Amplop Isi Lima Ribu

Amplop Isi Lima Ribu

last updateLast Updated : 2023-02-19
By:Ā  Intan ResaCompleted
Language:Ā Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
9.8
8 ratings. 8 reviews
42Chapters
21.5Kviews
Read
Add to library

Share:Ā Ā 

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Perjuangan Zidan mengangkat derajat orang tuanya yang miskin dan selalu dihina, apalagi saat dipermalukan karena memberikan isi amplop hanya dengan uang lima ribu rupiah, uang terakhir yang mereka punya saat itu

View More

Chapter 1

Luka dan Harapan Baru

"Isi amplopnya cuma lima ribu, tapi bawa sekeluarga makan gratis. Urat malunya mungkin sudah putus," ujar Bu Tejo sinis, mengintip isi amplop harga lima ratusan yang sudah lusuh. Dari sekian banyak yang ngasih amplop di pernikahan putri sulungnya, dia hanya penasaran dengan jumlah nominal uang yang disalamkan Bu Wati sehingga langsung dibuka di tempat. 

Senyum perempuan berusia 40 tahun itu langsung pudar, mengenggam tangan kedua anaknya yang tadi merengek minta ikut ke pesta tetangga mereka. Pakaian yang warnanya memudar karena sering dipakai dan ditimpa matahar serta dipadukan dengan sandal jepit membuat penampilan mereka kontras dengan para tamu yang kebanyakan memamerkan perhiasan dan baju mahal. 

 

Bu Wati menarik tangan kedua anaknya dan melangkah cepat menuju rumah semi permanen mereka yang berjarak sekitar lima rumah. Hatinya berdenyut nyeri, merasa gagal jadi orang tua karena tak bisa memberikan yang terbaik buat anak-anaknya. 

 

Dia juga malu saat beberapa tamu undangan yang berdiri di dekat mereka tadi tersenyum dan berbisik-bisik. Ia merasa tak punya harga diri, tapi memang kenyataannya tak punya harta sehingga diam menjadi jalan terbaik. Selembar kertas berharga tadi merupakan uang terakhir yang ia punya. 

 

"Bu, maafin Ahmad."

 

"Aisyah juga, Bu."

 

Kedua anak Bu Wati ikutan menangis melihat orang tua satu-satunya menitikkan air mata tanpa suara. 

 

Perempuan dengan gamis merah bata yang sudah berkali-kali dijahit di bagian ketiak karena kesempitan itu mengusap sudut matanya dengan ujung jilbab. 

 

"Kalian tak salah, Nak. Ibu yang salah. Gara-gara Ibu, kalian lahir dari perempuan miskin ini," lirihnya. 

 

Dinding papan yang sudah banyak dimakan rayap menjadi saksi bisu saat ibu dan anak itu menangis pilu. Dinding yang menjadi pelindung dari tatapan iba orang-orang saat mereka sering menahan lapar. 

 

"Jangan pernah bilang begitu, Bu. Andai saja kami bisa dilahirkan kembali, kami akan tetap memilih Ibu menjadi orang tua kami. Ibu yang terbaik. Iya kan, Dek?" tanya Zidan, putra sulung Bu Wati yang sedari tadi mengintip dari balik jendela. Dia melihat sendiri saat ibunya tadi dipermalukan.

 

Remaja berusia 17 tahun itu bersimpuh dan memeluk ibu dan adiknya sekilas. 

 

"Iya, Abang. Kami sayang Ibu," ujar Ahmad yang diangguki si bungsu Aisyah.

 

Zidan tersenyum, melebarkan langkah, lantas merangkul ibu juga adik-adiknya. 

 

Ahmad dan Aisyah hanya berjarak dua tahun. Masing-masing mereka duduk di kelas 1 SMP dan 5 SD. Cukup terpaut jauh dengan Zidan yang sudah tamat SMA tahun ini. 

 

Ekonomi keluarga mereka memang terbilang kurang mampu, tapi entah kenapa tak pernah dapat bantuan dari pemerintah daerah maupun pusat. Tak pernah Bu Wati sesedih ini, ia selalu ceria meskipun uang di tangan tak seberapa. 

 

Namun, sejak meninggalnya sang suami dua tahun yang lalu, dia seperti kehilangan sandaran. Lelaki yang selalu menyemangatinya itu pergi meninggalkan duka mendalam. Bukan hanya soal mencari nafkah, tapi mereka kehilangan sosok panutan. 

 

Yang paling membebani hatinya yang masih rapuh, bulan ini mereka gagal panen. Sawah yang harusnya mencukupi makan mereka untuk beberapa bulan malah digerus banjir dari sungai yang meluap saat panen tinggal menghitung hari. 

 

Hatinya semakin gundah saat beberapa tetangga melakukan hajatan. Jika masih di kampung sebelah, masih bisa tidak datang. Namun, untuk acara pesta anaknya Bu Tejo dan Pak Supri, tak mungkin dia bisa mengurung diri untuk tidak datang. 

 

Teringat rengekan putra-putrinya kemaren, awal mula dia kini seperti mempermalukan diri karena iba. 

 

"Ibu kan, sudah bantu-bantu masak di sana, Ahmad dan Aisyah pengeen sekali makan daging, Bu," rengek putranya yang paling mirip dengan sang Ayah. Tatapannya memelas. 

 

"Iya, Bu. Kami makan bumbunya saja kalau gak boleh pakai daging," bujuk Aisyah. 

 

"Jangan, Nak. Kalian di rumah saja."

 

"Yaah, kita makan pakai kuah sayur lagi," lirih Aisyah. Sudah sering mereka hanya makan pakai sayur yang dipetik dari belakang rumah. Campurannya hanya garam, tanpa apa-apa. Belum lagi nasi yang mereka makan kualitas rendah, beras bantuan kurang mampu milik tetangga. Dijual karena terlalu lama disimpan hingga sedikit berbau. Sebenarnya lebih cocok dijadikan pakan ayam daripada konsumsi manusia. Tapi apa daya, upah sebagai buruh tani tak mencukupi untuk beli beras yang lebih baik. 

 

Terkadang, mereka makan lahap saat sang ibu membeli kepala ikan teri yang lebih murah harganya, menggorengnya lalu dicampur dengan nasi. Namun, itu tidak bisa setiap hari. 

 

Melihat wajah sayu kedua anaknya, Bu Wati akhirnya berjanji akan mengajak mereka siangnya untuk makan di pesta. 

 

Bu Wati pergi ke tempat ibu-ibu memasak, yang harum masakan itu sampai tercium ke rumahnya. Menyingsingkan lengan, melakukan semua pekerjaan yang ia bisa saat yang lain sibuk mengobrol di bawah pohon nangka. Membahas baju yang akan mereka pakai nanti. 

 

"Bu Wati ini rajin banget, ya. Harusnya cuma bantu-bantu saja," ujar seorang juru masak yang sengaja disewa dari kota. Beberapa anggotanya memakai seragam khusus dan lihai memasak berbagai macam makanan yang sudah disiapkan kemarin. 

 

"Gak apa-apa, Bu. Orang lain bawa bantuan, saya cuma punya tenaga," balas Bu Wati tersenyum. 

 

"Orang bikin pesta besar itu karena mampu, bukan mengharap bantuan dari orang lain. Ibu ini memang baik."

 

Tak terasa mereka mengobrol banyak dengan tangan terus bekerja. Begitu akrab bagai sudah lama kenal. 

 

"Jangan pulang dulu! Bawa sedikit makanannya buat anak-anak Bu Wati," ujar Bu Isma, sang kepala masak. 

 

"Tidak usah, Bu. Gak enak kalau dilihat orang," balas perempuan dengan daster lusuh itu. Tinggal dua orang saja yang duduk di pohon nangka, lainnya sudah bubar mau ganti baju. Namun, Bu Wati takut akan jadi bahan gunjingan nantinya. 

 

"Kalau begitu, bawa saja anak-anaknya makan di pesta nanti. Tidak usah sungkan. Bu Tejo itu teman lama saya. Dia itu berasal dari keluarga susah saat kami sekolah. Saya yakin, dia akan senang melihat tetangganya bisa ikut merasakan kebahagiannya sekarang," ujar Bu Isma. Kalimat yang benar-benar memberi keyakinan buat Bu Wati sehingga dengan mantap mengajak dua buah hatinya ikut makan rendang. 

 

Dia begitu bahagia saat melihat Ahmad dan Aisyah lahap menyantap nasi kualitas premium yang dipadukan dengan sepotong rendang ukuran paling jumbo yang pernah mereka makan. Mereka tak mengambil aneka lauk lainnya karena memang hanya tergiur dengan lauk berbahan daging sapi itu. 

 

Namun, siapa sangka, kebahagiaan sesaat itu telah berubah menjadi tangis. Saat semua orang di luar sibuk menikmati hidangan dan hiburan nyanyian dari biduan, keluarga kecil itu saling menguatkan. 

 

Cuaca yang tadi cerah seolah ikut marah melihat kesedihan empat jiwa itu. Petir di siang bolong dan cuaca bagus, suatu kejadian yang dianggap sebagian masyarakat sebagai pertanda akan ada yang menjadi janda atau duda. Musik terhenti sebentar, lalu kembali berdendang dengan irama yang membuat lutut ingin bergoyang. 

 

Bu Wati mengunci pintu dan jendela, mengajak Ahmad dan Aisyah tidur. Zidan duduk di atas karpet plastik yang sudah robek di beberapa tempat, meremas ujung baju sambil menutup mata. Dia pun merasa bersalah karena belum bisa mengantikan tanggung jawab ayahnya untuk menjadi tulang punggung keluarga. 

 

Sekitar jam empat sore, hujan turun begitu deras, membuat semua tamu undangan panik. Suara ketukan pintu membuat Zidan berdiri dan membuka benda persegi panjang itu. 

 

Matanya sedikit menyipit melihat seorang perempuan paruh baya berdiri di depan rumahnya. Dandanannya sudah memperlihatkan status sosialnya yang menunjukkan orang mampu. 

 

"Ini rumah Bu Wati, kan?" tanyanya. 

 

"I-iya, Bu. Silakan masuk," balas Zidan ragu. Tak merasa punya kerabat orang kaya. 

 

Bu Wati yang kebetulan mau menunaikan salat ashar terkejut melihat tamu. 

 

"Bu Isma? Kok bisa datang kemari, Bu?" tanyanya sungkan. Apalagi melihat sang tamu celingukan melihat rumah yang tidak dipasangi loteng itu. Air hujan pun membasahi beberapa tempat dan sekarang sudah ditampungi dengan baskom oleh Zidan. 

 

"Saya mau mengajak Bu Wati kerja di restoran saya di kota. Apa Ibu mau?" tanya Bu Isma penuh harap.

 

"Sa-saya ...." 

 

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

user avatar
China Sasat
ceritanya menarik untuk diambil pelajaran
2024-11-07 14:45:54
0
user avatar
Setia Lesmana
cerita ini menarik dan enak dibaca
2024-08-23 23:57:56
0
user avatar
Nunix"z
bagus ceritanya
2024-07-17 20:04:19
0
user avatar
Yopie Ardian
Bagus banget
2024-01-04 14:40:20
0
default avatar
Aslina
Bagus banget
2023-12-19 14:24:17
0
user avatar
Aniza Puteri
sambungla diskonan nya mbak ...
2023-03-29 20:21:35
0
default avatar
Bubblegum agasshi
Ceritanya menguras emosi sy saat membacanya ... Semangat Thor ...
2023-03-17 15:39:54
0
user avatar
Muhammad Anwar
bagus ceritanya
2023-08-03 21:44:06
0
42 Chapters
Luka dan Harapan Baru
"Isi amplopnya cuma lima ribu, tapi bawa sekeluarga makan gratis. Urat malunya mungkin sudah putus," ujar Bu Tejo sinis, mengintip isi amplop harga lima ratusan yang sudah lusuh. Dari sekian banyak yang ngasih amplop di pernikahan putri sulungnya, dia hanya penasaran dengan jumlah nominal uang yang disalamkan Bu Wati sehingga langsung dibuka di tempat. Senyum perempuan berusia 40 tahun itu langsung pudar, mengenggam tangan kedua anaknya yang tadi merengek minta ikut ke pesta tetangga mereka. Pakaian yang warnanya memudar karena sering dipakai dan ditimpa matahar serta dipadukan dengan sandal jepit membuat penampilan mereka kontras dengan para tamu yang kebanyakan memamerkan perhiasan dan baju mahal. Bu Wati menarik tangan kedua anaknya dan melangkah cepat menuju rumah semi permanen mereka yang berjarak sekitar lima rumah. Hatinya berdenyut nyeri, merasa gagal jadi orang tua karena tak bisa memberikan yang terbaik buat anak-anaknya. Dia juga malu saat beberapa tamu undangan yang ber
last updateLast Updated : 2023-01-31
Read more
Amukan Bu Tejo
Suara Bu Wati tercekat di tenggorokan, tak sanggup mengatakan apa-apa. Di saat masyarakat sekitar fakir empati, tawaran untuk memperbaiki taraf hidup justru datang dari orang yang baru dikenalnya. "Bu Isma tak bercanda, kan?" tanya Bu Wati akhirnya untuk memastikan kalau pendengarannya berfungsi dengan baik. Ia ragu kalau salah dengar karena baru bangun. Hujan juga lagi deras beradu dengan atap rumah yang otomatis lumayan bising. "Saya serius, Bu. Tadi saya perhatikan, Ibu sangat rajin dan lumayan tahu banyak dunia masak-memasak. Bukan maksud saya merendahkan, ya, Bu. Saya menawarkan pekerjaan karena memang lagi butuh anggota," balas Bu Isma seraya tersenyum. Sebenarnya dia tak berniat mencari karyawan baru, tapi melihat kejadian di tempat hajatan membuat hatinya terenyuh. Apalagi kejadian itu jadi bahan lelucon bagi tamu lain setelah Bu Wati pulang.Lisannya segan untuk menegur yang lain karena dia hanya tamu, tapi telinga juga tak nyaman mendengarnya. Akhirnya, dia duduk di sebuah
last updateLast Updated : 2023-01-31
Read more
Berangkat Ke Kota
Seluruh anggota keluarga dan tamu yang belum pulang mendadak riuh karena teriakan Bu Tejo. Tak terkecuali Bu Isma, begitu prihatin melihat dan mendengar sikap pongah teman lamanya. Jauh berbeda dengan Tejo remaja yang dulu begitu pemalu dan lembut. Sekarang, dia bahkan tak sungkan ribut dengan suami saat pesta baru usai. Suaranya terdengar jelas ke ruang tamu dimana tamu sedang istirahat. Sekarang, Pak Supri jadi korban pertengkaran mereka dan harus dilarikan ke puskesmas terdekat. Tangis Bu Tejo tak kentara dan terus meminta maaf pada sang suami. "Mungkin ini pertanda gluduk tadi siang. Bu Tejo mau jadi janda," celetuk seseorang. "Kalau udah janda, berarti gak bisa sombong lagi dong.""Ihh, mending Pak Supri aja deh yang jadi duda. Aku gak rela kalau lelaki berkharisma seperti beliau meninggal cepat.""Halah, bilang saja pengen jadi istri barunya orang kaya. Janda pengharap," timpal yang lain, lalu terbahak-bahak. Bu Isma menggeleng-gelengkan kepala mendengar percakapan ibu-ibu
last updateLast Updated : 2023-01-31
Read more
Tiba di Kota
Bu Wati mengucap istighfar beberapa kali. Tak ada gunanya dia menjawab, hanya memperpanjang masalah saja. Lebih baik mendoakan Zidan agar tidak seperti yang disebutkan Bu Tejo. Melangitkan doa langsung kepada Yang Maha Kuasa."Astaga, Tejo Tejo. Namamu itu artinya cahaya, tapi kelakuanmu suram. Lagian, nama laki-laki kok dipakai perempuan? Pantas aja kelakuannya pun sudah kayak preman, sampai membahayakan suamimu sendiri," kekeh Bu Irma, orang kaya yang merupakan saingan Bu Tejo. Hanya dia dan keluarga yang tidak diundang ke pesta pernikahan putri sulung Bu Tejo. "Nama-nama saya, apa urusannya buat kamu? Ngapain kamu disini?" sergah Bu Tejo, berkacak pinggang melihat perempuan yang selalu modis dan cantik itu menghinanya. Apalagi di depan Bu Wati, orang yang selalu jadi bulan-bulanan hinaannya . Pemilik nama lengkap Tejo Nikmatul Wardiah itu memang sengaja diberi nama Tejo oleh orang tuanya dengan harapan kehidupan ekonomi mereka bercahaya dan dikaruniai adik laki-laki kelak. Dan …
last updateLast Updated : 2023-01-31
Read more
Najwa
"Halo! Halo, Zidan."Bu Wati memanggil-manggil karena sejak tadi tak ada yang menyahut."Maaf, Bu. Tadi jaringan kurang bagus," dusta Zidan. "Oh, kamu baik-baik di sana, ya, Nak. Makasih banyak karena berkat kamu, adik-adikmu bisa makan enak hari ini. Ibu juga sudah memesan tukang buat betulin atap rumah kita yang bocor. Makasih sekali lagi, ya, Nak.""Ya Allah, Bu. Tak pantas Zidan mendengar terimakasih dari Ibu. Sampai kapan pun, Zidan tak akan mampu membayar semua jasa Ibu," lirih lelaki yang baru lulus SMA itu. "Ibu tak pernah meminta balasan, Nak. Ya sudah, kamu baik-baik di sana. Batre hape Ibu udah mau habis," ujar Bu Wati. Obrolan pun berakhir, lumayan bisa mengobati sedikit kerinduan. Zidan mengembalikan ponsel Bi Ina dan tak lupa mengucapkan terima kasih. Entah kenapa, dia tak ingin memejamkan mata. Rasa lelahnya tak sebanding dengan semangatnya sehingga memutuskan keluar, memandangi bunga-bunga nan indah yang tersusun rapi menghiasi rumah bak istana. "Heh, siapa kamu?
last updateLast Updated : 2023-01-31
Read more
Masih Kasar Saat Berduka
Zidan tak banyak tanya saat anak majikannya menyuruh Pak Alatas, membawa mereka ke sebuah tempat. Dua orang laki-laki menyambut dan mengacungkan jempol saat Najwa memberikan perintah. "Hmm, apa dia calon pacar lo?" bisik salah satu lelaki itu, melirik Zidan yang sudah masuk ke dalam gedung barbershop dan merangkap salon khusus laki itu. Gedung berwarna abu-abu itu selalu ramai pengunjung, apalagi Surya dan temannya join usaha itu. Di sampingnya, ada juga toko khusus pakaian laki-laki yang membuat tempat usaha mereka selalu ramai. "Enak saja lo. Seenak jidat ngatain gue. Emang lo pikir, gue gak laku sampai pasrah macarin anak kampungan gitu," cibir Najwa, memukul bahu teman SMA-nya itu. "Dia sepupu jauh gue dari kampung," imbuhnya, enggan diledek terlalu perhatian kalau mengatakan Zidan adalah pegawai baru restoran mereka. Lelaki bernama Surya itu membulatkan bibir, mengangguk paham. "Gue duluan, Gaes. Biayanya nanti gue transfer. See you," pamit Najwa. "Saya duluan ke resto, Pak
last updateLast Updated : 2023-02-01
Read more
Bu Tejo, Awass!
"Istighfar, Tejo. Apa kamu gak malu di depan jenazah suamimu?" tegur Nek Iyut, sang guru ngaji yang juga dihormati. Sebagian menghormati karena memang beliau orang yang ikhlas mengajari anak-anak mengaji tanpa dipungut bayaran, tapi ada juga yang segan sebab Nek Iyut masih tergolong salah satu orang terpandang. Bu Tejo tak menggubris, kembali meraung, memeluk tubuh tak berdaya itu. Bu Wati keluar pelan-pelan, duduk bergabung dengan para pelayat lainnya di teras. Tenda biru dan teratak didirikan para remaja dan bapak-bapak secara gotong royong. Menata kursi plastik di bawahnya karena orang-orang yang hendak bertakziah sudah ramai. Pergaulan Pak Supri sangat luas, didukung dengan ekonomi yang memadai sehingga bebas mau kemana saja. Rajin melayat maupun menghadiri pesta membuatnya banyak dikenal orang. Belum lagi sawahnya yang lumayan luas dan sebagian digarap warga kampung sebelah. Bertolak belakang dengan suami Bu Wati dulu. Hampir tak ada yang kenal, kecuali sudah disebutkan nama
last updateLast Updated : 2023-02-11
Read more
Perubahan Sikap Najwa
ā€œNon, apa kamu marah sama saya?ā€ tanya Zidan saat berpapasan dengan putri majikannya yang beberapa hari terlihat cuek. Dia merindukan omelan perempuan muda itu. Lebih baik diomeli daripada didiamkan seperti itu.ā€œKenapa kamu berpikir kalau aku marah, hah?ā€ bentak Najwa, duduk di sofa dan menyilangkan kaki. Ia mengambil toples yang berisi kacang sangrai, membuang kulitnya sembarangan.ā€œCepat bersihkan itu!ā€ perintahnya.Zidan tersenyum, mengambil sapu dan mengumpulkan sampah kulit kacang itu. Kata ayahnya dulu, kalau perempuan cerewet mendiamkan lelaki, itu tandanya sedang marah besar. Namun, kalau sudah bisa cerewet lagi, berarti marahnya telah hilang.Entah teori itu benar atau tidak, tapi Zidan percaya saja karena melihat ibunya juga seperti itu. Tidak mau menegur lagi kalau diantara tiga anaknya ada yang nakal setelah berkali-kali dinasehati.ā€œKenapa kamu malah senyam-senyum?ā€ sergah Najwa, merasa aneh dengan sikap pemuda itu. Dimarahi, tapi dia memilih tersenyum, seolah tidak ad
last updateLast Updated : 2023-02-11
Read more
Salah Tingkah
Seorang laki-laki berkemeja lengan panjang warna putih bersimpuh di hadapan gadis bertubuh tinggi semampai. Menyodorkan setangkai mawar merah ke hadapan gadis manis berkerudung warna yang sama dengan bunga di tangan pemuda itu. "Maukah Non Najwa jadi nyonya di hatiku, menjadi menantu ibuku, ipar yang baik bagi adik-adikku, serta bundanya anak-anakku kelak?" lirih pemuda itu sambil memamerkan senyuman seperti biasa, tapi sanggup melelehkan es di hati gadis itu. Najwa memutar badan agar tidak tepat berhadapan dengan lelaki muda bernama Zidan itu. Mengulum senyum malu-malu, lalu berdehem. "Aku mau," balasnya cuek. "Alhamdulillah.""Eits, jangan senang dulu! Buatin aku mesjid dengan sepuluh menara dalam satu malam. Kamu sanggup?" tanyanya dengan angkuh. Sudut bibirnya terangkat, tersenyum meremehkan. Gemetar laki-laki itu dan menundukkan kepala. "Aku tak bisa memerintah jin membantuku seperti Bandung Bondowoso. Dan … kamu bukanlah Roro Jongrang yang berakhir menjadi arca. Aku cuma
last updateLast Updated : 2023-02-11
Read more
Kawin Lari?
"Kamu kenapa, Najwa? Sakit?" cecar Bu Isma, cemas melihat putrinya yang keringatan. Telapak tangan anak gadisnya juga pucat dan dingin. Namun, saat diraba keningnya, tidak menunjukkan tanda-tanda kalau sedang sakit. "Mungkin kelelahan, Bu," timpal Bu Wati."Iya, Bu. Dia memang kurang bisa kalau perjalanan jauh. Saya juga gak ngajak sebenarnya, tapi dia ngotot mau ikut, sampai bela-belain minum obat biar gak muntah-muntah di jalan," jelas Bu Isma yang membuat Najwa tersenyum malu."Kalau mau istirahat, ayo ke kamar, Nak. Tapi mohon maklum, pasti tidak seempuk kamar Nak Najwa."Gadis itu menggeleng pelan mendengar tawaran ibunya Zidan. Dia memang lelah, tapi masuk kamar bukanlah solusi yang baik. Dirinya sudah terlahir sebagai orang kaya sejak kecil dan tak pernah merasakan yang namanya kasur lapuk dan apek. Ya, dia membayangkan kalau kamar dari rumah sederhana itu pastinya tidak akan seimbang dengan empuknya ranjang yang selama ini ditempatinya. Apalagi melihat dua anak kecil yang mer
last updateLast Updated : 2023-02-12
Read more
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status