Share

Tiba di Kota

Penulis: Intan Resa
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-31 13:45:23

Bu Wati mengucap istighfar beberapa kali. Tak ada gunanya dia menjawab, hanya memperpanjang masalah saja. Lebih baik mendoakan Zidan agar tidak seperti yang disebutkan Bu Tejo. Melangitkan doa langsung kepada Yang Maha Kuasa.

"Astaga, Tejo Tejo. Namamu itu artinya cahaya, tapi kelakuanmu suram. Lagian, nama laki-laki kok dipakai perempuan? Pantas aja kelakuannya pun sudah kayak preman, sampai membahayakan suamimu sendiri," kekeh Bu Irma, orang kaya yang merupakan saingan Bu Tejo. Hanya dia dan keluarga yang tidak diundang ke pesta pernikahan putri sulung Bu Tejo. 

"Nama-nama saya, apa urusannya buat kamu? Ngapain kamu disini?" sergah Bu Tejo, berkacak pinggang melihat perempuan yang selalu modis dan cantik itu menghinanya. Apalagi di depan Bu Wati, orang yang selalu jadi bulan-bulanan hinaannya . 

Pemilik nama lengkap Tejo Nikmatul Wardiah itu memang sengaja diberi nama Tejo oleh orang tuanya dengan harapan kehidupan ekonomi mereka bercahaya dan dikaruniai adik laki-laki kelak. Dan … dia memang akhirnya memiliki adik laki-laki, tapi kehidupan mereka tetap susah. Setelah datang pinangan dari Pak Supri, orang terkaya di kampung Marpirpir, barulah mereka merasa kalau nama Tejo itu membawa keberuntungan.

"Saya ke sini niatnya mau melayat. Kalau ada kemalangan, tidak diundang pun wajib datang. Kirain di sini memang ada tangisan pilu, eh rupanya Bu Tejo sedang tertawa bahagia," ujar Bu Irma, mengusap kepalanya yang ditutupi kerudung warna hitam. Pakaiannya juga berwarna senada, khas orang-orang yang mau melayat. Hobinya hampir smaa dengan Bu Tejo, mencari gara-gara. 

"Kalau mau menghina orang kecil, itu gak pantas. Lawannya gak seimbang, Bu Tejo. Masa Bu Wati yang tak punya apa-apa untuk dibanggakan, kamu hina terus. Kalau berani, lawan saya," kekeh Bu Irma, lalu pulang tanpa menunggu jawaban Bu Tejo. 

Beberapa orang tertawa, lalu bungkam saat melihat tatapan menusuk perempuan yang sedang terbakar api amarah itu. Saat ia tersadar, Bu Wati sudah tak ada di tempat. Dengan menghentak-hentakkan kaki, dia masuk ke rumah dengan kesal.

Di lain tempat. 

Sepanjang perjalanan menuju kota yang menghabiskan waktu sekitar 6 jam perjalanan, Zidan tak pernah merasa ngantuk.  Ia melirik sekilas, semua rombongan di kursi penumpang telah tertidur. 

"Kalau ngantuk, tidur saja, Nak Zidan, " ujar sang sopir yang sejak tadi memperhatikan remaja berkulit agak gelap itu. 

"Saya belum pernah melihat berbagai macam keindahan alam maupun bangunan seperti ini, Pak. Saya mau merekamnya di memori otak," balas Zidan. Matanya menatap keluar jendela mobil, tersenyum bahagia. 

Pak Alatas, supir kepercayaan Bu Isma itu tertawa sekilas. 

"Kamu itu polos banget, Nak. Semoga keras dan liarnya dunia kota tak terlalu mempengaruhimu," ujarnya.

"Aamiin, Pak."

Tak terasa, minibus itu akhirnya berhenti di depan sebuah ramah bergaya modern, dengan desain yang luas. Rumah dengan garis bersih dan tajam, palet warna yang didominasi silver, dan penggunaan material yang meliputi logam, kaca, dan baja.

Taman yang lumayan luas, ditumbuhi aneka bunga yang indah dipandang mata. Garasi pun dibuka seorang lelaki yang berpakaian hitam dan terparkir di sana 2 unit mobil pribadi dan 3 motor keluaran terbaru dari berbagai type.

Zidan tak henti mengucapkan masya Allah, menatap takjub dengan keindahan di depan mata. Apa yang dia lihat sekarang jauh lebih mewah dibanding rumah paling kaya di kampungnya.

Pak Alatas memasukkan mobil ke garasi, lalu pamit pulang dengan para rombongan yang rata-rata dekat rumahnya, meninggalkan dua orang yang masih baru saling kenal itu. 

"Ayo masuk, Zidan," ajak Bu Isma. Seorang perempuan paruh baya membawakan tas milik majikannya. 

Anak sulung Bu Wati itu tersenyum dan mengikuti pemilik rumah. Lantai marmer yang putih membuatnya langsung membuka sendal jepit yang sudah menipis dimakan usia. Menentengnya sembari mata terus menatap sekeliling. 

"Loh, kenapa dibuka sendalnya, Zidan?"

"Bukannya kalau masuk rumah, sendal harus dibuka, Bu?" tanyanya balik dan heran. 

Bu Isma tertawa, lalu ikutan menenteng sepatunya. Mereka pun duduk di sofa empuk yang mengisi ruang tamu. 

"Ibu tinggal sendirian di rumah seluas ini?" tanya Zidan penasaran. Sejak memasuki rumah, tidak ada yang menyambut selain perempuan yang membukakan pintu pertama kali dan  menyajikan minuman. 

"Anak Ibu ada dua, Zidan . Yang pertama laki-laki, sudah menikah dan punya rumah. Mereka tidak tinggal di sini, tapi sering berkunjung dan menginap di rumah ini. Yang kedua sekaligus terakhir, perempuan, namanya Najwa. Dia masih kuliah, mungkin sebentar lagi pulang. Bi Ina, asisten rumah tangga sekaligus sudah seperti keluarga kita juga tinggal di sini," jelas Bu Isma. "Dan ... sekarang kamu juga akan tinggal bersama kami."

Zidan mengangguk paham. Masih tak menyangka akan tinggal di rumah sebesar itu, meskipun hanya sebagai pekerja. Teringat akan Ibu dan adiknya yang tidur beralaskan kasur kapuk yang sudah lapuk. Sering tak sengaja bergeser dan membuat Aisyah maupun Ahmad terjatuh. Cukup sakit karena anggota badan langsung bersinggungan dengan papan yang jadi alasnya. 

"Apa mungkin aku bisa membangun rumah yang layak buat Ibu? Adik-adik akan besar dan dewasa, mereka akan mencari kehidupan masing-masing. Tapi Ibu, beliau hanya mengharapkan anak-anaknya," batin Zidan. Belum sampai setengah hari, dia sudah merindukan orang-orang terkasihnya. 

"Minum dulu, lalu istirahat di kamarmu yang itu," ujar Bu Isma, menunjuk salah satu ruangan dengan pintu berdempetan. Perempuan yang sudah kelelahan itu langsung pamit mau istirahat di kamarnya yang terletak di lantai dua. 

Zidan mengiyakan, menyesap minuman berwarna hijau dan manis dengan pelan, menikmati rasanya agar tidak cepat berlalu dari tenggorokan. 

Setelahnya, pemuda itu berjalan ke dapur, mencari Bi Ina. Matanya kembali berbinar takjub melihat dapur begitu bersih dan berbagai alat masak yang bahkan bisa memantulkan bayangan dengan jelas. 

"Zidan, mau cari apa, Nak?" tanya Bi Ina. 

"Eh, Bi?"

Zidan kaget karena perempuan yang dicarinya muncul dari pintu belakang. 

"Hmm, saya ...." Ragu melanjutkan kata, takut dikira kurang sopan karena baru saja ketemu. 

"Ada apa? Jangan sungkan, Zidan. Bibi yakin, kamu orang baik. Bu Isma tak pernah salah memilih orang untuk tinggal di rumah ini," jelas perempuan yang sudah mengabdi belasan tahun di rumah itu. 

Zidan nyengir, menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Sa-saya mau minjam hape, Bi. Mau nelpon Ibu di kampung kalau Zidan sudah sampai," ujarnya takut-takut. 

Bi Ina tertawa, lalu merogoh kantong celananya. Meskipun tak muda lagi dan hanya di rumah, dia lebih suka memakai stelan tunik selutut dipadukan dengan celana panjang. Tetap saja jauh lebih modis dibandingkan ibunya Zidan yang lebih sering mengenakan baju kebangsaan emak-emak, daster. 

"Pakailah, pulsanya masih banyak."

Zidan meraih benda pipih nan canggih itu dengan takut-takut. 

"Saya tak bisa memakainya, Bi. Takut rusak. Bibi bisa telponkan nomor ini?" tanya pemuda itu. Ia hanya pernah memakai ponsel jadul yang sering mati karena baterainya sudah soak. 

Bi Ina langsung mengangguk dan meraih selembar kertas yang disodorkan lelaki muda yang dibawa majikannya. Tak menyangka, di zaman serba canggih begini masih ada remaja yang tak bisa menggunakan android. 

Setelah tersambung, Zidan pamit ke kamar. 

"Assalamualaikum, Bu. Ini Zidan, sudah sampai di rumah Bu Isma," sapanya dengan pipi yang menghangat mendengar suara perempuan yang melahirkannya dari seberang. 

"Walaikumsalam, Nak. Alhamdulillah, sudah makan, Nak?"

"Sudah, Bu. Tadi di jalan, sekalian sholat zuhur," balas Zidan dengan suara bergetar. 

"Abang Zidan! Abang Zidan! Kami makan sup ayam loh. Enak sekali, tadi Ibu yang masak," ujar Ahmad, adik pertama Zidan. Terdengar berebutan dengan Aisyah, ingin bicara dengan abang mereka. 

"Iya, enak banget, Bang. Abang pasti belum pernah makannya. Biasanya kan, kita makan sop sayur," timpal Aisyah. 

Zidan mengusap sudut mata dan menghirup udara dengan rakus. Menetralkan suara agar tidak terlalu kentara sedang terharu. Tak tahan lagi, pemuda itu menjauhkan ponsel dan berlari ke kamar mandi, membasahi wajah yang sudah berurai air mata. 

Yang kuat ya, Zidan. Kamu harapan mereka untuk mengubah nasib

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Yeni Sipayung
air mataku meluncur...
goodnovel comment avatar
Ketut Sedana
sangatlah baik ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Amplop Isi Lima Ribu   Najwa

    "Halo! Halo, Zidan."Bu Wati memanggil-manggil karena sejak tadi tak ada yang menyahut."Maaf, Bu. Tadi jaringan kurang bagus," dusta Zidan. "Oh, kamu baik-baik di sana, ya, Nak. Makasih banyak karena berkat kamu, adik-adikmu bisa makan enak hari ini. Ibu juga sudah memesan tukang buat betulin atap rumah kita yang bocor. Makasih sekali lagi, ya, Nak.""Ya Allah, Bu. Tak pantas Zidan mendengar terimakasih dari Ibu. Sampai kapan pun, Zidan tak akan mampu membayar semua jasa Ibu," lirih lelaki yang baru lulus SMA itu. "Ibu tak pernah meminta balasan, Nak. Ya sudah, kamu baik-baik di sana. Batre hape Ibu udah mau habis," ujar Bu Wati. Obrolan pun berakhir, lumayan bisa mengobati sedikit kerinduan. Zidan mengembalikan ponsel Bi Ina dan tak lupa mengucapkan terima kasih. Entah kenapa, dia tak ingin memejamkan mata. Rasa lelahnya tak sebanding dengan semangatnya sehingga memutuskan keluar, memandangi bunga-bunga nan indah yang tersusun rapi menghiasi rumah bak istana. "Heh, siapa kamu?

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-31
  • Amplop Isi Lima Ribu   Masih Kasar Saat Berduka

    Zidan tak banyak tanya saat anak majikannya menyuruh Pak Alatas, membawa mereka ke sebuah tempat. Dua orang laki-laki menyambut dan mengacungkan jempol saat Najwa memberikan perintah. "Hmm, apa dia calon pacar lo?" bisik salah satu lelaki itu, melirik Zidan yang sudah masuk ke dalam gedung barbershop dan merangkap salon khusus laki itu. Gedung berwarna abu-abu itu selalu ramai pengunjung, apalagi Surya dan temannya join usaha itu. Di sampingnya, ada juga toko khusus pakaian laki-laki yang membuat tempat usaha mereka selalu ramai. "Enak saja lo. Seenak jidat ngatain gue. Emang lo pikir, gue gak laku sampai pasrah macarin anak kampungan gitu," cibir Najwa, memukul bahu teman SMA-nya itu. "Dia sepupu jauh gue dari kampung," imbuhnya, enggan diledek terlalu perhatian kalau mengatakan Zidan adalah pegawai baru restoran mereka. Lelaki bernama Surya itu membulatkan bibir, mengangguk paham. "Gue duluan, Gaes. Biayanya nanti gue transfer. See you," pamit Najwa. "Saya duluan ke resto, Pak

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-01
  • Amplop Isi Lima Ribu   Bu Tejo, Awass!

    "Istighfar, Tejo. Apa kamu gak malu di depan jenazah suamimu?" tegur Nek Iyut, sang guru ngaji yang juga dihormati. Sebagian menghormati karena memang beliau orang yang ikhlas mengajari anak-anak mengaji tanpa dipungut bayaran, tapi ada juga yang segan sebab Nek Iyut masih tergolong salah satu orang terpandang. Bu Tejo tak menggubris, kembali meraung, memeluk tubuh tak berdaya itu. Bu Wati keluar pelan-pelan, duduk bergabung dengan para pelayat lainnya di teras. Tenda biru dan teratak didirikan para remaja dan bapak-bapak secara gotong royong. Menata kursi plastik di bawahnya karena orang-orang yang hendak bertakziah sudah ramai. Pergaulan Pak Supri sangat luas, didukung dengan ekonomi yang memadai sehingga bebas mau kemana saja. Rajin melayat maupun menghadiri pesta membuatnya banyak dikenal orang. Belum lagi sawahnya yang lumayan luas dan sebagian digarap warga kampung sebelah. Bertolak belakang dengan suami Bu Wati dulu. Hampir tak ada yang kenal, kecuali sudah disebutkan nama

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-11
  • Amplop Isi Lima Ribu   Perubahan Sikap Najwa

    “Non, apa kamu marah sama saya?” tanya Zidan saat berpapasan dengan putri majikannya yang beberapa hari terlihat cuek. Dia merindukan omelan perempuan muda itu. Lebih baik diomeli daripada didiamkan seperti itu.“Kenapa kamu berpikir kalau aku marah, hah?” bentak Najwa, duduk di sofa dan menyilangkan kaki. Ia mengambil toples yang berisi kacang sangrai, membuang kulitnya sembarangan.“Cepat bersihkan itu!” perintahnya.Zidan tersenyum, mengambil sapu dan mengumpulkan sampah kulit kacang itu. Kata ayahnya dulu, kalau perempuan cerewet mendiamkan lelaki, itu tandanya sedang marah besar. Namun, kalau sudah bisa cerewet lagi, berarti marahnya telah hilang.Entah teori itu benar atau tidak, tapi Zidan percaya saja karena melihat ibunya juga seperti itu. Tidak mau menegur lagi kalau diantara tiga anaknya ada yang nakal setelah berkali-kali dinasehati.“Kenapa kamu malah senyam-senyum?” sergah Najwa, merasa aneh dengan sikap pemuda itu. Dimarahi, tapi dia memilih tersenyum, seolah tidak ad

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-11
  • Amplop Isi Lima Ribu   Salah Tingkah

    Seorang laki-laki berkemeja lengan panjang warna putih bersimpuh di hadapan gadis bertubuh tinggi semampai. Menyodorkan setangkai mawar merah ke hadapan gadis manis berkerudung warna yang sama dengan bunga di tangan pemuda itu. "Maukah Non Najwa jadi nyonya di hatiku, menjadi menantu ibuku, ipar yang baik bagi adik-adikku, serta bundanya anak-anakku kelak?" lirih pemuda itu sambil memamerkan senyuman seperti biasa, tapi sanggup melelehkan es di hati gadis itu. Najwa memutar badan agar tidak tepat berhadapan dengan lelaki muda bernama Zidan itu. Mengulum senyum malu-malu, lalu berdehem. "Aku mau," balasnya cuek. "Alhamdulillah.""Eits, jangan senang dulu! Buatin aku mesjid dengan sepuluh menara dalam satu malam. Kamu sanggup?" tanyanya dengan angkuh. Sudut bibirnya terangkat, tersenyum meremehkan. Gemetar laki-laki itu dan menundukkan kepala. "Aku tak bisa memerintah jin membantuku seperti Bandung Bondowoso. Dan … kamu bukanlah Roro Jongrang yang berakhir menjadi arca. Aku cuma

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-11
  • Amplop Isi Lima Ribu   Kawin Lari?

    "Kamu kenapa, Najwa? Sakit?" cecar Bu Isma, cemas melihat putrinya yang keringatan. Telapak tangan anak gadisnya juga pucat dan dingin. Namun, saat diraba keningnya, tidak menunjukkan tanda-tanda kalau sedang sakit. "Mungkin kelelahan, Bu," timpal Bu Wati."Iya, Bu. Dia memang kurang bisa kalau perjalanan jauh. Saya juga gak ngajak sebenarnya, tapi dia ngotot mau ikut, sampai bela-belain minum obat biar gak muntah-muntah di jalan," jelas Bu Isma yang membuat Najwa tersenyum malu."Kalau mau istirahat, ayo ke kamar, Nak. Tapi mohon maklum, pasti tidak seempuk kamar Nak Najwa."Gadis itu menggeleng pelan mendengar tawaran ibunya Zidan. Dia memang lelah, tapi masuk kamar bukanlah solusi yang baik. Dirinya sudah terlahir sebagai orang kaya sejak kecil dan tak pernah merasakan yang namanya kasur lapuk dan apek. Ya, dia membayangkan kalau kamar dari rumah sederhana itu pastinya tidak akan seimbang dengan empuknya ranjang yang selama ini ditempatinya. Apalagi melihat dua anak kecil yang mer

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-12
  • Amplop Isi Lima Ribu   Dicegat

    "Jangan bercanda, Sheila! Gak lucu, tahu. Uh, untung saja aku kenal kamu udah lama. Sudah paham dengan candaan kamu. Eh, tapi akting kamu bagus loh, kayak natural gitu," kekeh Zidan. "Oh iya, kamu kuliah di mana sekarang?" tanyanya, mengalihkan pembicaraan. "Aku serius. Bawa aku lari, Zidan. Sebenarnya aku sudah suka sama kamu sejak dulu, tapi Ibu selalu membatasi pergaulanku, sampai memaksaku pindah sekolah gara-gara dekat sama kamu," beber gadis yang mengenakan baju terusan sebetis itu. Zidan membeliakkan mata, terkejut mendengar pengakuan anak kedua Bu Tejo yang tak terduga. Dia mulai gelisah, takut kalau tiba-tiba ibu dari gadis itu muncul seperti tadi. Mau menyuruh Sheila pulang, tapi kelihatan kalau wajah gadis itu sedang tertekan. "Itu hanya cinta monyet kalau kata orang-orang. Jangan bercanda lagi, She. Wajar kalau ibu kamu membatasi pergaulan anaknya, beliau pasti menginginkan yang terbaik buatmu. Itu semua bukti kalau beliau menyayangimu, Sheila," balas Zidan. Matanya te

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-12
  • Amplop Isi Lima Ribu   Pucat Pasi

    "Siapa dia, Zidan? Aku takut," lirih Najwa, menarik-narik lengan pemuda yang sedang duduk di bangku samping sopir. Kesombongan yang sering ia tampakkan menguap karena rasa takut yang mendera. Dua adik Zidan yang duduk di samping kiri dan kanan Najwa pun mulai menangis. Senyum ceria yang baru tersungging langsung berganti dengan hawa ketakutan. "Biar saya lihat dulu, Neng. Jangan panik!" ujar Pak Alatas. Dia mendorong pintu mobil dan bersiaga, mengambil analcang-ancang untuk memukul pengendara motor misterius itu. "Siapa kamu? Jangan cari masalah!" bentak Zidan, ikutan keluar. Berdiri lebih dekat kepada orang yang memakai pakaian serba hitam itu. Dia meminta Pak Alatas agar tidak menyerang jika memang tak membahayakan. Mata Zidan membeliak saat orang itu membuka helmnya. Ternyata bukan laki-laki, melainkan perempuan dan dia adalah Sheila. "Ini aku, Zidan. Maaf membuat kalian kaget dan takut," kekeh gadis berambut lurus itu. "Aku suntuk di rumah. Aku boleh ikut sama kalian, ya?" re

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-12

Bab terbaru

  • Amplop Isi Lima Ribu   Tamat

    Rumah Bu Wati kembali lengang setelah anak, menantu, cucu dan besannya pulang. Hanya celotehan Vania yang tak ada habisnya memberikan warna yang berbeda. Ahmad dan Saripah juga sudah istirahat di kamar karena selama bertamu, mereka paling direpotkan sebagai tuan rumah. "Nenek, Bang Erlang dan Kak Airin sudah sampai rumah mereka?" tanya gadis kecil itu. Bu Wati terkekeh. "Baru satu jam mereka pergi, Van. Masih jauh. Kamu rindu, ya?""Iya, Nek.""Nanti mereka akan telpon kalau sudah istirahat di jalan atau sampai, ya. Sabar, ya, cucu Nenek yang cantik."Vania mengangguk bahagia. Matanya tertuju pada beberapa temannya yang mengintip di dekat pintu, lalu memanggil untuk bermain di luar. "Mainnya jangan jauh-jauh, ya!""Iya, Nek." Kompak anak-anak itu mengiyakan. Sekarang gantian Bu Wati yang tak ada teman mengobrol. Kemaren Bu Tejo yang kesepian, sekarang dia sedang sibuk bermain dengan cucu-cucunya. Tawanya begitu lepas setelah anaknya Juniarti mau bicara dan duduk dipangkuan sang n

  • Amplop Isi Lima Ribu   Kompak

    "Ibuuuuu! Harusnya Ibu masih tinggal di rumah Kak Najwa dan Bang Zidan agar aku bisa sering berkunjung. Apalagi Kak Najwa sedang hamil."Aisyah melancarkan serangan bujuk rayu. Setelah pesta kemarin, ia dan keluarga suami menginap di hotel di sebuah kabupaten yang baru pemekaran menjadi pemerintahan kota. Tak begitu jauh dari rumah Bu Wati, cuma sekitar sejam perjalanan. Sekalian mereka pergi jalan-jalan dulu sebelum kembali ke kota. Mereka memang berencana balik bersama keluarga kecil Zidan dan Najwa."Tante, gak boleh cengeng. Ini Nenek aku!" Vania berkacak pinggang. Gadis kecil dengan rambut yang dikuncir itu mengerucutkan bibir."Sok berkuasa! Ini Nenek aku juga," cetus Erlang."Nenek aku! Ayaaaah!" seru Vania, mengadu pada Ahmad."Harus akur dong, Sayang. Ini nenek Vania, neneknya Airin, neneknya Erlang juga. Semuanya sama-sama sayang Nenek, kan?" tanya Bu Wati.Ketiga anak itu kompak mengiyakan."Kalau begitu, peluk dan cium Nenek sama-sama!" titah Ahmad.Bu Wati berjongkok, mem

  • Amplop Isi Lima Ribu   Berkumpul dengan Keluarga

    Beberapa tahun kemudian, berketepatan pada bulan syawal, rumah Bu Wati begitu ramai. Akan ada acara bahagia. Anak, menantu dan cucu-cucu serta kerabat sedang makan berbagai olahan khas hari raya. Cucu kembar jandanya Pak Imran itu paling heboh. Karena merasa paling tua di antara anak-anak lainnya, yang perempuan terus mengkoordinasi sepupunya untuk tertib. Namun, yang satu lagi malah bikin ulah, suka menjahili yang lain.Di sana ada Bu Tejo juga, memakai kaca mata karena penglihatannya sedikit mulai terganggu. Berulang kali dia mengusap mata yang menghangat. Tahun ini tidak ada anak menantunya yang menemani. Begitu pulang solat idul fitri, dia langsung diajak Bu Wati ke rumahnya.Rio dan istri sedang pergi liburan beberapa hari yang lalu dan mengabarkan belum bisa pulang. Mungkin beberapa hari lagi. Bu Tejo sangat kesepian dan akhirnya tak menolak tawaran bertandang ke rumah orang yang paling sering membelanya."Nenek! Lihat! Si Erlang nakal!" seru Vania, putra dari Ahmad yang berusia

  • Amplop Isi Lima Ribu   Rengekan Rio

    "Oh, jadi kamu jatuh cinta sama seseorang, tapi dia memilih yang lain? Gak nyadar gitu kalo kamu sudah suka sama dia sejak duku?"Sheila mengangguk."Kok bisa sama, ya?" tanya Jerikho dengan kening berkerut. Setelah berbagai cara dan alasan dia lakukan, akhirnya gadis bernama Sheila itu mau bicara dengannya. Dia tertarik pada gadis kampung itu sejak pertama berjumpa. Entahlah, apakah karena dia sedang galau setelah gadis yang dulu menolaknya telah menikah dengan rekan bisnisnya. Dunia terkadang sesempit itu. Tak bisa dihindari, padahal sudah mati-matian berusaha menjauh.Awalnya gadis yang sudah konsisten berjilbab itu cuek, lama-kelamaan mau diajak bicara. Sheila hanya menganggap teman karena sadar kalau dia sedang putus asa, merasa tak akan ada yang bisa menggantikan posisi Zidan di hatinya. "Sama? Maksudnya Bos juga di tinggal kawin sama cewek yang Bos suka?" "Ya, begitulah. Parahnya, aku datang di acara mereka tanpa tahu kalau pengantinnya adalah perempuan yang mematahkan hatiku

  • Amplop Isi Lima Ribu   Nomor Misterius

    Assalamualaikum dan semangat sore, Bestie😍😍Kemesraan iniJanganlah cepat berlaluKemesraan iniIngin kukenang selaluHatiku damaiJiwaku tentram disampingmuHatiku damaiJiwaku tentram bersamamuSuara pengamen itu ternyata cempreng dan tidak nyaman di telinga. Untung saja dia menyanyikan intinya saja. Selembar uang warna biru diberikan Zidan pada lelaki itu. "Makasih, Mas. Semoga umurnya panjang dan rejeki berlimpah."Pemuda itu terlihat senang, bagai mendapat rejeki nomplok. Mengusap dada berkali-kali. Kelihatan kalau uang itu sangat berharga buatnya. "Ngapain dikasih banyak sih, Bang? Lagunya aja gak enak," protes Najwa setelah pemuda bercelana sobek-sobek di lutut dan betis itu pergi. "Gak apa-apa. Dia gak ngemis loh, Sayang. Sekalian biar kamu gak kelamaan malunya sama dia," kekeh Zidan. Najwa mengerucutkan bibir. Wajahnya masih sedikit memerah karena salah paham tadi. "Habisnya itu orang emang ngeselin, kok. Dia bilang tante sambil menatapku."Bu Wati tertawa sekilas. Mena

  • Amplop Isi Lima Ribu   Tante?

    "Astaghfirullah, sampai lupa ngajak kalian masuk. Ayo semuanya, kita ngobrol di dalam!"Bu Isma merangkul bahu perempuan yang seumuran dengannya. Dia sebenarnya lebih muda beberapa bulan dari Bu Tejo, tapi nikah muda dan cepat dipercayai keturunan. Itu sebabnya putra pertama Bu Isma lebih tua dari anak sulung sahabatnya. Namun, karena Bu Tejo pernah cerita dia lebih tua sedikit, jadilah Sheila lebih nyaman menyebut Bu Isma dengan sebutan tante. Terlebih wajah perempuan paruh baya itu kelihatan lebih muda dari ibunya. "Hai, siapa namamu?" Jerikho mengulurkan tangan untuk bersalaman. Sheila menatap sekilas, lalu mengambil tasnya dan masuk mengikuti yang lain. Rio sudah kebelet mau ke toilet dan tak menunggu kakaknya lagi sehingga tinggal mereka berdua. "Sombong banget, sih? Atau ada perasaan yang harus dijaga? Oh, atau laki-laki tadi calon suamimu?" cerocos Jerikho asal. Dia ingin mendengar suara perempuan itu. "Sembarangan. Dia itu adikku dan … Anda jangan terlalu sok akrab," cetus

  • Amplop Isi Lima Ribu   Pertemuan Mengharukan

    Tangan Bu Tejo bergetar mengambil sendok, entah kenapa canggung di dekat anak-anak. Bulir bening di pelupuk mata Bu Tejo dan Sheila, tak bisa diajak kompromi lagi, jatuh tanpa permisi. Sheila pegangi pergelangan tangan perempuan yang memberikannya kejutan manis hari ini, menuntun tangan ibunya agar pas masuk ke mulut. Senyum Rio tercetak jelas melihat ibu dan adiknya terlihat akrab. Ia pun berinisiatif menyuapi dua perempuan itu bergantian. "Assalamualaikum, Bu Tejo!""Masuk! Gak dikunci kok." Bu Tejo buru-buru mengusap wajah. Seseorang masuk kedalam dalam rumah dengan menjinjing satu kantong kresek. "Wah, lagi makan, ya. Maaf menganggu. Ini saya bawa titipan sambal dari Mbak Wati. Katanya buat Bu Tejo, titip salam agar cepat sembuh," ujar perempuan itu, meletakkan kresek berisi sepuluh botol sambal aneka rasa. "Alhamdulillah, makasih, Retno. Baik sekali mereka. Kebetulan saya belum belanja kebutuhan dapur. Ini bisa menambah nafsu makan."Retno melempar senyum. Sebenarnya dia mal

  • Amplop Isi Lima Ribu   Suapan Untuk Sheila

    "Antara Bu Tejo dan Bu Irma, sebenarnya gak ada yang layak dipilih. Sama-sama nyebelin dan sombong. Kalau Bu Irma memilih kabur, Bu Wati kembali ke perantauan, jadi bakalan Bu Tejo yang kembali merasa berkuasa. Secara kan, harta dia sudah dikembalikan adik-adik iparnya. Dia kaya-raya lagi. Dia pasti semakin sombong. Pas miskin saja dia masih belum berubah. Belagu.""Bener banget, Bu. Dia pasti makin sombong lagi. Saya sering sakit hati dibuatnya. Makanya saya semangat sekali memukulinya tanpa bukti yang jelas malam itu. Terlanjur greget, saya kebablasan mendapat momen bagus. Coba aja ada kesempatan lagi."Gelak tawa pun mewarnai obrolan."Bener, Bu. Tapi untunglah kita gak dipenjara. Tahu gitu, kukasih cabe rawit giling saja bibir Bu Tejo biar jontor."Gelak tawa ibu-ibu yang pernah sakit hati pun membahana sekali lagi. Langkah Bu Tejo yang berniat mau belanja di warung kelontongan berhenti."Kalau boleh milih, ya, kan, mending Bu Wati balik ke kampung ini. Dia orangnya baik, ramah da

  • Amplop Isi Lima Ribu   Lemari Rahasia

    "Jerikho? Kamu juga di sini? Kok bisa?" cecar Cindy saat melihat sepupunya juga datang. Tanpa saling tahu. Setelah kabar pernikahan Najwa ditetapkan, mereka tak pernah bicara. "I-iya, Mbak. Jadi kalian di sini sebagai keluarga dari mempelai perempuan?""Iya. Jadi kamu kenal Zidan juga?" Cindy balik bertanya. Bahu pemuda yang lebih putih dan tampan dari Zidan itu terkulai. Dia memang menaruh hati pada Najwa sejak pertama kali berjumpa. Diam-diam menyukai adik ipar dari kakak sepupunya hingga suatu hari meminta Cindy menjodoh-jodohkan mereka. Namun Najwa dengan tegas menolak karena hatinya sudah terpaut pada seorang pemuda biasa. Bertahun-tahun berbisnis bersama, pemuda yang yang kini berusia 28 tahun itu harus patah hati lebih dalam. Belum cukup sakit hati karena ditolak, sekarang dia harus dihadapkan pada kenyataan kalau perempuan idamannya harus menjadi pendamping rekan bisnisnya. Jerikho memiliki gerai minimarket dan menjual kembali aneka sambal milik Zidan. Dia sering bertandan

DMCA.com Protection Status