dan barang-barang milik Damar. "Apa jangan-jangan ... laki-laki yang tinggal di sini itu bukan kakak kamu, Aruna? Kalian pasangan kekasih yang kumpul kebo?" ujar Bu Mina menatapku penuh curiga. Aku tidak menjawab. Mendengar nama Damar disebut, membuat emosiku memuncak kembali. Dengan tanpa bicara apa pun lagi, aku langsung pergi tanpa pamit meninggalkan rumah yang menjadi saksi hancurnya adikku. "Hey, Aruna. Ini barangmu tidak kau bawa?!" Aku menoleh sebentar, lalu me
"Jangan panggil aku mamah!!" hardik Nyonya Marta menolak panggilanku. Dada wanita itu naik turun dengan mata yang terus menyorotiku penuh amarah. Dinata Wiratmadja menghampiri kami. Dia berdiri satu tingkat dari istrinya dengan menatapku benci. "Aku butuh penjelasanmu," ujar Dinata penuh penekanan. Telunjuknya mengarah ke wajahku yang mungkin sudah pucat pasi. "Tidak ada yang perlu dijelaskan, Pah!" Nyonya Marta berteriak. "Semuanya sudah jelas. Video itu sudah mengatakan semuanya! Tentang dia, kejahatan dia dan kawannya si brengsek itu!" Aku memejamkan mata seraya menunduk dalam saat jari-jari Nyonya Marta menekan dadaku berulang kali. Hilang sudah keberanianku. Lenyap sudah Aruna yang selalu punya cara menyangkal tuduhan atau mencari alasan untuk tidak terlihat salah. Aku hanya bisa pasrah menerima caci maki dari mereka yang katanya ... melihat video. Oh, jadi Damar mengirimkan video pengakuan pada keluarga Dinata Wiratmadja? Dasar pecundang. Kukira dia datang dan bicara lan
"Apa ...?" kataku terbengong. Pandangan tidak aku alihkan dari Dinata Wiratmadja yang baru saja berucap. Dia berjalan semakin mendekatiku yang berada di ambang pintu bersama Alina dan Nyonya Marta. "Mulai hari ini, kamu bukan lagi bagian dari keluarga ini. Aldi akan menceraikan kamu."Aku menggelengkan kepala menolak keinginan Dinata. Itu tidak mungkin. Aku tidak mau berpisah dari suamiku. Aku tidak mau jadi janda. "Pah," kataku seraya menggapai kaki pria itu. Namun, dia menghindar. Dinata Wiratmadja tidak memperbolehkanku untuk menyentuh bagian tubuhnya. "Jangan katakan apa pun, Aruna. Perbuatanmu sungguh tidak bisa kami maafkan. Kamu penipu, kamu pengkhianat, kamu orang jahat. Orang sepertimu tidak pantas ada di lingkungan ini. Sekarang, kamu pergi dari sini!" Pelan, tapi tegas. Dinata Wiratmadja menyuruhku pergi seraya menunjuk ke arah luar di mana langit yang sudah menghitam dengan air hujan membasahi bumi. "Pah, tolong jangan suruh Bang Aldi untuk menceraikan aku, Pah. Tolo
Penyesalan itu selalu datang belakangan. Memberikan kesan mendalam di setiap perjalanan. Apalagi, perjalanan hidup yang aku jalani cukup pelik dan rumit. Maka rasa sesalnya pun tidak sedikit. Sangat dalam dan berbekas. Aku tidak akan pernah melupakan tentang hari ini dan sejuta kejutan yang kudapat. Termasuk ditinggalkan Luna dan ...."Bang Aldi ...." Aku mengucapkan satu nama yang sedang aku cari keberadaannya. Malam penuh drama di rumah Nyonya Marta telah berlalu. Sekarang, di sinilah aku berada. Di kontrakan sederhana yang jauh dari kata mewah. Duduk seorang diri seraya meratapi takdir hidup yang begitu menyedihkan. Aku kehilangan segalanya. Kebahagian, cinta, dan saudara. Kini aku benar-benar sebatang kara. Hidup seorang diri tanpa teman dan keluarga. "Ya Tuhan ... aku melupakan sesuatu," ujarku menyadari ada yang salah. Luna baru saja meninggal, tapi aku tidak sama sekali mengadakan pengajian. Astaga! Kakak macam apa aku ini? Sudahlah tidak becus menjaga dia, dan setelah dia
"Kakak tidak bisa baca doa, Dek. Kakak cuma bisa baca alfatihah untukmu," ujarku seraya menatap nanar pintu kamar yang terbuka. Tidak ada siapa pun yang datang. Jangankan manusia, lalat pun tidak sudi menghampiriku yang menyediakan ini. Semua makanan yang kubuat, aku masukan ke dalam kantong plastik besar. Kemudian aku menutup pintu dan berganti pakaian. Gamis yang tadi melekat di tubuh kutanggalkan, lalu menggantinya dengan celana jeans dan kaus longgar bertangan pendek. Rencananya, malam ini aku akan keluar untuk membagikan makanan ke anak-anak yang biasanya nongkrong di pinggir jalan sambil bernyanyi membahagiakan dirinya sendiri. "Pengajiannya udah selesai, Mbak?" tanya seorang wanita saat aku keluar dari kontrakan. Dia bersama temannya tersenyum saling melirik membuatku muak. Mereka seperti mengejekku. "Sudah, baru saja selesai," jawabku kemudian. "Ih, ketus banget. Biasa aja, kali."Aku yang baru saja turun dari teras kamar kontrakan, langsung membalikkan badan menatap w
Aku menoleh pada dia yang memanggil. Wajahnya melongok dari dalam mobil yang ia kendarai. Damar. Seketika amarahku kembali memuncak. Keinginan untuk mengakhiri hidup lenyap, berganti dengan keinginan untuk menghajar bahkan membunuh pria yang sudah menghancurkan hidup adikku. Aku loncat dari pembatas jalan, kemudian langsung masuk ke mobil Damar yang berada tepat di pinggir jalan. "Brengsek! Dasar bajingan! Kau telah membunuh adikku!" Aku meracau seraya terus memukul Damar dengan membabi buta. Tidak ada perlawanan dari laki-laki itu. Damar terlihat santai dengan kembali melajukan mobilnya yang beberapa saat tadi menghalangi jalan orang lain. "Kau harus mati seperti Luna yang telah pergi!" teriakku lagi seraya menarik-narik kerah baju Damar. "Sini, kau, Bajingan! Akan aku habisi dirimu sekarang juga!""Diam!!" Damar berteriak seraya mengerem mobilnya secara mendadak. Aku melepaskan tanganku darinya dengan mata masih menatapnya penuh kebencian. Dadaku naik turun setelah emosi meng