"Dapur, Bang," kataku dengan kedua mata yang terpejam. Beberapa saat diam di ambang pintu dengan tidak berani untuk menoleh ke belakang, tapi suara Aldi tidak terdengar lagi. Aku pun memberanikan diri untuk menoleh, dan ... Aldi tidur lagi? Oh, astaga. Apa sebenarnya tadi dia hanya mengigau? Kuembuskan napas kasar membuang sesak yang tadi menumpuk. Kemudian melanjutkan langkah untuk sampai ke samping rumah di mana Damar sudah menunggu. Hati-hati sekali aku berjalan agar tidak mengeluarkan suara. Takutnya, tidur Bi Narsih terganggu dan akan memergokiku. "Dam," panggilku saat keluar dari pintu samping. Pria itu tidak terlihat karena penerangan yang temaram. "Damar." Aku memanggil pria itu lagi dengan setengah berbisik. Aku turun dari teras, menginjakkan kaki telanjangku pada rumput yang terasa dingin di kulit telapak kaki. Saat akan melangkah lagi, tiba-tiba saja rambutku ditarik dari belakang membuatku hampir berteriak karena kaget. Untungnya, Damar membekap mulutku meredam s
Aku terlonjak kaget saat Bi Narsih ada di depan wajahku. Kaki yang baru saja masuk, terpaksa harus berhenti berjalan dengan mengatur detak jantung yang selalu berdebar kencang. "Anu, Bi. Tadi ... seperti ada suara gitu, makanya saya turun buat lihat. Tapi, ternyata tidak ada apa-apa," ujarku seraya menutupi kegugupan. "Kirain Bibi aja yang mendengar ada suara, ternyata Neng Runa juga dengar?"Aku mengangguk membenarkan perkataan Bi Narsih. Kami pun kembali ke ruang tengah dengan berjalan beriringan hingga akhirnya terpisah di bawah tangga. Aku naik ke lantai dua, sedang asisten rumah tangga itu kembali ke kamarnya di belakang. Malam ini Bi Narsih terpaksa tidur sendiri karena suaminya menginap di rumah Alina bersama Dinata dan Nyonya Marta. Sesampainya di kamar, aku segera naik ke atas ranjang seraya menyusupkan wajah ke dada Aldi. Kulingkarkan tangan ke pinggangnya mencari kenyamanan dalam dekapan yang hangat ini. "Maaf," lirihku nyaris tanpa suara. Betapa jahatnya diriku sebag
"Nipu? Nipu apa?" tanyaku tidak mengerti dengan kata-kata Damar. Aku bingung antara mengejar Aldi atau mendengarkan Damar yang sepertinya sedang marah. Dan yang terjadi sekarang ialah, aku mematung di ambang pintu kamar. "Lo nipu gue, Aruna! Katamu, semua aset Aldi ada di dalam brankas, nyatanya gak ada! Isinya cuma duit dua puluh juta saja!!" teriak Damar sangat marah. "Dua puluh juta saja? Tidak mungkin, Dam." "Kamu gak percaya? Akan aku alihkan pada panggilan video agar kamu bisa melihat isi dari brankas itu!" ujar Damar lagi. Buru-buru aku menutup pintu kamar, lalu masuk ke kamar mandi agar bisa sedikit leluasa membahas masalah brankas bersama Damar. Dan benar saja, saat Damar mengalihkan panggilan, aku bisa melihat brankas yang sudah dirusak itu berisikan uang saja. Tidak ada surat-surat penting seperti kepemilikan usaha, ataupun emas batangan seperti yang ada dalam pikiran Damar. "Damar, itu tidak mungkin. Mana bisa aku percaya padamu yang tukang bohong! Aku tahu, kamu pa
"Ada apa, Mah?" tanya Aldi setelah kami sampai di lantai satu. Tepatnya di teras rumah."Lihat, lihat itu, Aldi!" Nyonya Marta menunjuk kardus di bawah kakinya yang mengeluarkan aroma amis. Aldi yang ingin tahu isi dari kardus tersebut, menghampiri dan membuka tutup dari benda tersebut. "Astaghfirullah!" ujar Aldi kaget. Aku menutup hidung seraya melongok melihat apa gerangan di dalam kardus berisikan ayam mati dengan berlumur darah. Di atasnya ada secarik kertas bertuliskan ancaman yang ditujukan untuk ...?[Adikmu dalam kuasaku.]"Luna.""Alina."Aku dan Aldi menyebutkan nama adik kami masing-masing. Ingatkanku langsung tertuju pada Luna yang saat ini masih bersama Damar. Dan aku sangat yakin, jika pria itulah yang mengirim ayam mati tersebut. "Mama telepon Alina sekarang. Pastikan kalau dia baik-baik saja!" Aldi memberikan perintah pada ibunya. Mereka pun sibuk. Dinata Wiratmadja dan Nyonya Marta menghubungi putrinya dan mewanti-wanti Alina agar berhati-hati. Sedangkan aku, h
"Ke mana, Kak?" tanya Alina dengan menatapku lekat. Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan. Yang aku mau sekarang, pergi menyelamatkan Luna dari kemungkinan-kemungkinan yang terjadi nantinya. Aku tidak mau adikku celaka karena marahnya Damar padaku."Kakak tidak tahu, Lun. Yang jelas, kita harus pergi dari sini sebelum Damar kembali. Kakak tidak mau terjadi apa-apa denganmu. Sekarang, cepat bereskan beberapa pakaianmu." Luna tidak lagi bertanya. Dia langsung mengambil tas besar dari atas lemari, lalu memasukkan beberapa pakaian ke dalamnya. Aku pun turut membantu agar kami bisa segera pergi. Setelah dirasa cukup, aku menarik tangan Luna keluar dari kamar. Di ruang tamu, aku melihat brankas milik Aldi yang sudah rusak, juga kosong tanpa isi. "Kenapa, Kak?" Luna bertanya saat aku mematung melihat barang suamiku. "Tidak, tidak apa-apa. Ayo, cepetan kita pergi dari sini." Langkah kaki kami sangat lebar untuk bisa meninggalkan rumah kontrakan yang sudah kami tempati selama beberapa
"Ah, tidak usah, Bang. Abang, kan lelah ngurus ini itu soal teror, jadi sebaiknya aku saja yang temani Luna. Atau ... kalau Abang mau kita sama-sama terus, biar aku suruh suster aja yang jagain dia. Luna gak rewel, kok. Dia paham dengan keadaan kita yang masih pengantin baru," ujarku tanpa jeda. Tangan ini memijit pundak Aldi yang duduk tak jauh dariku. Ingin rasanya aku berteriak memaki diri sendiri yang bodoh dan tidak berpikir panjang sebelum berucap. Bisa-bisanya aku mengatakan Luna sendirian di rumah sakit. Ya, tentu saja Aldi sebagai kakak ipar, tidak tega membiarkan satu-satunya keluargaku dalam kemalangan. "Ngawur, kamu. Masa, biarin Luna sama suster. Sudahlah, nanti kita ke rumah sakit bareng-bareng. Aku khawatir kalau cuma kamu yang pergi sendiri," cetus Aldi seraya melirikku tak suka. "Emh ... sebenarnya Abang sudah jatuh cinta juga padaku, 'kan? Makanya gak bolehin aku pergi sendiri dan mau sama-sama terus.""Ngaco, kamu.""Kok, ngaco? Beneran, 'kan, Abang jatuh cinta
"Kapan datang?" tanyaku lagi Gadis manis berambut panjang itu menghampiri. Dia duduk di ujung ranjang, dengan mata bulatnya menatap ke arahku. "Baru saja datang, Tante. Tante kenapa di kamar terus? Sakit?" Saffa bertanya dengan meraba tanganku yang ada di dekatnya. "Enggak, kok. Tante baik-baik saja. Emh ... Saffa sama siapa datang ke sini?" "Sama Mama dan Papa. Kita akan menginap di sini, loh.""Oh, ya? Senengnya ...."Saffa tersenyum begitu manis. Kemudian dia naik ke atas tempat tidurku dan berbaring di sana menatap langit-langit kamar berhiaskan lampu. Sedangkan aku, memilih menemui Alina yang katanya baru saja datang. Aku tidak khawatir Saffa berada di kamar seorang diri. Dia sudah besar, tahu mana yang akan membuatnya celaka dan yang tidak. "Mbak Alina, kapan datang?" sapaku kepada adik dari Aldi itu. "Hai, Run. Baru saja, kita disuruh Papa buat nginap di sini. Katanya khawatir."Aku menjatuhkan tubuh di samping wanita yang selalu tampil cantik itu. Aku terus bertanya per
Sudah kuduga, Nyonya Marta pasti percaya pada Kamila, dan termakan omongan wanita serigala berbulu domba itu. Aku tidak langsung menjawab pertanyaan Nyonya Marta. Memilih duduk terlebih dahulu agar jantungku yang berdebar, bisa santai kembali. Alina dan Nyonya Marta ikut duduk. Mereka masih menanti jawaban soal ucapan Kamila tadi. "Mama, Mbak Alina, sebelumnya aku mau minta maaf atas ucapan Dokter Kamila yang mungkin sangat menggangu pikiran Mama. Tapi, percayalah jika apa yang Dokter Kamila katakan, itu tidak benar. Dia memutar balikan fakta demi menutupi kebusukannya.""Kebusukan apa?" tanya Nyonya Marta lagi. "Sebenarnya, setelah pernikahan aku dan Bang Aldi, Dokter Kamila sempat menemuiku. Dia menawarkan kerja sama dengan imbalan yang sangat besar," ucapku membuat kedua wanita di depan sana semakin tidak sabar. "Kerja sama?" Kini Alina yang bertanya. Aku menganggukkan kepala. "Dia memintaku membantunya memisahkan Mbak Alina dan Pak Adikara. Katanya, Pak Adi cinta pertama dia