"Ah, tidak usah, Bang. Abang, kan lelah ngurus ini itu soal teror, jadi sebaiknya aku saja yang temani Luna. Atau ... kalau Abang mau kita sama-sama terus, biar aku suruh suster aja yang jagain dia. Luna gak rewel, kok. Dia paham dengan keadaan kita yang masih pengantin baru," ujarku tanpa jeda. Tangan ini memijit pundak Aldi yang duduk tak jauh dariku. Ingin rasanya aku berteriak memaki diri sendiri yang bodoh dan tidak berpikir panjang sebelum berucap. Bisa-bisanya aku mengatakan Luna sendirian di rumah sakit. Ya, tentu saja Aldi sebagai kakak ipar, tidak tega membiarkan satu-satunya keluargaku dalam kemalangan. "Ngawur, kamu. Masa, biarin Luna sama suster. Sudahlah, nanti kita ke rumah sakit bareng-bareng. Aku khawatir kalau cuma kamu yang pergi sendiri," cetus Aldi seraya melirikku tak suka. "Emh ... sebenarnya Abang sudah jatuh cinta juga padaku, 'kan? Makanya gak bolehin aku pergi sendiri dan mau sama-sama terus.""Ngaco, kamu.""Kok, ngaco? Beneran, 'kan, Abang jatuh cinta
"Kapan datang?" tanyaku lagi Gadis manis berambut panjang itu menghampiri. Dia duduk di ujung ranjang, dengan mata bulatnya menatap ke arahku. "Baru saja datang, Tante. Tante kenapa di kamar terus? Sakit?" Saffa bertanya dengan meraba tanganku yang ada di dekatnya. "Enggak, kok. Tante baik-baik saja. Emh ... Saffa sama siapa datang ke sini?" "Sama Mama dan Papa. Kita akan menginap di sini, loh.""Oh, ya? Senengnya ...."Saffa tersenyum begitu manis. Kemudian dia naik ke atas tempat tidurku dan berbaring di sana menatap langit-langit kamar berhiaskan lampu. Sedangkan aku, memilih menemui Alina yang katanya baru saja datang. Aku tidak khawatir Saffa berada di kamar seorang diri. Dia sudah besar, tahu mana yang akan membuatnya celaka dan yang tidak. "Mbak Alina, kapan datang?" sapaku kepada adik dari Aldi itu. "Hai, Run. Baru saja, kita disuruh Papa buat nginap di sini. Katanya khawatir."Aku menjatuhkan tubuh di samping wanita yang selalu tampil cantik itu. Aku terus bertanya per
Sudah kuduga, Nyonya Marta pasti percaya pada Kamila, dan termakan omongan wanita serigala berbulu domba itu. Aku tidak langsung menjawab pertanyaan Nyonya Marta. Memilih duduk terlebih dahulu agar jantungku yang berdebar, bisa santai kembali. Alina dan Nyonya Marta ikut duduk. Mereka masih menanti jawaban soal ucapan Kamila tadi. "Mama, Mbak Alina, sebelumnya aku mau minta maaf atas ucapan Dokter Kamila yang mungkin sangat menggangu pikiran Mama. Tapi, percayalah jika apa yang Dokter Kamila katakan, itu tidak benar. Dia memutar balikan fakta demi menutupi kebusukannya.""Kebusukan apa?" tanya Nyonya Marta lagi. "Sebenarnya, setelah pernikahan aku dan Bang Aldi, Dokter Kamila sempat menemuiku. Dia menawarkan kerja sama dengan imbalan yang sangat besar," ucapku membuat kedua wanita di depan sana semakin tidak sabar. "Kerja sama?" Kini Alina yang bertanya. Aku menganggukkan kepala. "Dia memintaku membantunya memisahkan Mbak Alina dan Pak Adikara. Katanya, Pak Adi cinta pertama dia
"Siapa?" tanya Aldi menoleh padaku yang tak kunjung Mengangkat panggilan telepon. "Emh ... biasa. Luna," jawabku bohong. "Oh, yasudah angkat saja.""Aku ngobrolnya di balkon, ya? Biar Abang gak keganggu.""Eng—""Halo," ucapku seraya berjalan ke arah balkon tanpa memedulikan Aldi yang sempat berucap. Tidak mungkin aku bicara di depan Aldi, karena bukan adikku yang menelepon. Melainkan Damar yang entah untuk apa lagi dia meneleponku. "Halo, Aruna. Masih mau melawanku?" Aku tersenyum miring mendengar pertanyaan yang lontarkan Damar. Dia bertanya seolah-olah apa yang telah dia lakukan mampu membunuh keberanianku. Padahal tidak sama sekali. Justru aku mulai menikmati serangan demi serangan yang dia berikan. "Sebenarnya aku tidak mau melawanmu, Dam. Kita kerabat, loh. Katamu, kita ini saudara. Tapi ... jika inginmu kita saling serang, aku bisa apa? Hanya mampu menunggu dan menangkis seranganmu."Terdengar kekehan dari seberang sana. "Seandainya kamu tidak membangkang, aku pun tidak a
[Bayar utang-utangmu, atau Luna adikmu jadi tawananku.]"Brengsek!" umpatku seraya melayangkan tangan memukul udara. Hampir saja ponsel di tangan terjun bebas jika aku tidak benar-benar kuat memegangnya. Ancaman Damar kali ini benar-benar membuatku muak. Dia menyeret Luna dan menjadikan adikku sebagai kelemahan. Tunggu! Apakah Damar sudah tahu keberadaan Luna sekarang?Aku mengetuk pesan balasan untuk Damar, kemudian segera mengirimkannya. [Jangan bawa-bawa Luna. Lagipula, kamu tidak tahu Luna tinggal di mana sekarang,] kataku. Beberapa saat aku menunggu, tapi Damar belum juga membaca pesanku. Hingga akhirnya, pesan kembali masuk dan kali ini disertai foto yang membuat dadaku tiba-tiba sesak luar biasa. [Apakah dia adikmu?] ujar Damar seraya mengirimkan gambar dirinya yang sedang bersama Luna. Sial! Laki-laki itu telah berhasil menemukan adikku. Di dalam foto tersebut, Luna terlihat ketakutan dengan tatapan mata sendu ke arah kamera. Aku mencoba menelepon Damar, tapi tidak bis
Anak-anak yatim dan yatim piatu yang ada di panti asuhan milik Bunda Nur, sudah berbaris tertib untuk menerima santunan dari Dinata Wiratmadja dan Nyonya Marta. Sebagai donatur tetap, juga sebagai sahabat Bunda Nur, mertuaku cukup dikenal oleh pengurus dan sebagian besar anak-anak yang ada di sini. Maka tidak aneh saat kami datang, anak-anak berebut menyalami orang tua suamiku itu. "Kalian bagikan ke barisan yang sebelah sana, ya?" pinta Nyonya Marta padaku dan Aldi. Kami pun menuruti permintaan Nyonya Marta. Satu tumpuk amplop berisikan uang kami bawa dan bagikan pada anak-anak yang usianya sebaya Saffa. "Bang, mereka semua sekolah?" tanyaku pada Aldi seraya menerima tangan anak-anak yang mencium punggung tanganku sebagai tanda terima kasih. "Tentu saja iya. Bahkan sampai ada yang sedang menempuh pendidikan perguruan tinggi.""Hah? Emang mampu? Anak-anak di sini, 'kan banyak," tanyaku lagi. "Alhamdulillah, karena pengelolaan yang baik serta banyak orang-orang berhati malaikat y
Ribuan panah api seakan menyerang jantungku berulang kali. Hatiku terbakar, remuk, hancur, duniaku menggelap melihat keadaan adikku di depan sana. Tulang-tulang dalam tubuhku tak mampu lagi menopang raga ini hingga akhirnya aku ambruk dengan tatapan tak lepas dari Luna. "Luna ...," Lirih aku memanggil berharap dia akan menoleh dan menghampiriku yang sudah bergetar melihat keadaannya. Namun, sayangnya dia tidak mendengar panggilanku. Dia cuek, dia dingin, sama sekali tidak mengindahkan panggilanku. "Lun–na," panggilku lagi. Air mata sudah menganak sungai membanjiri pipi. Perlahan, aku menggeser tubuh ini untuk bisa semakin dekat dengannya. "Dek." Tanganku terulur memegang kakinya yang sudah dingin menggantung dengan leher terikat kain. Sesak, dadaku sakit melihat adikku tergantung dengan mata yang melotot tidak berkedip. "Lu, Lunaaaaaaa!!" Aku kembali berteriak sangat kencang hingga telingaku berdengung dan sedikit sakit.Tangan kukepalkan kuat meremas baju untuk berendam sakit
[Kakak ... saat kamu membaca surat ini, berarti aku sudah pergi. Maafkan aku yang memilih jalan seperti ini. Aku sakit, Kak. Lukaku sangat dalam. Aku tidak sanggup menghadapi dunia dengan diriku yang sekarang. Aku tidak punya masa depan lagi.]Baru membaca beberapa kalimat yang Luna tulis, air mataku sudah kembali menganak sungai. Berbagai tanya muncul dalam benak mengenai apa yang terjadi pada adikku. Kuusap bulir bening yang menghalangi pandangan, lalu mulai melanjutkan membaca kata per kata goresan pena Luna. [Kak, kenapa Kakak gak datang saat aku menghubungi Kakak? Tahukah kamu, jika saat itu duniaku sangat mencekam. Aku takut, aku sangat takut hingga aku tidak bisa berbuat apa-apa.]"Ya Tuhan ... Luna." Aku memegangi dada yang terasa sangat sesak. Kusnandar punggung pada tembok kamar untuk menopang tubuh yang terasa lemas kembali. Kutajamkan penglihatan untuk bisa membaca surat yang menceritakan kejadian sebelum adikku mengembuskan napas terakhir. [Semua berawal dari kedatang