"Aruna, gara-gara adikmu bunuh diri di sini, pasti rumah ini tidak akan laku lagi. Astaga ... aku kira kalian anak baik-baik, ternyata nakal! Pemabuk! Hancur usahaku karena kalian ini!" Aku tidak sama sekali meladeni kemarahan Bu Mina pemilik kontrakan. Tenagaku sudah habis dipakai menangis meratapi kepergian Luna yang mengenaskan. Sekarang, aku tengah mengemasi barang-barang milikku dan Luna karena Bu Mina yang minta. Wanita itu tidak ingin ada barang kami satu pun di rumahnya. Dia juga mengeluarkan semua perabotan dan barang-barang milik Damar. "Apa jangan-jangan ... laki-laki yang tinggal di sini itu bukan kakak kamu, Aruna? Kalian pasangan kekasih yang kumpul kebo?" ujar Bu Mina menatapku penuh curiga. Aku tidak menjawab. Mendengar nama Damar disebut, membuat emosiku memuncak kembali. Dengan tanpa bicara apa pun lagi, aku langsung pergi tanpa pamit meninggalkan rumah yang menjadi saksi hancurnya adikku. "Hey, Aruna. Ini barangmu tidak kau bawa?!" Aku menoleh sebentar, lalu me
"Jangan panggil aku mamah!!" hardik Nyonya Marta menolak panggilanku. Dada wanita itu naik turun dengan mata yang terus menyorotiku penuh amarah. Dinata Wiratmadja menghampiri kami. Dia berdiri satu tingkat dari istrinya dengan menatapku benci. "Aku butuh penjelasanmu," ujar Dinata penuh penekanan. Telunjuknya mengarah ke wajahku yang mungkin sudah pucat pasi. "Tidak ada yang perlu dijelaskan, Pah!" Nyonya Marta berteriak. "Semuanya sudah jelas. Video itu sudah mengatakan semuanya! Tentang dia, kejahatan dia dan kawannya si brengsek itu!" Aku memejamkan mata seraya menunduk dalam saat jari-jari Nyonya Marta menekan dadaku berulang kali. Hilang sudah keberanianku. Lenyap sudah Aruna yang selalu punya cara menyangkal tuduhan atau mencari alasan untuk tidak terlihat salah. Aku hanya bisa pasrah menerima caci maki dari mereka yang katanya ... melihat video. Oh, jadi Damar mengirimkan video pengakuan pada keluarga Dinata Wiratmadja? Dasar pecundang. Kukira dia datang dan bicara lan
"Apa ...?" kataku terbengong. Pandangan tidak aku alihkan dari Dinata Wiratmadja yang baru saja berucap. Dia berjalan semakin mendekatiku yang berada di ambang pintu bersama Alina dan Nyonya Marta. "Mulai hari ini, kamu bukan lagi bagian dari keluarga ini. Aldi akan menceraikan kamu."Aku menggelengkan kepala menolak keinginan Dinata. Itu tidak mungkin. Aku tidak mau berpisah dari suamiku. Aku tidak mau jadi janda. "Pah," kataku seraya menggapai kaki pria itu. Namun, dia menghindar. Dinata Wiratmadja tidak memperbolehkanku untuk menyentuh bagian tubuhnya. "Jangan katakan apa pun, Aruna. Perbuatanmu sungguh tidak bisa kami maafkan. Kamu penipu, kamu pengkhianat, kamu orang jahat. Orang sepertimu tidak pantas ada di lingkungan ini. Sekarang, kamu pergi dari sini!" Pelan, tapi tegas. Dinata Wiratmadja menyuruhku pergi seraya menunjuk ke arah luar di mana langit yang sudah menghitam dengan air hujan membasahi bumi. "Pah, tolong jangan suruh Bang Aldi untuk menceraikan aku, Pah. Tolo
Penyesalan itu selalu datang belakangan. Memberikan kesan mendalam di setiap perjalanan. Apalagi, perjalanan hidup yang aku jalani cukup pelik dan rumit. Maka rasa sesalnya pun tidak sedikit. Sangat dalam dan berbekas. Aku tidak akan pernah melupakan tentang hari ini dan sejuta kejutan yang kudapat. Termasuk ditinggalkan Luna dan ...."Bang Aldi ...." Aku mengucapkan satu nama yang sedang aku cari keberadaannya. Malam penuh drama di rumah Nyonya Marta telah berlalu. Sekarang, di sinilah aku berada. Di kontrakan sederhana yang jauh dari kata mewah. Duduk seorang diri seraya meratapi takdir hidup yang begitu menyedihkan. Aku kehilangan segalanya. Kebahagian, cinta, dan saudara. Kini aku benar-benar sebatang kara. Hidup seorang diri tanpa teman dan keluarga. "Ya Tuhan ... aku melupakan sesuatu," ujarku menyadari ada yang salah. Luna baru saja meninggal, tapi aku tidak sama sekali mengadakan pengajian. Astaga! Kakak macam apa aku ini? Sudahlah tidak becus menjaga dia, dan setelah dia
"Kakak tidak bisa baca doa, Dek. Kakak cuma bisa baca alfatihah untukmu," ujarku seraya menatap nanar pintu kamar yang terbuka. Tidak ada siapa pun yang datang. Jangankan manusia, lalat pun tidak sudi menghampiriku yang menyediakan ini. Semua makanan yang kubuat, aku masukan ke dalam kantong plastik besar. Kemudian aku menutup pintu dan berganti pakaian. Gamis yang tadi melekat di tubuh kutanggalkan, lalu menggantinya dengan celana jeans dan kaus longgar bertangan pendek. Rencananya, malam ini aku akan keluar untuk membagikan makanan ke anak-anak yang biasanya nongkrong di pinggir jalan sambil bernyanyi membahagiakan dirinya sendiri. "Pengajiannya udah selesai, Mbak?" tanya seorang wanita saat aku keluar dari kontrakan. Dia bersama temannya tersenyum saling melirik membuatku muak. Mereka seperti mengejekku. "Sudah, baru saja selesai," jawabku kemudian. "Ih, ketus banget. Biasa aja, kali."Aku yang baru saja turun dari teras kamar kontrakan, langsung membalikkan badan menatap w
Aku menoleh pada dia yang memanggil. Wajahnya melongok dari dalam mobil yang ia kendarai. Damar. Seketika amarahku kembali memuncak. Keinginan untuk mengakhiri hidup lenyap, berganti dengan keinginan untuk menghajar bahkan membunuh pria yang sudah menghancurkan hidup adikku. Aku loncat dari pembatas jalan, kemudian langsung masuk ke mobil Damar yang berada tepat di pinggir jalan. "Brengsek! Dasar bajingan! Kau telah membunuh adikku!" Aku meracau seraya terus memukul Damar dengan membabi buta. Tidak ada perlawanan dari laki-laki itu. Damar terlihat santai dengan kembali melajukan mobilnya yang beberapa saat tadi menghalangi jalan orang lain. "Kau harus mati seperti Luna yang telah pergi!" teriakku lagi seraya menarik-narik kerah baju Damar. "Sini, kau, Bajingan! Akan aku habisi dirimu sekarang juga!""Diam!!" Damar berteriak seraya mengerem mobilnya secara mendadak. Aku melepaskan tanganku darinya dengan mata masih menatapnya penuh kebencian. Dadaku naik turun setelah emosi meng
Mata ini rasanya berat untuk dibuka. Namun, kupaksa agar tahu di mana aku saat ini. Masih di dunia, ataukah sudah di alam baka? Mataku menyipit menahan silau cahaya dari atas sana. Semakin lama penglihatan aku tajamkan hingga kini benar-benar tahu cahaya apa yang menyilaukan penglihatanku. "Lampu?" kataku pelan. "Aku di mana?" Aku memindai ke sekeliling. Melihat sekitar tempatku berada sekarang. "Oh, apakah aku di rumah sakit? Aku masih hidup?" kataku lagi sadar akan tempat ini. Aku mencoba bangun, tapi sulit. Rasanya tubuhku sakit hingga tidak dapat bangun dan duduk. Sial. Damar benar-benar sudah membuatku tidak berdaya. Dia berhasil mencelakaiku, tapi gagal membunuhku. "Oh, ya ampun, Bu Aruna sudah bangun?" Seorang wanita terlihat begitu antusias melihatku yang membuka mata. Dia yang baru saja masuk, kemudian keluar dari kamar dan entah ke mana. Mungkin dia akan memberitahukan dokter kalau aku telah siuman. Atau ... polisi? Apakah aku akan dipenjara karena dilaporkan Dinata
"Mbak." Lidahku berucap kelu. Aku teramat kaget saat tahu siapa yang masuk ke kamarku. Alina. Dia datang tidak sendirian. Suaminya turut ikut dan kini mereka berdua benar-benar sudah berada di dekatku. Mata ini tak mampu mengalihkan pandangan ke lain arah. Rasa tidak percaya dan kaget luar biasa membuatku terus menatap mereka bergantian. Jangan-jangan ... Alina datang untuk balas dendam? Aku meneguk ludah dengan diiringi rasa takut juga khawatir. Namun, aku mencoba tenang meski dada ini berdebar. "Akhirnya kamu bangun juga setelah beberapa hari tidur, Aruna.""Hah?" Aku menyipitkan mata merasa heran dengan ucapan Alina. Beberapa hari dia bilang? Bukannya aku di sini baru satu malam?"Gimana keadaan kamu sekarang?" Kini Adikara yang bertanya. Namun, aku tidak menjawabnya. Aku malah bengong mencerna kata-kata Alina yang membuatku bingung luar biasa. "Ma–maksud Mbak Alina apa, ya? Beberapa hari? Bukannya aku di sini sejak malam tadi?" Akhirnya aku berucap setelah beberapa saat d
"Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan
Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"
Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli
Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb
Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel
"Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda
Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka
"Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika
"Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan