Beranda / Romansa / Amplop Isi Lima Ribu / Luka dan Harapan Baru

Share

Amplop Isi Lima Ribu
Amplop Isi Lima Ribu
Penulis: Intan Resa

Luka dan Harapan Baru

Penulis: Intan Resa
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-31 13:14:13

"Isi amplopnya cuma lima ribu, tapi bawa sekeluarga makan gratis. Urat malunya mungkin sudah putus," ujar Bu Tejo sinis, mengintip isi amplop harga lima ratusan yang sudah lusuh. Dari sekian banyak yang ngasih amplop di pernikahan putri sulungnya, dia hanya penasaran dengan jumlah nominal uang yang disalamkan Bu Wati sehingga langsung dibuka di tempat. 

Senyum perempuan berusia 40 tahun itu langsung pudar, mengenggam tangan kedua anaknya yang tadi merengek minta ikut ke pesta tetangga mereka. Pakaian yang warnanya memudar karena sering dipakai dan ditimpa matahar serta dipadukan dengan sandal jepit membuat penampilan mereka kontras dengan para tamu yang kebanyakan memamerkan perhiasan dan baju mahal. 

 

Bu Wati menarik tangan kedua anaknya dan melangkah cepat menuju rumah semi permanen mereka yang berjarak sekitar lima rumah. Hatinya berdenyut nyeri, merasa gagal jadi orang tua karena tak bisa memberikan yang terbaik buat anak-anaknya. 

 

Dia juga malu saat beberapa tamu undangan yang berdiri di dekat mereka tadi tersenyum dan berbisik-bisik. Ia merasa tak punya harga diri, tapi memang kenyataannya tak punya harta sehingga diam menjadi jalan terbaik. Selembar kertas berharga tadi merupakan uang terakhir yang ia punya. 

 

"Bu, maafin Ahmad."

 

"Aisyah juga, Bu."

 

Kedua anak Bu Wati ikutan menangis melihat orang tua satu-satunya menitikkan air mata tanpa suara. 

 

Perempuan dengan gamis merah bata yang sudah berkali-kali dijahit di bagian ketiak karena kesempitan itu mengusap sudut matanya dengan ujung jilbab. 

 

"Kalian tak salah, Nak. Ibu yang salah. Gara-gara Ibu, kalian lahir dari perempuan miskin ini," lirihnya. 

 

Dinding papan yang sudah banyak dimakan rayap menjadi saksi bisu saat ibu dan anak itu menangis pilu. Dinding yang menjadi pelindung dari tatapan iba orang-orang saat mereka sering menahan lapar. 

 

"Jangan pernah bilang begitu, Bu. Andai saja kami bisa dilahirkan kembali, kami akan tetap memilih Ibu menjadi orang tua kami. Ibu yang terbaik. Iya kan, Dek?" tanya Zidan, putra sulung Bu Wati yang sedari tadi mengintip dari balik jendela. Dia melihat sendiri saat ibunya tadi dipermalukan.

 

Remaja berusia 17 tahun itu bersimpuh dan memeluk ibu dan adiknya sekilas. 

 

"Iya, Abang. Kami sayang Ibu," ujar Ahmad yang diangguki si bungsu Aisyah.

 

Zidan tersenyum, melebarkan langkah, lantas merangkul ibu juga adik-adiknya. 

 

Ahmad dan Aisyah hanya berjarak dua tahun. Masing-masing mereka duduk di kelas 1 SMP dan 5 SD. Cukup terpaut jauh dengan Zidan yang sudah tamat SMA tahun ini. 

 

Ekonomi keluarga mereka memang terbilang kurang mampu, tapi entah kenapa tak pernah dapat bantuan dari pemerintah daerah maupun pusat. Tak pernah Bu Wati sesedih ini, ia selalu ceria meskipun uang di tangan tak seberapa. 

 

Namun, sejak meninggalnya sang suami dua tahun yang lalu, dia seperti kehilangan sandaran. Lelaki yang selalu menyemangatinya itu pergi meninggalkan duka mendalam. Bukan hanya soal mencari nafkah, tapi mereka kehilangan sosok panutan. 

 

Yang paling membebani hatinya yang masih rapuh, bulan ini mereka gagal panen. Sawah yang harusnya mencukupi makan mereka untuk beberapa bulan malah digerus banjir dari sungai yang meluap saat panen tinggal menghitung hari. 

 

Hatinya semakin gundah saat beberapa tetangga melakukan hajatan. Jika masih di kampung sebelah, masih bisa tidak datang. Namun, untuk acara pesta anaknya Bu Tejo dan Pak Supri, tak mungkin dia bisa mengurung diri untuk tidak datang. 

 

Teringat rengekan putra-putrinya kemaren, awal mula dia kini seperti mempermalukan diri karena iba. 

 

"Ibu kan, sudah bantu-bantu masak di sana, Ahmad dan Aisyah pengeen sekali makan daging, Bu," rengek putranya yang paling mirip dengan sang Ayah. Tatapannya memelas. 

 

"Iya, Bu. Kami makan bumbunya saja kalau gak boleh pakai daging," bujuk Aisyah. 

 

"Jangan, Nak. Kalian di rumah saja."

 

"Yaah, kita makan pakai kuah sayur lagi," lirih Aisyah. Sudah sering mereka hanya makan pakai sayur yang dipetik dari belakang rumah. Campurannya hanya garam, tanpa apa-apa. Belum lagi nasi yang mereka makan kualitas rendah, beras bantuan kurang mampu milik tetangga. Dijual karena terlalu lama disimpan hingga sedikit berbau. Sebenarnya lebih cocok dijadikan pakan ayam daripada konsumsi manusia. Tapi apa daya, upah sebagai buruh tani tak mencukupi untuk beli beras yang lebih baik. 

 

Terkadang, mereka makan lahap saat sang ibu membeli kepala ikan teri yang lebih murah harganya, menggorengnya lalu dicampur dengan nasi. Namun, itu tidak bisa setiap hari. 

 

Melihat wajah sayu kedua anaknya, Bu Wati akhirnya berjanji akan mengajak mereka siangnya untuk makan di pesta. 

 

Bu Wati pergi ke tempat ibu-ibu memasak, yang harum masakan itu sampai tercium ke rumahnya. Menyingsingkan lengan, melakukan semua pekerjaan yang ia bisa saat yang lain sibuk mengobrol di bawah pohon nangka. Membahas baju yang akan mereka pakai nanti. 

 

"Bu Wati ini rajin banget, ya. Harusnya cuma bantu-bantu saja," ujar seorang juru masak yang sengaja disewa dari kota. Beberapa anggotanya memakai seragam khusus dan lihai memasak berbagai macam makanan yang sudah disiapkan kemarin. 

 

"Gak apa-apa, Bu. Orang lain bawa bantuan, saya cuma punya tenaga," balas Bu Wati tersenyum. 

 

"Orang bikin pesta besar itu karena mampu, bukan mengharap bantuan dari orang lain. Ibu ini memang baik."

 

Tak terasa mereka mengobrol banyak dengan tangan terus bekerja. Begitu akrab bagai sudah lama kenal. 

 

"Jangan pulang dulu! Bawa sedikit makanannya buat anak-anak Bu Wati," ujar Bu Isma, sang kepala masak. 

 

"Tidak usah, Bu. Gak enak kalau dilihat orang," balas perempuan dengan daster lusuh itu. Tinggal dua orang saja yang duduk di pohon nangka, lainnya sudah bubar mau ganti baju. Namun, Bu Wati takut akan jadi bahan gunjingan nantinya. 

 

"Kalau begitu, bawa saja anak-anaknya makan di pesta nanti. Tidak usah sungkan. Bu Tejo itu teman lama saya. Dia itu berasal dari keluarga susah saat kami sekolah. Saya yakin, dia akan senang melihat tetangganya bisa ikut merasakan kebahagiannya sekarang," ujar Bu Isma. Kalimat yang benar-benar memberi keyakinan buat Bu Wati sehingga dengan mantap mengajak dua buah hatinya ikut makan rendang. 

 

Dia begitu bahagia saat melihat Ahmad dan Aisyah lahap menyantap nasi kualitas premium yang dipadukan dengan sepotong rendang ukuran paling jumbo yang pernah mereka makan. Mereka tak mengambil aneka lauk lainnya karena memang hanya tergiur dengan lauk berbahan daging sapi itu. 

 

Namun, siapa sangka, kebahagiaan sesaat itu telah berubah menjadi tangis. Saat semua orang di luar sibuk menikmati hidangan dan hiburan nyanyian dari biduan, keluarga kecil itu saling menguatkan. 

 

Cuaca yang tadi cerah seolah ikut marah melihat kesedihan empat jiwa itu. Petir di siang bolong dan cuaca bagus, suatu kejadian yang dianggap sebagian masyarakat sebagai pertanda akan ada yang menjadi janda atau duda. Musik terhenti sebentar, lalu kembali berdendang dengan irama yang membuat lutut ingin bergoyang. 

 

Bu Wati mengunci pintu dan jendela, mengajak Ahmad dan Aisyah tidur. Zidan duduk di atas karpet plastik yang sudah robek di beberapa tempat, meremas ujung baju sambil menutup mata. Dia pun merasa bersalah karena belum bisa mengantikan tanggung jawab ayahnya untuk menjadi tulang punggung keluarga. 

 

Sekitar jam empat sore, hujan turun begitu deras, membuat semua tamu undangan panik. Suara ketukan pintu membuat Zidan berdiri dan membuka benda persegi panjang itu. 

 

Matanya sedikit menyipit melihat seorang perempuan paruh baya berdiri di depan rumahnya. Dandanannya sudah memperlihatkan status sosialnya yang menunjukkan orang mampu. 

 

"Ini rumah Bu Wati, kan?" tanyanya. 

 

"I-iya, Bu. Silakan masuk," balas Zidan ragu. Tak merasa punya kerabat orang kaya. 

 

Bu Wati yang kebetulan mau menunaikan salat ashar terkejut melihat tamu. 

 

"Bu Isma? Kok bisa datang kemari, Bu?" tanyanya sungkan. Apalagi melihat sang tamu celingukan melihat rumah yang tidak dipasangi loteng itu. Air hujan pun membasahi beberapa tempat dan sekarang sudah ditampungi dengan baskom oleh Zidan. 

 

"Saya mau mengajak Bu Wati kerja di restoran saya di kota. Apa Ibu mau?" tanya Bu Isma penuh harap.

 

"Sa-saya ...." 

 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ambar Ekoningsih
kayaknya bagus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Amplop Isi Lima RibuĀ Ā Ā Amukan Bu Tejo

    Suara Bu Wati tercekat di tenggorokan, tak sanggup mengatakan apa-apa. Di saat masyarakat sekitar fakir empati, tawaran untuk memperbaiki taraf hidup justru datang dari orang yang baru dikenalnya. "Bu Isma tak bercanda, kan?" tanya Bu Wati akhirnya untuk memastikan kalau pendengarannya berfungsi dengan baik. Ia ragu kalau salah dengar karena baru bangun. Hujan juga lagi deras beradu dengan atap rumah yang otomatis lumayan bising. "Saya serius, Bu. Tadi saya perhatikan, Ibu sangat rajin dan lumayan tahu banyak dunia masak-memasak. Bukan maksud saya merendahkan, ya, Bu. Saya menawarkan pekerjaan karena memang lagi butuh anggota," balas Bu Isma seraya tersenyum. Sebenarnya dia tak berniat mencari karyawan baru, tapi melihat kejadian di tempat hajatan membuat hatinya terenyuh. Apalagi kejadian itu jadi bahan lelucon bagi tamu lain setelah Bu Wati pulang.Lisannya segan untuk menegur yang lain karena dia hanya tamu, tapi telinga juga tak nyaman mendengarnya. Akhirnya, dia duduk di sebuah

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-31
  • Amplop Isi Lima RibuĀ Ā Ā Berangkat Ke Kota

    Seluruh anggota keluarga dan tamu yang belum pulang mendadak riuh karena teriakan Bu Tejo. Tak terkecuali Bu Isma, begitu prihatin melihat dan mendengar sikap pongah teman lamanya. Jauh berbeda dengan Tejo remaja yang dulu begitu pemalu dan lembut. Sekarang, dia bahkan tak sungkan ribut dengan suami saat pesta baru usai. Suaranya terdengar jelas ke ruang tamu dimana tamu sedang istirahat. Sekarang, Pak Supri jadi korban pertengkaran mereka dan harus dilarikan ke puskesmas terdekat. Tangis Bu Tejo tak kentara dan terus meminta maaf pada sang suami. "Mungkin ini pertanda gluduk tadi siang. Bu Tejo mau jadi janda," celetuk seseorang. "Kalau udah janda, berarti gak bisa sombong lagi dong.""Ihh, mending Pak Supri aja deh yang jadi duda. Aku gak rela kalau lelaki berkharisma seperti beliau meninggal cepat.""Halah, bilang saja pengen jadi istri barunya orang kaya. Janda pengharap," timpal yang lain, lalu terbahak-bahak. Bu Isma menggeleng-gelengkan kepala mendengar percakapan ibu-ibu

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-31
  • Amplop Isi Lima RibuĀ Ā Ā Tiba di Kota

    Bu Wati mengucap istighfar beberapa kali. Tak ada gunanya dia menjawab, hanya memperpanjang masalah saja. Lebih baik mendoakan Zidan agar tidak seperti yang disebutkan Bu Tejo. Melangitkan doa langsung kepada Yang Maha Kuasa."Astaga, Tejo Tejo. Namamu itu artinya cahaya, tapi kelakuanmu suram. Lagian, nama laki-laki kok dipakai perempuan? Pantas aja kelakuannya pun sudah kayak preman, sampai membahayakan suamimu sendiri," kekeh Bu Irma, orang kaya yang merupakan saingan Bu Tejo. Hanya dia dan keluarga yang tidak diundang ke pesta pernikahan putri sulung Bu Tejo. "Nama-nama saya, apa urusannya buat kamu? Ngapain kamu disini?" sergah Bu Tejo, berkacak pinggang melihat perempuan yang selalu modis dan cantik itu menghinanya. Apalagi di depan Bu Wati, orang yang selalu jadi bulan-bulanan hinaannya . Pemilik nama lengkap Tejo Nikmatul Wardiah itu memang sengaja diberi nama Tejo oleh orang tuanya dengan harapan kehidupan ekonomi mereka bercahaya dan dikaruniai adik laki-laki kelak. Dan ā€¦

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-31
  • Amplop Isi Lima RibuĀ Ā Ā Najwa

    "Halo! Halo, Zidan."Bu Wati memanggil-manggil karena sejak tadi tak ada yang menyahut."Maaf, Bu. Tadi jaringan kurang bagus," dusta Zidan. "Oh, kamu baik-baik di sana, ya, Nak. Makasih banyak karena berkat kamu, adik-adikmu bisa makan enak hari ini. Ibu juga sudah memesan tukang buat betulin atap rumah kita yang bocor. Makasih sekali lagi, ya, Nak.""Ya Allah, Bu. Tak pantas Zidan mendengar terimakasih dari Ibu. Sampai kapan pun, Zidan tak akan mampu membayar semua jasa Ibu," lirih lelaki yang baru lulus SMA itu. "Ibu tak pernah meminta balasan, Nak. Ya sudah, kamu baik-baik di sana. Batre hape Ibu udah mau habis," ujar Bu Wati. Obrolan pun berakhir, lumayan bisa mengobati sedikit kerinduan. Zidan mengembalikan ponsel Bi Ina dan tak lupa mengucapkan terima kasih. Entah kenapa, dia tak ingin memejamkan mata. Rasa lelahnya tak sebanding dengan semangatnya sehingga memutuskan keluar, memandangi bunga-bunga nan indah yang tersusun rapi menghiasi rumah bak istana. "Heh, siapa kamu?

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-31
  • Amplop Isi Lima RibuĀ Ā Ā Masih Kasar Saat Berduka

    Zidan tak banyak tanya saat anak majikannya menyuruh Pak Alatas, membawa mereka ke sebuah tempat. Dua orang laki-laki menyambut dan mengacungkan jempol saat Najwa memberikan perintah. "Hmm, apa dia calon pacar lo?" bisik salah satu lelaki itu, melirik Zidan yang sudah masuk ke dalam gedung barbershop dan merangkap salon khusus laki itu. Gedung berwarna abu-abu itu selalu ramai pengunjung, apalagi Surya dan temannya join usaha itu. Di sampingnya, ada juga toko khusus pakaian laki-laki yang membuat tempat usaha mereka selalu ramai. "Enak saja lo. Seenak jidat ngatain gue. Emang lo pikir, gue gak laku sampai pasrah macarin anak kampungan gitu," cibir Najwa, memukul bahu teman SMA-nya itu. "Dia sepupu jauh gue dari kampung," imbuhnya, enggan diledek terlalu perhatian kalau mengatakan Zidan adalah pegawai baru restoran mereka. Lelaki bernama Surya itu membulatkan bibir, mengangguk paham. "Gue duluan, Gaes. Biayanya nanti gue transfer. See you," pamit Najwa. "Saya duluan ke resto, Pak

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-01
  • Amplop Isi Lima RibuĀ Ā Ā Bu Tejo, Awass!

    "Istighfar, Tejo. Apa kamu gak malu di depan jenazah suamimu?" tegur Nek Iyut, sang guru ngaji yang juga dihormati. Sebagian menghormati karena memang beliau orang yang ikhlas mengajari anak-anak mengaji tanpa dipungut bayaran, tapi ada juga yang segan sebab Nek Iyut masih tergolong salah satu orang terpandang. Bu Tejo tak menggubris, kembali meraung, memeluk tubuh tak berdaya itu. Bu Wati keluar pelan-pelan, duduk bergabung dengan para pelayat lainnya di teras. Tenda biru dan teratak didirikan para remaja dan bapak-bapak secara gotong royong. Menata kursi plastik di bawahnya karena orang-orang yang hendak bertakziah sudah ramai. Pergaulan Pak Supri sangat luas, didukung dengan ekonomi yang memadai sehingga bebas mau kemana saja. Rajin melayat maupun menghadiri pesta membuatnya banyak dikenal orang. Belum lagi sawahnya yang lumayan luas dan sebagian digarap warga kampung sebelah. Bertolak belakang dengan suami Bu Wati dulu. Hampir tak ada yang kenal, kecuali sudah disebutkan nama

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-11
  • Amplop Isi Lima RibuĀ Ā Ā Perubahan Sikap Najwa

    ā€œNon, apa kamu marah sama saya?ā€ tanya Zidan saat berpapasan dengan putri majikannya yang beberapa hari terlihat cuek. Dia merindukan omelan perempuan muda itu. Lebih baik diomeli daripada didiamkan seperti itu.ā€œKenapa kamu berpikir kalau aku marah, hah?ā€ bentak Najwa, duduk di sofa dan menyilangkan kaki. Ia mengambil toples yang berisi kacang sangrai, membuang kulitnya sembarangan.ā€œCepat bersihkan itu!ā€ perintahnya.Zidan tersenyum, mengambil sapu dan mengumpulkan sampah kulit kacang itu. Kata ayahnya dulu, kalau perempuan cerewet mendiamkan lelaki, itu tandanya sedang marah besar. Namun, kalau sudah bisa cerewet lagi, berarti marahnya telah hilang.Entah teori itu benar atau tidak, tapi Zidan percaya saja karena melihat ibunya juga seperti itu. Tidak mau menegur lagi kalau diantara tiga anaknya ada yang nakal setelah berkali-kali dinasehati.ā€œKenapa kamu malah senyam-senyum?ā€ sergah Najwa, merasa aneh dengan sikap pemuda itu. Dimarahi, tapi dia memilih tersenyum, seolah tidak ad

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-11
  • Amplop Isi Lima RibuĀ Ā Ā Salah Tingkah

    Seorang laki-laki berkemeja lengan panjang warna putih bersimpuh di hadapan gadis bertubuh tinggi semampai. Menyodorkan setangkai mawar merah ke hadapan gadis manis berkerudung warna yang sama dengan bunga di tangan pemuda itu. "Maukah Non Najwa jadi nyonya di hatiku, menjadi menantu ibuku, ipar yang baik bagi adik-adikku, serta bundanya anak-anakku kelak?" lirih pemuda itu sambil memamerkan senyuman seperti biasa, tapi sanggup melelehkan es di hati gadis itu. Najwa memutar badan agar tidak tepat berhadapan dengan lelaki muda bernama Zidan itu. Mengulum senyum malu-malu, lalu berdehem. "Aku mau," balasnya cuek. "Alhamdulillah.""Eits, jangan senang dulu! Buatin aku mesjid dengan sepuluh menara dalam satu malam. Kamu sanggup?" tanyanya dengan angkuh. Sudut bibirnya terangkat, tersenyum meremehkan. Gemetar laki-laki itu dan menundukkan kepala. "Aku tak bisa memerintah jin membantuku seperti Bandung Bondowoso. Dan ā€¦ kamu bukanlah Roro Jongrang yang berakhir menjadi arca. Aku cuma

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-11

Bab terbaru

  • Amplop Isi Lima RibuĀ Ā Ā Tamat

    Rumah Bu Wati kembali lengang setelah anak, menantu, cucu dan besannya pulang. Hanya celotehan Vania yang tak ada habisnya memberikan warna yang berbeda. Ahmad dan Saripah juga sudah istirahat di kamar karena selama bertamu, mereka paling direpotkan sebagai tuan rumah. "Nenek, Bang Erlang dan Kak Airin sudah sampai rumah mereka?" tanya gadis kecil itu. Bu Wati terkekeh. "Baru satu jam mereka pergi, Van. Masih jauh. Kamu rindu, ya?""Iya, Nek.""Nanti mereka akan telpon kalau sudah istirahat di jalan atau sampai, ya. Sabar, ya, cucu Nenek yang cantik."Vania mengangguk bahagia. Matanya tertuju pada beberapa temannya yang mengintip di dekat pintu, lalu memanggil untuk bermain di luar. "Mainnya jangan jauh-jauh, ya!""Iya, Nek." Kompak anak-anak itu mengiyakan. Sekarang gantian Bu Wati yang tak ada teman mengobrol. Kemaren Bu Tejo yang kesepian, sekarang dia sedang sibuk bermain dengan cucu-cucunya. Tawanya begitu lepas setelah anaknya Juniarti mau bicara dan duduk dipangkuan sang n

  • Amplop Isi Lima RibuĀ Ā Ā Kompak

    "Ibuuuuu! Harusnya Ibu masih tinggal di rumah Kak Najwa dan Bang Zidan agar aku bisa sering berkunjung. Apalagi Kak Najwa sedang hamil."Aisyah melancarkan serangan bujuk rayu. Setelah pesta kemarin, ia dan keluarga suami menginap di hotel di sebuah kabupaten yang baru pemekaran menjadi pemerintahan kota. Tak begitu jauh dari rumah Bu Wati, cuma sekitar sejam perjalanan. Sekalian mereka pergi jalan-jalan dulu sebelum kembali ke kota. Mereka memang berencana balik bersama keluarga kecil Zidan dan Najwa."Tante, gak boleh cengeng. Ini Nenek aku!" Vania berkacak pinggang. Gadis kecil dengan rambut yang dikuncir itu mengerucutkan bibir."Sok berkuasa! Ini Nenek aku juga," cetus Erlang."Nenek aku! Ayaaaah!" seru Vania, mengadu pada Ahmad."Harus akur dong, Sayang. Ini nenek Vania, neneknya Airin, neneknya Erlang juga. Semuanya sama-sama sayang Nenek, kan?" tanya Bu Wati.Ketiga anak itu kompak mengiyakan."Kalau begitu, peluk dan cium Nenek sama-sama!" titah Ahmad.Bu Wati berjongkok, mem

  • Amplop Isi Lima RibuĀ Ā Ā Berkumpul dengan Keluarga

    Beberapa tahun kemudian, berketepatan pada bulan syawal, rumah Bu Wati begitu ramai. Akan ada acara bahagia. Anak, menantu dan cucu-cucu serta kerabat sedang makan berbagai olahan khas hari raya. Cucu kembar jandanya Pak Imran itu paling heboh. Karena merasa paling tua di antara anak-anak lainnya, yang perempuan terus mengkoordinasi sepupunya untuk tertib. Namun, yang satu lagi malah bikin ulah, suka menjahili yang lain.Di sana ada Bu Tejo juga, memakai kaca mata karena penglihatannya sedikit mulai terganggu. Berulang kali dia mengusap mata yang menghangat. Tahun ini tidak ada anak menantunya yang menemani. Begitu pulang solat idul fitri, dia langsung diajak Bu Wati ke rumahnya.Rio dan istri sedang pergi liburan beberapa hari yang lalu dan mengabarkan belum bisa pulang. Mungkin beberapa hari lagi. Bu Tejo sangat kesepian dan akhirnya tak menolak tawaran bertandang ke rumah orang yang paling sering membelanya."Nenek! Lihat! Si Erlang nakal!" seru Vania, putra dari Ahmad yang berusia

  • Amplop Isi Lima RibuĀ Ā Ā Rengekan Rio

    "Oh, jadi kamu jatuh cinta sama seseorang, tapi dia memilih yang lain? Gak nyadar gitu kalo kamu sudah suka sama dia sejak duku?"Sheila mengangguk."Kok bisa sama, ya?" tanya Jerikho dengan kening berkerut. Setelah berbagai cara dan alasan dia lakukan, akhirnya gadis bernama Sheila itu mau bicara dengannya. Dia tertarik pada gadis kampung itu sejak pertama berjumpa. Entahlah, apakah karena dia sedang galau setelah gadis yang dulu menolaknya telah menikah dengan rekan bisnisnya. Dunia terkadang sesempit itu. Tak bisa dihindari, padahal sudah mati-matian berusaha menjauh.Awalnya gadis yang sudah konsisten berjilbab itu cuek, lama-kelamaan mau diajak bicara. Sheila hanya menganggap teman karena sadar kalau dia sedang putus asa, merasa tak akan ada yang bisa menggantikan posisi Zidan di hatinya. "Sama? Maksudnya Bos juga di tinggal kawin sama cewek yang Bos suka?" "Ya, begitulah. Parahnya, aku datang di acara mereka tanpa tahu kalau pengantinnya adalah perempuan yang mematahkan hatiku

  • Amplop Isi Lima RibuĀ Ā Ā Nomor Misterius

    Assalamualaikum dan semangat sore, BestiešŸ˜šŸ˜Kemesraan iniJanganlah cepat berlaluKemesraan iniIngin kukenang selaluHatiku damaiJiwaku tentram disampingmuHatiku damaiJiwaku tentram bersamamuSuara pengamen itu ternyata cempreng dan tidak nyaman di telinga. Untung saja dia menyanyikan intinya saja. Selembar uang warna biru diberikan Zidan pada lelaki itu. "Makasih, Mas. Semoga umurnya panjang dan rejeki berlimpah."Pemuda itu terlihat senang, bagai mendapat rejeki nomplok. Mengusap dada berkali-kali. Kelihatan kalau uang itu sangat berharga buatnya. "Ngapain dikasih banyak sih, Bang? Lagunya aja gak enak," protes Najwa setelah pemuda bercelana sobek-sobek di lutut dan betis itu pergi. "Gak apa-apa. Dia gak ngemis loh, Sayang. Sekalian biar kamu gak kelamaan malunya sama dia," kekeh Zidan. Najwa mengerucutkan bibir. Wajahnya masih sedikit memerah karena salah paham tadi. "Habisnya itu orang emang ngeselin, kok. Dia bilang tante sambil menatapku."Bu Wati tertawa sekilas. Mena

  • Amplop Isi Lima RibuĀ Ā Ā Tante?

    "Astaghfirullah, sampai lupa ngajak kalian masuk. Ayo semuanya, kita ngobrol di dalam!"Bu Isma merangkul bahu perempuan yang seumuran dengannya. Dia sebenarnya lebih muda beberapa bulan dari Bu Tejo, tapi nikah muda dan cepat dipercayai keturunan. Itu sebabnya putra pertama Bu Isma lebih tua dari anak sulung sahabatnya. Namun, karena Bu Tejo pernah cerita dia lebih tua sedikit, jadilah Sheila lebih nyaman menyebut Bu Isma dengan sebutan tante. Terlebih wajah perempuan paruh baya itu kelihatan lebih muda dari ibunya. "Hai, siapa namamu?" Jerikho mengulurkan tangan untuk bersalaman. Sheila menatap sekilas, lalu mengambil tasnya dan masuk mengikuti yang lain. Rio sudah kebelet mau ke toilet dan tak menunggu kakaknya lagi sehingga tinggal mereka berdua. "Sombong banget, sih? Atau ada perasaan yang harus dijaga? Oh, atau laki-laki tadi calon suamimu?" cerocos Jerikho asal. Dia ingin mendengar suara perempuan itu. "Sembarangan. Dia itu adikku dan ā€¦ Anda jangan terlalu sok akrab," cetus

  • Amplop Isi Lima RibuĀ Ā Ā Pertemuan Mengharukan

    Tangan Bu Tejo bergetar mengambil sendok, entah kenapa canggung di dekat anak-anak. Bulir bening di pelupuk mata Bu Tejo dan Sheila, tak bisa diajak kompromi lagi, jatuh tanpa permisi. Sheila pegangi pergelangan tangan perempuan yang memberikannya kejutan manis hari ini, menuntun tangan ibunya agar pas masuk ke mulut. Senyum Rio tercetak jelas melihat ibu dan adiknya terlihat akrab. Ia pun berinisiatif menyuapi dua perempuan itu bergantian. "Assalamualaikum, Bu Tejo!""Masuk! Gak dikunci kok." Bu Tejo buru-buru mengusap wajah. Seseorang masuk kedalam dalam rumah dengan menjinjing satu kantong kresek. "Wah, lagi makan, ya. Maaf menganggu. Ini saya bawa titipan sambal dari Mbak Wati. Katanya buat Bu Tejo, titip salam agar cepat sembuh," ujar perempuan itu, meletakkan kresek berisi sepuluh botol sambal aneka rasa. "Alhamdulillah, makasih, Retno. Baik sekali mereka. Kebetulan saya belum belanja kebutuhan dapur. Ini bisa menambah nafsu makan."Retno melempar senyum. Sebenarnya dia mal

  • Amplop Isi Lima RibuĀ Ā Ā Suapan Untuk Sheila

    "Antara Bu Tejo dan Bu Irma, sebenarnya gak ada yang layak dipilih. Sama-sama nyebelin dan sombong. Kalau Bu Irma memilih kabur, Bu Wati kembali ke perantauan, jadi bakalan Bu Tejo yang kembali merasa berkuasa. Secara kan, harta dia sudah dikembalikan adik-adik iparnya. Dia kaya-raya lagi. Dia pasti semakin sombong. Pas miskin saja dia masih belum berubah. Belagu.""Bener banget, Bu. Dia pasti makin sombong lagi. Saya sering sakit hati dibuatnya. Makanya saya semangat sekali memukulinya tanpa bukti yang jelas malam itu. Terlanjur greget, saya kebablasan mendapat momen bagus. Coba aja ada kesempatan lagi."Gelak tawa pun mewarnai obrolan."Bener, Bu. Tapi untunglah kita gak dipenjara. Tahu gitu, kukasih cabe rawit giling saja bibir Bu Tejo biar jontor."Gelak tawa ibu-ibu yang pernah sakit hati pun membahana sekali lagi. Langkah Bu Tejo yang berniat mau belanja di warung kelontongan berhenti."Kalau boleh milih, ya, kan, mending Bu Wati balik ke kampung ini. Dia orangnya baik, ramah da

  • Amplop Isi Lima RibuĀ Ā Ā Lemari Rahasia

    "Jerikho? Kamu juga di sini? Kok bisa?" cecar Cindy saat melihat sepupunya juga datang. Tanpa saling tahu. Setelah kabar pernikahan Najwa ditetapkan, mereka tak pernah bicara. "I-iya, Mbak. Jadi kalian di sini sebagai keluarga dari mempelai perempuan?""Iya. Jadi kamu kenal Zidan juga?" Cindy balik bertanya. Bahu pemuda yang lebih putih dan tampan dari Zidan itu terkulai. Dia memang menaruh hati pada Najwa sejak pertama kali berjumpa. Diam-diam menyukai adik ipar dari kakak sepupunya hingga suatu hari meminta Cindy menjodoh-jodohkan mereka. Namun Najwa dengan tegas menolak karena hatinya sudah terpaut pada seorang pemuda biasa. Bertahun-tahun berbisnis bersama, pemuda yang yang kini berusia 28 tahun itu harus patah hati lebih dalam. Belum cukup sakit hati karena ditolak, sekarang dia harus dihadapkan pada kenyataan kalau perempuan idamannya harus menjadi pendamping rekan bisnisnya. Jerikho memiliki gerai minimarket dan menjual kembali aneka sambal milik Zidan. Dia sering bertandan

DMCA.com Protection Status