"Jangan bercanda, Sheila! Gak lucu, tahu. Uh, untung saja aku kenal kamu udah lama. Sudah paham dengan candaan kamu. Eh, tapi akting kamu bagus loh, kayak natural gitu," kekeh Zidan. "Oh iya, kamu kuliah di mana sekarang?" tanyanya, mengalihkan pembicaraan. "Aku serius. Bawa aku lari, Zidan. Sebenarnya aku sudah suka sama kamu sejak dulu, tapi Ibu selalu membatasi pergaulanku, sampai memaksaku pindah sekolah gara-gara dekat sama kamu," beber gadis yang mengenakan baju terusan sebetis itu. Zidan membeliakkan mata, terkejut mendengar pengakuan anak kedua Bu Tejo yang tak terduga. Dia mulai gelisah, takut kalau tiba-tiba ibu dari gadis itu muncul seperti tadi. Mau menyuruh Sheila pulang, tapi kelihatan kalau wajah gadis itu sedang tertekan. "Itu hanya cinta monyet kalau kata orang-orang. Jangan bercanda lagi, She. Wajar kalau ibu kamu membatasi pergaulan anaknya, beliau pasti menginginkan yang terbaik buatmu. Itu semua bukti kalau beliau menyayangimu, Sheila," balas Zidan. Matanya te
"Siapa dia, Zidan? Aku takut," lirih Najwa, menarik-narik lengan pemuda yang sedang duduk di bangku samping sopir. Kesombongan yang sering ia tampakkan menguap karena rasa takut yang mendera. Dua adik Zidan yang duduk di samping kiri dan kanan Najwa pun mulai menangis. Senyum ceria yang baru tersungging langsung berganti dengan hawa ketakutan. "Biar saya lihat dulu, Neng. Jangan panik!" ujar Pak Alatas. Dia mendorong pintu mobil dan bersiaga, mengambil analcang-ancang untuk memukul pengendara motor misterius itu. "Siapa kamu? Jangan cari masalah!" bentak Zidan, ikutan keluar. Berdiri lebih dekat kepada orang yang memakai pakaian serba hitam itu. Dia meminta Pak Alatas agar tidak menyerang jika memang tak membahayakan. Mata Zidan membeliak saat orang itu membuka helmnya. Ternyata bukan laki-laki, melainkan perempuan dan dia adalah Sheila. "Ini aku, Zidan. Maaf membuat kalian kaget dan takut," kekeh gadis berambut lurus itu. "Aku suntuk di rumah. Aku boleh ikut sama kalian, ya?" re
Bu Isma menghela napas panjang, menyaksikan empat tamu itu keluar sambil mengumpat. Dirinya ikutan kesal melihat kelakuan Bu Tejo, sudah ditatar sejak tadi siang untuk mengatakan apa yang harus dibicarakan, tapi malah mengucapkan hal lain. Bu Isma ditinggalkan sang suami setahun lalu karena kecelakan. Kebetulan dirinya dan sang mendiang suami adalah anak tunggal sehingga tak punya keluarga lain lagi, kecuali saudara jauh. Jika punya masalah, dia tak punya teman berembuk. Hanya teman jauh yang terkadang bisa jadi tempat bercerita. Meskipun terkadang tak memberikan solusi, tapi dirinya merasa lega kalau sudah meluapkan keluhannya. Salah satu yang paling rajin mendengar keluh kesahnya pasca ditinggal pergi suami selamanya adalah Bu Tejo. Rata-rata temannya sukses dan tak tak punya waktu luang untuk sekedar sharing. Bu Tejo yang tidak bekerja punya banyak waktu senggang untuk berbagi cerita suka dan duka. Sisi baik yang dikenang dan dihargai perempuan kota itu sehingga sekarang menyempa
"Mamaaa! Ih, bikin kesal sih."Najwa berlari pulang ke rumah Bu Tejo, menghempaskan badan di atas ranjang. Dia kira, penampilannya akan dipuji, tapi ternyata ditertawakan mamanya sendiri. Masih bisa dilihatnya kalau Bu Wati dan Zidan pun mengulum senyum. Dia semakin malu. Niat hati agar tampil sempurna, tapi ternyata salah kostum. Mau gimana lagi, baju yang dibawanya tinggal dua dan baginya itu yang paling bagus. "Kenapa cara berpakaian kamu mendadak aneh, Sayang? Kalian mau ke pasar, loh. Pasar di sini bukan supermarket. Masih becek-becek, apalagi kemarin sore sempat hujan," ujar Bu Isma, yang langsung menyusul dan duduk di sisi ranjang, di samping putrinya. Dia merasa bersalah karena telah menertawakan anak gadisnya di depan orang lain. Suatu hal yang sangat jarang dia lakukan, karena menjaga perasaan anak juga penting. Namun, tadi dia tak bisa mengontrol diri, apalagi sudah merasa dekat dengan Zidan dan Bu Wati. "Maafin Mama, ya, Sayang. Mama gak berniat mau menertawakanmu, ko
"Astaghfirullah, apa ini, Zid? Kok banyak banget?" cecar Bu Wati, menyongsong putranya yang sedang menjinjing dua plastik besar. "Kerjaan Non Najwa nih, Bu. Katanya malu beli seperempat, jadi dibelinya segini banyak," jelas pemuda yang memiliki tahi lalat kecil di atas bibirnya. "Dia gak bisa disuruh, Bu. Gak pernah disuruh belanja sendiri."Bu Wati terlihat cemas. Mau protes pada anak gadis yang sudah masuk ke dalam mobil itu juga rasanya tak mungkin. Segan lebih tepatnya. Mau dikembalikan ke penjualnya, mereka juga gak tahu yang mana lapaknya. "Pasti ini mahal, Zid. Kalau harus mengganti uangnya sekarang tidak akan cukup. Duh, gimana, ya?""Biar aku aja yang bilang sama Bu Isma nanti, Bu, agar gajiku dipotong saja sebagian per bulan seperti biasa," ujar Zidan, tersenyum tipis. "Tapi, Nak, kamu juga butuh uang untuk menabung. Ibu tidak mau kalau semua hasil keringatmu habis tak bersisa.""Aku kerja kan, buat Ibu dan adik-adik juga. Jika memang habis, insya Allah aku ikhlas, Bu. Ua
"Enak banget, nih. Pasti belum pernah merasakan masakan seperti ini," ujar Bu Tejo. "Yakin gak mau lagi?" "Untukmu saja, saya sudah kenyang," balas Bu Isma. Dia sudah mencicipi sedikit untuk memastikan apa yang di pikirannya. Benar saja, rasanya sama persis. "Oh iya, tadi acara ngaji di rumah Bu Wati masak apa?" tanya Bu Wati. Mulutnya terus saja mengunyah. "Soto.""Oh, tumben banget dia pakai masak segala. Pasti gak enak tuh, secara dia gak pernah masak yang enak," cibir perempuan yang baru datang shopping itu. Belum sempat ganti baju, dia sudah sibuk makan."Kamu berani komentar, padahal tidak mencicipi. Kayaknya kamu benci banget sama Bu Wati. Memangnya ada masalah apa sama dia?"Bu Isma muali tidak suka dengan sikap Bu Tejo yang terus berkata buruk. Seharian bersama, ia merasa kalau ibu dari karyawannya itu orang baik dan ramah. Rasanya kurang yakin kalau mereka pernah punya masalah. Apalagi kalau Bu Wati yang mulai. "Loh, saya bicara fakta. Kami gak ada maslah kok. Dia memang
"Ada apa ini? Kenapa Zidan sampai didorong begini, Bu Eka?" bentak perempuan itu, membantu Zidan berdiri. Pelayan restoran lainnya mulai berbisik-bisik, tapi tak ada yang berani mendekat. Semuanya pura-pura sibukSang kepala koki tersenyum kikuk, ingin menyembunyikan wajahnya ke bawah panci saja kalau bisa. Tak menyangka kalau anak Bos yang setahunya kuliah hari ini, sekarang malah sedang berdiri di depannya.Sejak awal, dia memang tak suka melihat Zidan, pemuda yang berasal dari kampung itu. Menurutnya terlalu cari muka dan sok polos. Saat Bos pamit mau ada urusan sebentar, kesempatannya meluapkan emosi yang terkurung. Dia tak bisa melampiaskannya selama ini karena pemuda itu selalu datang bersama Bu Isma maupun Najwa. "Saya gak sengaja mendorongnya, Neng. Lagian dia memang pemalas, kerjaannya menggosip saja kayak perempuan," fitnah perempuan yang sudah memiliki anak empat itu. Wajahnya pucat pasi, takut melihat anak Bos yang satu ini, terkenal akan mulutnya yang pedas. Demi menyela
"Mama ih, aku masih muda. Buat apa cepat-cepat nikah? Aku mau fokus belajar dulu, kerja, baru deh nikah. Aku belum mau kalau ada yang ngekang dengan berbagai tanggung jawab," balas Najwa dengan bibir mengerucut. Wajahnya sudah memerah, dengan terburu-buru menenguk minuman. Air conditioner yang terpasang di ruangan itu tidak mampu menghilangkan rasa gerah yang menjalar. "Hmm, pernikahan itu tidak mengekang kok, Najwa. Memang manusia itu tidak boleh terlalu bebas. Kita harus tunduk pada aturan-aturan agama maupun norma-norma. Semuanya demi kebaikan kita sebagai manusia," balas Bu Isma, tersenyum melihat putrinya yang terlihat salah tingkah. "Kalau Mama perhatikan, kamu sepertinya lagi suka sama seseorang. Mama gak tahu pasti, ya, tapi cuman sekedar menebak saja. Mama gak akan larang kamu kalau mau nikah muda, asal jangan dengan mudah pacar-pacaran saja. Mama juga berdosa nantinya. Jadi, cerita dong sama Mama, kamu lagi jatuh cinta sama siapa, ya?" lanjut perempuan paruh baya itu, men
Rumah Bu Wati kembali lengang setelah anak, menantu, cucu dan besannya pulang. Hanya celotehan Vania yang tak ada habisnya memberikan warna yang berbeda. Ahmad dan Saripah juga sudah istirahat di kamar karena selama bertamu, mereka paling direpotkan sebagai tuan rumah. "Nenek, Bang Erlang dan Kak Airin sudah sampai rumah mereka?" tanya gadis kecil itu. Bu Wati terkekeh. "Baru satu jam mereka pergi, Van. Masih jauh. Kamu rindu, ya?""Iya, Nek.""Nanti mereka akan telpon kalau sudah istirahat di jalan atau sampai, ya. Sabar, ya, cucu Nenek yang cantik."Vania mengangguk bahagia. Matanya tertuju pada beberapa temannya yang mengintip di dekat pintu, lalu memanggil untuk bermain di luar. "Mainnya jangan jauh-jauh, ya!""Iya, Nek." Kompak anak-anak itu mengiyakan. Sekarang gantian Bu Wati yang tak ada teman mengobrol. Kemaren Bu Tejo yang kesepian, sekarang dia sedang sibuk bermain dengan cucu-cucunya. Tawanya begitu lepas setelah anaknya Juniarti mau bicara dan duduk dipangkuan sang n
"Ibuuuuu! Harusnya Ibu masih tinggal di rumah Kak Najwa dan Bang Zidan agar aku bisa sering berkunjung. Apalagi Kak Najwa sedang hamil."Aisyah melancarkan serangan bujuk rayu. Setelah pesta kemarin, ia dan keluarga suami menginap di hotel di sebuah kabupaten yang baru pemekaran menjadi pemerintahan kota. Tak begitu jauh dari rumah Bu Wati, cuma sekitar sejam perjalanan. Sekalian mereka pergi jalan-jalan dulu sebelum kembali ke kota. Mereka memang berencana balik bersama keluarga kecil Zidan dan Najwa."Tante, gak boleh cengeng. Ini Nenek aku!" Vania berkacak pinggang. Gadis kecil dengan rambut yang dikuncir itu mengerucutkan bibir."Sok berkuasa! Ini Nenek aku juga," cetus Erlang."Nenek aku! Ayaaaah!" seru Vania, mengadu pada Ahmad."Harus akur dong, Sayang. Ini nenek Vania, neneknya Airin, neneknya Erlang juga. Semuanya sama-sama sayang Nenek, kan?" tanya Bu Wati.Ketiga anak itu kompak mengiyakan."Kalau begitu, peluk dan cium Nenek sama-sama!" titah Ahmad.Bu Wati berjongkok, mem
Beberapa tahun kemudian, berketepatan pada bulan syawal, rumah Bu Wati begitu ramai. Akan ada acara bahagia. Anak, menantu dan cucu-cucu serta kerabat sedang makan berbagai olahan khas hari raya. Cucu kembar jandanya Pak Imran itu paling heboh. Karena merasa paling tua di antara anak-anak lainnya, yang perempuan terus mengkoordinasi sepupunya untuk tertib. Namun, yang satu lagi malah bikin ulah, suka menjahili yang lain.Di sana ada Bu Tejo juga, memakai kaca mata karena penglihatannya sedikit mulai terganggu. Berulang kali dia mengusap mata yang menghangat. Tahun ini tidak ada anak menantunya yang menemani. Begitu pulang solat idul fitri, dia langsung diajak Bu Wati ke rumahnya.Rio dan istri sedang pergi liburan beberapa hari yang lalu dan mengabarkan belum bisa pulang. Mungkin beberapa hari lagi. Bu Tejo sangat kesepian dan akhirnya tak menolak tawaran bertandang ke rumah orang yang paling sering membelanya."Nenek! Lihat! Si Erlang nakal!" seru Vania, putra dari Ahmad yang berusia
"Oh, jadi kamu jatuh cinta sama seseorang, tapi dia memilih yang lain? Gak nyadar gitu kalo kamu sudah suka sama dia sejak duku?"Sheila mengangguk."Kok bisa sama, ya?" tanya Jerikho dengan kening berkerut. Setelah berbagai cara dan alasan dia lakukan, akhirnya gadis bernama Sheila itu mau bicara dengannya. Dia tertarik pada gadis kampung itu sejak pertama berjumpa. Entahlah, apakah karena dia sedang galau setelah gadis yang dulu menolaknya telah menikah dengan rekan bisnisnya. Dunia terkadang sesempit itu. Tak bisa dihindari, padahal sudah mati-matian berusaha menjauh.Awalnya gadis yang sudah konsisten berjilbab itu cuek, lama-kelamaan mau diajak bicara. Sheila hanya menganggap teman karena sadar kalau dia sedang putus asa, merasa tak akan ada yang bisa menggantikan posisi Zidan di hatinya. "Sama? Maksudnya Bos juga di tinggal kawin sama cewek yang Bos suka?" "Ya, begitulah. Parahnya, aku datang di acara mereka tanpa tahu kalau pengantinnya adalah perempuan yang mematahkan hatiku
Assalamualaikum dan semangat sore, Bestie😍😍Kemesraan iniJanganlah cepat berlaluKemesraan iniIngin kukenang selaluHatiku damaiJiwaku tentram disampingmuHatiku damaiJiwaku tentram bersamamuSuara pengamen itu ternyata cempreng dan tidak nyaman di telinga. Untung saja dia menyanyikan intinya saja. Selembar uang warna biru diberikan Zidan pada lelaki itu. "Makasih, Mas. Semoga umurnya panjang dan rejeki berlimpah."Pemuda itu terlihat senang, bagai mendapat rejeki nomplok. Mengusap dada berkali-kali. Kelihatan kalau uang itu sangat berharga buatnya. "Ngapain dikasih banyak sih, Bang? Lagunya aja gak enak," protes Najwa setelah pemuda bercelana sobek-sobek di lutut dan betis itu pergi. "Gak apa-apa. Dia gak ngemis loh, Sayang. Sekalian biar kamu gak kelamaan malunya sama dia," kekeh Zidan. Najwa mengerucutkan bibir. Wajahnya masih sedikit memerah karena salah paham tadi. "Habisnya itu orang emang ngeselin, kok. Dia bilang tante sambil menatapku."Bu Wati tertawa sekilas. Mena
"Astaghfirullah, sampai lupa ngajak kalian masuk. Ayo semuanya, kita ngobrol di dalam!"Bu Isma merangkul bahu perempuan yang seumuran dengannya. Dia sebenarnya lebih muda beberapa bulan dari Bu Tejo, tapi nikah muda dan cepat dipercayai keturunan. Itu sebabnya putra pertama Bu Isma lebih tua dari anak sulung sahabatnya. Namun, karena Bu Tejo pernah cerita dia lebih tua sedikit, jadilah Sheila lebih nyaman menyebut Bu Isma dengan sebutan tante. Terlebih wajah perempuan paruh baya itu kelihatan lebih muda dari ibunya. "Hai, siapa namamu?" Jerikho mengulurkan tangan untuk bersalaman. Sheila menatap sekilas, lalu mengambil tasnya dan masuk mengikuti yang lain. Rio sudah kebelet mau ke toilet dan tak menunggu kakaknya lagi sehingga tinggal mereka berdua. "Sombong banget, sih? Atau ada perasaan yang harus dijaga? Oh, atau laki-laki tadi calon suamimu?" cerocos Jerikho asal. Dia ingin mendengar suara perempuan itu. "Sembarangan. Dia itu adikku dan … Anda jangan terlalu sok akrab," cetus
Tangan Bu Tejo bergetar mengambil sendok, entah kenapa canggung di dekat anak-anak. Bulir bening di pelupuk mata Bu Tejo dan Sheila, tak bisa diajak kompromi lagi, jatuh tanpa permisi. Sheila pegangi pergelangan tangan perempuan yang memberikannya kejutan manis hari ini, menuntun tangan ibunya agar pas masuk ke mulut. Senyum Rio tercetak jelas melihat ibu dan adiknya terlihat akrab. Ia pun berinisiatif menyuapi dua perempuan itu bergantian. "Assalamualaikum, Bu Tejo!""Masuk! Gak dikunci kok." Bu Tejo buru-buru mengusap wajah. Seseorang masuk kedalam dalam rumah dengan menjinjing satu kantong kresek. "Wah, lagi makan, ya. Maaf menganggu. Ini saya bawa titipan sambal dari Mbak Wati. Katanya buat Bu Tejo, titip salam agar cepat sembuh," ujar perempuan itu, meletakkan kresek berisi sepuluh botol sambal aneka rasa. "Alhamdulillah, makasih, Retno. Baik sekali mereka. Kebetulan saya belum belanja kebutuhan dapur. Ini bisa menambah nafsu makan."Retno melempar senyum. Sebenarnya dia mal
"Antara Bu Tejo dan Bu Irma, sebenarnya gak ada yang layak dipilih. Sama-sama nyebelin dan sombong. Kalau Bu Irma memilih kabur, Bu Wati kembali ke perantauan, jadi bakalan Bu Tejo yang kembali merasa berkuasa. Secara kan, harta dia sudah dikembalikan adik-adik iparnya. Dia kaya-raya lagi. Dia pasti semakin sombong. Pas miskin saja dia masih belum berubah. Belagu.""Bener banget, Bu. Dia pasti makin sombong lagi. Saya sering sakit hati dibuatnya. Makanya saya semangat sekali memukulinya tanpa bukti yang jelas malam itu. Terlanjur greget, saya kebablasan mendapat momen bagus. Coba aja ada kesempatan lagi."Gelak tawa pun mewarnai obrolan."Bener, Bu. Tapi untunglah kita gak dipenjara. Tahu gitu, kukasih cabe rawit giling saja bibir Bu Tejo biar jontor."Gelak tawa ibu-ibu yang pernah sakit hati pun membahana sekali lagi. Langkah Bu Tejo yang berniat mau belanja di warung kelontongan berhenti."Kalau boleh milih, ya, kan, mending Bu Wati balik ke kampung ini. Dia orangnya baik, ramah da
"Jerikho? Kamu juga di sini? Kok bisa?" cecar Cindy saat melihat sepupunya juga datang. Tanpa saling tahu. Setelah kabar pernikahan Najwa ditetapkan, mereka tak pernah bicara. "I-iya, Mbak. Jadi kalian di sini sebagai keluarga dari mempelai perempuan?""Iya. Jadi kamu kenal Zidan juga?" Cindy balik bertanya. Bahu pemuda yang lebih putih dan tampan dari Zidan itu terkulai. Dia memang menaruh hati pada Najwa sejak pertama kali berjumpa. Diam-diam menyukai adik ipar dari kakak sepupunya hingga suatu hari meminta Cindy menjodoh-jodohkan mereka. Namun Najwa dengan tegas menolak karena hatinya sudah terpaut pada seorang pemuda biasa. Bertahun-tahun berbisnis bersama, pemuda yang yang kini berusia 28 tahun itu harus patah hati lebih dalam. Belum cukup sakit hati karena ditolak, sekarang dia harus dihadapkan pada kenyataan kalau perempuan idamannya harus menjadi pendamping rekan bisnisnya. Jerikho memiliki gerai minimarket dan menjual kembali aneka sambal milik Zidan. Dia sering bertandan